Search This Blog

Showing posts with label klasik. Show all posts
Showing posts with label klasik. Show all posts

Wednesday, May 2, 2018

The Lost World, Petualangan Mencari Dunia yang Hilang


Judul: The Lost World
Pengarang: Sir ARthur Conan Doyle
Penerjemah: An Ismanto
Tebal: 314 hlm
Cetakan: Pertama, 2014
Penerbit: Indoliterasi




Sejak kesengesem dengan Sherlock Holmes di zaman kuliah dulu, saya menjadikan Sir Arthur Conan Doyle sebagai salah satu penulis klasik favorit selain Jules Verne. Keduanya memang pioner fiksi ilmiah di era klasik. Satu hal yang saya kagumi dari keduanya adalah konsep-konsep canggih yang mendahului zamannya, yang kemudian terbuktikan sebagian (atau keseluruhan kebenarannya) di masa kini.  Karya-karya mereka yang mendahului zaman terus memukau saya sebagai pembaca. Membayangkan para penulis besar ini menulis karya-karya fiksi ilmiah di abad kesembilan belas dan kita masih bisa menikmatinya di abad modern. Betapa luar biasa bakat yang mereka miliki. Mengikuti metode Holmes menganalisis kasus, atau turut menyelam ke kedalaman samudra bersama Kapten Nemo selalu menjanjikan petualangan membaca yang seru. Dan keduanya masih terus mempesona pembaca meskipun mereka hidup lebih dari seratus tahun lalu. Kapal selam, roket, perjalanan mengelilingi bola Bumi, hingga spesies kadal raksasa dinosaurus. Selalu ada hal-hal baru dalam karya mereka, dan salah satu yang terbaik ada di novel The Lost World ini.

Thursday, August 4, 2016

Animal Farm, sebuah Satire atas Sosialisme?

Judul: Animal Farm
Pengarang: George Orwell
Penerjemah: Bakdi Soemanto
Tebal: 140 hlm
Cetakan: kedua, Juli 2015
Sampul: Fahmi Irwansyah
Penerbit: Bentang Pustaka



24945435

Seorang sastrawan adalah saksi dari zamannya. Begitu juga George Orwell yang menjadi saksi dari era Perang Dunia Kedua--yang disusul dengan Perang Dingin antara Blok Barat dan Blok Timur. Penulis ini kemudian mengabadikan apa yang disaksikannya itu dalam monumen paling indah di dunia: melalui karya sastra. Animal Farm lahir atas pengamatan dan ketidaksetujuannya pada totaliterisme Uni Soviet. Pasca Perang Dunia Kedua, dunia memang terbelah menjadi dua kubu, yakni Blok Barat yang dipimpin Amerika Serikat serta Blok Timur yang dikomando oleh Uni Soviet. Merentang mulai dari Eropa Timur hingga Siberia, Uni Soviet merupakan wilayah luar biasa luas yang dikendalikan oleh satu komando yang berpusat di Moscow. Negara persekutuan ini dibangun atas asas Sosialisme dan Komunisme, di mana kepemilikan bersama dijunjung tinggi dan semua adalah setara. Poin Ketujuh dari Tujuh Perintah yang harus ditaati semua binatang di Peternakan Binatang adalah "Semua Binatang Setara." Pengunaan kata "kamerad" di novel tipis ini semakin menegaskan pihak mana yang coba dikritik Orwell lewat tulisannya ini.

Friday, February 13, 2015

Lukisan Dorian Gray



Judul : Lukisan Dorian Gray
Penulis: Oscar Wilde
Penerjemah: Dion Yulianto (#uhuk)
Penyunting : Addin Negara
Tebal : 276 hlm
Cetakan: 1, Februari 2015
Penerbit: Laksana


                Setiap kita memiliki sisi malaikat dan sisi setan dalam dirinya. (hlm 228)

            Adalah sebuah fitrah bagi setiap manusia untuk memiliki sifat baik dan buruk, dan dalam sepanjang kehidupannya yang fana, kedua sifat ini terus bergelut, saling mencoba mendominasi dan menjatuhkan, sampai salah satunya menang. Inilah anugrah sekaligus ujian yang diberikan kepada manusia: kebebasan untuk memilih. Hidup sudah memberikan jalannya, manusia sebagai sang pejalan diberi kebebasan untuk tetap berjalan lurus ataupun berbelok, dengan konsekuensi yang tengah menanti di setiap ujungnya. Karena, untuk setiap anugrah yang kita dapatkan, selalu ada ujian yang menyertainya. Dan, baik atau buruknya manusia dalam kehidupannya tergantung pada apakah dia lolos ujian itu atau tidak.

“Dia ini adalah makhluk indah tanpa pikiran, yang semestinya harus berada di sini saat musim dingin, ketika tidak ada bunga yang mekar untuk kita pandangi, dan saat musim panas, ketika kita membutuhkan sesuatu untuk menyejukkan pandangan.” (hlm 13)

Dorian Gray, seorang anak muda yang dianugerahi oleh kelebihan fisik berupa paras wajah yang luar biasa menawan. Semua orang terpesona melihatnya, begitu indah sampai-sampai cermin pun mungkin terpesona saat memantulkan wajahnya. Keindahan paras inilah yang kemudian turut menjerat Basil Hallward, sahabatnya, sehingga Basil pun memutuskan untuk melukis Dorian Gray agar keindahan itu tetap abadi di dalam kanvas. Namun, ujian itu datang dalam bentuk Lord Henry, sahabat Basil. Pria inilah yang kemudian datang dalam kehidupan Dorian yang semula polos, mencekokinya dengan pandangan-pandangan baru dan nyeleneh, hingga membuat anak muda yang polos itu berubah. Selamanya.

“Ada bencana dalam setiap kelebihan fisik maupun kelebihan intelektual, bencana yang telah menjatuhkan raja-raja lemah sepanjang sejarah.” (hlm 13)

Dari Lord Henry, Dorian tersadarkan—sayangnya dalam cara yang salah. Keelokan parasnya adalah asset yang harus digunakan dengan sebaik-baiknya. Sejak pertama bertemu, Lord Henry sudah mencekoki anak muda tampan itu dengan petuah-petuah beracun, disampaikan dengan begitu halus hingga Dorian tidak menyadarinya. Ketampanan wajah akan memudar seiring usia, karena itu Dorian harus menggunakannya mumpung masih muda. Atau, dalam istilah zaman sekarang, lebih baik nakal di waktu muda, daripada nakal di hari tua. Karena saat masih muda, ada kelebihan-kelebihan fisik yang mendukung kenakalannya. Luar biasa racun memang Lord Henry ini.

“Menurutku, sungguh sebuah tragedi jika kau menyia-nyiakan anugrahmu. Karena masa muda hanya bertahan tidak lama—sungguh sangat sebentar.” (hlm 47)

            Racun Lord Henry semakin membuat Dorian galau. Lord Henry benar, ketampanannya hanya akan bertahan sebentar saja. Waktu akan mencuri sedikit demi sedikit dari dirinya. Ketika lukisan potret diri karya Basil itu selesai, Dorian baru menyadari betapa fana keelokan parasnya. Tanpa sadar, dia memohon dalam hati, entah kepada kekuatan apa, agar dirinya bisa tetap muda selamanya dan biarlah lukisan itu yang menua. Permohonannya terkabul. Lukisan potret Dorian Gray karya Basil Hallward menjadi semacam sihir pemantul usia. Perjalanan waktu tidak bisa mengubah fisik Dorian. Pemuda itu tetap muda dan tampan sebagaimana remaja, sementara sosok dalam lukisan terus menua. Sayangnya, lukisan itu ternyata juga melambangkan kondisi jiwa pemiliknya. Kebusukan Dorian Gray juga akan turut terekam di dalamnya.

“Baginya, lukisan potret itu adalah cermin yang paling ajaib. Tidak saja cermin itu menunjukkan bagaimana rupa raganya, tetapi juga wujud jiwanya. Dan ketika lukisan itu menua karena beban kehidupan, dirinya yang asli akan tetap muda dan bersemangat dalam kenikmatan kehidupan.” (hlm 142)

Sebuah novel yang diberikan Lord Henry kepada Dorian adalah awal dari bencana itu. Jadi, siapa bilang sebuah buku tidak akan berbahaya? Ada buku-buku yang berpotensi menimbulkan bencana besar ketika buku itu dibaca oleh mata yang salah. Dorian menjadi saksinya. Kehidupan hedonis dalam buku itu telah mempengaruhi Dorian sedemikian rupa, ditambah dengan keabadian paras mudanya membuat anak muda itu merasa bebas dari dosa. Ia pun terjatuh dalam lembah perbuatan tercela, melakukan berbagai hal-hal buruk dan bahkan membuat orang-orang di sekitarnya menderita. Jiwanya membusuk sementara paras mukanya tetap tampan sedemikian rupa. Sungguh, penampilan luar selamanya tidak selalu bisa dijadikan patokan dalam menilai seseorang. Hanya lukisan jiwa, kalaupun itu ada, yang akan menunjukkan sejatinya seorang manusia.

Bacalah karya ini, dan dirimu tidak akan pernah sama lagi.


Thursday, December 11, 2014

Sherlock Holmes, Petualangan di Rumah Kosong

Judul   : Sherlock Holmes, Petualangan di Rumah Kosong
Pengarang : Sir Arthur Conan Doyle
Penerjemah : Dion, Busyra, Amin
Penyunting : Julie
Tebal : 320 hlm
Penerbit : Laksana
Cetakan : Pertama, November 2014



            Siapa yang tidak mengenal sosok Sherlock Holmes? Detektif rekaan penulis kenamaan Sir Arthur Conan Doyle ini telah sedemikian melegenda sehingga kisah-kisahnya terus dibaca dan bahkan diangkat ke layar lebar. Perpaduan antara kecerdasan yang luar biasa serta sifat nyentriknya yang tak biasa menjadikan sosok detektif partikelir yang membuka kantor penyelidikan di Baker Street ini tak terlupakan bagi mereka yang pernah membacanya. Bagi Holmes, logika adalah yang utama sementara emosi dan persangkaan tanpa data adalah hal yang tabu bagi seorang detektif. Inilah kualitas yang membuat dr Watson, sahabat terbaiknya—dan juga para pembaca—terkagum-kagum sekaligus juga gemas kepada tokoh yang satu ini.

Tidak ada yang lebih membuatku senang selain bisa mengikuti Holmes menjalankan penyelidikan profesionalnya. Kepiawaiannya dalam mengambil deduksi secepat intuisi, yang semuanya didasarkan pada logika, selalu berhasil mengatasi sepelik apapun kasus yang tengah dia hadapi.

Dalam buku ini, termuat delapan kisah terbaik Sherlock Holmes yang pernah diterbitkan. Dari total 54 cerita pendek tentang Sherlock Holmes yang telah ditulis oleh Sir Arthur Conan Doyle, diantaranya Misteri Pita Brebintik-Bintik di mana Holmes dan Watson harus mengungkap misteri kematian seorang gadis dalam sebuah kamar yang tertutup dan kasus Perserikatan Orang Berambut Merah ketika Holmes ditantang untuk menyelidiki sebuah lowongan pekerjaan aneh yang hanya menerima orang-orang berambut merah. Lebih aneh lagi adalah kasus skandal Raja dari Bohemia ketika ego Holmes yang sedemikian besar itu terpaksa sesekali harus takluk di bawah kecerdasan seorang wanita. Jika ingin melihat seorang Sherlock Holmes yang “kalah cepat” dengan seorang wanita, ceritanya bisa ditemukan di buku ini.

            “Tidak ada yang lebih buruk dari orang pintar yang menggunakan kecerdasannya untuk melakukan kejahatan.”

            Tetapi, daya tarik utama dari buku ini adalah dua cerita yang menyinggung dokter Moriarty di dalamnya. Dalam cerita Kasus Terakhir dan Petualangan di Rumah Kosong, Sherlock Holmes akhirnya dipertemukan dengan lawan yang seimbang, yakni dokter Moriaty. Sebagaimana kata Holmes, “Orang ini menguasai London, tetapi tidak seorang pun pernah mendengar namanya.” Moriaty adalah otak dari semua kejahatan dan kriminalitas yang terjadi di kota London, juga di Eropa. Orang jenius tapi jahat itu menggunakan kecerdasannya untuk melakukan hal-hal mengerikan dan keji. Kemampuan berpikir dan berlogikanya juga tidak kalah dengan kemampuan Holmes. Dan pada akhirnya, ketika keduanya dipertemukan, pembaca akan menikmati sebuah pertarungan uji kecerdasan yang sangat seru antara dua tokoh paling legendaris di Inggris.

            Siapakah pemenang duel kecerdasan tersebut? Melalui sudut pandang dokter Watson, kita akan diajak mengikuti liku-liku seru persaingan keduanya. Dimulai dari jalan-jalan London yang berselimut kabut hingga ke air terjun Reichenbach di pedalaman Eropa, petualangan Holmes dalam mengalahkan Moriaty adalah yang paling seru dari seluruh kisah-kisah Holmes. Ini adalah kisah Holmes di luar Inggris, dengan pemandangan dan aroma petualangan yang baru. Ada ketegangan dan juga rasa penasaran. Inilah satu-satunya kisah di mana seorang Sherlock Holmes yang biasanya sangat pemberani itu merasa takut dan terancam jiwanya. Dan, dalam pertarungan terakhir keduanya di tubir Air Terjun Reichenbach, Sherlock Holmes pun mengucapkan salam terakhirnya kepada Watson dan juga kepada pembaca.

            Buku ditutup dengan Misteri Noda Kedua, kasus yang menandai masa pensiun Sherlock Holmes. Dalam cerita ini, Holmes harus membantu memecahkan kasus yang tengah menimpa seorang politikus terkenal dari Inggris. Tidak tanggung-tanggung, Perdana Mentri Inggris langsung mendatangi kamar kontrakannya untuk meminta tolong Holmes menemukan sebuah dokumen penting yang sangat rahasia. Alur cerita Misteri Noda Kedua adalah salah satu kasus yang paling kompleks dari semua kasus yang pernah dihadapi Holmes, dan pemecahannya juga cukup unik sekaligus melegakan pembaca. Menutup buku ini, kita akan merasakan ada semacam kekaguman sekaligus kerinduan untuk terus membaca sepak terjang seorang Sherlock Holmes dalam memecahkan berbagai kasus dan misteri kejahatan.



Wednesday, November 20, 2013

Winnetou, the Wild West Journey

Judul : Winnetou, the Wild West Journey
Pengarang : Karl May
Alih Bahasa : Melody Violine
Cetakan : pertama, Oktober 2013
Halaman : 348 hlm
Penerbit : Visi Media



18743320


                Winnetou adalah  paruh kedua dari buku Winnetou 1 karangan penulis Jerman termasyhur Karl May. Jika dalam buku pertama, Old Shatterhand¸ pembaca diajak untuk mengenal lebih dekat tentang Charlie atau Old Shatterhand dan awal  petualangannya di Wild West, maka di buku ini kita akan diajak mengenal lebih dekat Winnetou. Secara prinsipil, buku kedua ini tidak jauh berbeda dari buku pertama, yakni sama serunya. Kisah masih didominasi oleh petualangan Old Shatterhand di Wild West yang diwarnai dengan perjalanan di alam liar, mencari dan melacak jejak, berburu, dan adegan tembak-tembakan. Yang membedakan, di buku kedua ini kita akan belajar lebih banyak tentang suku India Apache dan ritual mereka. Dari pertama, penulis sudah mengajak pembaca untuk mengunjungi perkampungan Indian di Pueblo di dekat Rio Pecos, mendatangi rumah-rumah mereka yang dibangun di bahwa ceruk tebing, hingga menyaksikan beragam ritual tradisional khas suku Indian. Semua digambarkan dengan begitu luwes dan deskriptif, seolah-olah pembaca diajak bertamasya ke perkampungan suku Indian.

                “Keberanian adalah sifat yang selalu dihargai dan diakui oleh Indian, bahkan walaupun musuh mereka yang menunjukkannya. “ (hlm 39)

                Menyambung buku sebelumnya ketika Old Shatterhand ditangkap oleh Winnetou dan sukunya, cerita dimulai di pueblo suku Indian Apache. Dalam keadaan terluka, Old Shatterhand harus tetap bisa berpikir tenang agar bisa lepas dari kesalahpahaman dengan suku Apache ini. Bersama Sam, Dick, mereka menjadi tawanan oleh orang-orang yang justru telah mereka selamatkan. Namun, pada saat-saat genting seperti inilah, Old Shatterhand membuktikan kembali ungkapan bahwa ketenangan dan pikiran yang dingin sering kali adalah senjata yang paling ampuh. Ia masih menyimpan kartu terakhirnya (rambut Winnetou yang ia potong saat menyelamatkannya) dan ia tahu semua kesalahpahaman ini akan diluruskan pada waktu yang tepat, yakni menjelang saat penghukuman mereka oleh suku Indian Apache. Ia memang seorang “tanduk hijau” (orang yang belum berpengalaman), tetapi ia banyak membaca buku dan ia jadi tahu banyak hal dari situ, termasuk taktik meloloskan diri.

                “Aku tahu itu Sam. Aku juga tahu bahwa dalam beberapa situasi, setitik kecerdikan lebih berguna daripada sekuali kekuatan.” (hlm 50)

                Petualangan datang susul-menyusul dalam Winnetou 2. Ketika hari penghakiman tiba, Old Shatterhand kembali menunjukkan kecerdikan dan ketangkasannya. Sulit dipercaya, seorang Jerman yang tidak berpengalaman sepertinya bisa mengalahkan Kepala Suku Apache nan legendaris. Dalam hal ini, ia tidak menggunakan kekuatan otot, tetapi otak. Strategi dan kecerdikkan adalah kekuatan utama, yang ditambah dengan ketangkasan badan dan keterampilan bela diri. Semuanya ada dalam dirinya, Lepas dari hukuman, Old Shatterhand akhirnya menceritakan apa yang terjadi, dan Winnetou yang merasa berutang budi kemudian mengangkatnya sebagai saudara. Keadaan berbalik menjadi membaik, dan persahabatan legendaris antara WInnetou Sang Kepala Suku Apache dengan Charlie Old Shatterhand dari Jerman pun dimulai. Sebuah ikatan persahabatan yang kelak akan memunculkan berbagai petualangan paling hebat yang pernah dikisahkan di Wild West.

“Tidak ada orang yang pantas berpikir mereka lebih baik daripada orang lain hanya karena warna kulit mereka berbeda.” (hlm 112)

                Jika di buku Old Shatterhand pembaca dibuat gemes oleh kejahatan Rattler, di buku ini muncul penjahat lain yang lebih keji. Kejahatan yang dilakukannya begitu tak terbayangkan hingga akan mengubah kehidupan Winnetou maupun Old Shatterhand. Kelincahan penulis dalam mencipta karakter-karakter jahat dalam serial ini benar-benar membuat pembaca gemes. Karl May mampu menulis sosok-sosok yang langsung mudah dicintai atau langsung mudah dibenci sejak dari awal cerita, sehingga pembaca tidak dibuat bingung dan waswas oleh perubahan karakter yang mendadak. Uniknya, semua penjahat keji digambarkan berasal dari muka pucat (orang kulit putih) seolah ia hendak menyindir penjajahan orang kulit putih terhadap orang Indian di Amerika. Banyak ucapan-ucapan para suku Indian dalam buku ini yang niscaya menyentil peradaban kulit putih.

                “Itulah kata semua muka pucat. Mereka mengaku sebagai orang Kristen, tapi tidak berprilaku sesuai dengan ajaran Kristen. Tapi, kami memiliki Manitou agung yang ingin semua manusia berbuat baik. Aku berusaha berbuat baik, mungkin aku seorang Kristen, mungkin aku seorang Kristiani yang lebih baik daripada orang-orang yang mengaku sebagai pemeluk Kristen, tapi tidak menunjukkan kasih dan hanya mengejar keuntungan bagi diri sendiri.” (hlm 129)

Pembaca akan disuguhi oleh suasana kehidupan suku Indian Amerika pada abad ke-18. Semua digambarkan dengan detail yang indah dan menawan oleh Karl May. Detail seperti ini tidak bisa didapatkan kecuali si penulis pernah mengunjungi langsung pueblo di Wild West atau penulis membacanya dari buku-buku atau catatan perjalanan. Karl May sama sekali belum pernah ke Wild West, jadi kemungkinan ia mendapatkan deskripsinya dari buku-buku geografi yang ia baca. Sampai sekarang saya masih berpikir bagaimana bisa buku sedetail ini ditulis oleh seseorang yang belum pernah sekalipun menginjakkan kakinya di Wild West saat dia menulis novel ini.

Satu pertanyaan dalam novel ini, penulis sepertinya terlalu mengagung-agungkan sosok Old Shatterhand. Hampir tidak ada yang kurang dari sosok ini: masih muda, cerdas luar biasa, memiliki pikiran yang dingin, badannya kuat dan tangkas, jago menembak dan berenang, plus umat Kristen yang taat. Keberuntungan juga selalu menaunginya. Hal-hal yang klise seperti ini biasanya membuat pembaca bosan, tetapi dalam buku ini anehnya tidak. Saya senang-senang saja melihat penggambaran Old Shatterhand sebagai sosok nan sempurna karena sudah telanjur jatuh cinta pada alur ceritanya yang seru.

“Namun, apakah berbicara itu perlu? Bukankah perbuatan adalah ajakan yang jauh lebih kuat daripada kata-kata? (hlm 129)

Dari Old Shatterhand, kita belajar tentang pentingnya membaca buku. Dalam cerita ini, penulis berulang kali menekankan bahwa si Tanduk Hijau belajar semuanya dari buku, dan nyatanya ia berhasil dan selamat. Membaca dan mengamati adalah dua hal yang wajib dilakukan ketika seseorang hendak mencoba terjun dalam sesuatu yang baru. Dengan bekal ini, otak akan otomatis berimprovisasi dan mengeluarkan ide-ide cemerlang, sebagaimana yang dialami sendiri oleh Old Shatterhand.


Jika Anda menginginkan petualangan ala koboi di Wild West, bacalah buku ini. Anda tidak hanya mendapatkan sebuah kisah hebat tentang tembak-tembakan, tapi juga sebuah kisah yang sarat petualangan, pembelajaran moral, ungkapan-ungkapan bijak, dan karakter-karakter terhebat yang pernah menghidupkan kawasan Barat Liar atau Wild West di Amerika Serikat. 

Monday, October 21, 2013

Aurora di Langit Alengka, Tangan-Tangan Hebat Penyelamat Dewi Sinta



Judul : Aurora di Langit Alengka, Tangan-Tangan Hebat Penyelamat Dewi Sinta
Pengarang : Agus Andoko
Editor : Misni P
Halaman : 606 halaman
Cetakan: 1, Maret 2013
Penerbit : DIVA Press

18658043


            Jika ada sebuah cara yang begitu menyenangkan untuk kita bisa belajar tentang dunia wayang, maka membaca buku ini adalah salah satunya. Penggabungan yang sangat berani antara cerita fantasi dan dunia Ramayana yang begitu apik, dengan beragam pengetahuan lokal tentang makanan, obat-obatan, tradisi, serta kekayaan alam Nusantara. Aurora di Langit Alengka adalah sebuah buku tebal yang sarat akan isi. Pembaca akan mencapatkan 3 hal sekaligus dengan membaca buku ini: penghiburan lewat kisahnya yang seru, pengetahuan tentang dunia wayang dan Ramayana, serta khazanah kekayaan lokal (terutama bangsa Jawa). Sebuah buku yang patut diapresiasi, tidak heran jika bahkan Dalang Ki Mantep Soedhaesono pun ikut memberikan dukungan bagi penulisan novel ini.

            Dari segi cerita, Aurora di Langit Alengka memadukan antara kisah fantasi dengan dunia perwayangan. Dikisahkan, empat orang sahabat (Bara, Radit, Laras, dan Mambang) yang masih remaja tanpa sengaja menemukan sebuah jalan rahasia untuk masuk ke dunia Ramayana saat mereka berlibur di rumah eyangnya di Klaten. Tahu-tahu, mereka muncul di bukaan pohon beringin yang ternyata ada di tengah alun-alun ibu kota Kosala. Bayangkan keterkejutan (sekaligus kegembiraan) mereka  karena kebetulan keempat anak muda ini juga sangat menggemari dunia wayang. Laras, satu-satunya cewek dalam kelompok itu, tentu saja merasa sangat senang karena ia akhirnya bisa menyaksikan langsung idolanya di dunia wayang, Dewi Sinta.

            Tak butuh lama, keempatnya kemudian berbaur ke kehidupan Alengka. Mereka tinggal bersama sebuah keluarga sederhana, menikmati keindahan dari masa-masa tempo dulu ketika teknologi belum ada: membajak sawah dengan kerbau, mandi di sungai, berburu di hutan sepertlunya, menyantap makanan yang sederhana namun nikmat, mengikuti upacara sesaji desa yang penuh kehangatan, dan puncaknnya, menghadiri acara pernikahan antara Rama dan Sinta. Bahkan, mereka bisa melihat para bidadari dari kayangan yang asli, serta para dewa-dewi, batara-batari penguasa alam. Puas dengan segala keajaiban itu, Laras yang begitu nge-fans dengan Sinta memutuskan untuk mengubah jalannya cerita Ramayana. Ia ingin menyelamatkan Sinta dari penculikan yang dilakukan Rahwana.
            Maka rencana disusunlah. Keempatnya kemudian masuk ke Hutan Dandaka, lokasi di mana Sinta akan  diculik oleh Rahwana. Selama di hutan, keempat anak muda itu telah belajar ilmu berburu kepada Suku Hutan jadi ketika akhirnya mereka bertemu dengan rombongan Rama, Laksmana, dan Sinta; keempatnya terbukti menjadi sahabat-sahabat yang senasib-sepenanggunggan, sama-sama berburu dan berjuang menghabiskan masa pembuangan di hutan. Cerita pun bergulir sebagaimana Ramayana dikisahkan. Salah satu antek Rahwana mencoba menarik Sinta dengan mengubah diri menjadi kijang kencana. Tapi, Laras yang sudah tahu hal ini memperingatkan Sinta. Rahwana gagal menculik Sinta, tapi sebagai akibatnya, Laras lah yang diculik dan dibawa ke negeri Alengka.  

            Entah bagaimana, kisah pun bergulir mengikuti pakem yang sudah ditetapkan dalam Ramayana, kecuali dalam hal ini yang diculik adalah Laras dan bukannya Sinta. Merasa berutang budi, Rama pun betekad membebaskan sahabatnya itu. Dikumpulkannya semua tokoh-tokoh yang ada du pewayangan untuk menggempur Alengka. Dan, perang besar pun menanti di depan. Sebuah perang epic tentang Ramayana yang luar biasa, penuh keajaiban dan juga darah, namun banyak mengajarkan tentang kesetiaan, nasionalisme, pengurbanan, jiwa ksatria, serta keberanian.

 Saya belajar banyak sekali tentang tokoh-tokoh Ramayana dari buku ini walaupun belum membaca versi yang asli. Siapa orang tua Sinta, tentang gugurnya Kumbakarna, tentang berbagai senjata milik pada tokoh pewayangan, tentang Jatayu, Hanoman, dan Sugriwa, mengapa Rama dan Sinta dibuang ke Dandaka, asal-usul Rahwana, juga tentang garis besar dari pertempuran dalam Ramayana yang sangat epic itu. Sebagai tambahan, penulis juga menyisipkan berbagai pengetahuan lokal (local genius) yang begitu berlimpah dalam buku ini. Tentang beragam jenis makanan dan obat-obatan, tentang kebiasaan dan kehidupan orang-orang zaman dulu, tentang adat-istiadat di negeri-negeri jauh, juga tentang sikap-sikap luhur yang dulu  pernah begitu dijunjung tinggi oleh para leluhur. Ini benar-benar sebuah buku fantasi karya anak negeri yang digarap dengan sangat kreatif dan berbobot.

Monday, October 14, 2013

Old Shatterhand, the Wild West Journey

Judul : Old Shatterhand, the Wild West Journey
Pengarang : Karl May
Penerjemah : Melody Violine
Penyunting : Muthia Esfand
Sampul : Nuruli Khotimah

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEifEosKlRzFnv10WpWvxrChFX13hPhVznvZ7HjDBz9GgHXe3dyegdIRyM68ED42_uuzHu87rKRN3Vd3tin03u22APGtWLjFl1tR28kWO2EMBZogpy3j9EAjTxx83Ad3wgPEUqPVoiOs4EXq/s1600/18587293.jpg
                
              Kalau ada seorang pengarang fiksi petualangan yang karyanya begitu digemari dan memiliki kesan mendalam di benak para tokoh besar dunia, maka Karl May tidak diragukan lagi adalah salah satunya. Tidak kurang dari tokoh-tokoh besar sekaliber Einstein, Herman Hesse, bahkan Hitler begitu terpesona dengan kisah petualangan ala padang prairi karyanya. Tulisan Karl May begitu khas. Sosok protagonisnya sedikit banyak menggambarkan sosok si penulis. Ini belum ditambah dengan jalinan cerita yang memikat, yang “sangat petualang”, dan detailnya memesona. Keistimewaan ini semakin sempurna karena fakta bahwa Karl May belum pernah mengunjungi Wild West atau kawasan liar di barat dataran Amerika Serikat ketika ia menulis seri Winnetou, Kepala Suku Apache ini. Belum lagi karakter-karakternya yang sangat “Wild West”. Semua tokoh dalam seri ini begitu khas, dengan ciri uniknya masing-masing, sangat tak terlupakan. Juga cara bicara mereka, gaya kesehariannya; pembaca pasti tidak akan kesulitan untuk membedakannya.

                “Jalan Tuhan sering kali ajaib, tapi tetap sangat alami.” (hlm 132)

                Selama puluhan tahun, tidak terhitung berapa banyak pembaca (terutama remaja pria) yang begitu terpesona dan ingin menjadi sosok seorang Old Shatterhand, atau Winnetou. Gaya bercerita Karl May memang “cowok banget” sehingga tidak heran jika pembaca pria langsung menyukai buku ini, mungkin mereka menemukan sosok ideal seorang pria dalam diri Old Shatterhand atau Winnetou. Bagi pembaca wanita, kisah tentang Winnetou ini juga tidak kalah memikatnya. Dua sosok sentral ini begitu “gentlemen”—sebuah kualitas yang kini sudah banyak ditinggalkan oleh banyak pria modern: (sikap ksatria, jujur, memiliki harga diri, dan menjunjung sumpah setia). Bagi pembaca umum, kisah WInnetou sudah begitu detail dan sangat hidup sehingga hampir-hampir tidak ada alasan untuk tidak membaca seri ini—walaupun hanya sekali.

                “Kalau manusia punya keberanian, berarti dia punya kekuatan untuk mengalahkan binatang terkuat sekalipun.” (hlm 115)

Membaca buku ini, pembaca akan dibawa menjelajahi keindahan dan eksotisme alam liar di Wild West yang digambarkan dengan begitu hidup oleh Karl May. Kekuatan detailnya tentang sosok suku Indian, tentang tata cara menaklukkan mustang liar, tentang perburuan banteng, juga tentang berbagai tips dan trik bertahan hidup di alam liar. Sulit sekali membayangkan bahwa buku ini ditulis oleh seseorang yang sama sekali belum pernah menginjakkan kakinya di kawasan Wild West. Pada seri ini, dikisahkan bagaimana Charlie mendapatkan julukannya “Old-Shatterhand”, juga pertemuannya yang pertama dengan sosok Winnetou yang kelak menjadi sahabat Indiannya. Pertama kali  berjumpa, aura kewibawaan Winnetou begitu kuatnya sehingga bahkan orang-orang yang belum pernah mengenalnya pun akan memberikan penghormatan kepadanya. Kualitas-kualitas sosok seorang Indian pemberani dan juga cerdas, inilah yang membuatnya dikagumi.

“Hanya orang yang kasar dan lemah hati yang meremehkan seseorang dengan kekurangan fisik di luar kuasanya.” (hlm 109)

                Old Shatterhand merupakan seri pertama dari beberapa seri Winnetou, Kepala Suku Apache yang ditulis Karl May pada tahun 1890-an. Seri ini mengangkat kisah tentang seorang pemuda Jerman bernama Charlie yang mencoba menyambung nasib di kawasan liar Wild West di Amerika Serikat. Kala itu, Wild West adalah padang prairie liar yang masih sangat berbahaya. Tempat itu diisi oleh suku-suku Indian yang masih suka berperang, dihantui oleh beruang grizzy yang ganas, dikuasai oleh bison-bison liar, serta kuda-kuda perkasa. Alam liar yang tak terjamah. Pemerintah Amerika hendak membangun jaringan rel kereta api melintasi kawasan itu, dan Charlie pun terpilih sebagai salah satu pengukur karena fisiknya yang kuat serta pikirannya yang cerdas.

                “kadang-kadang kita bisa melakukan sesuatu yang tidak kita pahami sama sekali, asalkan kita benar-benar bertekad melakukannya.” (hlm 263)

                Charlie dan kelompoknya kemudian terlibat dalam konflik dengan suku Indian Apache. Bangsa kulit putih dianggap telah merampas dan menodai tanah suku Indian. Pantas saja  suku asli Amerika ini berang karena tanah suci mereka diterobos tanpa izin, binatang buruan mereka diburu hanya untuk bersenang-senang. Berbeda dengan suku Indian yang mengambil seperlunya dari alam, bangsa kulit putih ingin menguasai semuanya. Karl May seolah menyindir sikap sok arogan bangsa kulit putih lewat tindakan mereka yang kelewat batas dalam mengeksploitasi alam dan menekan suku Indian.

                “Apakah hak kami lebih sedikit daripada kalian? Kalian mengaku kalian adalah orang Kristen dan selalu berbicara tentang kasih. Tapi kemudian kalian berkata kalian boleh mcncuri dari kami, sedangkan kami harus jujur kepadamu. Apakah itu kasih? kalian berkata Tuhan adalah bapak bagii smeua orang kulit merah dan semua orang kulit putih. Apakah Dia bapak tiri kami, tapi bapak kandung kalian? (hlm 128)



                Winnetou dan ayahnya berdiri di garis depan melindungi suku dan wilayahnya. Charlie tahu bahwa adalah hak suku Indian untuk membela diri. Tapi keadaan semakin rumit dengan pembunuhan yang dilakukan salah satu rekan pengukur Charlie, yang akibatnya malah memperuncing pertikaian antara kelompok itu dengan suku Indian Apache. Kemudian, datang lagi suku Indian Kiuai yang bukannya membantu tetapi malah semakin membuat cerita bertambah kompleks karena mereka adalah seteru suku Indian Apache. Dengan menggunakan akal, ketangkasan, dan kecerdikannya, Old Shatterhand harus bergerak cepat untuk menyelamatkan dirinya sendiri, dan juga Winnetou. Kelak, kedua tokoh hebat ini akan dipersatukan sebagai dua orang sahabat yang sangat akrab. Buku pertama ini menandai awal persahabatan dua tokoh besar itu, yang dalam buku-buku selanjutnya ditakdirkan untuk mengalami berbagai petualangan yang luar biasa seru di alam liar Wild West.

            Ditulis pertama kali pada tahun 1890-an, seri Winnetou karya Karl May ini tetap abadi dan dikenang oleh mereka yang pernah membacanya. Dan, petualangan di Wild West ala Old Shatterhand menjadi salah satu petualangan paling epik dan tak terlupakan. Anda harus membacanya, walau cuma sekali. Empat bintang penuh untuk buku hebat ini.