Search This Blog

Showing posts with label sastra. Show all posts
Showing posts with label sastra. Show all posts

Monday, October 28, 2019

Meratapi yang Liyan dalam Rumah Ilalang


Judul : RUMAH ILALANG
Penulis : Stebby Julionatan
Penerbit : Basabasi
Edisi : Pertama, September 2019
Tebal : 135 hal
ISBN : 9786237290230


            Kita mungkin sudah pernah atau mungkin sering melihat waria (bahasa Internasionalnya transgender, tetapi orang biasa menyebut mereka dengan bencong¸ banci, atau wadam). Pertanyaannya, pernahkah kita melihat, atau mungkin iseng bertanya bagaimana seorang waria dimakamkan ketika dia meninggal? Maksudnya, apakah dia dikebumikan sebagai laki-laki atau seorang perempuan (jika kebetulan dia beragama Islam). Dalam kasus kebanyakan, seorang waria tetap dianggap sebagai pria sehingga kemungkinan dia akan dikebumikan selayaknya seorang pria. Soal apakah yang dilakukannya semasa hidup, biar lah itu menjadi urusannya dengan Tuhannya.  

Agama itu baik. Tetapi kadang pemainnya tidak. (hlm. 46)

Friday, July 5, 2019

Anjing-Anjing Menyerbu Kuburan: Cerpen Pilihan KOMPAS 1997

Judul: Anjing-Anjing Menyerbu Kuburan (Cerpen Pilihan KOMPAS 1997)
Pengarang: Kuntowijoyo, Harris Effendi Thahar, Bre Redana, Afrizal Malna, Seno Gumira Ajidarma, dll
Tebal: 228 hlm
Cetakan: Kedua, 2017
Penerbit: Kompas

34851557. sx318

Berkaca dari pengalaman baca kumcer kumcer sastra sebelumnya, saya tidak membaca pengantar dan penutup di buku ini. Selain karena panjangnya yang jauh lebih panjang daripada cerpen-cerpen itu sendiri, juga untuk menghindari semacam contekan. Kadang, memang sesekali terselip spoiler dalam sebuah tulisan pengantar kumcer. Mungkin maksudnya memang tidak sengaja, tapi tetap saja semacam spoiler ini bakal membuat pengalaman membaca cerpen tidak orisinal lagi karena terkontaminasi. Karena pandangan kita saat membaca cerpen sudah terpengaruh oleh pandangan para ahli sastra dan kritikus. 

Saya sadar diri kok kalau saya belum mampu menangkap esensi sastrawi kumcer-kumcer Kompas yang lumayan berat di buku ini. Tapi, dalam studi sastra ada disebutkan bahwa setiap pembaca berhak memiliki interpretasi sendiri atas sebuah karya. Juga, sebuah karya sudah pasti akan diinterpretasikan bermacam-macam oleh pembaca yang berbeda. Hal yang begini wajar-wajar saja. Setidaknya, kita membaca dengan pikiran yang benar-benar kosong, siap menyambut semburan apa pun itu yang ditawarkan oleh sebuah karya sastra.
Jadi, saya membuka buku ini tanpa ekspektasi apa pun kecuali pandangan bahwa setiap cerpen yang lolos di harian Kompas pasti bermutu.

Tuesday, February 12, 2019

Bastian dan Jamur Ajaib, Bukti Keajaiban Cerita Pendek

Judul: Bastian dan Jamur Ajaib
Pengarang: Ratih Kumala
Sampul: Staven Andersen
Cetakan: Pertama, 2014
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

 24953633

Cerpen-cerpen Ratih Kumala memiliki corak sederhana, cenderung mudah dicerna, tetapi meninggalkan rasa yang terus menetap gamang di benak pembaca. Kisah-kisahnya seperti mengajak kita untuk memandang hidup dari sudut yang berbeda. Sebagaimana karya-karya para sastrawan umumnya, kisah-kisah pendek di buku ini berupaya menyorot kehidupan lewat sudut-sudut yang sajatinya wajar dan normal tetapi kita kerap luput melihatnya. Padahal, dari sini juga kita bisa belajar banyak tentang kehidupan serta tentang manusia itu sendiri.

Ode untuk Jangkrik membawa kita pada keriangan ringan di masa kecil, ketika jangkrik, gasing, layangan dan kelereng adalah harta berharga dan sawah serta halaman adalah area mabar yang sesungguhnya. Walau ending cerita ini biasa, kekuatannya ada pada perjalanan membaca cerpennya yang dengan cantik mampu membawa kita kepada kenangan di masa kecil. Kisah kecil ini mengingatkan bahwa kebahagiaan juga bisa hadir dalam kesederhanaan dan kebersahajaan. 

Monday, December 18, 2017

Cerita Orang-Orang Suci dalam Persekongkolan Ahli Makrifat

Judul: Persekongkolan Ahli Makrifat
Pengarang: Kuntowijoyo
Sampul: Katalika
Cetakan: Januari 2019
Pemeriksa Aksara: Trie Hartini
Tebal: 187 hlm
Penerbit: DIVA Press dan Mata Angin




Menarik untuk menyebut beberapa  buku Kuntowijoyo sebagai sastra biografi, terutama pada Impian Amerika dan Persekongkolan Ahli Makrifat. Dua buku ini memiliki ciri yang hampir serupa, meskipun wadahnya berbeda: setiap bab adalah biografi singkat dari orang-orang yang berlainan. Dalam Impian Amerika, Kuntowijoyo mengikat kisah-kisah orang per orang tersebut lewat nasib mereka sebagai perantauan di Amerika Serikat. Di buku ini, ada satu sifat khusus yang dapat kita tandai dari karakter-karakter per cerpennya: ahli ibadah, wali Allah, orang shalih, sufi, atau sebutlah orang-orang suci. Warna sufisme dan nilai-nilai Islam memang kental sekali di buku ini, tetapi bobotnya tidak seberat Khotbah di Atas Bukit. Malah, cerpen-cerpen di buku ini ringan sekali dibacanya meskipun isinya sungguh berbobot. Yang pernah baca Impian Amerika mungkin akan menemukan pola bercerita yang sama di buku ini, hanya saja setting lokasinya yang berbeda—yang berakibat pada berbedanya juga aspek budayanya. Warna lokal lebih mendominasi cerita-cerita di buku ini meskipun ada satu-dua cerita yang berlatar di Belanda. Saya sangat menyukai cerita-cerita di buku ini.

Tuesday, December 12, 2017

Menguak Impian Amerika versi Orang-Orang Indonesia

Judul: Impian Amerika
Pengarang: Kuntowijoyo
Penata Aksara: Erwan Supriyono
Tebal: 264 hlm
Cetakan: Pertama, November 2017
Penerbit: DIVA Press




Selama ini, kita mungkin lebih akrab dengan diaspora orang India, orang Tiongkok, atau orang Arab. Bangsa-bangsa ini memang termasuk bangsa dengan tingkat diaspora paling besar di dunia. Hampir di setiap negara, Barat ataupun Timur, orang bisa dengan mudah menemukannya. Bagaimana dengan diaspora orang Indonesia? Data terakhir menunjukkan ada ratusan ribu orang Indonesia yang hidup dan tinggal di luar negeri. Mereka entah berkuliah, bekerja, atau ikut dengan suami yang orang bule di negara-negara luar. Salah satu negara yang menjadi tujuan favorit untuk berimigrasi adalah  Amerika Serikat. Negeri yang konon adalah Tanah Kebebasan ini rupanya masih memiliki daya tarik kuat bagi para imigran untuk bisa pergi dan menetap di sana, termasuk bagi warga Indonesia.

American Dreams, sebuah istilah sangat terkenal yang merujuk pada cita-cita banyak penduduk dunia yang ingin pindah dan hidup makmur di Amerika. Sejak abad ke-18, Amerika telah menjadi lambang bagi kebebasan dan kemakmuran baru. Berbondong-bondong manusia dari Afrika, Eropa, dan Asia menjadikan benua ini sebagai tempat tinggal mereka yang baru. Senyum Dewi Kebebasan yang menyambut kapal-kapal para imigran di lepas pantai New York seolah menandakan adanya harapan baru di negeri yang baru. Apa yang menjadikan Amerika begitu didamba?  Kemajuan, kemakmuran, dan kebebasan. Setidaknya, itulah tiga poin utama yang menjadikan Amerika Serikat magnet bagi para imigran. Setidaknya sebagaimana kisah-kisah para perantau yang dikisahkan Kuntowijoyo dalam buku Impian Amerika ini. 

“Kalau kau tak bisa mengubah, kaulah yang harus berubah.” (hlm. 56)

Friday, December 8, 2017

Merayakan Ketuhanan bersama Danarto lewat Adam Ma’rifat

Judul: Adam Ma’rifat
Pengarang: Danarto
Penyunting: Tia Setiadi
Penyelars Akhir: Muhajjah Saratini
Sampul: 112 hlm
Tebal: Amalina
Cetakan: Pertama, November 2017
Penerbit: Basabasi




Bagi teman-teman yang berkuliah di jurusan Sastra Indonesia serta para pecinta sastra, nama Danarto dengan kumcer Adam Ma’rifat-nya memiliki tempat tersediri. Kita mungkin bisa lupa cerpen yang pernah kita baca lima atau sepuluh tahun lalu, namun sepertinya susah untuk melupakan kumcer yang satu ini. Jika disebut judulnya, mereka yang  pernah membaca buku ini pasti akan langsung terkenang pada betapa eksmerimentalnya (meminjam kata Pak Edi dan Basabasi) cerpen-cerpen di buku ini. Satu cerpen di buku ini bahkan memiliki judul yang tak bisa diketik dengan mesin ketik zaman dulu karena berupa not balok musik. Danarto mungkin  harus menggambarnya sendiri. Luar biasa, sejak kapan judul cerpen digambar dan bukannya ditulis? 

Wednesday, September 20, 2017

Para Priyayi: Bagaimana Menjadi Priyayi Sejati

Judul: Para Priyayi
Pengarang: Umar Kayam
Tebal: 308 hlm
Cetakan: Keenam, Januari 2000
Penerbit: Grafiti


984819


Rampung sudah saya menutup cerita keluarga besar Soedarsono ini dengan puas hati. Pria yang awalnya hanya buruh tani ini berjuang menaiki kelas sosial, hingga akhirnya dia menjadi guru dan sah pula dia mendapatkan gelarnya sebagai seorang priyayi. Capaiannya ini tidak bisa dilepaskan dari bantuan serta dorongan Asisten Wedana Ndoro Seten, yang kemudian menasihatinya untuk mengubah namanya menjadi Sastrodarsono.  Dalam buku ini, kita akan diajak mengikuti warna-warni perjalanan hidup keturunan Sastrodarsono, mulai dari eyang Kakung hingga ke cicit-cicitnya. Membosankan? Mungkin, jika yang menulis bukan Umar Kayam. Walau harus dibaca tertatih-tatih dengan dua jeda yang terlalu panjang, saya akhirnya selesai membacanya dan jatuh cinta dengan karya legendaris ini. 

Para Priyayi terasa sangat Jawa sekali. Ini luar biasa mengingat konon Umar Kayam menyelesaikan menulis novel ini saat sedang berada di Amerika Serikat.  Penulis keren sih gitu, nulis ya nulis saja tanpa harus rewel kudu ada di Jawa dulu biar bisa nulis tentang Jawa. Kembali ke Para Priyayi, di buku ini sebutan priyayi ternyata tidak hanya terbatas pada keturunan bangsawan saja. Sama sekali tidak ada darah biru dalam trah keluarga Sastrodarsono. Istilah priyayi kemudian digunakan secara luas untuk menyebut para pamong praja atau yang kita kenal kini dengan istilah pejabat. Sudarsono yang benar-benar ingin mengangkat status sosial keluarganya kemudian membesarkan ketiga anaknya agar kelak bisa menjadi ‘orang’. Dan memang, semua anaknya tumbuh dalam didikan yang baik sebagai anak-anak priyayi untuk kemudian menjadi priyayi juga. 

Friday, May 5, 2017

Seumpama Matahari, Kisah Cinta Berlatar Perang Aceh

Judul: Seumpama Matahari
Pengarang: Arafat Nur
Penyunting: Yetti A. KA
Tebal: 142 halaman
Cetakan: 1, Mei 2017
Penerbit: DIVA Press




Seumpama Matahari adalah novel kelima karya Arafat Nur yang khas dengan setting Acehnya. Buku ini sendiri--mengutip penulisnya--ditulis berdasarkan catatan gerilya Thayeb Loh Angen, kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Hampir saja kisah ini hendak dimusnahkan oleh pelakunya sendiri, tetapi penulis berhasil menyelamatkannya dan kemudian mengabadikannya ke dalam bentuk novel. Untunglah, karena kalau tidak, kita pasti akan kehilangan satu cerita langka sekaligus unik tentang cinta yang berlatarkan era perang di Aceh. Pengerjaannya yang mendahului Lampuki juga semakin menegaskan kalau novel ini bisa jadi menjadi pemantik awal dari proses kreatif Arafat Nur sebelum menelurkan karya-karya sastra lain yang beraroma perang di Aceh pada era GAM. Sebuah karya yang mengajak kita untuk memandang perang dari sudut pandang para pelakunya.

"Kita sama-sama anak bumi, pengatur sekaligus penjaga alam." (hlm. 69)

Novel dibuka dengan adegan pertempuran yang intens. Cara penulis membuka cerita mengingatkan saya pada gaya-gaya penulis luar, yang langsung menghentak perhatian pembaca lewat kata-kata yang sangat kuat deskripsinya: Mati kena tembak adalah salah satu jalan akhir dari banyak jalan akhir lain pada kehidupan ini. Meskipun mati dengan cara begitu sangat tidak menyenangkan, secara tidak langsung, saat ini telah menjadi pilihan yang dengan sadar sedang kami hampiri perlahan-lahan. Gaya yang mendekati puitis tetapi tidak kemayu ini akan sering kita jumpai saat membaca buku ini. Selanjutnya, pembaca akan diajak mengikuti kisah Asrul, seorang pejuang kemerdekaan Aceh yang berperang gerilya melawan TNI di pedalaman Sumatra pada sekitar tahun 2001.

"Adanya  hari ini memang disebabkan masa lalu. Namun, manusia lahir untuk masa depan." (hlm. 111)

Membaca karya sastra mengajarkan kita untuk tidak keburu menghakimi dan tidak ragu berempati. Ini karena sastra memperluas pandangan kita, dengan mengajak kita memandang dari sudut pandang orang lain. Seperti itulah Seumpama Matahari ini. Kita diajak melihat dan mendengarkan pandangan dari salah satu pasukan GAM. Dari sudut pandangnya, pembaca jadi tahu mengapa GAM membenci TNI dan Indonesia. Perlawanan tidak muncul begitu saja, biasanya didahului adanya penindasan atau perlakuan-perlakuan tidak adil. Secara tidak langsung, pembaca diajak bersimpati kepada Asrul. Pemuda itu menjadi seperti itu karena perlakuan tidak manusiawi yang dilakukan segelintir pasukan TNI pada ayahnya yang tidak bersalah. Dari sinilah dendam itu muncul, yang kemudian mendapatkan penyalurannya lewat GAM.

"Tetapi perang memang begitu. Jika tidak membuat keluarga mereka luka, maka mereka akan membuat luka keluargaku." (hlm. 80)

Tapi, ternyata buku ini tidak melulu tentang perang. Ada kisah cinta juga di dalamnya. Asrul yang tengah melarikan diri dari kejaran aparat ternyata dipertemukan dengan dua orang gadis yang kelak akan mengubah jalan kehidupannya. Tidak ada hal lain yang mereka tawarkan kepada Asrul kecuali cinta nan tulus. Dan perang yang telah merusak wajah alam serta wajah kemanusiaan itu memang sering kali butuh kisah cinta untuk memperlembutnya, syukur-syukur untuk menghentikannya. Seperti yang dialami Asrul, pertemuannya dengan Putri dan Ana telah membawa napas baru dalam hidupnya. Asrul menyadari bahwa hidup tidak melulu tentang perang. Dari keduanya juga Asrul belajar bahwa sejatinya Bumi tetap sama dan satu, tetapi manusia lah yang merusaknya dengan perang hanya karena perbedaan penguasa.

"Satu-satunya kebodohan terbesar manusia adalah membuat alat penghancur; bom, mesin, dan mesin pembunuh. Tugas suci manusia sebagai pelindung dan pemimpin. Bukan saling melenyapkan." (hlm. 69)

Secara garis besar, buku ini kecenderungannya menentang perang antara GAM dan TNI. Tetapi hebatnya, Arafat Nur menyampaikan gagasannya tersebut dengan tidak mengurui. Samar tapi kokoh, penulis menyelipkan ide tentang perdamaian di Aceh lewat cerita cinta yang sederhana tetapi sangat mengena. Untuk buku tipis yang bisa dibaca sekali duduk, kisah ini menawarkan warna lain di balik perang Aceh, sekaligus mengajak pembaca untuk merenungkan kembali apa sejatinya perang itu. Setelah sampai di penghujung buku yang ditutup dengan sama kuatnya, kita akan terdorong untuk bertanya kepada diri sendiri: mengapa kita terus berperang?







Wednesday, May 3, 2017

Pasar, sebuah Novel Sastra Sosiologis

Judul: Pasar
Pengarang: Kuntowijoyo
Sampul: Buldanul Khuri
Cetakan: 1, Februari 2017
Tebal: 378 hlm
Penerbit: DIVA Press dan Mata Angin





Pasar membawa kita kepada alam pedesaan di Jawa tahun 1970-an, ketika segala sesuatunya masih tampak sederhana, ketika dunia tidak lebih lebar dari pasar kecamatan, dan ketika omongan orang menjadi semacam hukum tak tertulis yang dampaknya sangat kuat. Seperti yang digambarkan dengan begitu apik oleh Kuntowijoyo lewat novel Pasar ini. Unsur ‘orang Jawa’ begitu kuat di dalam buku ini, bukan kemudian buku ini untuk mengagung-agungkan orang  Jawa, tetapi sebagai semacam catatan sosiologis tentang perubahan sosial yang dialami orang Jawa pada tahun 1970-an yang dituliskan dalam bentuk sastra. Lewat Pasar, penulis menyimpan sekeping data sosiologis dari sebuah masyarakat kecil di pelosok Jawa dalam bentuk naratif. Bentuk novel seperti ini tentu akan lebih enak dinikmati ketimbang membacanya dalam bentuk laporan.  Kekuatan Kuntowijoyo sebagai dosen antropologi sekaligus sastrawan telah terkukuhkan sepenuhnya lewat Pasar ini. Sastra-sosiologi, mungkin memang inilah istilah yang tepat untuk menyebut PASAR.

"Sebaik-baik perbuatan adalah melihat diri sendiri, mawas diri." (hlm. 10)

Khotbah di Atas Bukit

Judul: Khotbah di Atas Bukit
Pengarang: Kuntowijoyo
Sampul: Faizal
Cetakan: Pertama, Mei 2017
Tebal: 223 hlm
Penerbit: DIVA Press





Dalam perjalanan hidupnya, manusia selalu merindukan waktu-waktu untuk merenungkan kembali apa makna dari hidup yang tengah dijalaninya. Orang-orang zaman dulu biasa melakukannya dengan menyepi ke tengah hutan, atau bersemadi di tengah-tengah alam liar. Orang-orang modern zaman sekarng mungkin menggantinya dengan menyewa vila di Puncak setiap akhir pekan. Keasrian dan keheningan alam memang terbukti manjur mengusir segala penat akibat beban keseharian. Sampai suatu titik, perjalanan hidup seseorang  mungkin akan sampai pada titik yang membosan bagi si empunya. Tidak peduli seberapa sukses perjalanan kariernya, banyak orang yang merindukan bisa kembali kepada keheningan asali, kepada muasalnya yang tercipta sebagai mahkluk yang tak ada apa-apanya. Karena tanpa memiliki apa-apa saat kita lahir, maka tanpa membawa apa-apa pula saat kita pamit dari dunia ini kecuali amal kebajikan.

“Pikiran kita jauh lebih berat dari ransel.” (hlm. 61)

Kegelisahan inilah yang dialami Barman. Pensiunan sukses ini memiliki karier gemilang di masa lalunya. Berbagai negara di dunia juga telah dijelajahi. Pun, Barman jua dianugrahi keluarga yang lumayan harmonis. Putra satu-satunya tumbuh menjadi penerus bisnis yang dapat diandalkan, serta memberikan cucu-cucu yang teramat menawan. Tetapi, manusia memang selalu kurang. Ditengah segala kelengkapan yang didapatkannya, Barman merasakan ada sesuatu yang kurang. Ada lubang kosong dalam perjalanan kehidupannya yang entah apa. Jika menyimak deskripsi sang tokoh di buku ini, Barman muda sepertinya adalah orang yang gemar bertualang. Tujuan hidupnya semata dunia sehingga aspek spiritual sepertinya tidak turut menyentuhnya di masa mudanya. Kegelisahan ini yang kemudian dibaca sang putra, yang kemudian menghadiahkan kepada ayahnya sebuah tamasya di sebuah bukit yang indah.

“Bung, kesenangan itu tak bertambah atau berkurang. Kebahagiaan yang mutlak tak memerlukan apa-apa di luar diri kita.” (hlm. 63)

Tuesday, March 14, 2017

Curahan Hati Seorang Drupadi

Judul: Drupadi
Pengarang: Seno Gumira Ajidarma 
Editor: Widya Kirana
Cetakan: 1, 2017
Tebal: 149 hlm
Ilustrasi Sampul dan Isi: Danarto
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama




Membaca Drupadi adalah membaca epos agung Mahabharata dari sudut pandang Drupadi. Model penceritaan seperti ini sebenarnya sudah digunakan oleh Divakaruni dalam The Palace of Illusion yang sampai saat ini saya belum 'tega' membacanya karena lumayan tebal (padahal belinya tahun 2012). Mahabharata saja saya membacanya dengan cara mencicil  sehingga bisa tamat juga walau butuh waktu enam bulan. Tetapi, ada untungnya juga selesai membaca karya agung dari India itu jadi bisa sedikit tahu alur besar kisah dalam Mahabharata mulai dari pembuangan Pandawa hingga pecahnya perang akbar Bharatayudha. Sedikit banyak, juga jadi lumayan tahu beberapa tokohnya: Patih Sengkuni yang licik, Pandita Durna dan Adipati Karna yang sakti tetapi harus membela Kurawa karena kewajiban sebagai ksatria, dan terutama tentang sosok Drupadi yang begitu legendaris ini. Dalam banyak tulisan, istri dari kelima Pandawa ini disebut-sebut sebagai wanita yang memulai perang Bharata Yudha. Sebuah perang yang tidak hanya memunahkan semua bala Kurawa (yang jumlahnya 100 orang) tetapi juga meminta korban anak-anak Pandawa. 

"Betapa segala sesuatu yang berlebihan hanya akan berakhir memualkan sahaja." (hlm. 35)


Monday, March 6, 2017

Berkelana dalam Imajinasi Surealis-Relijius Danarto di Berhala



Judul: Berhala, Kumpulan Cerpen
Pengarang: Danarto
Penyunting: Tia Setiadi
Korektor: Muhajjah Saratini, RN
Tebal: 226 hlm
Cetakan: Pertama, Maret 2017
Penerbit: DIVA Press


Tahu novel ini dari teman yang lulusan Sastra Indonesia, katanya Berhala adalah salah satu karya Danarto yang wajib banget dibaca. Sayangnya, waktu itu kumcer ini sempat langka di pasaran sehingga saya hanya bisa penasaran. Kemudian, ciduk pun bersambut, Berhala kembali diterbitkan dalam proyek #SastraPerjuangan sehingga saya bisa turut membaca gratis novel ini di kantor.  Seperti pengalaman saat membaca Gergasi dulu (yang menghasilkan ulasan yang tak  pernah tuntas), banyak hal yang bikin kaget saat membaca Berhala. Ciri khas Danarto yang surealis-relijius masih terasa kental di banyak cerpen, tetapi tampaknya tidak sekental di Gergasi atau di Setangkai Melati di Sayap Jibril. Beberapa cerita agak 'longgar untuk ukuran Danarto, tetapi di cerita-cerita akhir di buku ini, elemen religius-surealis itu terasa kembali. 

Kisah-kisah di buku ini diawali dengan ide yang sederhana, tapi sangat mengalir dan bikin penasaran. Danarto dengan mulus menuliskan kisah-kisah keseharian yang banyak terkait dengan setting orde baru, seperti tentang korupsi, pembunuh misterius (petrus), dan pembakaran pasar. Beberapa settingnya mungkin terasa kekunoan atau ketinggalan zaman, tapi mohon diingat ulang bahwa Berhala pertama kali terbit tahun 1987. Yang lebih hebat lagi, banyak hal yang disindir Danarto lewat cerpen-cerpen di buku ini adalah tema-tema yang sensitif untuk ukuran rezim Orde Baru. Tetapi, gigitan-gigitan itu selalu tersembunyi secara apik lewat kisah-kisah sederhana yang unik. 

"Kita selalu takut untuk mengatakan yang sebenarnya." (hlm. 34)

Thursday, January 19, 2017

Membaca Sastra Melembutkan Dunia



Judul: Membaca Sastra Membaca Dunia
Penyusun: Azwar, S.S., M.Si.
Penyunting: Muhajjah Saratini
Tebal:176 hlm
Sampul: Ferdika
Cetakan: Pertama, Desember 2016
Penerbit: Basabasi




Salah satu tema menarik yang dibahas di buku ini terkait ‘matinya’ pengarang setelah karyanya diterbitkan dan dilempar ke pasar. Pernyataan Barthez ini sekian lama telah menjadi topik hangat di dunia perbukuan. Tulisan sebagai sebuah teks adalah sesuatu yang sifatnya otonom. Ia memang diciptakan oleh si pengarang tetapi setelah dicetak, ia menjadi sesuatu yang baru dan berdiri sendiri. Terlepas dari ada nama pengarang dalam sampul buku itu, sebuah buku adalah sesuatu yang bukan penulisnya. Benarkah begitu? Menarik menyimak sanggahan penulis terhadap teori Barthez ini. Pada kenyataannya, banyak pembaca di Indonesia yang masih membeli buku karena nama besar penulisnya. Faktanya, dalam kasus saya, saya membaca Bumi Manusia karena yang nulis Pram. Pram yang itu loh! Di luar sana, ada ribuan anak-anak muda yang tengah mengandrungi buku-buku kekinian karya penulis terkini, macam Dee, Seno Gumira Ajidharma, dan tak lupa Tereliye. Sulit membayangkan apakah anak-anak muda itu akan tetap membeli buku Hujan atau Rindu seandainya mereka tidak tahu kalau penulisnya Tereliye. 

“Sastra memang tidak membangun secara fisik, sebagaimana membangun jembatan atau gedung, tetapi sastra membangun manusia yang akan membangun peradaban.” (hlm. 45)

Monday, December 5, 2016

Membaca Surealisme ala Danarto dalam Gergasi

Judul: Gergasi
Pengarang: Danarto
Pengantar: Eko Triono
Penyunting: Tia Setiadi
Tebal: 260 hlm
Cetakan: 1, Desember 2016
Penerbit DIVA Press

33106235

Menyelesaikan membaca Gergasi ibarat membaca yang tidak pernah selesai. Selalu ada cerita pendek yang menuntut dibaca ulang dan dibaca lagi, entah karena saya kurang mengerti isinya atau pun karena ada sesuatu yang serasa berharga yang saya luput menangkapnya saat pembacaan yang pertama. Dalam beberapa cerpen, Danarto memperlihatkan nuansa religius yang cukup kental, sementara di banyak cerpen lain, aroma surealis yang pekat menjadikan cerpen-cerpennya sedemikian pelik untuk dipahami secara mudah. Yah, namanya juga aliran surealis jadi beberapa hal yang tidak pernah padu sengaja dipertemukan oleh Danarto lewat karyanya. Maka akan kita temukan di kumcer ini: dua malaikat yang menculik seorang ayah, semut yang mengusung jenasah, pohon-pohon yang bermusyawarah, serta ibu yang menjelma di mana-mana.

Peringatan pertama tentang keunikan Gergasi saya dapat dari Mbak Ajjah, yang mentok di cerpen ketiga. Peringatan selanjutnya datang dari Goodreads, yang menyebut karya ini sesuatu yang diluar rasional, melebihi kewajaran, dan itu yang menjadikan cerpen-cerpennya semakin berkesan. Bahkan saat mengecek situs buku itu untuk cari ide bikin ulasan, masih sedikit sekali ulasan di buku ini. Lebih banyak pembaca yang hanya kasih bintang tinggi tanpa kasih alasan mengapa buku ini memang bagus. Bahkan ada komentar yang berbunyi: Danarto berhasil membuatku ga berpikir keras untuk bisa memahami tujuan, maksud dan makna dari cerita-ceritanya. Great Job! Komentar mengambang seperti ini malah makin bikin baper. Saya merasa semacam butiran capek yang tidak berharga dengan ilmu susastra yang teramat kecilnya. Kenyataannya, saya memang masih mencoba belajar untuk menikmati karya sastra di buku ini. 

Sebuah tulisan salah satunya adalah refleksi dari bagaimana penulis memandang dunia dari sudut pandangnya. Gaya seperti dalam Gergasi inilah yang sepertinya digunakan oleh Danarto: amat surealis dengan nuansa religi yang seperti memercik kecil namun nyala di pinggir-pinggirnya. Ledakannya dimulai di awal, kemudian pembaca jadi penasaran, sebelum sampai ke belakang dengan rasa entah lega entah makin penasaran. Tokoh Ayah sepertinya mengambil peran sentral dalam cerpen-cerpen Danarto ini. Ayah yang bisa muncul di berbagai kantor pada saat yang bersamaan, Ayah yang jadi rebutan manajer-manajer kantor di Jakarta, Ayah yang membawahi 300 perusahaan yang semuanya sukses, Ayah yang kemudian selalu menghilang dalam dunia surealis pada setiap ending cerita. Apakah Ayah-Ayah di cerpen perlambang kekuatan adikodrati tetapi bukan Tuhan yang hanya kuat di awal tetapi musnah menghilang di belakang? Saya belum dapat kalau yang ini.

Dari dulu, saya selalu iri pada imajinasi para sastrawan yang dengan bebasnya ngepot dalam bercerita tetapi entah bagaimana cerita itu masih enak dibaca. Imajinasi yang liar tetapi indah dan tetap tertata sehingga masih enak diikuti. Seperti yang saya temukan di buku ini. Bayangkan menjaring malaikat, bayangkan malaikat yang membutuhkan manajer, bayangkan pesta yang hanya dihadiri tamu berusia 70 tahun ke atas, bayangkan bagaimana para tamu berusia 70 tahun itu naik membumbung ke atas mengatasi alam raya ... entah apa yang hendak disampaikan penulis, tetapi pasti ada sesuatu. Saya yang remah ini belum bisa menangkapnya, kudu baca lebih banyak karya beliau yang lain rupanya. Imajinasi yang tak terbelenggu namun masih dalam batas-batas teknik penulisan sehingga tetap terasa sah-sah saja cerita seperti ini, inilah salah satu keunggulan buku ini.

Cerpen Balairung adalah yang paling saya sukai di buku ini. Cerita ini khas banget mengingatkan pembaca pada era Orde Baru ketika rezim saat itu dengan giat dan rajin akan mencokok siapa saja yang berani mengusik penguasa. Ki Ageng Tjiptowiro dijemput dari kediamannya oleh PM (Polisi Militer) setelah dalam satu pentas wayangnya, dia menyebut-nyebut tentang korupsi. "Korupsi adalah minuman yang bikin ketagihan. Tidaklah penting kaya atau miskin, punya tahta atau rakyat jelata, seseorang akan melakukannya hanya karena ia ketagihan. Sudah syahdu," demikian bunyi salah satu wayangnya. Pembaca yang pernah merasakan Orde Baru tentu masih ingat dengan beberapa insiden penjemputan para seniman oleh petugas kepolisian karena ucapannya yang agak mengkritik penguasa ketika sedang tampil di atas pentas. Cerpen ini sepertinya menjadi semacam sindiran dari Danarto terkait kasus tersebut. Dan, ternyata cerpen ini ternyata ditulis tahun 1991, masa ketika Orde Baru sedang jaya-jayanya. Danarto menulis cerpen seberani ini? Keren ah beliau.

Wednesday, September 28, 2016

Wisanggeni, Buronan Para Dewata

"Perhatikanlah, Wisanggeni, bahwa kekuatan batin bisa mengendalikan yang lahir." (hlm. 92)

Tidak selamanya kisah dari dunia pewayangan disajikan dengan sedemikian monoton dan tanpa greget sehingga membuat penonton hanya menantikan bagian 'uyon-uyon' dengan godaan sinden seksi dan candaan si dalang muda yang kadang menyerempet agak porno. Ada alasan mengapa wayang menjadi sedemikian istimewa, pementasan cerita wayang megandung kandungan hikmah dan filosofi tentang kehidupan  yang sedemikian adi luhung. Sungguh akan sangat sayang kalau generasi muda Indonesia tidak tertarik dengan salah satu bukti puncak pencapaian nonbendawi dari bangsa ini.  Ada satu cara asyik mengenalkan kembali kehebatan wayang kepada pembaca muda, yakni dengan menuliskannya ulang dalam bahasa yang lebih populer tanpa harus kehilangan ketinggian maknanya. Dan, siapa lagi yang lebih layak menunaikan tugas ini kalau bukan para sastrawan?

Wednesday, August 24, 2016

Puya ke Puya

Judul: Puya ke Puya
Pengarang: Faisal Oddang
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Tahun Terbit: Oktober, 2015
Tebal: 218 Halaman





“Setiap ayunan kaki manusia, ia tengah berjalan pergi sekaligus menuju pulang. Orang-orang hidup hanya untuk mati, begitulah. Semakin kau berjalan menjauh, semakin maut berjalan mendekat.”

Kalimat-kalimat pembuka novel ini seakan mengisyaratkan bahwa Puya ke Puya akan diwarnai seputar hidup dan kematian manusia. Sebagai tambahan, karena settingnya yang di Tana Toraja, pembaca mungkin bisa menebak bahwa akan ada banyak pernak-pernik upacara Rambu Solo' di cerita ini. Dan inilah yang menjadi nilai sangat plus dari novel karya Faisal Oddang ini. Penulis muda berbakat ini memang pandai menangkap hal-hal yang ada di sekitar, menjadi gelisah karenanya, lalu menuliskan kegelisahan itu menjadi sebuah novel yang amboi nian. Membaca Puya ke Puya, kita diajak menjadi saksi manusia-manusia yang diombang-ambingkan akibat perseteruan antara adat dan modernisme yang sering tidak akur itu. Novel ini juga dengan tangkas memotret sisi manusiawi manusia yang kadang harus memilih antara mendapatkan uang (duniawi) dan menjaga kehormatan. Apa yang dialami Allu menjadi bukti bahwa bahkan di zaman modern seperti saat ini, pertentangan anatara adat-istiadat dan menjadi manusia modern yang praktis itu masih ada.

Friday, August 12, 2016

Menyimak dan Menikmati Proses Kreatif Hamsad Rangkuti



Judul Buku: Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu?
Pengarang: Hamsad Rangkuti
Penyunting: Tia Setiadi
Penyelaras akhir: RN
Cetakan: Juni, 2016
Tebal: 236 hlm
Tata Sampul: Joni Ariadinata
Penerbit: DIVA Press

 30225637

Kuliah di jurusan sastra asing membuat saya benar-benar cupu dengan perkembangan dan sejarah sastra negeri sendiri. Yah, mana sempat juga sih baca Berhala-nya Danarto atau Bibir dalam Pispot-nya Hamsad Rangkuti sementara dosen meminta kami membaca Jane Eyre dan Gullivers Travels dengan font-font menyiksa mata serta bahasa Inggris klasik yang panjang dan diksinya rumit itu. Karena itu, selepas kuliah, hanya bisa melongo ketika teman-teman sekantor sibuk bahas karya-karya indah Danarto, Hamsad Rangkuti, Seno Gumira Ajidarma, atau Dewi Sartika. Daftar penulis Indonesia yang saya ketahui saat itu hanya Dewi Lestari, Andrea Hirata, dan Eka Kurniawan. Bahkan saat kawan-kawan heboh karena Landung Simatupang akan memberikan kuliah umum di fakultas, saya anteng saja karena saat itu tak kenal siapa itu Landung. Dan, saya menyesal.

Friday, June 24, 2016

Ketika Sastra Mengajak Pembaca Tertawa

Judul: Tuhan Tidak Makan Ikan dan Cerita Lainnya
Pengarang: Gunawan Tri Atmodjo
Penyunting: Tia Setiadi
Sampul: Ong Hari Wahyu
Cetakan: Pertama, Mei 2016
Penerbit: DIVA Press




Tidak selamanya sastra muncul dalam bentuknya yang melulu berat, dipenuhi deretan kata-kata tinggi namun awam asing mendengarnya. Sastra juga tidak lagi wajib mendayu-dayu dengan bahasa berbunga-bunga ala karya angkatan Balai Pustaka. Pun, sastra bukanlah buku agama yang semata berisi petuah-petuah kebajikan. Tiga mitos sastra dari Seno Gumira Ajidarma di atas kiranya tepat disematkan untuk buku kumpulan cerpen karya Gunawan Tri Atmodjo ini. Sebagaimana dijelaskan Seno, sastra ditulis oleh manusia dan ditujukan oleh manusia, kepada awamlah sastra dituliskan, sehingga sastra sendiri seharusnya tidak boleh menjauh dari kemanusiaan itu sendiri. Manusia, seperti aneka cerita di kumcer ini, kadang serius, kadang berani, sering suram, tidak jarang penuh sukacita. Gunawan dengan caranya yang khas telah menghadirkan sastra yang manusiawi di buku ini. Salah satunya, kisah-kisah yang membuat kita tertawa sebagai manusia dan menertawakan diri kita sebagai manusia.

Walau mengancam membuat pembacanya terbahak, tidak kemudian buku ini jatuh sebagai buku kumpulan cerita humor—padahal semestinya ia adalah bagian dari sastra perjuangan (meskipun tidak selalu yang harus diperjuangkan itu serba serius. Kadang humor juga perlu diperjuangkan sebagaimana sastra). Seperti disebutkan oleh sastrawan Triyanto Triwikromo dalam pengantarnya untuk buku ini, penulis mampu menempatkan cerita-cerita kocaknya dalam bangun tulisan yang tetap cerpen sastra. Dengan hati-hati, Gunawan menata cerita-ceritanya dengan perhitungan yang tepat: kapan sebuah paragraf akan membuat pembaca meledak dalam tawa dan kapan kalimat-kalimat itu seperti menahan dirinya sendiri untuk tidak melucu.


"Yu Kariyem mengeluhkan mata kanannya yang terasa mengganjal dan agak perih. Kuminta ia tenang. Aku membuka mata kanannya perlahan-lahan dengan kemampuan terhalus yang dimiliki jari-jariku. Dan, betapa kagetnya aku ketika melihat ada benda hitam sebesar biji semangka menempel di bola mata kanannya. Ya Tuhan, ternyata Yu Kariyem kelilipan tahi lalatnya sendiri.” (Perjalanan ke Pacitan)







Lebih lengkap bisa dibaca di basabasi.co

Friday, May 13, 2016

Si Janggut Mengencingi Heru Cakra

Judul: Si Janggut Mengencingi Heru Cakra
Pengarang: A.S. Laksana
Cetakan: 1. Oktober 2015
Tebal: 133 hlm
Penerbit: Marjin Kiri


27464476

Saya menyukai buku-buku terbitan Marjin Kiri, bukan karena ada kiri-kirinya (yang saat ini lagi heboh tentang pemberangusan buku-buku berbau kiri) namun karena pilihan tema yang diangkatnya cenderung menarik. Penerbit ini bisa dibilang membidik buku-buku bagus namun kurang pasaran, buku-buku dengan segmen terbatas, yang karena itu membuat buku-buku mereka layak koleksi karena selang beberapa bulan setelah terbitnya, sering kali saya sebagai pembaca akan kesusahan mencarinya. Perkenalan pertama saya dengan penerbit ini adalah ketika membaca buku Penghancuran Buku dari Masa ke Masa yang mengupas dengan keren sekali berbagai bentuk pembakaran buku yang pernah terjadi sepanjang sejarah peradaban manusia. Buku yang layak sekali dibaca dan dimiliki para pecinta buku. Ini kok malah bahas buku lain ya? 


Friday, April 15, 2016

Tarian Bumi


Judul: Tarian Bumi
Pengarang: Oka Rusmini
Cetakan: 2, Juni 2013
Tebal: 182 hlm
Sampul: Suprianto        
Penerbit: GRamedia Pustaka Utama  
   


  18002742

Bagi orang luar, Bali adalah sebuah eksotisme nan indah di tengah-tengah kepulauan Indonesia. Bali bagi warga nonBali adalah tempat berpadunya budaya agung nan luhur dengan kehidupan manusia keseharian, yang keduanya seperti selalu bisa berjalan selaras seiring sejalan. Menyaksikan keseharian warga Bali dengan segala sesaji, tari-tarian, dan penghormatannya kepada alam sering kali membuat kita iri. Betapa damai dan bersahajanya kehidupan mereka. Bali, bagi kita yang orang luar ini, menjadi teladan dari masyarakat yang masih mampu mempertahankan adat serta tradisi leluhurnya di masa modern yang hiruk pikuk ini. Menuju ke Bali seperti menuju pada kedamaian pikiran, jiwa, dan hati. Pertanyaannya, bagaimana pandangan orang Bali sendiri terhadap adat-budaya Bali?

 "... begitu banyak orang yang merasa lebih bangsawan daripada bangsawan yang sesungguhnya." (hlm. 174)

                Dalam Tarian Bumi, penulis berupaya memandang Bali dari sudut orang dalam—terutama dari sudut pandang perempuan Bali. Melalui tiga generasi perempuan Bali, Oka Rusmini mengisahkan kembali apa yang dulu pernah diangkat oleh sastrawan-sastrawan Indonesia angkatan Balai Pustaka, yakni pertentangan antara generasi tua dengan adat istiadat yang kolot versus generasi yang lebih muda dengan berbagai pandangan barunya. Apakah selamanya adat yang kolot itu buruk? Belum tentu. Adat istiadat adalah bentuk local genius yang dibentuk ratusan bahkan ribuan tahun sehingga sering kali tersembunyi nilai-nilai luhur dalam kekolotannya. Sebaliknya, semua yang berasal dari abad modern belum tentu baik. Dalam Tarian Bumi, penulis mendedahkan dengan cantik tentang ketidaksempurnaan yang lama dan yang baru; dan tiga wanita di buku ini sepertinya hanya mendapatkan yang buruk-buruk saja dari keduanya. 

                “Manusia hidup memiliki keinginan, memiliki mimpi. Itulah yang menandakan manusia itu hidup.” (hlm. 85)