Judul: Membaca Sastra Membaca Dunia
Penyusun: Azwar, S.S., M.Si.
Penyunting: Muhajjah Saratini
Tebal:176 hlm
Sampul: Ferdika
Cetakan: Pertama, Desember 2016
Penerbit: Basabasi
Salah satu tema menarik yang dibahas di
buku ini terkait ‘matinya’ pengarang setelah karyanya diterbitkan dan dilempar
ke pasar. Pernyataan Barthez ini sekian lama telah menjadi topik hangat di
dunia perbukuan. Tulisan sebagai sebuah teks adalah sesuatu yang sifatnya
otonom. Ia memang diciptakan oleh si pengarang tetapi setelah dicetak, ia
menjadi sesuatu yang baru dan berdiri sendiri. Terlepas dari ada nama pengarang
dalam sampul buku itu, sebuah buku adalah sesuatu yang bukan penulisnya.
Benarkah begitu? Menarik menyimak sanggahan penulis terhadap teori Barthez ini.
Pada kenyataannya, banyak pembaca di Indonesia yang masih membeli buku karena
nama besar penulisnya. Faktanya, dalam kasus saya, saya membaca Bumi Manusia
karena yang nulis Pram. Pram yang itu loh! Di luar sana, ada ribuan anak-anak
muda yang tengah mengandrungi buku-buku kekinian karya penulis terkini, macam
Dee, Seno Gumira Ajidharma, dan tak lupa Tereliye. Sulit membayangkan apakah
anak-anak muda itu akan tetap membeli buku Hujan atau Rindu seandainya
mereka tidak tahu kalau penulisnya Tereliye.
“Sastra memang tidak
membangun secara fisik, sebagaimana membangun jembatan atau gedung, tetapi sastra
membangun manusia yang akan membangun peradaban.” (hlm. 45)
Selain tema di atas, ada beberapa ide menarik lain tentang
sastra yang diangkat penulis di buku ini. Tapi saya terutama suka sama cara
penulis yang memulai atau menyusun esai-esainya berdasarkan satu buku yang
beliau baca. Dengan kata lain, esai-esai di buku ini agak mirip dengan tulisan
tentang ulasan buku yang diperdalam. Bab 4 tentang “Sastra yang Memihak”
misalnya, disusun berdasarkan pembacaan penulis tentang Bumi Manusia-nya Pram. Lewat novel atau tulisannya, penulis
menunjukkan keberpihakkannya kepada sesuatu atau sekelompok orang tertentu.
Dalam kasus Pram, lewat Tetralogi Buru-nya itu beliau menunjukkan
keberpihakkannya pada orang-orang pribumi yang tertindas di masa penjajah. Jadi,
adakah karya sastra yang tidak memihak? Sulit, kalau tidak bisa dibilang
mustahil karena setiap penulis pasti menulis karena dorongan keberpihakan
tententu, sekecil apa pun itu. Bahkan seandainya ada satu karya sastra yang
murni dipersembahkan untuk kemanusiaan pun, dia tetap memihak.
“Karya sastra juga
sebuah media perjuangan mewujudkan manusia yang bermartabat, manusia yang hidup
berkeadilan, dan manusia yang menyadari seutuhnya bahwa semua manusia sama-sama
berhak untuk hidup di dunia ini.” (hlm. 66)
Sastra dapat digunakan untuk mengomunikasikan
gagasan-gagasan besar tanpa terasa mengurui dan menghakimi. Ungkapan ini benar
adanya karena sering kali gagasan-gagasan kemanusiaan bisa lebih tersampaikan
lewat jalan cerita ketimbang khutbah semata. Betapa banyak dari kita yang jadi
lebih peka, lebih mau berempati, dan lebih mau memandang dari sudaut pandang
orang lain setelah membaca banyak karya sastra. Dalam hal inilah, sastra
memenuhi tugasnya sebagai guru yang tidak mengurui. Ia menunjukkan lewat
contoh, mengajak pembaca menyelusup masuk dalam kehidupan tokoh-tokohnya agar
kita bisa ikut merasakan secara langsung apa yang dirasakan orang lain tanpa
kita harus mengalaminya secara langsung. Jadi benar kata ungkapan, bahwa para
pembaca sastra bisa mengalami seribu kehidupan dalam satu kehidupannya.
“Seorang
sastrawan yang baik akan mengatakan ‘dengan sastra aku melawan.” (hlm. 90)
Satu kecenderungan yang sangat tampak
di buku ini adalah keberpihakkannya pada sastra Islami. Nama Helvy Tiana Rosa dan
komunitas Forum Lingkar Pena berulang kali disebut untuk menjelaskan tema-tema
tentang sastra Islami. Penulis rupanya agak kurang setuju dengan jargon sastra
untuk sastra sebagaimana diusung oleh para sastrawan kawakan Indonesia. Sastra
juga bisa digunakan sebagai media dakwah asal disampaikan dengan cara yang
halus, elegan, dan tidak mengurui. Ini berbeda dengan pendapat Seno Gumira
Ajidarma yang pernah bilang bahwa sastra bukan buku agama sehingga semestinya
tidak berisi khutbah keagamaan. Sah-sah saja setiap penulis memiliki
kecenderungan berbeda seperti ini. Hal ini malah semakin membuktikan keberpihakan
sastra sebagaimana disinggung penulis di bab 4. Sayangnya, sepertinya penulis
kurang menunjukkan ragam bacaan yang luas untuk tema sastra islami karena
contoh-contoh yang diangkat hanya HTR saja, padahal masih ada tokoh-tokoh
sastra Islami lain seperti Asma Nadia, Wahyu Sujani, dan Habiburrahman el
Shirazy.
“Membaca
karya sastra yang bai sama dengan menyuruh orang berbuat baik dan benar.” (A.A.
Navis, hlm 160)
Akhirnya, kita diajak untuk mencintai
sastra dengan cara semakin banyak membaca buku-buku sastra. Karena kecintaan
sastra adalah bukti kemajuan peradaban suatu bangsa. Di negara-negara maju,
membaca sastra ibarat sudah menjadi kebutuhan. Sementara di negara kita,
membaca sastra sepertinya masih menjadi hak eklusif bagi kalangan tertentu saja. Padahal, sastra dapat
mengajarkan kita untuk menjadi manusia yang manusiawi serta untuk memanusiakan
manusia secara manusiawi. Sastra, kata penulis, tidak mengajarkan kita tentang
memandang dari fisiknya, dari kekayaannya, atau dari kekuasaannya. Sastra
mengajak kita menghormati dan mencintai manusia karena dia juga manusia. Buku
ini, walau tipis dan beberapa bahasan di dalamnya agak kurang fokus, menghadirkan
ide-ide segar tekait dunia kesusastraan. Beberapa tulisan di dalamnya mengundang
kita untuk melengkapi atau mungkin membantahnya lewat tulisan; dan ini sah-sah
saja selama dilakukan dengan baik serta lewat referensi yang terpercaya. Pada
akhirnya, ketika ada yang bertanya apa sastra itu? Maka, buku ini menyodorkan
jawaban yang sangat indah.
“Sastra
adalah cara untuk mencintai nilai-nilai kemanusiaan.” (hlm 157)
Setuju sepenuhnya.. sastra melembutkan dunia... Bacalah juga wawancara dengan Dante Alighieri (imajiner) di http://stenote-berkata.blogspot.hk/2017/12/wwancara-dengan-dante.html
ReplyDelete