Search This Blog

Friday, April 15, 2016

Tarian Bumi


Judul: Tarian Bumi
Pengarang: Oka Rusmini
Cetakan: 2, Juni 2013
Tebal: 182 hlm
Sampul: Suprianto        
Penerbit: GRamedia Pustaka Utama  
   


  18002742

Bagi orang luar, Bali adalah sebuah eksotisme nan indah di tengah-tengah kepulauan Indonesia. Bali bagi warga nonBali adalah tempat berpadunya budaya agung nan luhur dengan kehidupan manusia keseharian, yang keduanya seperti selalu bisa berjalan selaras seiring sejalan. Menyaksikan keseharian warga Bali dengan segala sesaji, tari-tarian, dan penghormatannya kepada alam sering kali membuat kita iri. Betapa damai dan bersahajanya kehidupan mereka. Bali, bagi kita yang orang luar ini, menjadi teladan dari masyarakat yang masih mampu mempertahankan adat serta tradisi leluhurnya di masa modern yang hiruk pikuk ini. Menuju ke Bali seperti menuju pada kedamaian pikiran, jiwa, dan hati. Pertanyaannya, bagaimana pandangan orang Bali sendiri terhadap adat-budaya Bali?

 "... begitu banyak orang yang merasa lebih bangsawan daripada bangsawan yang sesungguhnya." (hlm. 174)

                Dalam Tarian Bumi, penulis berupaya memandang Bali dari sudut orang dalam—terutama dari sudut pandang perempuan Bali. Melalui tiga generasi perempuan Bali, Oka Rusmini mengisahkan kembali apa yang dulu pernah diangkat oleh sastrawan-sastrawan Indonesia angkatan Balai Pustaka, yakni pertentangan antara generasi tua dengan adat istiadat yang kolot versus generasi yang lebih muda dengan berbagai pandangan barunya. Apakah selamanya adat yang kolot itu buruk? Belum tentu. Adat istiadat adalah bentuk local genius yang dibentuk ratusan bahkan ribuan tahun sehingga sering kali tersembunyi nilai-nilai luhur dalam kekolotannya. Sebaliknya, semua yang berasal dari abad modern belum tentu baik. Dalam Tarian Bumi, penulis mendedahkan dengan cantik tentang ketidaksempurnaan yang lama dan yang baru; dan tiga wanita di buku ini sepertinya hanya mendapatkan yang buruk-buruk saja dari keduanya. 

                “Manusia hidup memiliki keinginan, memiliki mimpi. Itulah yang menandakan manusia itu hidup.” (hlm. 85)


                Luh Sekar, seorang wanita dari kasta sudra, bertekad untuk memperbaiki derajat kehidupannya. Cara tercepat baginya adalah berpindah kelas sosial menuju kasta yang lebih tinggi. Tidak main-main, dia akhirnya berhasil menikah dengan seorang pria bergelar Ida Bagus dari kasta Brahmana—kasta tertinggi dalam masyarakat Hindu tradisional di Bali. Apakah kemudian naik kasta otomatis menjanjikan kebahagiaan? Tentu saja tidak. Dalam kenyataannya, wanita dengan tekat besar itu harus menghadapi cemohan dari mertua yang selalu sinis kepadanya yang berasal dari kasta sudra. Tidak hanya itu, suami yang dahulu diharapkannya dapat menjaga dan mendampinginya malah berselingkuh. Lebih parah lagi, suaminya kedapatan tewas di tempat pelacuran dengan sekujur tubuh penuh luka. Maka semakin berkobarlah kebencian sang ibu mertua kepada Luh Sekar yang menganggap wanita itu tidak becus melayani suaminya. Penderitaannya semakin berlipat-lipat.  

                “Jangan pernah menikah hanya karena kebutuhan atau dipaksa oleh system.” (hlm. 18)

                Luh Sekar yang telah naik kasta berganti nama menjadi Jero Kenanga memiliki satu orang anak gadis bernama Ida Ayu Telaga. Kepada putri semata wayangnya inilah Jero Kenanga mencurahkan perhatiannya. Ia bertekad akan membuat putrinya mencapai apa-apa yang dulunya gagal dicapainya. Tetapi, apa yang menurut kita baik untuk seseorang belum tentu baik bagi yang bersangkutan.  Kasih sayang sang meme (ibu) yang lebih terasa seperti paksaan membuat Telaga muak. Segalanya tentangnya seolah selalu diatur oleh meme-nya, mulai dari cara berpakaian, dandan, berperilaku, hingga kehidupan percintaan. Sampai pada suatu titik, kemuakan itu jebol juga. Kepada ibunya, Telaga berkata akan menikah dengan pemuda pilihannya yang beradal dari kasta sudra. Maka semakin jungkir baliklah dunia Jero Kenanga, siapa sangka pengorbanannya untuk naik kasta malah dihancurkan oleh putrinya sendiri.

                “Harus bisa kaubedakan rasa kagum dan mencintai dengan baik. Kalau itu tidak bisa kaubedakan, jangan coba-coba memilih laki-laki untuk tempat bergantung.” (hlm. 111)

                Apakah turun kasta juga menjamin kebahagiaan? Ternyata juga tidak demikian. Mertua Telaga berbalik sinis kepada Telaga karena gadis brahmana itu dianggap terlalu manja dan tidak cocok hidup sebagai seorang sudra. Meskipun demikian, Telaga tidak menyerah. Dari seorang putri yang selalu dilayani, dia bertekat menjadi seorang istri yang memasak sendiri, membersihkan rumah, mencuci baju, pokoknya segala pekerjaan kasar yang membuat tangannya tidak lagi halus. Semua demi cintanya kepada sang suami. Cinta sejati memang dahsyat, meskipun kadang cinta saja tidak cukup kuat untuk melawan adat. Entah karma apa yang menyertai keluarga ini, Telaga pun mengalami penderitaanya sendiri. Semua perempuan di keluarga besar Pidada sepertinya memang dikutuk untuk menderita, apa pun pilihan yang mereka ambil. 

                “Kau harus sadar, kebahagiaan itu tidak memiliki pakem. Tidak ada kriteria idealnya. Setiap orang memiliki warnanya yang berbeda, yang dia dapatkan dari pengalaman hidup.” (hlm. 126)

Jelas sekali penulis hendak mengkritik adat Patriakal di Bali yang mungkin menurutnya memang sudah keterlaluan. Tidak ada laki-laki yang baik di buku ini. Dari suami mertua Jero Kenanga hingga suaminya, semuanya adalah pria-pria bejat yang suka mengumbar nafsu. Satu-satunya pria baik, yakni si Wayan, ternyata hanya muncul sebentar. Lelaki lain yang mungkin mendekati sosok baik adalah Ida Bagus Tugur, kakeknya Telaga. Tapi, pria itu pun ternyata SPOILER. Sosok pria seperti benar-benar diasingkan di buku ini. Saya pernah mendengar—entah benar atau keliru tapi jika keliru mohon saya diralat—bahwa di Bali zaman dulu si wanitalah yang harus bekerja: berdagang, bertani, memasak, dan mencari uang. Sementara, para suami akan menghabiskan pagi dengan bermain sabung ayam, kumpul-kumpul dengan sesama pria penggangguran, lalu menjalankan sejumlah upacara, dan pulang ke rumah untuk menggauli sang istri yang telah lelah. Benar-benar nyesek deh nasib kaum perempuan Bali di buku ini.

“Di dalam hidup ini kita sering menginginkan peran orang lain. Kita selalu merasa dengan menjadi orang lain kehidupan jadi lebih mudah. Nyatanya? Bermimpi untuk jadi orang lain jusrtu membuat kita semakin menyulitkan dari kita dan membenci peran yang kita mainkan, yang sudah menjadi hak kita.”  (hlm 135)

Kentara sekali di Tarian Bumi yang hampir seluruh pelaku utamanya adalah wanita, yang sekaligus juga menjadi korban utama,  bahwa penulis hendak mengangkat nasib perempuan Bali yang ternyata tak seindah seperti dalam lukisan-lukisan penari Bali. Dengan setting Bali nan kental, novel ini dengan halus akan membawa pembaca ke tengah-tengah jantung dari tradisi masyarakat Bali, untuk kemudian menunjukkan bahwa apa yang terlihat indah dari luar belum tentu terasa indah juga dari dalam. Melalui tiga generasi wanita Pidada, Oka Rusmini menyajikan sebuah sastra yang melawan secara halus, dan di saat yang sama menyeret pembacanya dalam eksotisme budaya Bali. A worth read book!

No comments:

Post a Comment