Pengarang: Umar Kayam
Tebal: 308 hlm
Cetakan: Keenam, Januari 2000
Penerbit: Grafiti
Rampung sudah saya menutup cerita keluarga besar Soedarsono ini dengan puas hati. Pria yang awalnya hanya buruh tani ini berjuang menaiki kelas sosial, hingga akhirnya dia menjadi guru dan sah pula dia mendapatkan gelarnya sebagai seorang priyayi. Capaiannya ini tidak bisa dilepaskan dari bantuan serta dorongan Asisten Wedana Ndoro Seten, yang kemudian menasihatinya untuk mengubah namanya menjadi Sastrodarsono. Dalam buku ini, kita akan diajak mengikuti warna-warni perjalanan hidup keturunan Sastrodarsono, mulai dari eyang Kakung hingga ke cicit-cicitnya. Membosankan? Mungkin, jika yang menulis bukan Umar Kayam. Walau harus dibaca tertatih-tatih dengan dua jeda yang terlalu panjang, saya akhirnya selesai membacanya dan jatuh cinta dengan karya legendaris ini.
Para
Priyayi terasa sangat Jawa
sekali. Ini luar biasa mengingat konon Umar Kayam menyelesaikan menulis novel
ini saat sedang berada di Amerika Serikat. Penulis keren sih gitu, nulis ya nulis saja
tanpa harus rewel kudu ada di Jawa dulu biar bisa nulis tentang Jawa. Kembali
ke Para Priyayi, di buku ini sebutan priyayi
ternyata tidak hanya terbatas pada keturunan bangsawan saja. Sama sekali tidak
ada darah biru dalam trah keluarga Sastrodarsono. Istilah priyayi kemudian
digunakan secara luas untuk menyebut para pamong praja atau yang kita kenal
kini dengan istilah pejabat. Sudarsono yang benar-benar ingin mengangkat status
sosial keluarganya kemudian membesarkan ketiga anaknya agar kelak bisa menjadi ‘orang’.
Dan memang, semua anaknya tumbuh dalam didikan yang baik sebagai anak-anak
priyayi untuk kemudian menjadi priyayi juga.
Buku ini juga tidak terasa membosankan karena
dikisahkan dengan sudut pandang orang pertama bergantian. Pembaca jadi mampu
membayangkan, merasakan, dan memandang banyak hal. Beragam persoalan memang
menimpa keluarga ini, terutama generasi ketiganya. Tetapi, secara umum,
seluruh permasalahan tersebut relatif dapat diselesaikan. Jika dipandang
sebagai sebuah karya sastra, Para Priyayi
cenderung memiliki ritme yang kalem. Banyak konflik besar yang mungkin
sekali timbul, tetapi karena semua masalah itu dipandang dari sudut pandang
orang-orang Jawa yang cenderung tenang dan mengikuti arus, konflik-konfliknya
jadi semacam datar saja. Sebagai priyayi, keluarga Sastrodarsono mungkin telah
belajar ojo kagetan, ojo gumuman, dan
ojo dumeh sebagaimana orang-orang
Jawa yang baik.
Pada akhirnya, siapakah yang disebut dengan para
priyayi itu? Karena istilah ini tidak saja mencakup makna pejabat dan pamong
praja, tetapi juga orang-orang dengan sikap hidup yang terhormat. Agak unik
kiranya karena di bagian penghujung novel ini, penulis malah menyorot ke sosok
Lantip yang aslinya hanyalah anak angkat di keluarga besar Sastrodarsono. Meskipun
memiliki orang tua dengan sejarah kehidupan yang kurang baik, Lantip dapat
tumbuh menjadi sosok pemuda yang lurus dan taat. Sosoknya melambangkan satu
lagi sifat khas orang Jawa, yakni tahu menempatkan diri. Lantip sadar bahwa
dirinya hanya anak angkat alias bukan keturunan priyayi, tetapi ia berjuang
untuk setidaknya layak berada dalam lingkup keluarga priyayi. Mungkin, malah sosok
inilah yang benar-benar layak menyandang gelar priyayi dari generasi ketiga
keluarga Sastrodarsono. Dia membuktikan pendapat penulis bahwa seorang priyayi
tidak saja dipandang dari keturunannya, tetapi juga dari tindak tanduknya.
No comments:
Post a Comment