Search This Blog

Showing posts with label Buku Anak. Show all posts
Showing posts with label Buku Anak. Show all posts

Monday, December 21, 2015

Detektif Cilik: Pelari Maraton Yang Curang & Kasus-Kasus Lain

Detektif Cilik Hawkeye Collins & Amy Adams: Pelari Maraton Yang Curang & Kasus-Kasus Lain
Pengarang:




18931647



Lamat-lamat, saya masih ingat—dalam masa kecil saya yang jauh dan teduh—ketika menemukan iklan buku ini di majalah Bobo, dan kemudian saya bergegas meminjamnya di sebuah rental bacaan (sekarang sudah tutup, diubah menjadi kafe kekinian yang sama sekali tidak menyuguhkan buku). Sebuah buku petualangan khas anak yang langsung membuat saya terpesona karena penyajiannya yang tak biasa. Saya masih ingat, dulu harus mencari cermin dulu agar bisa membaca bagian akhir dari setiap cerpen yang tersuguh di buku kumcer ini. Sebelum akhirnya saya menemukan cara yang jauh lebih praktis (walau tetap bikin pegel) yakni dengan menghadapkan kertas membelakangi sumber cahaya. Sungguh pengalaman tak terlupakan.

Seri Lima Sekawan, Pasukan Mau Tahu, Trio Detektif, STOP, dan Lupus adalah pembentuk masa kecil saya. Sebagian mereka menjadikan saya menyukai petualangan (meskipun baru dalam tahap membaca novel petualangan wkwk) dan sebagian lagi turut menjadikan saya lucu seperti sekarang (*sodorin tas kresek buat yang mau muntah). Tapi, bukan karena saya lucu, tapi karena buku-buku di atas adalah sedemikian istimewa dalam masa kecil beberapa kita. Terkhusus untuk seri Detektik Cilik ini, saya sedemikian terkesan membaca tulisan dengan teknik unik seperti di buku ini. Belum pernah sebelumnya saya menemukan buku dengan ending yang harus ditebak sendiri oleh pembaca, dengan kunci jawaban yang repot-repot harus mencari cermin dulu agar bisa membacanya.

Mungkin, dulu membaca buku ini memang repot: tangan pegal atau membaca sambil miring-miring manyun di depan cermin. Tetapi, itulah rupanya yang membuat buku ini tak terlupakan. Ini juga yang membuat membaca buku ini terasa seru dan menyenangkan di era 90-an yang minim hiburan media social kecuali deretan kartun di hari Minggu yang selalu ditunggu. Tidak hanya ditantang untuk membaca terbalik, kita juga diajak untuk menebak si pelaku dengan mengamati gambar sketsa yang dibuat oleh Hawkeye. 

Untuk mengingatkan, Detektif Cilik adalah Amy dan Hawkeye yang masih berusia 12 tahun. Keduanya tinggal di sebuah kota kecil bernama Lakewood Hills dan telah berulang kali membantu kepolisian lokal dalam memecahkan kasus. Untuk memperkenalkan keduanya, seri ini—khas buku cerita anak-anak jadul—menampilkan biodata singkat keduanya di halaman-halaman awal sehingga pembaca baru bisa membacanya secara acak. Hawkeye adalah julukan bagi Christopher Collins yang memiliki kecermatan luar biasa dalam memperhatikan hal-hal sederhana yang kadang diabaikan orang. Dia juga jago membikin sketsa tentang lokasi kejadian—yang kemudian terbukti sangat bermanfaat dalam membantu penyelidikan.

Kenapa digambar? Bukannya difoto lebih praktis dan cepat? Terang saja karena buku ini ditulis tahun 1984. Waktu itu, kamera digital jelas belum ada, hanya ada kamera dengan negatif film yang harganya pun masih terhitung mahal. Tidak mungkin anak-anak SD bawa kamera mahal kemana-mana bukan? Lagipula, Hawkeye lewat gambarnya mengajarkan kepada kita tentang pentingnya proses, tentang bermanfaatnya catatan (atau dalam hal ini gambar sketsa), dan sekaligus mengajak pembaca belajar membuat gambar sketsa. Detektif kedua adalah Amy Adams yang lincah dan atletis. Dia jagonya olahraga plus pintar matematika; perpaduan elok yang terbukti banyak membantu mereka dalam menyelidiki kasus-kasus aneh. 

Kedua anak ini, anehnya, selalu berada di waktu dan tempat yang tepat, yakni ketika terjadi sebuah kasus yang melibatkan misteri atau ketika ada orang yang hendak menipu teman-teman keduanya. Biasanya, Amy yang akan berpikir sementara Hawkeye yang segera menggambar sketsa dari lokasi kejadian. Metode ini masih dipakai oleh kepolisian dalam menyelidiki TKP (walau sekarang cukup dengan memotretnya semata), yakni mengambil gambar dari lokasi kejadian untuk kemudian didalami secara lebih teliti di laboratorium atau di markas besar.  Secara tidak langsung, teknik sketsa Hawkeye ini mengajak pembaca untuk fokus pada bukti dan mengabaikan gangguan-gangguan yang masih berupa dugaan atau prasangka. Inilah cara yang paling menyenangkan untuk mengajarkan keterampilan berpikir secara sistematis kepada anak-anak. Semoga, kita masih bisa menemukan dan membaca buku-buku bagus tapi sudah langka seperti ini di pasaran.

Friday, November 6, 2015

Kumpulan Dongeng Khas dari Negeri Jerman

Judul: Kumpulan Dongeng Khas dari Negeri Jerman
Penyusun: Annisaa T. Kusumadewi
Penyunting: Mahadewa Adiseta
Cetakan: Pertama, Oktober 2015
Tebal: 144 hlm
Penerbit: Saufa Kid




Menjadi baik atau buruk adalah pilihan. Namun, balasan dari keduanya sangatlah berbeda." (hlm 63)

Dongeng-dongeng seperti 'Itik Buruk Rupa', 'Cinderella', dan 'Hansel and Gretel' telah begitu dikenal di penjuru dunia. Kita melewatkan masa kecil dengan membaca kisah-kisah ajaib tersebut, kemudian membaca versi komiknya, menonton versi kartun Disneynya, hingga membaca/menonton adaptasi dari dongeng-dongeng termahyur asal Eropa ini. Dari kisah-kisah negeri jauh itulah kita dulu diperkenalkan dengan kekuatan berbuat baik, hebatnya kesetiaan, serta agungnya ketekunan. Di sisi lain, dongeng-dongeng ini juga memunculkan stereotipe negatif terhadap beberapa hal, seperti ibu tiri yang seolah semuanya jahat, penyihir yang suka menangkap anak kecil, serta angkernya hutan. Kehidupan, selalu ada baik dan buruknya. Selama hidup, kita menjalani banyak hal untuk kemudian belajar lebih bijak dan dewasa. Tapi, dengan membaca atau mendengar dongeng, kita juga bisa belajar.

Friday, December 26, 2014

Petualangan di Sirkus Asing

Judul : Petualangan di Sirkus Asing
Pengarang : Enyd Blyton
Penerjemah : Agus Setiadi
Cetakan : Ketiga, 2011

Penerbit : Gramedia Pustaka Utama


6786332


Enid Blyton adalah seorang pengarang buku petualangan anak-anak yang memahami indahnya petualangan dan serunya kehidupan di masa kanak-kanak. Melalui kepiawaiannya dalam menulis cerita, pengarang Inggris satu ini mampu menangkap dengan sangat cekatan kisah-kisah seperti apa yang ingin dibaca (dan diimpikan) oleh banyak anak-anak. Tidak heran kalau kemudian karya-karyanya begitu dicintai para pembaca yang pernah membacanya saat masih kecil atau remaja dulu, bahkan banyak orang dewasa yang membacanya ulang (maupun baru membacanya saat dewasa) hanya untuk sekadar bernostagia kembali mengenang masa kecilnya yang indah. Saya sangat berharap, akan lebih banyak anak-anak yang membaca seri petualangan Lima Sekawan atau seri Petualangan karangan Enyd Blyton ini sehingga masa kecilnya sempat tersentuh oleh serunya petualangan yang sangat menyenangkan.

Petualangan di Sirkus Asing adalah buku ketujuh dari seri Petualangan karya Enyd Blyton. Saya dulu membaca versi Inggrisnya (terbitan tahun 1960-an) dengan kertas yang sudah lapuk dan menguning. Tapi, kala itu, petualangan Jack, Lucy Ann, Phillip, Dinah, dan Kiki begitu menariknya sehingga saya sama sekali tidak keberatan dengan kondisi kertas yang jadul, yang penting bahasa Inggrisnya enak dibaca. Saya ingat membaca seri ini melompat-lompat karena sangat susah mencari buku-buku tua ini di perpustakaan kampus UNY. Ketika akhirnya saya berkesempatan menemukan buku ini dalam bahasa Indonesia dalam sebuah event pameran buku, maka tanpa pikir panjang langsung saya sambar. Kelebatan memori saat dulu saya membaca novel ini langsung membanjiri pikiran. Betapa dulu, saya sempat begitu terpesona pada sebuah buku, dan buku ini adalah salah satunya.

Petualangan di Sirkus Asing bisa dibilang sebuah judul yang membohongi pembaca. Kenapa begitu, karena peran sirkus di sini hanya seperti “numpangg lewat” saja. Sejatinya, petualangan Jack dan kawan-kawan jauh lebih seru ketimbang hanya di sirkus. Petualangan kali ini melibatkan seorang pengeran yang diculik, persekongkolan politik di sebuah negeri asing, serta petualangan menjelajahi lorong-lorong rahasia di sebuah puri kuno yang jauh dari Inggris. Bill (dari buku sebelumnya pembaca tahu bahwa dia lalu menikah dengan Ibu Cunningham) mendapat tugas untuk mengawasi Guss, seorang anak laki-laki gondrong yang sangat menyebalkan, cenggeng, sekaligus suka menyuruh-nyuruh. Tidak ada yang tahu siapa sebenarnya anak itu, yang jelas anak-anak tidak suka dengan keberadaannya yang dirasa telah mengganggu liburan mereka.

Tapi, siapa sangka keberadaan Guss malah menyeret anak-anak dalam sebuah petualangan baru yang benar-benar berbeda. Malam ketika mereka menginap di Pondok Batu, segerombolan orang asing diam-diam datang dan menyekap Bill dan Ibu Cunningham, lalu meringkus dan menculik anak-anak. Hanya Jack yang selamat karena waktu itu dia tengah menyelinap ke luar untuk mengamati satwa liar. Melihat kawan-kawannya ditangkap, Jack bersama Kiki pun mengikuti komplotan penculik itu hingga akhirnya mereka tiba di sebuah negeri asing bernama Tauri Hessia. Tanpa sadar, anak-anak telah terlibat dalam suatu konflik politis di negara lain yang sangat berbahaya.

Sendirian dan hanya bersama Kiki di negara asing, Jack harus memutar otak demi menyelamatkan teman-temannya. Untunglah ada Kiki, burung kakatua yang pandai menirukan suara apapun. Kiki ibarat tiket emas yang bisa digunakan Jack untuk menyelamatkan kawan-kawannya. Dengan kepandaian Kiki, Jack berhasil bergabung dengan sebuah sirkus keliling yang hendak menuju Borden, lokasi tempat Phillip dan kawan-kawan ditangkap. Petualangan Jack dan Kiki di buku ini adalah yang paling seru. Tidak seperti di buku-buku sebelumnya, Jack ibarat pahlawan di buku ini karena dia harus bergerak sendirian, meskipun kemudian takdir dan juga Kiki membuatnya memiliki teman-teman baru di sirkus yang kelak akan banyak memberikan bantuan kepadanya. Berhasilkan Jack menyelamatkan teman-temannya dan Guss? Mari bernostalgia membaca lagi kisah-kisah petualangan karangan Enyd Blyton ini.

Membaca buku ini, pembaca akan diajak bernostalgia ke tahun 1990-an, masa-masa ketika petualangan anak-anak benar-benar bersifat fisik. Main ke sawah, berkemah di depan rumah sambil berpura-pura tengah berpetualangan ala Lima Sekawan, bermain petak umpet, memasuki rumah yang baru dibangun sambil menganggapnya sebuah puri kosong, hingga jalan-jalan ke kebun (yah anggap saja hutan). Kala itu, belum ada media sosial yang mengambil alih sebagain besar porsi kehidupan anak-anak sehingga rata-rata kita bisa tumbuh sebagai orang-orang imajinatis seperi sekarang #eaaa. Untuk terjemahannya, kerasa banget kalau buku ini diterjemahkan oleh Pak Agus Setiadi yang fenomenal itu. Beliau menggunakan teknik pemadanan budaya sehingga banyak muncul kata-kata jadul di buku ini, seperti pondok tetirah dan juga selada (untuk mengartikan salads). Tapi, hal itu malah menjadikan novel ini semakin terasa aroma 90-annya.


Thursday, December 11, 2014

Araminta Spook #3. Frognapped

Judul : Araminta Spook #3. Frognapped
Pengarang : Angie Sage
Tebal : 194 hlm
Cetakan: 1, Oktober 2014
Penerbit : Noura Books

23516925

Saat kau kecil, pernahkah kau merasa sepertinya orang-orang dewasa itu sangaaaaatttt membosankan dan sangggaaaaattt suka menghakimi? Seperti itulah yang tengah dialami Araminta di Spookie House. Saat kepala besi Tuan Horace bergulingan di tangga, bibi Tabby akan berteriak memanggilnya. Saat kelelawar besar Paman Drac hilang, dia juga yang disuruh mencarikan. Dan kali ini, giliran kodok-kodok penari milik Barry Wizzard yang hilang, dan Araminta teteup saja menjadi pihak eh anak yang disalahkan. Yah, mau bagaimana lagi, Araminta memang dasarnya badung sih.

“Apakah kau pernah memperhatikan, saat seseorang jengkel denganmu, mereka selalu memanggil lengkap namamu?” (hlm 6)
Kan, celetukan Araminta selalu saja ngangenin! 

Karena belum ketahuan kemana raibnya kodok-kodok itu, Araminta dan Wanda memutuskan untuk … menjadi detektif anak. Kasus pertama mereka adalah menyelidiki dan mencari tahu misteri hilangnya kodok-kodok Barry. Kecurigaan pertama mengarah kepada Perawat Watkins yang bertugas memberi rehabilitasi kepada Paman Dracul yang masih dalam proses penyembuhan karena kakinya patah saat terjatuh dari tidur bergelantungnya di menara kelelawar (Don’t ask again please, the family is weird indeed, but they are unique!). Dari situ, kecurigaan semakin meluas dengan makin banyaknya karakter yang diperkenalkan Sage. Dasar anak-anak, makin rame malah makin seru kalau kata mereka. Calon tersangka bertambah, dan Araminta serta Wanda malah semakin tertantang memecahkan misteri ini.


Penyelidikan di mulai di Dunia Air Ajaib milik Tuan Old Morris. Kali ini, Araminta dan Wanda mendapatkan musuh pertama mereka yang sebaya, yakni si Nora si-ikut-campur yang adalah putrid dari Old Morris. Berulang kali kedua ayah beranak itu menghalangi penyelidikan dua detektif cilik kita ini, tapi bukan Araminta namanya kalau dia menyerah apalagi takut dan mundur. Dengan keberanian dan rasa ingin tahu yang tinggi—dua keunggulan usia kanak-kanak—keduanya tetap maju melanjutkan penyelidikan. Menerobos ke balik panggung, dikejar hiu berisi hantu, hingga masuk ke lubang gelap di belakang bekas lahan lading jamur. Penyelidikan mereka membuahkan hasil di luar dugaan. Tidak hanya mereka berhasil menemukan katak-katak Tuan Barry, tetapi Araminta dan Wanda juga menemukan milik Tuan Horace yang paling berharga. 

Araminta Spook #2, The Sword in the Grotto

Judul : Araminta Spook #2, The Sword in the Grotto
Pengarang : Angie Sage
Tebal : 144 hlm
Cetakan: 1, Oktober 2014
Penerbit : Noura Books


23516856

Melanjutkan seri pertama, Araminta kembali beraksi dalam seri kedua Pedang Dalam Gua. Kali ini, Araminta tidak bertualang sendirian. Dia sudah punya teman bernama Wanda Wizzard, yang bersama ayah dan ibunya, mereka juga ikut tinggal di Spookie House. Tidak seperti orang dewasa yang menuntut privasi, bagi anak-anak semakin banyak orang maka akan semakin asyik, dan ini disadari betul oleh Angie Sage yang langsung menambahkan 5 penghuni baru ke rumah seram tapi menyenangkan itu. Sekarang Spookie House semakin ramai. Araminta jadi punya partner dalam bertualang, sementara Bibi Tabby dan Paman Drac kini mendapatkan teman baru untuk diajak bergosip dan membicarakan tentang bisnis kotoran kelelawar (iyuhh … please don’t ask, read it yourself).

Dalam seri kedua yang lebih ramai ini, petualangan yang hadir lebih menarik ketimbang yang pertama, dan melibatkan lebih banyak orang. Tapi, Sage masih mempertahankan karakter Araminta yang bikin gemes itu, cuma kali ini, karakter sok tahu dan tidak mau kalah Araminta mulai kelihatan. Karakter asli seseorang mulai terlihat nyata ketika dia berteman akrab dengan orang lain, dan di buku kedua ini, Wanda menjadi semacam tokoh yang mempengaruhi perkembangan karakter Araminta. Yah, namanya juga anak kecil, kalau nggak bandel ya ngak rame.

Ceritanya, Tuan Horace hendak berulang tahun yang ke-500, dan Araminta serta Wanda berencana untuk memberikan hadiah kejutan kepada hantu penunggu Spookie House itu. Tapi, hadiah apa yang tepat diberikan untuk hantu berbaju zirah berusia 500 tahun? Jawabannya muncul secara tidak sengaja ketika keduanya mengikuti ayah Wanda untuk mengantarkan pesanan pupuk kompos ke lading jamur di dekat pantai. Dalam kegiatan keluyuran keduanya ke gua-gua di tepi laut, mereka melihat sebuah pedang tua tergeletak dalam sebuah bilik yang terkurung batu karang. Tidak ada celah untuk masuk ke bilik itu kecuali sebuah pintu rahasia yang entah mengarah kemana. Araminta dan Wanda pun membuat rencana.

Telah dijelaskan di buku ketiga (yang saya kutip di resensi buku pertama *ribet banget lu yon!*) bahwa Spookie House memiliki sebuah  terowongan rahasia. Nah, Araminta dengan sok tahunya lalu memutuskan bahwa terowongan rahasia itu pasti mengarah ke ruang pedang itu. Maka, dengan membawa segulung benang (benang sangat penting jika kau ingin menjelajahi terowongan rahasia), senter, seransel makanan, dua anak bandel ini nekat menjelajahi terowongan rahasia yang entah kemana ujungnya. Karena ini cerita anak-anak dan kalau terlalu tebal juga tidak baik, Araminta benar. Terowongan itu memang mengarah ke ruang pedang. Tetapi, begitu mereka masuk, pintu jeruji turun dan mengurung keduanya di ruang pedang, dengan air laut yang mengucur dan terus memenuhi ruang rahasia tersebut. Araminta dan Wanda dalam bahaya.

Buku kedua ini mengingatkan saya pada seri Lima Sekawan karya Enyd Blynton. Kalau tidak salah, mereka juga menemukan sebuah lorong rahasia di balik perapian yang mengarah ke lorong pencoleng. Membaca buku ini membuat saya bernostalgia ke masa-masa unyu dulu, ketika hasrat bertualang masih sama besarnya dengan Araminta. Di buku kedua ini pula, pembaca akan mengetahui siapa sebenarnya Tuan Horace dan Edmund, serta kisah tragis keduanya. Tapi jangan khawatir, meski agak berbahaya, buku kedua ini tetap menawarkan percakapan kocak khas antara Araminta dan Wanda, juga celetukan-celetukan Araminta yang suka seenaknya sendiri memutuskan.

Keripik kentang rasa bawang dan keju bisa mambantu berpikir. Aku yakin itu karena setelah kami memakannya, kami tahu harus kemana.
“Kanan,” kataku.
“kiri,” kata Wanda. (hlm. 65)

Berhasilkan keduanya selamat dari ruang pedang? Akankah Tuan Horace mendapatkan hadiah istimewa itu? Jawabannya: YA! Hahahaha. Buku anak-anak, jadi endingnya nggak boleh sad ending dong, apalagi cliffhanger. Menyenangkan sekali menyelesaikan membaca seri kedua ini.


Araminta Spook, My Haunted House

Judul : Araminta Spook, My Haunted House
Pengarang : Angie Sage
Tebal : 130 hlm
Cetakan: 1, Oktober 2014
Penerbit : Noura Books

23516812


Satu hal yang menakjubkan dari para penulis adalah mereka mampu menciptakan karya yang belum pernah kita—para pembaca—memikirkan tentang hal itu sebelumnya, kemudian membuat kita menepuk jidat sendiri sambil berkata, “Ah, sesederhana itu, kenapa tidak terpikirkan sejak dulu!” Sejakseri Septimus Heap, pengarang yang satu ini memang sudah memukau saya dengan caranya sendiri. Angie Sage menulis sebuah novel petualangan sihir yang hampir menyaingi (dan mungkin agak-agak mirip) ke-epik-an Harry Potter tapi tetap dengan cita rasa yang khas, orisinal, dan unik miliknya sendiri. Penulisan mantra dengan huruf kapital ber-font Tebal serta setting Kastel yang magical sungguh unik dan bisa menyeret pembaca melupakan sejenak Harry Potter untuk kemudian masuk dalam dunia Magyk ciptaan Angie Sage. Dan, ketika seorang penulis mempu menyeret para pembaca dalam karya ciptaannya, maka penulis itu bisa dibilang telah berhasil, seperti kisah Araminta berikut ini.

                Seri Araminta Spook merupakan serial buku anak karya Angie Sage. Yup, selain menulis novel fantasi, penulis ini ternyata jago menulis buku anak-anak. Total ada 6 seri (saya lihatnya di Goodreads) dan 3 seri pertama langsung saya lahap dengan rakusnya. Buku pertama, My Haunted House, adalah kisah pembuka. Kita akan diperkenalkan dengan seorang anak kecil yang usil, kreatif, agak bandel, sangat ingin tahu, pemberani, sekaligus tidak mau kalah yang bernama Araminta yang tinggal bersama bibi dan pamannya di sebuah rumah tua berhantu. Dan, judul rumah hantu memang selalu menarik rasa penasaran dan ingin tahu pembaca. Keren sekali penulis memulai serinya dengan judul ini, karena pembaca jadi penasaran untuk membuka dan mencicipi serial ini.

                Pengambaran rumah hantu yang ditinggali Araminta—anehnya—malah saya temukan di buku ketiga serial ini, yakni di Frognapped.

                “Spookie House adalah rumah yang luar biasa besar. Aku tidak tahu jumlah kamar yang ada karena kapan pun aku mulai menghitung, aku yakin beberapa kamar berpindah tempat hanya untuk menggangguku. Sehingga aku harus menghitungnya dua kali atau tidak sama sekali. Kemudian, ada kamar-kamar rahasia, dan aku hanya tahu satu di antaranya karena sudah jelas yang lainnya adalah rahasia. Kamar rahasia yang kutahu berada di tengah-tengah rumah, di akhir sebuah terowongan rahasia, dan kamar itu milik Tuan Horace, salah satu hantu rumah kami.”

                Selain Tuan Horace, masih ada penghuni lain yang tak kasat mata di Spookie House, yakni hantu bocah dari 500 tahun yang lalu yang bernama Edmund. Dan, seperti telah disinggung di atas, masih ada Bibi Tabby dan Paman Dracul (keduanya manusia) yang menjadi semacam wali dari Araminta. Kemana orang tua Araminta? Rupanya jawabannya masih menjadi misteri yang mungkin akan dijawab Sage di buku-buku selanjutnya. Kembali ke topic, bibi dan paman Araminta ini juga tidak kalah nyentriknya. Sang Bibi adalah tipikal wanita Inggris rumahan dan cerewet, sementara Paman Dracul senang sekali dengan kelelawar dan dia tidur di kantong tidur yang digantung terbalik di atas menara. Pria itu juga tidur di siang hari dan bekerja mengantar pupuk di malam hari.

                Cerita bergulir ketika Bibi Tabby memutuskan untuk hendak menjual rumah tua berhantu itu. Bukan, bukan karena seram, tapi karena pemanas model kunonya yang susah sekali dibersihkan sekaligus dioperasikan, serta luasnya bidang rumah yang harus dibersihkan dengan segenap sarang laba-laba dan kotoran kelelawarnya. Araminta yang sangat menyukai Spookie House pun mulai merajut rencana untuk menggagalkan niat bibinya itu. Dengan dibantu oleh pikiran cerdas dan kreatifnya, Araminta merancang sebuah pertunjukan seram untuk menakuti para calon pembeli rumah itu. Berhasilkah dia? Ending dari buku ini sungguh nyeleneh tapi menyenangkan. Senang sekali buku pertama diakhiri dengan manis seperti itu.


                Membaca Araminta Spook ibarat memakan permen sederhana yang manis dan melegakan hati. Bacaan yang memadukan antara hantu,  petualangan, dan orang dewasa selalu membuat anak tertarik, dan Angie Sage tetap mampu membuatnya sederhana tapi penuh warna. Dikisahkan dengan sudut pandang Araminta—yang masih anak-anak—buku ini memang ditujukan untuk anak-anak dan remaja, walau orang dewasa tetap bisa menikmatinya. Sosok kecil Araminta yang lincah, cerdas, kreatif, dan ingin tahu seperti menyadarkan kepada kita betapa setiap anak terlahir dengan rasa ingin tahu yang tinggi. Mereka menjalani dan menikmati hidup apa adanya, dengan segala keajaiban di dalamnya. Sesuatu yang semakin terkikis menjelang kita bertambah dewasa.

Monday, January 27, 2014

Aesop (Aesop in Fableland)



Judul : Aesop (Aesop in Fableland)
Pengarang : Andrew Bailey
Penerjemah : Imam Risdiyanto
Cetakan: 1, 2004
Tebal : 80 hlm
Penerbit : Liliput



Cover: Versi amazon karena saya tidak bisa menemukan foto versi penerbit Liliput di internet


                Nama Aesop sudah begitu melengenda di dunia sebagai seorang pendongeng dari era Yunani kuno yang suka mengisahkan fabel-fabel atau kisah-kisah binatang yang berisi kebijakan kehidupan. Tokoh yang diperkirakan hidup sekitar abad ke enam sebelum Masehi ini dikenal sebagai pendongeng yang piawai memperlihatkan kebijaksanaan dan kebodohan manusia melalui cerita-cerita binatang. Melalui fabel ini pula ia memberi pelajaran moral kepada para penyimak dongeng binatangnya. Dalam berbagai literatur, Aesop konon dilahirkan sebagai seorang budak di kota Thrace, Yunani, sebelum akhirnya ia dibebaskan oleh tuannya saat dewasa karena kebijaksanaan yang dimiliki Aesop. Kebiasaan waktu itu mensyaratkan seorang budak yang hendak dibebaskan untuk tinggal sementara di pulau Samos. Setelah merdeka, ia berkeliling negeri sambil mengisahkan dongeng-dongengnya sebelum akhirnya terbunuh ketika menggunjungi Delphi.

                Tidak ada catatan tertulis yang menyebut bahwa Aesop pernah mencatat fabel-fabelnya. Kumpulan Fabel Aesop yang kita baca sekarang merupakan kumpulan kisah yang disampaikan dari mulut ke mulut selama ratusan tahun, dari orang-orang yang konon pernah menyimak Aesop mendongengkan fabel-fabelnya. Baru 200 tahun setelah kematiannya, fabel-fabel ini muncul dalam bentuk tertulis. Jadi jelas bahwa yang mengumpulkan adalah para penerusnya, bukan Aesop sendiri. Sejak itulah, berbagai versi dari fabel-fabel ini muncul, dan lestari sampai saat ini.

                Karena minimnya informasi tentang kehidupan sang tokoh besar inilah akhirnya Andrew Bailey mencoba menuliskan (dalam versi fabelnya sendiri) bagaimana kisah dibalik penciptaan fabel-fabel Aesop yang termasyur. Dengan mencontek setting cerita Alice in Wonderland, Bailey kemudian menuliskan sebuah buku cantik tentang suatu  hari di masa kecil Aesop, dan terciptalah buku unik ini, Aesop in Fable Land pada tahun 1979. Dalam novel tipis namun sangat hangat dibaca ini, Bailey menceritakan bagaimana Aesop kecil suatu hari secara tidak sengaja terbawa angin ke tempat antah-berantah (tapi settingnya masih di Yunani kuno) dan bertemu dengan orang tua yang bijak. Di negeri ajaib ini, ia mendapati binatang-binatang yang dapat berbicara maupun bertingkah laku seperti manusia. Dan dari merekalah ia akan belajar banyak tentang kehidupan.

                “Kamu tidak perlu duduk di dalam kelas untuk bisa belajar tentang hidup.” (hlm 11)    
  
Dalam awal perjalanan, Aesop dan si orang tua dihadang oleh angin badai yang sangat kuat. Keduanya pun merapatkan mantel hangatnya agar tidak kabur terbawa angin. Sekejap kemudian, matahati tiba-tiba bersinar  terik, dan Aesop pun segera melepaskan mantel hangatnya karena kepanasan. Inilah kebijakan yang pertama. Ternyata angin dan matahari tengah bertaruh untuk melihat siapa di antara keduanya yang bisa melepaskan mantel dari badan Aesop. Angin menghembus dengan kuat agar mantel Aesop terlepas, tapi dia gagal. Giliran matahari yang dengan santainya menyinari Aesop hingga kepanasan, dan Aesop pun melepas mantelnya. Matahari yang menang. Angin memaksa, sementara matahari membujuk.

“ … bujukan seringkali lebih kuat daripada paksaan.” (hlm 16)

Di perjalanan selanjutnya, mereka melihat perlombaan lari antara kelinci dan kura-kura. Bisa ditebak, kura-kuralah yang menang karena dia tekun bergerak walau sedikit demi sedikit. Kelinci yang telanjur sombong akhirnya tidur dulu saat lomba, berpikiran bahwa ia akan berhasil menyusul kura-kura. Faktanya, kura-kura yang sampai terlebih dahulu. Dari kisah ini, Aesop mendapat pelajaran ketiga:

“Tidak selalu yang tercepat, yang terkuat, atau yang terbesarlah yang akan menang. Dengan perlahan dan terus-menerus, sering kali kita bisa memenangkan balapan.” (hlm 24).

Berikutnya, mereka bertemu dengan sekelompok binatang yang sedang muram. Mereka adalah kambing, buruk gagak, anjing, dan rusa besar. Masing-masing datang dengan kisah dan ceritanya masing-masing. Sambil makan, para binatang itu mendapatkan petuah-petuah bijak dari si orang tua tentang berbagai hal, bahwa keserakahan adalah biangnya kehilangan, bahwa keberuntungan tidaklah untuk disombongkan, jangan mengambil lebih dari yang dibutuhkan, dan jangan pernah mempercayai orang yang terlalu memujimu. Aesop, sekali lagi belajar banyak dari sini.

Total ada 10 kisah dalam buku kecil ini. Masing-masing disampaikan dengan begitu hangat dan mengandung pelajaran luhur yang sangat indah. Digambarkan oleh Bailey, dengan cara seperti inilah konon Aesop mendapatkan ilham untuk fabel-fabelnya. Sebuah kisah pendek yang dikisahkan dengan sangat indah. 

Sunday, October 20, 2013

The Spiderwick Chronicles, Rahasia Lucinda



Judul : The Spiderwick Chronicles, Rahasia Lucinda

Pengarang : Tony Diterlizi dan Holly Black

Alih Bahasa : Donna W

Cetakan : 1, Oktober 2004

Halaman : 136 hlm

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama



5556910



                 Sayang sekali saya hanya menemukan buku ketiga dari seluruh seri The Spiderwick Chronicles. Dan, karena cerita utuhnya dipecah-pecah dalam buku yang seuprit-uprit begini, tentu saja saya bingung karena langsung melompat ke buku ketiga. Tiba-tiba saja jared, Mallory, dan Simon memiliki buku Panduan Lapangan Arthur Spiderwick bagi Dunia Fantastis di Sekitarmu, yang adalah semacam buku rahasia tentang mahkluk-mahkluk gaib yang seharusnya tidak boleh diketahui siapapun. Untung saja, saya sudah menonton versi filmnya dua kali, jadi sedikit banyak bisa mengira-ngira ceritanya. 


                Awalnya, Jared menemukan Buku Panduan Lapangan ini, sebuah buku yang ditulis oleh kakak buyutnya, Arthur Spiderwick. Buku ini berisi rahasia terdalam kaum peri. Begitu rahasianya sehingga peri-peri yang mungil itu bisa saja ganas dan tak ragu-ragu membunuh. Arthur Spiderwick, paman buyut mereka dikatakan telah “menghilang” secara misterius, meninggalkan anak keduanya, Lucinda, yang sering berperilaku aneh dan menganggap bahwa ada troll dan gnome dan elf yang mengancam keselamatan diri dan keluarganya. Misteri inilah yang coba diselidiki oleh Jared dan saudara-saudaraya. Mereka sudah memiliki Buku Panduan Lapangan, dan kini seekor brownie terus-menerus menerornya dengan keisengan-keisengan yang parah.


                Ingin mengetahui lebih lanjut, ketiganya lalu sepakat mengunjungi Bibi Lucinda, adik nenek mereka, yang dirawat di rumah sakit jiwa. Orang menganggap Lucinda gila, tapi dari pertemuan itu diketahuilah bahwa Lucinda tidak berbohong. Peri, elf, goblin, troll, dan brownie¸ serta makhluk-makhluk fantastis lainnya itu benar-benar ada. Di kamar perawatan Lucinda, ketiganya bahkan menyaksikan sendiri keberadaan para sprite kecil, yang sepertinya adalah mahkluk-makhluk manis yang tidak berbahaya, tapi ternyata dugaan itu salah.


                “Suatu malam, makhluk- makhluk itu membawakanku sepotong buah—benda kecil—seukuran anggur dan semerah mawar. Mereka berjanji tidak akan menyakiti aku lagi. Betapa bodohnya aku. … Rasanya lebih enak daripada makanan apa pun yang pernah kubayangkan. Mungkin rasanya sama dengan bayanganku tentang rasa bunga. Mungkin rasanya seperti lagu yang tak bisa kaubayangkan judulnya. Setelah itu, makanan manusia—makanan normal—terasa seperti serbuk gergaji dan abu.” (hlm 51).


                Setelah bertemu Lucinda, ketiga mengikuti petunjuk dalam Buku Panduan Lapangan dan berkunjung ke kerajaan elf. Sesuai petunjuk, mereka harus memakai kaus secara terbalik agar bisa melihat makhluk-mahkluk tak terlihat itu. Dan, setelah menemukannya, mereka harus memutar otak untuk menyelamatkan diri dari perangkap serta taktik keji para elf pohon. Dunia fantastis yang indah itu ternyata berbahaya, begitu pula memiliki buku Panduan Lapangan Arthur Spiderwick bagi Dunia Fantastis di Sekitarmu yang juga menjadi incaran raja goblin yang jahat.


                Seri ini tidak bisa dinikmati secara lepas, sebaiknya memiliki 5 seri bukunya, dan membacanya secara berurutan agar mendapatkan sebuah kisah fantastis yang lengkap. Namun, ilustrasi indah di dalamnya bisa mengobati kekecewaan kita yang membacanya secara lepas. Gambaran dan deskripsi tentang mahkluk-mahkluk fantastis dalam buku ini begitu detail, unik, serta eksotis.  Tidak kalah dengan ceritanya. Satu kutipan dari buku ini seharusnya menyentil nurani kita sebagai manusia:



                “Kalian tidak bisa dipercaya. Kalian menghancurkan hutan. Meracuni sungai-sungai, memburu griffin dari langit, dan serpent dari lautan sarang ular-ular itu. Bayangkan saja apa yang akan kalian lakukan jika mengetahui semua kelemahan-kelemahan kami.” (hlm 100 - 101)
 
Target pembaca: Usia 8 tahun ke atas.
Resensi "Rahasia Lucinda" ini disertakan dalam RC yang diadakan oleh Bacaanbzee.wordpress.com