Search This Blog

Showing posts with label sejarah. Show all posts
Showing posts with label sejarah. Show all posts

Thursday, September 14, 2017

Bajak Laut & Purnama Terakhir: Sebuah Komedi Sejarah?

Judul: Bajak Laut dan Purnama Terakhir
Pengarang: Aditya Mulya
Tebal: 340 hlm
Cetakan: Kedua, 2016
Penerbit: Gagas Media 



Saya selalu suka membaca buku sejarah, apalagi jika ada novel yang mengunakan satu babakan peristiwa dalam sejarah tempo dulu di nusantara sebagai setting waktunya. Salah satunya yang paling baru adalah Raden Mandasia si Pencuri Daging Sapi yang walau linimasa sejarahnya agak campur baur, tapi entah bagaimana kok tetap asyik diikuti. Novel Bajak Laut dan Purnama Terakhir ini juga menggunakan latar sejarah sebagai settingnya, yakni sekitar abad 17 atau 18 masehi. Kala itu, lautan nusantara memang masih dikuasai oleh para bajak laut yang berbasis di pulau yang kini bernama Singapura. Mereka ini menjadi duri dalam daging bagi pemerintah VOC karena sering merompak kapal dagang perusahaan. Nah, salah satu diantara bajak laut yang bersliwearn di nusantara kala itu adalah kelompok Kerapu Merah. Namanya memang lebih mengingatkan kita pada nama  rumah makan seafood, dan ternyata pemimpin gerombolan ini memang sama manjurnya dengan hidangan laut: sama-sama bikin darah tinggi wkwkwk.

Kerapu Merah dipimpin oleh Jaka Kelana, seorang pemuda berusia 30 tahunan yang lebih sering memuji dirinya sendiri ketimbang merompak kapal dagang. Menurutnya, dia adalah seorang visioner dengan pemikiran yang melampui zamannya (misalnya saja, dia sudah tahu kue cucur padahal di abadke-17, kue ini belum ditemukan). Sementara anak buahnya berpendapat kalau pimpinannya adalah orang yang paling tepat untuk diabaikan saja. Loh, ini buku sejarah apa buku humor? Saya sebenarnya bingung mengelompokkan novel ini sebagai jenis ini. Soalnya, sejarahnya ada (walau ada banyak bagian yang direka-reka sendiri oleh penulisnya), ada naganya juga (yes, you heard me right, there is a dragon in thisss book. Imagine!), dan humor yang menjurus ke pisuh memisuh juga banyak.  Campur aduk gini malah jatuhnya bikin salah fokus. Awalnya, pembaca diajak mundur ratusan tahun lampau ke nusantara yang masih dikuasai VOC, lalu tiba-tiba ada perompak koplak yang minta ditimpuk. Saya memutuskan untuk menikmati jalan ceritanya saja ketimbang ceriwis.

Selain kekocakan khas Aditya Mulya, hal asyik lain dari novel ini ada pada cara si penulis menfiksikan sejarah. Satu babakan dalam sejarah Majapahit dituliskan ulang dengan versi rekaannya sendiri. Rekaan ini kemudian dipaskan dengan tarikh sejarah yang kita kenal sehingga menjadi semacam cocoklogi yang enak dinikmati.  Konon, salah satu sebab berjayanya Majapahit tidak bisa dilepaskan dari keberadaan 9 orang istimewa yang disebut para arya. Merekalah yang setia mendampingi Raden Wijaya dalam perjuangannya mendirikan Majapahit. Penulis mereka ulang sejarah gelap Majapahit ini dengan menyebut sepuluh pusaka yang membantu Raden Wijaya naik takhta dan memenangkan hampir seluruh kepulauan nusantara. Bagian pusakanya agak-agak fantasi sih, tapi sosok-sosok arya itu benar-benar adalah para tokoh nyata dalam sejarah. Patih Nambi, Lembu Sora, dan tokoh-tokoh lain yang biasanya kita dengarkan sambil lalu dalam pelajaran sejarah dimunculkan ulang dalam karakter-karakter yang kuat. Kualitas ini yang mungkin bikin banyak pembaca bisa belajar sejarah secara lebih menyenangkan.

Banyak informasi untuk yang bisa kita dapatkan dari novel ini, di antaranya asal muasal dari sejumlah kata yang masih kita gunakan hari ini, semisal preman dan KUTANG. Dalam catatan kaki yang diberikan penulis, pembaca juga bisa mendapatkan informasi-informasi ringkas namun penting dalam sejarah nusantara. Walau semakin ke belakang, catatan kaki yang muncul lebih sering bikin ngakak ketimbang bikin paham sejarah. Walau ada embel-embel “Sebuah Komedi Sejarah” pada judul novel ini, nuansa fantasi dan sejarah lebih sering hadir. Keberadaan Jaka Kelana lebih sebagai selingan ketika ceritanya menjadi terlampau serius sejarah atau terlalu kental fantasinya. Saya juga agak merasa keberadaan Jaka Kelana cs ini digunakan sebagai penambal sejumlah bolong logika yang beberapa kali bertebaran di buku ini. Misalnya saja, ada adegan ketika kapal tercepat milik VOC yang dilengkapi meriam dan layar raksasa ternyata tidak mampu mengejar kapal phinisi yang ditunggangi Jaka cs.  Juga, adegan pembobolan kraton Mataram yang kayaknya receh banget. Tapi, sekali lagi, ini kan komedi sejarah. Jadi, lebih baik kita nikmati saja  humornya ketimbang pusing mikirin kurangnya.  

Tuesday, August 8, 2017

1434, Benarkah China Memicu Renaisance?


Judul: 1434: Saat Armada Besar China Berlayar ke Italia
 dan Mengobarkan Renaissance
Penyusun: Gavin Menzies
Penerjemah: Kunti Saptoworini
Tebal: 430 hlm
Cetakan: April, 2009
Penerbit: Alvabet





Bangkitnya Peradaban Barat pada era Renaisance (sekitar abad ke-13 dan ke-14) selama ini diketahui karena maraknya kembali pengkajian terhadap karya-karya Yunani-Romawi. Lewat penerjemahan naskah-naskah Latin kuno, bangsa Eropa mendapatkan kembali kegairahan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan serta teknologi, yang akhirnya mendorong kepada era penjelajahan samudra. Negeri Italia menjadi saksi lahirnya para manusia Renaisance yang serba-bisa, yang sulit ditemukan tandingannya sepanjang sejarah seperti Leonardo da Vinci.Tetapi, sesungguhnya, jika mau jujur, ada semacam celah kosong yang memisahkan antara dua fakta sejarah ini: naskah-naskah Yunani yang lebih bersifat filsafat dengan munculnya sketsa-sketsa peralatan teknologi karya Da Vinci yang begitu detail dan teknis sifatnya. Bagaimana bisa Da Vinci melukis perangkat-perangkat canggih semacam helikopter sederhana, parasut, hingga meriam sederhana? Apakah bangsa Yunani kuno memang benar sudah mengembangkan perangkat-perangkat ini?

Thursday, July 20, 2017

Misteri Hidup dan Kisah Cinta Gajah Mada

Judul: Kisah Cinta Gajah Mada
Penyusun: Getsa Bayuadhy
Penyunting: Ratna M, Dyas SA
Cetakan: 1, 2015
Tebal: 216
Penerbit: Dipta






Menyelesaikan membaca Erstwhile ternyata menyisakan rasa penasaran untuk mengetahui lebih dalam tentang sosok Gajah Mada. Dalam novel Erstwhile, penulis mengajukan satu alternatif jawaban terkait misteri akhir kehidupan dari Mahapatih Gajah Mada, juga asal-usulnya. Dalam sebuah karya fiksi, sah-sah saja jika seorang penulis mengajukan suatu klaim jawaban dari banyak misteri sejarah yang tak atau belum terjawab. Dan Brown juga melakukannya dalam The Da Vinci Code. Sangat susah untuk mengecek kebenaran peristiwa sejarah, apalagi kalau kalau sumber-sumber referensinya tidak ada atau sangat terbatas. Di antara misteri-misteri sejarah yang belum banyak terungkap adalah Gajah Mada. Pun jika beberapa waktu lalu muncul polemik tentang Gajah Mada yang seorang muslim yang berasal dari Persia, ini membuktikan betapa sosok ini memang penuh kontroversi dan misteri. 

Wednesday, December 7, 2016

Borobudur, Monumen Terindah di Belahan Bumi Selatan

Judul: Borobudur, Warisan Umat Manusia
Penulis: Daoed Joesoef
Tebal: 176 hlm
Cetakan: 1, 2015
Penerbit: Buku Kompas

18779624

Kadang, saya ini yang dibaca buku apa yang diulas buku apa. Malah bukan buku utamanya yang diulas, tetapi buku lain yang serupa sebagi bentuk bantahan atau perbandingan dari buku yang dibaca. Terkait buku Borobudur, pasti sudah tahu kan buku Borobudur yang bestseller itu. Buku yang mendapat bintang empat di Goodreads itu sedemikian wownya (dalam artian 'halowwwww') jadi pengennya gemes aja nulis ulasan buku tandingan. Apa yang dibawa oleh penulis buku Borobudur yang itu bisa jadi benar, bisa juga keliru. Hanya Tuhan yang tahu. Tetapi, dalam dunia ilmu pengetahuan, bahwa perdebatan dan kontroversi adalah sesuatu yang lumrah. Temuan baru diperbarui oleh temuan lain yang lebih baru, bukan untuk saling meniadakan tetapi saling melengkapi sehingga semakin sempurna ranah ilmu pengetahuan yang dikumpulkan. Ada pun mengajukan sebuah hipotesis juga sah-sah saja, terlebih dalam bidang sejarah yang bukti-buktinya mungkin telah hilang di masa lampau. Namun, beda kasusnya kalau hipotesis diajukan dengan asal terjang saja tanpa memerdulikan berpuluh tahun bahkan ratusan tahun upaya restorasi sebuah monumen akbar yang melibatkan banyak ahli dari dalam dan luar negeri. Semua penelitian dan kerja besar para arkeolog dan ilmuwan seolah sia-sia sahaja hanya karena sebuah hipotesis dari satu orang penulis (entah peneliti entah bukan) yang beranggapan bahwa pendapatnya tentang Borobudur adalah yang paling benar, pokoknya yang lain salah semua. Daripada ribut mulu baca buku begituan, mending baca buku ini aja.

Wednesday, August 31, 2016

Hindia Timur dalam Kumpulan Cerpen

Hindia Belanda adalah sebuah romantisme yang ramai dikenang, baik pahit dan manisnya. Bagi bangsa kita, masa-masa ketika nusantara berjuluk Hindia Belanda adalah masa-masa kelam dalam sejarah perjalanan bangsa besar ini. Inilah era kejayaan penjajahan dunia sekaligus menjadi titik nadir bagi kemerdekaan kaum pribumi. Kaum sejarahwan menyanjungnya sebagai babakan sejarah nasional yang penuh warna, sementara orang-orang awam lewat kisah-kisah tuturannya menyebut kala ini sebagai masa-masa susah dan tak usah diingat-ingat lagi kalau perlu. Jika selama ini kita telah banyak mendengar, melihat, dan membaca tentang penderitaan leluhur pribumi kita di bawah penjajahan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, maka cerpen-cerpen di buku ini akan memberikan pandangan lain tentang masa-masa itu. Bagaimanakah Hindia Belanda dari sudut pandang orang asing? 

22175715


Judul: Semua untuk Hindia
Pengarang: Iksaka Banu
Sampul dan Ilustrasi: Yuyun Nurrachman
Tebal: 153 hlm
Cetakan: 1, Mei 2014
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia








Tuesday, August 30, 2016

Batavia dalam Catatan Wisata Bangsa Eropa



16136063

Catatan perjalanan sering kali menjadi dokumen primer yang sangat berguna dalam melacak jejak sejarah sebuah kota. Kebiasaan para penjelajah Eropa yang selalu membuat catatan harian atau semacam jurnal tentang segala yang dilihatnya di perjalanan terbukti menjadi dokumen yang sangat berharga di kemudian hari sebagai sumber-sumber tertulis untuk mereka ulang seperti apa wujud dan bentuk sebuah kota pada sebuah masa. Salah satu kota tua yang bisa dibilang 'permata dari Timur' pada era penjelajahan (dan kemudian penjajahan) adalah kota Batavia. Kota tua yang mulai dibangun di muara Ciliwung pada abad ke-16 ini pernah menyandang sejumlah nama, mulai dari Sunda Kelapa, Jacatra, hingga akhirnya menjadi Jakarta sampai saat ini. Tetapi, semua ahli sama sepakat bahwa masa keemasan kota ini adalah ketika kota ini bernama Batavia. 

Judul: Batavia, Kisah Kapten Woodes Rogers dan Dr. Strehler
Penyusun:  Frieda Amran
Editor: Mulyawan Karim
Sampul: Wiko Haripahargio
Cetakan: 1, Oktober 2012
Tebal: 114 hlm
Penerbit: Buku Kompas



Sunday, May 22, 2016

Jawa di Mata Bangsa Eropa



 
Judul: Jawa Tempo Doeloe
Penyusun: James R. Rush
Tebal: 504 hlm
Cetakan; 1. 2012
Penerbit: Komunitas Bambu

Ada dualisme dan juga bias yang begitu kental ketika kita membaca literature-literatur sejarah Indonesia yang ditulis oleh para penulis asing, terutama penulis-penulis di era kolonial. Kepentingan menulis untuk pihak kolonial yang tengah berkuasa tentunya tidak bisa diabaikan begitu saja. Baik atau buruk, sedikit atau banyak, selalu ada bias yang muncul dalam proses pendokumentasian aneka kisah atau peristiwa dan juga alam dari tanah Jawa di masa Hindia Belanda. Seperti yang bisa kita jumpai dalam penulisan artikel-artikel di buku ini, terasa sekali betapa kepentingan kaum kolonial terlampau dijunjung tinggi sementara bagian tentang Jawa di era kemendekaan seolah-olah adalah bentuk nostalgia dari kejayaan para penguasa Belanda di masa penjajahan.

Secara garis besar, buku ini bisa dibagi menjadi tiga bagian. Pertama, era sebelum kolonialisme Belanda, yakni ketika bangsa-bangsa Barat untuk pertama kalinya bersentuhan dengan Jawa kuno, antara tahun  1330 hingga akhir 1600-an. Kedua, adalah masa-masa kolonialisme Belanda yang mengambil porsi paling banyak dari buku ini. Kurun masa ini merentang sepanjang hampir tiga setengah abad, dari awal 1700-an hingga perang kemerdekaan di tahun 1945. Bagian terakhir, bagian yang menurut saya paling membosankan adalah Jawa di era setelah kemerdekaan, yakni tahun 1950 hingga akhir 1970-an. Entah kenapa, penulis-penulis Barat seperti menyesali Jawa di era kemerdekaan Indonesia yang menurut mereka telah berubah menjadi sebuah pulau yang padat, kotor, dan dikuasai komunis.

 Bagian pertama buku ini adalah lembar-lembar yang paling saya sukai karena menggambarkan Jawa di era awal kontaknya dengan orang-orang Eropa. Catatan tertua tentang Jawa di buku ini berasal dari sebuah catatan perjalanan seorang biarawan Oderic yang berlayar ke Tiongkok dan mampir ke Jawa tahun 1330-an. Digambarkan dalam catatan ini, Jawa adalah pulau yang luas namun ramai oleh kerajaan-kerajaan. Seluruh datarannya penuh cengkih dan hasil hutan, kecuali anggur. Istana-istana kerajaannya berlapiskan emas dan sangat makmur.  Perjalanan Nicolo Conti tahun 1444 juga menjadi dokumentasi awal tentang Jawa di buku ini. Pengelana ini menyebut Jawa sebagai tanahnya bangsa barbar karena penduduknya suka berperang dan sabung ayam. Namun, para pengelana kuno sepakat bahwa Jawa adalah sebuah pulau yang sangat indah dan subur. 

Sangat minim sekali dokumentasi tentang Jawa pada era sebelum kolonialisme ini. Catatan para pengelana hanya didapat dari potongan fragmen dokumen-dokumen tua yang juga tidak utuh. Para penulisnya pun masih memandang Jawa dengan segala ketakjubannya. Jawa bagi mereka adalah terra incognita alias wilayah yang tak terjamah, sebuah wilayah tak terpetakan nan eksotis—indah namun juga penuh bahaya. Tidak heran jika tulisan-tulisan mereka masih bercampur dengan fakta-fakta yang berbau fantasi.  Namun, karena bangsa kita belum terbiasa mendokumentasikan (atau mungkin sudah dicatat hanya saja dokumentasi-dokumentasi itu hilang) catatan-catatan tentang pengetahuannya, sehingga begitu sedikit yang kita ketahui tentang Jawa di era sebelum kolonialisme. Masih untung ada karya-karya dari pujangga Kraton Jawa yang cukup banyak merekam Jawa kuno dalam sejumlah babad dan serat sehingga kita masih bisa mengaksesnya. 


Era kedua, alias era kolonialisme Belanda adalah bagian yang paling banyak menyusun buku ini. Bermula dari awal 1700-an dan kemudian memanjang hingga pertengahan abad ke-20, pulau Jawa perlahan dikuasai oleh pihak Belanda. Dari pulau inilah, Belanda mengatur seluruh wilayah jajahannya yang luas di seluruh Nusantara. Di Jawa pula, Belanda pertama kali membangun serta mengelola negeri jajahannya untuk menjadikannya sebagai koloni paling indah di dunia. Banyak penulis Belanda di bagian ini yang memuji-muji Jawa sebagai pulau tropis paling nyaman untuk ditinggali.  Tanah yang subur, dipenuhi beragam perkebunan yang luas, serta orang-orang Jawa yang ramah (lebih tepatnya, penurut) dan selalu bersikap merendah ketika bertemu kulit putih. Sebagai pribumi, ada semacam rasa sesak di dada menyaksikan leluhur kita yang dipandang rendah oleh orang Barat, padahal masih sama-sama umat manusia. 

Sedikit mengabaikan rasa miris di atas, saya memaksa diri untuk mengikuti perjalanan eksotis para petualang Barat ini dalam penjelahanya di Jawa. Tulisan-tulisan dari era ini memang lebih panjang dan detail bila dibandingkan dari era sebelumnya. Para penulis juga menyediakan deskripsi detail tentang berbagai hal unik yang mereka jumpai, misalnya tentang gardu pos serta emban atau biyung yang ditugaskan mengasuh anak-anak Belanda. Panorama kota Batavia yang dikenal sebagai mutiara dari timur juga ditampilkan di bagian ini. Raflles dengan karya monumentalnya The History of Java tentu tidak bisa tidak dikutip di buku tentang Jawa ini. Karyanya, meskipun belum sepenuhnya ditulis dengan metode ilmiah, tetap menjadi salah satu rujukan penting tentang jawa di masa kolonialisme.  

Kota-kota Hindia Timur di Jawa yang paling diulas di buku ini di antaranya Batavia, Buitenzong (Bogor), dan Bandung. Ketiga kota di Jawa Barat ini ibarat pintu gerbang masuk ke Jawa sebelum para pengelana dari Barat melanjutkan ke kota-kota lain yang menjadi pusat peradaban jawa, yakni Solo dan Yogya, biasanya dilanjutkan ke Surabaya atau ke Bali dan kota-kota di Indonesia Timur. Kebanyakan pelancong Eropa pada era ini menyebut Jawa pada masa Hindia Belanda adalah puncak dari keunggulan bangsa Belanda dalam mengelola jajahannya. Sejumlah pelancong Amerika Serikat juga menyebut Jawa sedemikian tertata sehingga koloni As di Filipina seharusnya belajar dari Hindia Belanda. 


Tetapi, bias kolonialisme itu akan langsung terasa ketika pembaca sampai pada bagian ketiga buku ini, yakni Pulau Jawa di era paskakemerdekaan. Jawa di masa ini adalah nostalgia bagi para penulis Barat di buku ini. Hampir semuanya menggambarkan pulau Jawa sebagai surga yang hancur, pulau yang berantakan, dan penduduknya kasar. Sedikit sekali pandangan positif tentang Jawa di bagian menjelang akhir ini sehingga saya jadi agak malas membaca bagian ini. Mungkin karena Jawa di era Soekarno cenderung ke arah komunisme, sehingga penulis-penulis Barat (AS dan Eropa) rata-rata memberikan ulasan yang buruk. Akan lebih adil jika penyunting turut menyertakan tulisan dari penulis Asia tentang Jawa di bagian ini sehingga ada beragam nada tentang Jawa. Terlepas dari kekurangan ini, buku ini sangat layak dibaca dan dikoleksi. Di samping sampulnya yang pajang-able, buku tebal ini juga dilengkapi ilustrasi-ilustrasi antik dengan nuansa jadoel yang memancing nostalgia. Membaca buku ini, saya semakin bangga dan mencintai pulau indah ini, juga pulau-pulau lain di seluruh Nusantara.


Sumber gambar:
britishempire.co.uk
ianmarr.co.uk
thesaleroom.com
wikimedia.org

Tuesday, June 30, 2015

Sejarah Rempah

Judul : Sejarah Rempah
Penulis: jack Turner
Penerjemah: Julia Absari
Cetakan: 1, September 2011
Tebal: 380 hlm
Penerbit: Komunitas Bambu
 

12905020



Tiga tahun lalu, saya membeli buku ini sebagai hadiah ulang tahun saya sendiri. Harganya cukup mahal kala itu (Rp110.000 dan tidak ada diskon), jauh melampau limit dramatis saya yang hanya Rp80.000/buku. Tapi, sesekali nggak apa-apa deh toh buat ulang tahun juga (belinya pakai voucer Gramedia pulak *jitak*). Butuh tiga tahun menyelesaikannya, dan setelah membaca habis buku ini, uang Rp110.000 sungguh tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan tenaga dan dana yang dikeluarkan oleh penulis untuk meriset dan menyelesaikan penulisan buku ini. Sungguh, harga segitu juga tidak ada apa-apanya dibandingkan perjuangan dan petualangan yang harus ditempuh oleh bangsa Eropa di Abad Pertengahan demi mendapatkan rempah-rempah.

Lada, pala, cengkih, merica, kapur barus, jahe, ketumbar, jintan; sungguh tidak disangka bahwa bahan-bahan yang biasa kita temukan di dapur ini ternyata memiliki sejarah yang sangat panjang. Tidak sedikit darah yang tumpah, uang yang dihabiskan, emas dan permata yang digadaikan demi mendapatkan sejumput lada atau beberapa ons pala. Sejarah telah membuktikan bahwa pencarian rempah-rempah bangsa Eropa ke pusatnya di Maluku turut menjadi awal dari babakan sejarah yang kemudian mengharu-biru perjalanan bangsa kita: penjajahan. Dimulai dari Portugis, lalu Spanyol, kemudian Inggris, dan akhirnya Belanda. Kepulauan Nusantara telah menjadi bulan-bulanan dan rebutan dari bangsa-bangsa tersebut. Dari yang semuka hanya demi mendapatkan pasokan rempah, kemudian berubah menjadi niat untuk menjajah.

Tuesday, September 10, 2013

Tangan Kelima, I Mobil, 4 Nama, 5 Misteri



Judul     : Tangan Kelima, I Mobil, 4 Nama, 5 Misteri
Pengarang          : Christian Armanto
Penyunting        : Muthia Esfand
Sampul                 : Nuruli Khotimah
Cetakan               : 1, Mei 2013
Halaman              : 366 hlm
Penerbit              : Visi Media


                Kadang, sebuah misteri seru dan petualangan arkeologis ala Indiana Jones tidak melulu harus menyusur gua dan menembus hutan. Petualangan mencari harta karun peninggalan leluhur bisa juga terjadi di kota metropolitan seperti Jakarta, dengan kejutan serta misteri yang tidak kalah menegangkan. Begitulah yang dialami oleh Rantau, seorang mahasiswa arkeologis yang insting eksplorasinya langsung terpancing ketika pada suatu sore ia menemukan sebuah mobil antik Mercedez Benz SL klasik warna merah di garasi rumah ayahnya yang telah meninggal beberapa bulan yang lalu. Untuk ukuran tahun 2000-an, mobil ini termasuk langka dan harganya sangat mahal. Lebih mengherankan lagi, Rantau menemukan surat BPKB masih tergeletak begitu saja di dalam mobil. Seingatnya, sang ayah bukanlah penyuka mobil antik. Lalu, milik siapakah mobil mahal itu?

                Sesuai dengan namanya, Rantau pun seolah ditakdirkan untuk merantau menelusuri 4 nama pemilik sebelumnya yang tertera dalam BPKB yang sudah beberapa kali dibalik namanya. Ia harus menemukan siapa sebenarnya pemilik mobil itu, sang tangan kelima. Satu per satu ia datangi orang-orang yang ada dalam surat itu. Penelusurannya membawa pada seorang gadis cantik keturunan Indo bernama Anna yang mengaku sebagai adik dari Leo, sang pemilik ketiga. Bersama-sama, keduanya kemudian larut dalam upaya menelusuri dan mencari siapa saja pemilik mobil klasik itu sebelumnya.

                Dan, dimulailah pencarian itu. Berbagai orang mereka datangi, berbagai peristiwa mereka selidiki. Dan, memang terbukti bahwa itu bukanlah mobil biasa. Belum sempat mereka menemukan tangan kedua, ada pihak-pihak yang sepertinya tidak suka dengan upaya pencarian mereka. Beberapa kali Rantau melihat orang tidak dikenal menyelinap mendekati mobilnya. Beberapa kali pula banyak orang yang ngotot ingin menawar mobil itu, berapapun harganya. Masalah semakin pelik karena mobil itu entah bagaimana memiliki kaitan dengan peristiwa September tahun 1965. Tanpa disadari, banyak tangan yang rupanya bermain terhadap mobil ini. Rantau harus mempertaruhkan jiwa arkelogisnya untuk menguak kebenaran. Ia harus mencari tahu siapa pemilik yang berhak dari mobil ini, meskipun dengan demikian ia harus mempertaruhkan keselamatan diri, keselamatan Anna, dan juga sahabat terbaiknya.

                Membaca Tangan Kelima adalah sebuah penghiburan terhadap kurangnya novel detektif di Indonesia akhir-akhir ini. Membandingkan Tangan Kelima dengan karya-karya Dan Brown mungkin terlalu berlebihan. Namun, novel ini merupakan awal yang baik bagi bangkit dan majunya lagi genre novel misteri dan detektif di Indonesia. Novel ini memiliki alur dan twist yang bisa dibilang ringan dan menyenangkan, namun unsur kejutannya memang tidak seseru yang dibayangkan meskipun cukup membuat penasaran. Embel-embel kata “Kelima” pada judulnya serta potongan gambar demo mahasiswa tahun 1965 di sampul depan cukup menjadi penarik perhatian, membuat pembaca berharap akan membaca karya sekelas Negara Kelima­-nya ES Ito. Sayangnya, novel ini tidaklah seberat Negara Kelima. Kalau saja pembaca mau lebih teliti membaca judulnya, pasti ketebak buku ini bercerita tentang apa. Satu lagi yang kurang mengena, gaya menulis yang digunakan dalam Tangan Kelima terlalu agak “berbunga-bunga dan nyastra, sepertinya kurang cocok digunakan untuk genre novel ini sehingga efek tegangnya malah berkurang. Namun, secara cerita bisa dibilang Tangan Kelima terbilang cukup memuaskan pembaca. Semoga, karya ini turut mengilhami terbitnya novel-novel bergenre misteri dan penyelidikan di tanah air.

NB: Jangan membaca lipatan bergambar amplop di sampul belakang buku ini sebelum Anda selesai membacanya. Jawaban tentang siapa Tangan Kelima pemilik mobil itu ada di sana. Jangan bilang saya belum memperingatkan Anda!