Judul: Tarian Bumi
Pengarang: Oka Rusmini
Cetakan: 2, Juni 2013
Tebal: 182 hlm
Sampul: Suprianto
Penerbit: GRamedia Pustaka Utama
Bagi orang luar, Bali adalah sebuah eksotisme nan indah di
tengah-tengah kepulauan Indonesia. Bali bagi warga nonBali adalah tempat berpadunya
budaya agung nan luhur dengan kehidupan manusia keseharian, yang keduanya
seperti selalu bisa berjalan selaras seiring sejalan. Menyaksikan keseharian
warga Bali dengan segala sesaji, tari-tarian, dan penghormatannya kepada alam
sering kali membuat kita iri. Betapa damai dan bersahajanya kehidupan mereka.
Bali, bagi kita yang orang luar ini, menjadi teladan dari masyarakat yang masih
mampu mempertahankan adat serta tradisi leluhurnya di masa modern yang hiruk
pikuk ini. Menuju ke Bali seperti menuju pada kedamaian pikiran, jiwa, dan hati.
Pertanyaannya, bagaimana pandangan orang Bali sendiri terhadap adat-budaya
Bali?
"... begitu banyak orang yang merasa lebih bangsawan daripada bangsawan yang sesungguhnya." (hlm. 174)
Dalam Tarian Bumi, penulis berupaya memandang
Bali dari sudut orang dalam—terutama dari sudut pandang perempuan Bali. Melalui
tiga generasi perempuan Bali, Oka Rusmini mengisahkan kembali apa yang dulu
pernah diangkat oleh sastrawan-sastrawan Indonesia angkatan Balai Pustaka,
yakni pertentangan antara generasi tua dengan adat istiadat yang kolot versus
generasi yang lebih muda dengan berbagai pandangan barunya. Apakah selamanya
adat yang kolot itu buruk? Belum tentu. Adat istiadat adalah bentuk local genius yang dibentuk ratusan
bahkan ribuan tahun sehingga sering kali tersembunyi nilai-nilai luhur dalam
kekolotannya. Sebaliknya, semua yang berasal dari abad modern belum tentu baik.
Dalam Tarian Bumi, penulis mendedahkan
dengan cantik tentang ketidaksempurnaan yang lama dan yang baru; dan tiga
wanita di buku ini sepertinya hanya mendapatkan yang buruk-buruk saja dari
keduanya.
“Manusia hidup memiliki keinginan, memiliki
mimpi. Itulah yang menandakan manusia itu hidup.” (hlm. 85)
Luh Sekar,
seorang wanita dari kasta sudra, bertekad untuk memperbaiki derajat
kehidupannya. Cara tercepat baginya adalah berpindah kelas sosial menuju kasta
yang lebih tinggi. Tidak main-main, dia akhirnya berhasil menikah dengan
seorang pria bergelar Ida Bagus dari kasta Brahmana—kasta tertinggi dalam
masyarakat Hindu tradisional di Bali. Apakah kemudian naik kasta otomatis
menjanjikan kebahagiaan? Tentu saja tidak. Dalam kenyataannya, wanita dengan
tekat besar itu harus menghadapi cemohan dari mertua yang selalu sinis
kepadanya yang berasal dari kasta sudra. Tidak hanya itu, suami yang dahulu
diharapkannya dapat menjaga dan mendampinginya malah berselingkuh. Lebih parah
lagi, suaminya kedapatan tewas di tempat pelacuran dengan sekujur tubuh penuh
luka. Maka semakin berkobarlah kebencian sang ibu mertua kepada Luh Sekar yang
menganggap wanita itu tidak becus melayani suaminya. Penderitaannya semakin
berlipat-lipat.
“Jangan pernah menikah hanya karena
kebutuhan atau dipaksa oleh system.” (hlm. 18)
Luh
Sekar yang telah naik kasta berganti nama menjadi Jero Kenanga memiliki satu
orang anak gadis bernama Ida Ayu Telaga. Kepada putri semata wayangnya inilah
Jero Kenanga mencurahkan perhatiannya. Ia bertekad akan membuat putrinya
mencapai apa-apa yang dulunya gagal dicapainya. Tetapi, apa yang menurut kita
baik untuk seseorang belum tentu baik bagi yang bersangkutan. Kasih sayang sang meme (ibu) yang lebih terasa
seperti paksaan membuat Telaga muak. Segalanya tentangnya seolah selalu diatur
oleh meme-nya, mulai dari cara
berpakaian, dandan, berperilaku, hingga kehidupan percintaan. Sampai pada suatu
titik, kemuakan itu jebol juga. Kepada ibunya, Telaga berkata akan menikah
dengan pemuda pilihannya yang beradal dari kasta sudra. Maka semakin jungkir
baliklah dunia Jero Kenanga, siapa sangka pengorbanannya untuk naik kasta malah
dihancurkan oleh putrinya sendiri.
“Harus bisa kaubedakan rasa kagum dan
mencintai dengan baik. Kalau itu tidak bisa kaubedakan, jangan coba-coba
memilih laki-laki untuk tempat bergantung.” (hlm. 111)
Apakah
turun kasta juga menjamin kebahagiaan? Ternyata juga tidak demikian. Mertua
Telaga berbalik sinis kepada Telaga karena gadis brahmana itu dianggap terlalu manja
dan tidak cocok hidup sebagai seorang sudra. Meskipun demikian, Telaga tidak
menyerah. Dari seorang putri yang selalu dilayani, dia bertekat menjadi seorang
istri yang memasak sendiri, membersihkan rumah, mencuci baju, pokoknya segala pekerjaan
kasar yang membuat tangannya tidak lagi halus. Semua demi cintanya kepada sang
suami. Cinta sejati memang dahsyat, meskipun kadang cinta saja tidak cukup kuat
untuk melawan adat. Entah karma apa yang menyertai keluarga ini, Telaga pun
mengalami penderitaanya sendiri. Semua perempuan di keluarga besar Pidada
sepertinya memang dikutuk untuk menderita, apa pun pilihan yang mereka ambil.
“Kau harus sadar, kebahagiaan itu tidak
memiliki pakem. Tidak ada kriteria idealnya. Setiap orang memiliki warnanya
yang berbeda, yang dia dapatkan dari pengalaman hidup.” (hlm. 126)
Jelas sekali penulis hendak
mengkritik adat Patriakal di Bali yang mungkin menurutnya memang sudah
keterlaluan. Tidak ada laki-laki yang baik di buku ini. Dari suami mertua Jero
Kenanga hingga suaminya, semuanya adalah pria-pria bejat yang suka mengumbar
nafsu. Satu-satunya pria baik, yakni si Wayan, ternyata hanya muncul sebentar.
Lelaki lain yang mungkin mendekati sosok baik adalah Ida Bagus Tugur, kakeknya
Telaga. Tapi, pria itu pun ternyata SPOILER. Sosok pria seperti benar-benar
diasingkan di buku ini. Saya pernah mendengar—entah benar atau keliru tapi jika
keliru mohon saya diralat—bahwa di Bali zaman dulu si wanitalah yang harus
bekerja: berdagang, bertani, memasak, dan mencari uang. Sementara, para suami
akan menghabiskan pagi dengan bermain sabung ayam, kumpul-kumpul dengan sesama pria
penggangguran, lalu menjalankan sejumlah upacara, dan pulang ke rumah untuk
menggauli sang istri yang telah lelah. Benar-benar nyesek deh nasib kaum
perempuan Bali di buku ini.
“Di dalam hidup ini kita sering menginginkan peran orang lain. Kita
selalu merasa dengan menjadi orang lain kehidupan jadi lebih mudah. Nyatanya? Bermimpi
untuk jadi orang lain jusrtu membuat kita semakin menyulitkan dari kita dan
membenci peran yang kita mainkan, yang sudah menjadi hak kita.” (hlm 135)
Kentara sekali di Tarian Bumi yang hampir seluruh pelaku
utamanya adalah wanita, yang sekaligus juga menjadi korban utama, bahwa penulis hendak mengangkat nasib
perempuan Bali yang ternyata tak seindah seperti dalam lukisan-lukisan penari
Bali. Dengan setting Bali nan kental, novel ini dengan halus akan membawa
pembaca ke tengah-tengah jantung dari tradisi masyarakat Bali, untuk kemudian
menunjukkan bahwa apa yang terlihat indah dari luar belum tentu terasa indah
juga dari dalam. Melalui tiga generasi wanita Pidada, Oka Rusmini menyajikan
sebuah sastra yang melawan secara halus, dan di saat yang sama menyeret
pembacanya dalam eksotisme budaya Bali. A
worth read book!
No comments:
Post a Comment