Search This Blog

Showing posts with label Sastrawan Indonesia. Show all posts
Showing posts with label Sastrawan Indonesia. Show all posts

Friday, December 8, 2017

Merayakan Ketuhanan bersama Danarto lewat Adam Ma’rifat

Judul: Adam Ma’rifat
Pengarang: Danarto
Penyunting: Tia Setiadi
Penyelars Akhir: Muhajjah Saratini
Sampul: 112 hlm
Tebal: Amalina
Cetakan: Pertama, November 2017
Penerbit: Basabasi




Bagi teman-teman yang berkuliah di jurusan Sastra Indonesia serta para pecinta sastra, nama Danarto dengan kumcer Adam Ma’rifat-nya memiliki tempat tersediri. Kita mungkin bisa lupa cerpen yang pernah kita baca lima atau sepuluh tahun lalu, namun sepertinya susah untuk melupakan kumcer yang satu ini. Jika disebut judulnya, mereka yang  pernah membaca buku ini pasti akan langsung terkenang pada betapa eksmerimentalnya (meminjam kata Pak Edi dan Basabasi) cerpen-cerpen di buku ini. Satu cerpen di buku ini bahkan memiliki judul yang tak bisa diketik dengan mesin ketik zaman dulu karena berupa not balok musik. Danarto mungkin  harus menggambarnya sendiri. Luar biasa, sejak kapan judul cerpen digambar dan bukannya ditulis? 

Thursday, August 3, 2017

Kerinduan Danarto dalam Godlob



Judul: Godlob, Kumpulan Cerpen
Pengarang: Danarto
Tebal: 252 hlm
Cetakan: 1, Juli 2017
Sampul: Amalina
Penerbit: Basabasi



Sekali lagi, membaca karya Danarto terbukti membuat saya ‘kebingungan’. Saya menjadi bagian dari sekian banyak pembaca yang berujung pada tanya setelah menyelesaikan membaca Godlob. Cerpen-cerpennya memang cenderung berat, terutama berat dengan aneka perlambang. Dan rasa ‘berat’ itu semakin intens ketika Danarto menjejalkan perlambang Ketuhanan dalam tulisan-tulisan di buku ini. Tokoh-tokohnya begitu liar, dalam artian mereka begitu rindunya ingin bertemu Tuhan sehingga maut pun mereka tantang. Putri Salome bahkan bertindak lebih nekat lagi.  Begitu kuatnya keinginan untuk bisa melihat langsung wajahNya, wanita itu memutuskan untuk menentang perintah-perintahNya. Bagi orang lain, apa yang dilakukan Salome dan Rintrik yang buta mungkin dianggap sebuah kegilaan. Tetapi bagi para pecinta, tindakan-tindakan ini adalah wajar adanya. Semacam penyakit kerinduan akut yang mendera para perindu.

“Orang jantan adalah orang yang mengakui keterbatasannya.” (hlm 44)

1. Godlob
                Cerpen yang diawali dengan muram dan angker ini ternyata tidak berujung pada horor. Justru, lewat darah, luka, dan kematian, Danarto seperti hendak memprotes perang. Dalam perang, selalu rakyat yang menjadi korban, selalu para serdadu yang diumpankan sementara para petinggi hanya duduk-duduk di dalam benteng menyusun strategi. Dan ketika akhirnya seluruh tentara binasa—anak-anak yang masih muda itu, yang pergi berperang hanya sekadar memenuhi kewajiban sebagai warga negara yang baik—tidak ada yang tersisa selain kesedihan bagi yang ditinggalkan. Apalah artinya gelar pahlawan jika keluarga diceraiberaikan dan anak habis tuntas tiada bersisa?

2. JUDUL: JANTUNG TERPANAH
                Cerpen ini unik sejak dari judulnya, yang bukan berupa tulisan tetapi gambar jantung terpanah sebagai perlambang jatuh cinta. Judul unik ini rupanya sesuai dengan isinya, tentang seorang wanita buta yang jatuh cinta kepada Tuhannya. Begitu tajamnya panah asmara itu menancap, sehingga bahkan ancaman maut dari sesamamanusia pun tidak mampu mengoyahkan tekadnya untuk menghadap sang Kekasih Sejati. Cerpen ini memiliki aroma sufisme yang kuat.

Thursday, April 16, 2015

Aksara Amananunna



Judul : Aksara Amananunna
Pengarang : Rio Johan
Penyunting : Pradikha Bestari
Sampul : Boy Bayu
Cetakan : 1, April 2014
Tebal : 240 hlm
Penerbit : KPG

 21947404

                Saya sebenarnya sudah mengincar buku ini beberapa minggu setelah terbit. Niat itu semakin mengebu-gebu ketika buku ini kemudian masuk dalam longlist 10 besar Kusala Sastra Khatulistiwa tahun 2014 dan kemudian Rio Johan dimantapkan oleh Tempo sebagai Tokoh Seni Tempo 2014 untuk Sastra Prosa. Apa yang membuat saya tertarik pada Aksara Amananunna? Lagi-lagi, salahkan Goodreads dengan segala reviewnya yang sekali lagi berhasil mengoda saya. Plus, penulisnya juga masih mahasiswa Teknik Kimia UNS. Itu anak Teknik Kimia aja bisa bikin buku sastra, nah elu yon yang mantan mahasiswa sastra cuma bisa bikin galau #plak. Luar biasa, masih muda dan mampu meraih prestasi sekelas ini adalah hal yang sangat patut diapresiasi. Maka, dengan mencuri-curi pandang, saya pun membaca buku ini di Gramedia. Dengan kaki pegal, saya berhasil membaca satu cerpen. Entah yang mana saya lupa. Dari dari satu cerpen itu, saya tahu kalau buku ini bukan buku sastra biasa. 


Thursday, June 19, 2014

Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas

Judul : Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas
Pengarang : Eka Kurniawan
Penyunting : Mirna Yulistianti
Sampul : Eka Kurniawan
Tebal : 243 hlm
Cetakan : 1, Mei 2014
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

21433310

Satu lagi karya Eka Kurniawan diluncurkan padahal saya sendiri belum selesai membaca Cantik itu Luka. Sebagaimana tertulis di sampul belakang, sastrawan ini kembali menyuguhkan sebuah prosa yang tak biasa, yang semakin memperkuat sosok dirinya sebagai an unconventional writer di Indonesia. Tema-tema yang dipilihnya selalu sederhana dan merakyat, namun di kedalamannya tersimpan ribuan makna serta pesan-pesan yang mengumpat kondisi zaman, juga pemerintahan. Pun dalam karya terbarunya ini, yang bertebaran dengan kata-kata vulgar seputar selangkangan pria dan wanita, pesan tersiratnya mencuat sangat kuat, begitu meninggalkan kesan dalam benak pembacanya. Bacalah kalimat pertama dalam novel ini, dijamin langsung tersentak. Teknik membuka cerita yang sangat hebat!

Kira-kira setting novel ini kemungkinan di Orde Baru tahun 1970 – 1980-an (meskipun tidak tersebut secara tersurat dalam kisahnya), pembaca sebaiknya menduga-duga saja. Tapi ada sejumlah petunjuk seperti tentara yang masih sangat berkuasa, Barry Prima dan Silvester Stalone, tidak ada telepon genggam apalagi internet, juga stasiun Gambir masih bisa digunakan untuk kereta kelas ekonomi ke Jogja. Banyak sekali penulis menebar ranjau-ranjau sejarah terkait Orde Baru (semoga saya tidak keliru menyimpulkan) sehingga melalui perjalan hidup Arjo Kawir, kita seperti menelisik ke sudut-sudut kelam dari sebuah rezim pembangunan.

                 Konon di masa rezim penuh kekerasan, dua orang polisi tengah memerkosa seorang perempuan gila. Dua remaja tanggung usil mengintip perbuatan mereka sampai akhirnya salah satunya ketahuan dan tertangkap basah mengintip. Maka dihukumlah si remaja tanggung itu dengan menyuruhnya memasukkan burung miliknya ke liang kenikmatan si wanita gila. Sejak saat itu, si burung tak pernah terbangun lagi. Burung itu milik Arjo Kawir. Berbagai cara dilakukan di Arjo Kawir untuk membangunkan burungnya, yang merupakan prasyarat paling mendasar dari seorang pria agar dia bisa disebut pria yang jantan. Si Tokek, kawan Arjo Kawir yang mengajaknya mengintip merasa sebagi yang paling bertanggung jawab, dan, berdua, mereka mencari obat untuk membangunkan lagi si burung.
Tapi semua sia-sia, metode urut, usap, oles, isap, remas, video, rabaan, obat, hingga guna-guna, semuanya sia-sia. Si burung tetap tertidur dengan cantiknya.

                Keadaan semakin menyedihkan bagi Arjo Kawir ketika dia bertemu wanita pujaannya, dan semakin sulit ketika wanita itu, si Iteung, ternyata juga jatuh cinta kepada Arjo Kawir. Gejolak nafsunya sebagai pria normal tak terbendung lagi, tapi apa daya lha wong senjatanya saja letoy tak berguna. Tetapi cinta sekali lagi membuktikan diri lebih tinggi dari sekadar nafsu semata. Melalui ******** Arjo Kawir akhirnya menemukan cara untuk memuaskan kekasihnya. Jadilah mereka menikah, dan untuk sementara Arjo Kawir bisa melupakan kesedihannya akibat burungnya yang tidak bisa berdiri.

                Sayangnya, cobaan kembali datang. Kali ini lebih dahsyat: si Iteung hamil! Arjo Kawir kembali mengumpat, menyalahkan burungnya yang tidak bisa berdiri, sehingga istrinya mencari jalan ke pria lain. Ronde kedua kehidupan ARjo Kawir dimulai. Ia kembali meninggalkan rumah dan menjadi seorang supir truk yang bolak-balik ke pedalaman Sumatra – Jawa. Tapi, untunglah dia pergi, karena dengan begitu pembaca disuguhi lagi kehidupan keras di jalanan ala supir-supir truk. Luar biasa bagaimana Eka Kurniawan menggambarkan kehidupan para sopir, dengan saling menyalip dan kebut-kebutan walau sarat muatan, cerita-cerita di pom bensin yang jarang kita dengar; dan sementara itu, burung Arjo Kawir tetap tidak mau bangun juga.


                Sebuah tulisan hebat selalu meninggalkan bekas mendapat di benak pembacanya. Novel ini salah satunya. Tidak melulu menghadirkan kisah yang happy ending dan sempurna, sebuah karya sastra yang bagus adalah yang mampu mempengaruhi pembaca untuk bergerak setidaknya ke arah yang lebih baik. Dia mengubah pembacanya. Walau banyak sekali umpayan dan kata-kata sar* di buku ini, tetapi perjuangan dan kisah hidup Arjo Kawir ibarat perjuangan sang sunyi yang mencoba melepaskan diri dari ingar bingar dunia, untuk menjadi tentram kembali, untuk menjalani kehidupan dengan penuh rasa syukur; dan itu dapat diraih melalui pengalaman. Arjo Kawir telah membuktikan, betapa segala tindakan selalu ada konsekuensinya. Dan begitu pula, selalu ada imbalan untuk setiap kebaikan. 

Thursday, August 29, 2013

Sebuah Lorong Di Kotaku

Judul : Sebuah Lorong Di Kotaku
Pengarang: NH Dini

http://harunoblue.files.wordpress.com/2010/10/sebuah-lorong-di-kotaku.jpg

Jika ada kisah masa kecil yang khas Indonesia dan cerita itu benar-benar membuat pembaca modern merasa iri, maka novel memoar Sebuah Lorong di Kotaku ini adalah salah satunya. Ditulis sebagai seri pertama dari Cerita Kenangan oleh sastrawan Indonesia NH Dini, buku ini merupakan penggambaran tertulis dari kisah masa kecil penulis yang digambarkan dengan begitu apiknya. Tidak heran jika memoar ini masuk dalam ranah sastra Indonesia sebagai sebuah karya yang dianggap membangkitkan romantisme masa kecil nan menakjubkan.

                Sebuah Lorong di Kotaku mengambil setting di sebuah dusun kecil di dekat Semarang, kemungkinan wilayah dekat Ungaran. Setting waktunya adalah menjelang berakhirnya masa penjajahan Belanda, yakni ketika Jepang mulai menduduki Indonesia bagian utara. Tahunnya diperkirakan sekitar tahun 1940-an. Kisah ini dibuka dengan penggambaran yang sangat mendetail mengenai kondisi rumah kebanggaan keluarga penulis. Rumah itu bergaya Jawa dengan pendopo di tengah, kamar-kamar yang mengelilingi, serta dapur yang terpisah di belakang. Kanan dan kiri ditanami oleh kebun, sementara di bagian belakang yang berbatasan dengan sungai merupakan kebun buah-buahan.

                Novel ini sebenarnya tipis, tapi membacanya sangat padat. Ratusan atau bahkan ribuan informasi tertumpah melalui paragraf-paragrafnya yang juga dicetak rapat dan kecil-kecil. Walau deskripsinya sangat detail, ceritanya tidak membuat pembaca bosan karena kekenyangan detail. NH Dini mampu menuliskannya sedemikian rupa sehingga alih-alih bosan, pembaca malah mendapatkan berbagai kisah kenangan yang mampu memantik kerinduan akan kesederhanaan zaman dulu. Menangkap ikan di sungai, kemudian digoreng sebagai lauk pauk. Bepergian dengan membawa termos. Membuar arem-arem sebagai bekal di perjalanan. Membeli tiwul di simbok-simbok penjaja makanan. Naik becak dan delman. Mengarungi sungai dengan sandal yang dibawa dengan tangan. Semua kegiatan ini mungkin sudah jarang kita lakukan di zaman modern ini, dan karena itulah membaca buku ini kita serasa diajak bernostalgia.

                Selain detail, informasi-informasi jadul yang diucapkan oleh Ibunda penulis juga acap kali membuat kita senyum-senyum  sendiri. Ketika beliau meminta agar anak-anak segera menghabiskan bekal teh manis dalam termos yang ia bawa karena teh itu akan basi sore harinya. Juga, ketika ia menyuruh mendinginkan dulu air yang mau dibawa dengan botol. Teh atau nasi yang dimasukkan panas-panas memang mudah basi, dan sampai saat ini saya masih ingat untuk mendinginkan dulu nasi sebelum dimasukkan dalam kotak bekal. Juga, kisah ayah si penulis saat menjaring ikan, jenis-jenis ikan, macam-macam tanaman yang bisa dipetik sendiri di halaman rumah, ah bukankah yang seperti  sudah jarang kita jumpai di zaman serba googling dan Indom*r*t ini?

                Unsur konflik dan ketegangan belum terlalu banyak di seri ini. Penulis sepertinya lebih menekankan pada unsur ”pengenalan” melalui deskripsi tempat/orang/benda yang begitu rinci. Ceritanya sederhana, tapi ada bagian menegangkan ketika sekeluarga harus mengungsi ketika tengah terjadi serangan udara oleh pasukan Belanda. Namun, kisah ini lebih didominasi oleh kesederhanaan. Sebuah kisah sederhana tentang masa kecil, namun begitu berlimpah dengan kenangan-kenangan masa dulu. Begitu membuka halaman pertama, limpahan kenangan akan mengucur deras, membuat pembaca terpaku dan membayangkan dalam angannya rumah masa kecil NH Dini yang begitu “Jawa” dan tenteram. Bahkan ketika perang pun, rumah itu tetap terasa tenteram. Memang benar ungkapan yang menyebut bahwa “tiada tempat seperti di rumah.”