Judul: Adam Ma’rifat
Pengarang: Danarto
Penyunting: Tia Setiadi
Penyelars Akhir: Muhajjah Saratini
Sampul: 112 hlm
Tebal: Amalina
Cetakan: Pertama, November 2017
Penerbit: Basabasi
Pengarang: Danarto
Penyunting: Tia Setiadi
Penyelars Akhir: Muhajjah Saratini
Sampul: 112 hlm
Tebal: Amalina
Cetakan: Pertama, November 2017
Penerbit: Basabasi
Bagi teman-teman yang berkuliah di jurusan Sastra Indonesia serta para pecinta sastra, nama Danarto dengan kumcer Adam Ma’rifat-nya memiliki tempat tersediri. Kita mungkin bisa lupa cerpen yang pernah kita baca lima atau sepuluh tahun lalu, namun sepertinya susah untuk melupakan kumcer yang satu ini. Jika disebut judulnya, mereka yang pernah membaca buku ini pasti akan langsung terkenang pada betapa eksmerimentalnya (meminjam kata Pak Edi dan Basabasi) cerpen-cerpen di buku ini. Satu cerpen di buku ini bahkan memiliki judul yang tak bisa diketik dengan mesin ketik zaman dulu karena berupa not balok musik. Danarto mungkin harus menggambarnya sendiri. Luar biasa, sejak kapan judul cerpen digambar dan bukannya ditulis?
Sebagaimana di Berhala dan Godlob yang berat dengan aroma ketuhanan, buku ini juga sama. Tetapi, menyitir Makhfud Ikhwan dalam pengantarnya untuk edisi terbaru ini, cerpen-cerpen dalam Adam Ma’rifat memiliki tingkat kesufian yang tertinggi. Allah, Allah, Allah ...mungkin inilah inti dari setiap cerpen di buku ini. Bahwa Dia ada di mana-mana, mampu mewujud dalam apa saja yang mungkin kita tak pernah bisa membayangkannya. Takdirnya meliputi segalanya, Dia mengadakan sekaligus meniadakan. Dia adalah udara, air, pohon pisang, atmosfer, penari, gamelan, gunung, bumi, jagad raya itu sendiri. Allah meliputi segala sesuatu. Dan ini digambarkan dengan sedemikian indah dalam “Mereka Toh Tidak Mungkin Menjaring Malaikat” dan “Megatruh.”
Pertanyaan-pertanyaan ini bisa berbalik kepada si penanya karena
Sapardi Djoko Damono pernah bilang untuk jangan bertanya kepada pengarang soal
apa yang mendorong seorang pengarang melahirkan sebuah cerpen karena jawabannya
bisa saja jujur, bisa pula bohong, bisa pula berbeda-beda ketika ditanyakan di
waktu yang berbeda. Lagi pula, cerpen adalah sebuah karya kreatif dan tentu
saja tak ada larangan untuk membuat cerpen seperti yang ditulis Danarto ini.
Mengapa menulis cerpen yang ‘aneh’ begini? Tanyamu, “Mengapa tidak?” jawab si
penulis. Duh panjang ya. Mungkin, mungkin loh ya, Danarto menulis cerpen unik
ini dengan alasan untuk “membebaskan kata dari beban pengertian” sebagaimana
yang pernah dilakukan penyair Sutardji Calzoum Bachri.
This comment has been removed by the author.
ReplyDelete