Search This Blog

Monday, December 5, 2016

Membaca Surealisme ala Danarto dalam Gergasi

Judul: Gergasi
Pengarang: Danarto
Pengantar: Eko Triono
Penyunting: Tia Setiadi
Tebal: 260 hlm
Cetakan: 1, Desember 2016
Penerbit DIVA Press

33106235

Menyelesaikan membaca Gergasi ibarat membaca yang tidak pernah selesai. Selalu ada cerita pendek yang menuntut dibaca ulang dan dibaca lagi, entah karena saya kurang mengerti isinya atau pun karena ada sesuatu yang serasa berharga yang saya luput menangkapnya saat pembacaan yang pertama. Dalam beberapa cerpen, Danarto memperlihatkan nuansa religius yang cukup kental, sementara di banyak cerpen lain, aroma surealis yang pekat menjadikan cerpen-cerpennya sedemikian pelik untuk dipahami secara mudah. Yah, namanya juga aliran surealis jadi beberapa hal yang tidak pernah padu sengaja dipertemukan oleh Danarto lewat karyanya. Maka akan kita temukan di kumcer ini: dua malaikat yang menculik seorang ayah, semut yang mengusung jenasah, pohon-pohon yang bermusyawarah, serta ibu yang menjelma di mana-mana.

Peringatan pertama tentang keunikan Gergasi saya dapat dari Mbak Ajjah, yang mentok di cerpen ketiga. Peringatan selanjutnya datang dari Goodreads, yang menyebut karya ini sesuatu yang diluar rasional, melebihi kewajaran, dan itu yang menjadikan cerpen-cerpennya semakin berkesan. Bahkan saat mengecek situs buku itu untuk cari ide bikin ulasan, masih sedikit sekali ulasan di buku ini. Lebih banyak pembaca yang hanya kasih bintang tinggi tanpa kasih alasan mengapa buku ini memang bagus. Bahkan ada komentar yang berbunyi: Danarto berhasil membuatku ga berpikir keras untuk bisa memahami tujuan, maksud dan makna dari cerita-ceritanya. Great Job! Komentar mengambang seperti ini malah makin bikin baper. Saya merasa semacam butiran capek yang tidak berharga dengan ilmu susastra yang teramat kecilnya. Kenyataannya, saya memang masih mencoba belajar untuk menikmati karya sastra di buku ini. 

Sebuah tulisan salah satunya adalah refleksi dari bagaimana penulis memandang dunia dari sudut pandangnya. Gaya seperti dalam Gergasi inilah yang sepertinya digunakan oleh Danarto: amat surealis dengan nuansa religi yang seperti memercik kecil namun nyala di pinggir-pinggirnya. Ledakannya dimulai di awal, kemudian pembaca jadi penasaran, sebelum sampai ke belakang dengan rasa entah lega entah makin penasaran. Tokoh Ayah sepertinya mengambil peran sentral dalam cerpen-cerpen Danarto ini. Ayah yang bisa muncul di berbagai kantor pada saat yang bersamaan, Ayah yang jadi rebutan manajer-manajer kantor di Jakarta, Ayah yang membawahi 300 perusahaan yang semuanya sukses, Ayah yang kemudian selalu menghilang dalam dunia surealis pada setiap ending cerita. Apakah Ayah-Ayah di cerpen perlambang kekuatan adikodrati tetapi bukan Tuhan yang hanya kuat di awal tetapi musnah menghilang di belakang? Saya belum dapat kalau yang ini.

Dari dulu, saya selalu iri pada imajinasi para sastrawan yang dengan bebasnya ngepot dalam bercerita tetapi entah bagaimana cerita itu masih enak dibaca. Imajinasi yang liar tetapi indah dan tetap tertata sehingga masih enak diikuti. Seperti yang saya temukan di buku ini. Bayangkan menjaring malaikat, bayangkan malaikat yang membutuhkan manajer, bayangkan pesta yang hanya dihadiri tamu berusia 70 tahun ke atas, bayangkan bagaimana para tamu berusia 70 tahun itu naik membumbung ke atas mengatasi alam raya ... entah apa yang hendak disampaikan penulis, tetapi pasti ada sesuatu. Saya yang remah ini belum bisa menangkapnya, kudu baca lebih banyak karya beliau yang lain rupanya. Imajinasi yang tak terbelenggu namun masih dalam batas-batas teknik penulisan sehingga tetap terasa sah-sah saja cerita seperti ini, inilah salah satu keunggulan buku ini.

Cerpen Balairung adalah yang paling saya sukai di buku ini. Cerita ini khas banget mengingatkan pembaca pada era Orde Baru ketika rezim saat itu dengan giat dan rajin akan mencokok siapa saja yang berani mengusik penguasa. Ki Ageng Tjiptowiro dijemput dari kediamannya oleh PM (Polisi Militer) setelah dalam satu pentas wayangnya, dia menyebut-nyebut tentang korupsi. "Korupsi adalah minuman yang bikin ketagihan. Tidaklah penting kaya atau miskin, punya tahta atau rakyat jelata, seseorang akan melakukannya hanya karena ia ketagihan. Sudah syahdu," demikian bunyi salah satu wayangnya. Pembaca yang pernah merasakan Orde Baru tentu masih ingat dengan beberapa insiden penjemputan para seniman oleh petugas kepolisian karena ucapannya yang agak mengkritik penguasa ketika sedang tampil di atas pentas. Cerpen ini sepertinya menjadi semacam sindiran dari Danarto terkait kasus tersebut. Dan, ternyata cerpen ini ternyata ditulis tahun 1991, masa ketika Orde Baru sedang jaya-jayanya. Danarto menulis cerpen seberani ini? Keren ah beliau.

No comments:

Post a Comment