Search This Blog

Showing posts with label Puisi. Show all posts
Showing posts with label Puisi. Show all posts

Monday, August 16, 2021

Terbuai Cinta di Tempat Paling Liar di Muka Bumi

Judul : Tempat Paling Liar di Muka Bumi

Pengarang : Theoresia Rumthe & Weslly Johannes

Tebal: 104 hlm

Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

Cetakan: Pertama, 2016


Puisi-puisi cinta yang bermegah kata sempat menguasai jagad perpuisian di negeri ini. Salah satu pionernya adalah pembacaan Kahlil Gibran yang marak di awal tahun 2000. Tidak heran jika puisi-puisi yang muncul di era setelahnya, terutama puisi yang dibikin awam, memiliki corak yang megah kata bingung makna. Kata-katanya tinggi dan cantik, tetapi serasa kosong karena terlihat berlebihan. Buku ini juga bercinta-cintaan, kata-katanya manis, tetapi entah kenapa kok tidak terasa lebai atau berlebihan.


Perempuan dan gelisah,

layaknya lautan biru

kalau kau berdiri di pantai dan bertanya tentang rindu

maka ia akan memberimu satu ombak

untuk menghapus jejak kaki

dan menyiapkan seribu lainnya

supaya engkau terus kembali”

-W, perempuan dan gelisah

Dulu banget, pernah salah mengira buku ini buku non-fiksi tentang alam liar, atau kisah perjalanan di Alaska dan semacam itu. Setelah membuka halaman-halamannya, barulah saya tau bahwa tempat paling liar di muka Bumi adalah dirimu, di dalammu. Sebuah kisah cinta yang dipuisikan oleh dua penulisnya, digambarkan dengan bagus sekali dalam pembuka buku ini: 

"aku ingin bercinta denganmu

dan melahirkan banyak puisi."

Dan sepertinya keinginan itu terkabul dalam puluhan halaman buku ini. Bertabur puisi yang tidak hanya manis tetapi juga realistis. Ya, meski aneka kisah cinta dalam dongeng itu begitu uwu, tetapi kisah yang bertahan di dunia realita adalah cinta yang realistis. Dan inilah yg sepertinya hendak diangkat kedua penyair ini. Semisal tentang jarak, betapa jarak itu perlu tetapi tidak terlalu jauhnya sehingga menyebabkan rindu menjadi kaku karena lama tidak bertemu.

"ingat, jarak baik untuk kesehatan jiwa." (hlm. 71) tetapi LDR yang kepanjangan akan mengacaukan jiwa dan raga, karena "bagaimana mungkin kata dapat menggantikan mata, ciuman-ciuman, dan hangat badan seorang kekasih." (hlm. 84).

Dan wahai para pecinta yang dirundung rindu, pernahkan rindu itu dipuisikan dengan manis tapi tidak klise seperti puisi ini:

"Rindu ini membuatku gerah,

Aku ingin mandi

Dari semua puisi hujan

Yang kautulis."

Maka yang terbaik adalah jatuh cintalah dengan biasa tetapi rayakan dengan semeriah-meriahnya. Caranya ada di halaman 86 buku ini: "tidak ada jalan, selain menjadi diri mereka sendiri dan mencintai tanpa permisi." Lalu nikmatilah.

Karena "yang berdosa itu, ketika jatuh cinta dan tidak menikmatinya."

Mari kita sudahi keindahan ini dengan puisi pamungkas nan sarat makna ini:

"Semoga kita bertemu di sebuah waktu

D mana semua lebih natural dan sederhana.

Sesungguhnya Tuhan itu pecinta.

Ia lebih paham."


NB: Tulisan yang miring atau italic adalah kutipan-kutipan puisi dalam buku ini. 

Monday, October 7, 2019

Yang Tersisih dari Celana: Bulu Matamu, Padang Ilalang

Judul: Bulu Matamu, Padang Ilalang
Penyair: Joko Pinurbo
Tebal: 61 hlm
Sampul: Suku Tangan
Cetakan: Oktober 2019
Penebrit: DIVA Press



Buku "Bulu Matamu : Padang Ilalang" adalah Joko Pinurbo sebelum "Celana". Sebelum diterbitkan DIVA Press, buku ini ternyata sudah pernah diterbitkan oleh Motion Publishing pada tahun 2014. Kok nggak kedengeran ya bukunya? Apa karena diterbitkan oleh penerbit minor sehingga kurang promosi? Bisa jadi sih, tapi ini kan Jokpin! Masak buku Jokpin kok nggak digeber promosinya. Rugi dong. 

Atau, mungkin karena puisi-puisi di buku ini memang--menurut pandangan saya--tidak atau belum semegah puisi-puisi Jokpin yang lain? Dalam pengantar di buku ini, Jokpin memang menyebut puisi-puisi dalam buku ini sebagai puisi-puisi yang ditemukan ketika beliau sedang menyortir dan mengarsipkan puisi-puisi untuk buku Celana. Bisa diibaratkan, puisi di buku ini adalah apa-apa yang tersisihkan dari buku tersebut. 

Puisi di buku ini kebanyakan ditulis antara tahun 1980 - 1996. Kemungkinan, Jokpin mengirimkannya ke koran minggu atau majalah sastra. Buku ini sekaligus bisa menjadi dokumentasi hasil karya sang penyair yang tak kenal berhenti berpuisi sejak awal tahun 1980-an. Bukti bahwa Jokpin memang benar-benar tekun beribadah di jalan puisi. Mengamati puisi-puisi di buku ini, kita juga bisa membandingkannya dengan puisi-puisi beliau yang terkini.

Bagi pembaca setia Jokpin, akan langsung terlihat bedanya--walaupun mungkin samar. Memang, kekhasan puisi-puisi Jokpin yang biasanya ringkas, pendek, dan menohok kurang begitu tampak di sini. Puisi-puisinya cenderung memanjang, walau tetap bercerita, serta masih mempertahankan kekuatan rimanya yang khas Jokpin, yakni bunyi /u/ atau /n/ yang entah bagaimana membawa nuansa muram. 

Rima dan "bercerita" sepertinya masih jadi andalah Jokpin dalam berpuisi. Ada tiga puisi panjang di buku ini yang memiliki bentukan semacam bab-bab dalam novel, yakni "Membaca Koran Pagi", "Kisah Isma", dan "Perginya Zarah". Puisi "Membaca Koran Pagi" tampaknya yang paling banyak mendapat aplaus karena baris-barisnya yang seperti bernyanyi: "seperti puisi, ibu tersenyum menghangatkan pagi / Kami biarkan koran mengoceh sendiri." (hlm. 46)


Saya sendiri paling suka sama puisi "Layang-Layang" ini:

Sekarang umur pun tak pernah lagi dirayakan
selain dibasahkuyupkan di bawah hujan.
Namun kutemukan juga layang-layang itu
di sebuah dahan meskipun tanpa benang
dan tinggal robekan. Aku ingin
berteduh di bawah pohon yang rindang.

Idola memang penyair yang satu ini.

Sebagai tambahan, sampul buku puisi ini akan terlihat sangat indah ketika diamati dari dekat, seperti saat kita memandang bulu mata. Kertasnya juga tebal dan bagus, cocok untuk dikoleksi di lemari sastrawi atau dibacakan keras-keras di depan kelas. 

Monday, February 26, 2018

Puisi-Puisi Politik Jokpin dalam Celana



 Judul: Celana
Penyair: Joko Pinurbo
Cetakan: Februari 2018
Tebal: 88 hlm
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama



Di Festival Sastra Basabasi akhir 2017 lalu, ketika Jokpin dipertemukan dalam satu panggung dengan Sapardi Djoko Damono, beliau menyebut betapa Sapardi merupakan penyair yang menjadi inspirasi utama karya-karya awalnya. Sapardi pun menanggapi dengan sedikit bercanda, sambil bercerita sempat beliau jalan-jalan ke Shopping Center (pasar buku bekas di Jogja dulu, kini di kompleks Taman Pintar) dan menemukan salah satu buku puisinya. Di buku lecek itu tertera nama pemiliknya, yakni Joko Pinurbo. Jokpin sendiri langsung ingat bahwa dia pernah punya buku puisi karya Sapardi yang kemudian hilang entah kemana, dan ajaibnya malah ditemukan oleh penyairnya sendiri di pasar loak wkwk. 

Bukan hanya soal temuan buku puisi ini yang menarik. Lebih menarik lagi adalah betapa puisi-puisi Sapardi di buku milik Jokpin itu dicorat-coret oleh pemiliknya. Bukan sembarang coretan, tetapi coretan catatan. Jokpin seperti sedang membedah puisi-puisi Sapardi, mencari-cari keistimewaannya untuk kemudian ditandai, dan catatan hasil analisisnya itu dia tulis langsung di samping puisi yang tengah dibedah. Ini satu lagi bukti yang menunjukkan betapa guru terbaik seorang penulis (termasuk penyair) memang penulis (atau penyair) lainnya. 

Tuesday, January 16, 2018

Bertuhan pada Bahasa, Berlindung pada Cinta



Judul: Bertuhan pada Bahasa
Penulis: Sengat Ibrahim
Penyunting: Tia Setiadi
Cetakan: Januari 2018
Tebal: 157 hlm
Penerbit: Basabasi




Iseng saya membuka biografi penulis buku ini. Terkejutlah saya betapa si penyair ternyata masih begitu belia, yakni kelahiran 1997. Coba bandingkan dengan tahun lahir saya yang sudah begitu beliau. Ada rasa takjub, juga malu, mengetahui betapa dalam usia yang masih begitu muda, Sengat telah mampu menghasilkan sajak-sajak yang menghibur pembaca dengan rima-rimanya. Memang, semakin maju ke sini, semakin banyak bibit-bibit muda yang sudah mulai menunjukkan buah bakatnya. Tetapi, jika kita mau meluangkan sejenak membaca pengantar buku ini, pembaca akan tahu betapa sejak usia begitu muda, sajak tidak pernah meninggalkan Sengat, dan begitu pula sebaliknya. Penyair belia ini juga telah menunjukkan keberanian yang jarang ditunjukkan pemuda seusianya, yang tetap memihak pada sajak meskipun dunia (termasuk orang-orang terdekat) menentangnya. Dan sajak tidak pernah lupa untuk membalas jasa. Sajak-sajak menarik di buku ini adalah buktinya.

dewi kenangan
segelas kopi mengajariku
bagaimana menelan rasa pahit dan manis dalam hidup
pada waktu bersamaan. (hlm. 27)

Wednesday, January 3, 2018

Mari Bernyanyi sambil Berlatih Solmisasi

Judul: Berlatih Solmisasi, Kumpulan Puisi
Penyair: Dedy tri Riyadi
Cetakan: November 2017
Tebal: 163 hlm
Sampul: Amalina
Penerbit: Basabasi




Di antara semua jenis karya fiksi, puisi adalah yang paling mendekati bentuk lagu. Bahkan, lagu (lirik lagu mungkin) bisa digolongkan sebagai ragam puisi. Dalam skripsi saya yang entah telah berapa juta tahun lalu digarapnya itu, saya menggunakan teori analisis puisi untuk menganalisis lirik-lirik lagu dalam novel The Hobbit-nya Tolkien (Maaf ye bukannya nyombong, tapi kesempatan pamer sih jangan disia-sikan wkwkwk). Mungkin ini bisa menjawab alasan mengapa banyak puisi-puisi yang indah sekali (dan memang cocok) ketika dinyanyikan dengan ditambah iringan instrumen musikal. Memang, puisi sendiri tidak bisa lepas dari elemen-elemen musikal sebagai penyusun keindahannya. Berbeda dengan cerpen atau novel yang lebih mengandalkan isi, kebanyakan puisi sangat mengandalkan bentuk dan gaya. Tidak kemudian isi puisi (meaning) menjadi tidak lebih penting daripada bentuknya (form), tetapi bentuk mendapatkan porsi yang lebih besar dalam puisi ketimbang dalam cerpen atau novel. Jika pun ada cerpen atau novel yang lebih menonjolkan bentuknya, maka itu sah-sah saja atas nama kreativitas dan eksperimentasi. 

“hingga kau dengar tak ada | nada panjang pada kata ‘cemara’ | setelah ‘kiri-kanan’ yang kedua.” (Stt ... Kau tahu? Ada Harimau Bersembunyi dalam Lagu Naik Naik ke Puncak Gunung, hlm. 47)

Wednesday, October 4, 2017

Tahilalat, Puisi Fiksi Mini ala Jokpin

Judul: Tahilalat
Penyair: Joko Pinurbo
Cetakan: Pertama, Oktober  2017
Tebal: 108 hlm
Penerbit: Basabasi



Selalu  kangen dengan puisi-puisi Joko Pinurbo. Melalui puisi, Jokpin seperti membuat semacam fiksi mini tetapi tetap dengan aplikasi unsur-unsur puisi seperti rima dan ketukan. Jika fiksi mini mungkin terbatasi pada 140 karakter, maka cerita-cerita Jokpin ini terbatasi ketukan serta rima. Ini yang bikin puisi-puisi beliau terasa selalu khas. Awalnya dibuka dengan cerita, kemudian berlanjut pada permainan kata-kata dan nada, sebelum tanpa sadar pembaca sudah terseret dalam pesonanya.

Di rumah itu mereka tinggal berdua
Bertiga dengan waktu. Berempat dengan buku
Berlima dengan televisi. Bersendiri dengan puisi.
(hlm 72)


Puisi-puisi Jokpin juga dikenal karena penggunaan kata-katanya yang singkat dan efektif. Diksi atau pilihan katanya sederhana sehingga mudah dicerna, walau kadang makna puisinya butuh perenungan dulu untuk mencerna apa yang hendak disampaikan. Sayangnya, karena buku ini adalah penerbitan ulang dari buku beliau (pertama terbit September 2012) sehingga tidak banyak mencolek isu-isu aktual sebagaimana khasnya Jokpin dalam buku puisi terbarunya Buku Latihan Tidur: Kumpulan Puisi yang keren banget itu. Tapi, tetap saja, puisi-puisinya selalu layak dinikmati kapan pun.

Mungkin cara terbaik untuk mencegah
Kemunculannya adalah berhenti menulis

Tapi kawan saya bilang, “Bukankah
Tanpa dia sudah lama kamu mati?”

(hlm. 65)


Sayangnya, ada beberapa eh banyak puisi di buku ini yang sepertinya sudah pernah saya baca di bukunya yang lain, misal Cenala, Durrahman, dan Liburan Sekolah. Jika ada yang baru di buku ini mungkin puisi-puisi pendek yang mendominasi awal-awal buku ini. Seperti sajak Duel di halaman 11.

Ayo, buku, baca mataku! 

(2007)

Wednesday, September 13, 2017

Bercinta Lewat Puisi dalam Kasmaran

Judul: Kasmaran, Sepilihan Puisi
Penyusun: Usman Arrumy
Cetakan: Pertama, September 2017
Tebal: 144 hlm
Penerbit: DIVA Press



Puisi-puisi di buku ini disusun berdasarkan rentang tahun penulisannya, dimulai dari tahun 2016 lalu mundur hingga ke tahun 2013. Secara tidak langsung, pembaca juga bisa turut merasakan serta mengalami perkembangan yang dialami Usman Arrumy dalam proses berpuisinya. Favorit saya adalah puisi-puisi dari tahun 2016. Coraknya pendek tapi lugas, sederhana tapi tetap dapat maknanya. Rima dan alur penulisannya sedikit mengingatkan saya pada puisi-puisi Jokpin. Dan, benarlah. Ada satu puisi khusus persembahan penulis untuk Joko Pinurbo di buku ini. Puisi yang berjudul "Insomnia II" ini menggunakan kata-kata yang sering banget kita temui pada baris-baris Jokpin. Apalagi kalau bukan 'kopi'.

Insomnia terbuat dari mata kopi
Yang menyerahkan tatapannya
Pada mata seorang pecinta. (hlm. 28)  

Bahkan baris pertamanya langsung membawa kita pada satu baris epik puisi Jokpin:  “Jogja itu terbuat dari rindu, pulang, dan angkringan.” Pun jika kita telusuri lebih lanjut puisi ini, jejak Jokpin masih kentara, terutama dalam penggunaan si aku sebagai subyek yang menanggung untuk kepentingan si tercinta. Pola puisi yang pendek-pendek, kaya makna, dan diwarnai dengan permainan kata-kata ala Jokpin ini juga terlihat jelas di beberapa puisi penulis dari tahun 2016. Salah satu yang menjadi favorit saya adalah puisi "Buku dan Kamu" di halaman 42.

Buku dan kamu tak ada bedanya;
Buku menampung kata-kata.
Dan kamu menampung air mata.
Keduanya sama-sama berasal dari cinta.


Rupanya, saya lebih cocok dengan puisi-puisi pendek tapi berima dan bermakna dari tahun 2016 ini ketimbang puisi-puisi penulis dari era sebelumnya. Semakin ke belakang, puisi-puisinya entah kenapa kok terasa semakin panjang. Usman Arrumy konsisten menggunakan asmara sebagai tema utama, tetapi--sebagaimana disebut Sapardi Djoko Damono dalam pengantarnya untuk buku ini--sebelumnya puisi-puisinya bercorak panjang. Juga semakin banyak perlambang. Puisi-puisi dari era 2015 bisa dibilang berjenis puisi permenungan yang lahir dari tirakat sang penyair. Kita agak harus sedikit mengeryitkan dahi untuk bisa memahami dan menyerap makna dari puisi-puisi panjangnya. Untungnya, bahkan dengan mengesampingkan maknanya, saya sudah sangat terhibur dengan aplikasi perimaannya

Jika kauletakkan di mata, aku penangkal kelimun kantukmu
Meraba rabunmu agar manik dunia dapat kauintip melalui naluriku
Aku penimba luh yang mudah luluh jika sesaat saja kau merasa jauh
(Terzina Rindu, hlm. 48)

Selain konsisten dengan tema cinta, yang patut diacungi jempol dari penyair ini adalah konsistensinya dalam mempertahankan rima serta pemilihan diksi yang rupawan. Seandainya digarap oleh orang kebanyakan, tema cinta dan rindu mungkin hanya akan jatuh pada puisi alay. Berbeda dengan puisi-puisi di buku ini, ketika cinta dan rindu bisa hadir dalam kecantikan penuhnya.

Rinduku padamu, kekasihku
Hanya bisa dijelaskan oleh batu
yang selalu mengasingkan dari keriuhan waktu
Kesunyiannya bersikeras mewakili kesendirianku
(Milestone of Adore, hlm. 54) 

 Jika engkau sedang dimabuk cinta, atau hendak mencari kado yang tepat untuk para perindu, buku kumpulan puisi ini untuk kamu.


Tuesday, May 9, 2017

Berguru Menulis Puisi Kepada Rindu



Judul: Berguru kepada Rindu
Penyusun: Acep Zamzam Noor
Sampul: Amalina
Cetakan: Pertama, April 2017
Tebal: 88 hlm
Penerbit: DIVA Press



Dalam acara Kampus Fiksi Emas 2017, Joko Pinurbo menyebaut Acep Zamzam Nor sebagai penyair yang karya-karyanya wajib dibaca. Terutama bagi para calon penyair yang ingin memyempurnakan keahlian bermulut manisnya berpuisinya. Memang, guru terbaik para penulis adalah para penulis yang lainnya. Maka begitu pula, guru terbaik penyair adalah penyair-penyair lainnya. Jadi, selain mau  membaca alam dan kejadian di sekitarnya, seorang penyair harus tekun membaca karya-karya penyair lain untuk bisa menghasilkan karya-karya puisi yang tetap bagus dan semakin dahsyat. Menurut Jokpin, puisi-puisi Acep memiliki aroma alam yang kental. Puisi-puisinya memang banyak menggambarkan tentang fenomena alam. Fenomena-fenomena ini ditangkapnya dengan indra, kemudian dipindahkan dalam baris-baris kata yang tak kalah indahnya.

Keteguhan dipunyai gelombang
Dengan tariannya yang lentur
Ketabahan dimiliki karang
Yang tulus menerima setiap debur

Keteguhan dipegang ufuk
Sebagai pembatas ruang dan waktu
Kematangan digenggam matahari
Yang rela tenggelam untuk terbit kembali
(Pelajaran dari Teluk, 2014)

Menggunakan kata-kata yang sederhana, bait-bait pendek, Acep mampu menghasilkan puisi yang mengalun lembut. Pilihan kata-katanya bisa dipahami awam, dan ini masih dilengkapi dengan nada lagu yang tercermin pada rima-rimanya (silakan baca baris 2 dan 4, serta 7 dan 8 pada puisi di atas). Dari semua puisi di buku ini, kebanyakan memang pendek-pendek dan ringkas, dan ini menjadi ciri khas sendiri yang sekaligus memudahkan pembaca puisi tingkat awal seperti saya untuk bisa menikmatinya. 

Cinta adalah buku tebal
Yang tak pernah akan selesai
Aku baca
(Cinta, hlm. 36) 

Friday, April 7, 2017

Rendra, Melawan dengan Puisi

Judul: Orang Orang Rangkasbitung
Penyair: Rendra
Cetakan: Pertama, April 2017
Tebal: 76 halaman
Penerbit: DIVA Press dan Mata Angin


No automatic alt text available.



Samar-samar saya pernah  membaca nama W.S. Rendra saat SMA dulu. Baca namanya doang sih belum baca karyanya. Kemudian pas era kuliah ketemu lagi, kali ini saya sempatkan baca karyanya juga. Sosok Rendra dalam ingatan saya adalah sastrawan berambut gondrong yang kalau lagi membacakan puisi-puisinya terasa banget aura gaharnya. Apalagi, puisi-puisi yang dibacakan Rendra biasanya bernada perlawanan. Dengan ekspresi muka yang sedemikian menghayati isi puisi, serta suaranya yang lantang menggelegar, menyaksikan pembacaan puisi oleh penyair ini niscaya akan mampu menghadirkan kenangan tersendiri. 

Betapa Rendra memang seorang seniman yang total dalam berekspresi, tidak hanya dalam kata-kata yang dipilihnya tetapi juga dalam hal bagaimana ia membawakan puisi-puisi perlawanan tersebut. Tidak heran jika Rendra pernah dikenal sebagai pembaca sanjak termahal di dunia. Konon, pada tahun 1990-an, bayaran untuk satu sesi pembacaan puisi untuk Rendra adalah 3 juta rupiah di Bandung dan Semarang, hingga 12 juta rupiah di TIM Jakarta. Itu tahun 1990-an loh, uang jajan saja masih 500 perak dan uang segitu udah bisa dapat soto satu mangkok plus es teh dan gorengan diplastik kasih sambal. Yah, begitulah. Ketika seseorang sudah fokus dan benar-benar mendalami keahliannya, maka uang akan datang menghampiri *malah ceramah motivasi.

Thursday, April 6, 2017

Puisi Puisi Online


Judul: Diet Stalking, Sepilihan Puisi
Penyusun: Anis Sayidah
Penyunting: Tia Setiadi
Sampul: Amalina
Cetakan: Pertama, Januari 2017
Tebal:119 hlm
Penerbit: DIVA Press
ISBN: 978-602-391-377-
0


Paling suka puisi yang ini:

SEJAK KAPAN, YANG DIKETIK
SELURUHNYA DENGAN HURUF-HURUF BESAR
DISANGKA SEDANG MARAH?

CAPSLOCK JADI SENDIRIAN
MENEPI DI SISI KEYBOARD PALING KIRI
DAN RAJIN MEMARAHI DIRINYA SENDIRI
                                                       (Capslock, hlm. 80)

Wednesday, March 1, 2017

Terbuai Jok Pin dalam Ibadah Puisi

Judul: Selamat Menunaikan Ibadah Puisi
Penyusun: Joko Pinurbo
Cetakan: Juni, 2016
Tebal: 212 hlm
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Baca di: Scoop

 30531785

Membaca puisi-puisi Jok Pin adalah membaca keistimewaan dalam kesederhanaan. Tanpa kata-kata tinggi yang tak tersentuh awam, Jok Pin selalu berhasil membuai pembaca lewat puisi-puisinya yang bercerita. Ini masih ditambah dengan permainan bunyi-bunyian dalam kata-kata pilihan, menjadikan deretan kata-kata biasa terasa lebih istimewa lewat puisi-puisinya. Kelebihan ini masih ditambah dengan ending yang seperti mempermainkan pembaca, tetapi dengan cara yang menyenangkan. Rasanya, selalu ada yang layak ditunggu di bagian penghujung puisi-puisinya. 

Masa kecil kaurayakan dengan membaca,
Kapalamu berambutkan kata-kata
Pernah aku bertanya, "Kenapa waktumu
kausia-siakan dengan membaca?" Kaujawab ringan.
"Karena aku ingin belajar membaca sebutir kata
yang memecahkan diri menjadi tetes air hujan
yang tak terhingga banyaknya."

Kau memang suka menyimak hujan.
Bahkan dalam kepalamu ada hujan
yang meracau sepanjang malam

Itulah sebabnya, kalau aku pergi belanja
dan bertanya minta oleh-oleh apa, kau cuma bilang
"Kasih saja saya beragam bacaan, yang serius
maupun yang ringan. Jangan bawakan saya
rencana-rencana besar masa depan.
Jangan bawakan saya kecemasan."


(Surat Malam untuk Paska)


Tema-tema puisinya awam dan lugas, tetapi ada kecenderungan Jok Pin menggunakan satu tema besar dalam puisi-puisinya. Di antaranya celana, hujan, dan buku. Penyair ini sepertinya tetap konsisten menampilkan permainan bunyi dari kata-kata sederhana, alih-alih menggunakan kata-kata kaya akan metafora sebagaimana banyak dipakai penyair-penyair eara kekinian. Prinsip 'puisi yang berbunyi' sebisa mungkin dipertahankan, meskipun akhirnya hanya berujung pada perulangan penggunaan kata-kata yang pendek dan sederhana.

Selamat ulang tahun, buku. Anggap saja
aku kekasih atau pacar malangmu.
Selamat panjang umur, cetak ulang selalu.

(Selamat Ulang Tahun Buku)

Walau begitu, tidak kemudian puisi-puisi ini jadi semacam larik-larik pasaran. Tidak sekadar berlagu, Jok Pin mempertahankan elemen "puisi yang bercerita" dengan sedikit pengaruh cerpen yang ditandai pada ending mengejutkan di larik paling belakang. Seperti pada puisi 'Dengan Kata Lain' di halaman 126 yang berkisah tentang seorang aku yang baru pulang ke kampung halaman.  Keluar dari stasiun, si aku lalu mencari tukang ojek untuk mengantarnya pulang ke rumah. Tak disangka, tukang ojek itu adalah mantan gurunya dulu. Sesampai di rumah, di tukang ojek keburu berlalu padahal si aku belum sempat membayar ongkos ojeknya. Si aku bingung, pembaca juga penasaran. Kemudian, perhatikan bait terakhir di puisi ini:

Tak ada angin, tak ada hujan, Ayah tiba-tiba
bangkit berdiri dan berseru, "Dengan kata lain,
kamu tak akan pernah bisa membayar gurumu."

Masih banyak lagi puisi-puisi seru di buku ini. Seluruhnya bisa dibaca sambil lalu, atau dinikmati pelan-pelan satu-per-satu. Sambil menikmatinya pelan-pelan, membaca puisi-puisi di buku ini adalah hiburan yang menyenangkan, sama sekali tidak memberatkan. Jika pun ada beberapa puisi di buku ini yang terlampau panjang sehingga menjenuhkan, atau sedikit berisi sehingga memusingkan, cukup dinikmati dulu saja. Semoga selalu masih ada nanti ketika kita bisa menenggoknya kembali.  

Monday, May 16, 2016

Baju Bulan

Judul: Baju Bulan
Penyair: Joko Pinurbo
Tebal: 82 hlm
Cetakan: Pertama, April 2013
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama


 17623155


Pertama kali mengenal penyair Jokpin lewat puisi tentang Paskah-nya yang sangat unik lagi istimewa. Puisi-puisi beliau memang khas, Jokpin ibaratnya langsung memukul pembaca dengan permainan kata-katanya yang membuat pembaca tersentak saat selesai membaca puisinya. Kata-kata yang digunakan sederhana--sesederhana judul-judulnya (Celana, Cita-Cita, Atau atau Jendela)--namun sangat bertenaga.  Jenis-jenis puisinya ibarat cerpen, yakni puisi yang bercerita dan rata-rata dihiasi dengan ending yang klimaks, jenis ending yang membuat pembacanya serasa kehilangan kata-kata. Puisi Celana Ibu adalah yang paling mengagumkan, menunjukkan kepiawaian beliau dalam memainkan kata-kata dalam bahasa Indonesia yang terkenal sulit itu:

Ketika tiga hari kemudian Yesus bangkit
dari mati, pagi-pagi sekali Maria datang
ke kubur anaknya itu, membawa celana
yang dijahitnya sendiri.
 
Paskah?" Tanya Maria
"Pas sekali, Bu," jawab Yesus gembira.
(hlm 45)


 Apa yang hendak disampaikan Jokpin dalam puisi-puisinya adalah semacam sentilan dalam bahasa yang sederhana namun sarat makna. Tentang kehidupan, tentang hal-hal sederhana yang luput hingga kita lupa, juga tentang pelbagai hal sederhana namun kaya makna yang sering kita abaikan dalam hidup yang serba hibuk dan sibuk ini. Coba dibaca puisi Dengan Kata Lain (hlm. 48) yang ditutup dengan kejutan tak terduga. Seorang dewasa pulang kampung naik naik ojek dari terminal menuju rumahnya. Tidak disangka, tukang ojek itu adalah guru Sejarahnya dulu. Meskipun sungkan dan enggan, tetap saja dia menyewa ojek itu dengan catatan dia akan membayar dengan ongkos yang berlebih sebagai wujud penghargaan. Namun sayang, belum sempat dia membuka dompet untuk mengambil uang sesampainya di rumah, tukang ojek a.k.a gurunya itu sudah keburu pergi. Dalam ketertegunannya, ayah si pemuda tiba-tiba bangkit dan berkata:

"Dengan kata lain,
kamu tak akan pernah bisa membayar gurumu.

Tema-tema yang disuguhkan dalam buku ini pun bervariasi, tapi semuanya seperti memiliki kesamaan: sederhana namun padat makna serta mampu menyentuh hati kita. Membaca puisi-puisi di buku ini tidak cukup satu kali, dan anehnya lagi puisi-puisi di buku ini sepertinya tidak membosankan untuk dibaca lagi dan lagi. Selalu ada keindahan dan makna tersendiri setiap kali kita membacanya, baik acak ataupun berurutan. 

Ada satu puisi yang sangat saya sukai karena mengangkat tema yang jarang diangkat dalam puisi, yakni membaca.

'Masa kecil kaurayakan dengan membaca.
Kepalamu berambutkan kata-kata.
Pernah aku bertanya, "Kenapa waktumu kau sia-siakan dengan membaca?"
Kau jawab ringan, "Karena aku ingin belajar membaca sebutir kata
yang memecahkan diri menjadi tetes air hujan
yang tak terhingga banyaknya.


Itulah sebabnya, kalau aku pergi belanja
dan bertanya minta oleh-oleh apa, kau cuma bilang,
"Kasih saja saya beragam bacaan, yang serius
maupun yang ringan. Jangan bawakan saya
rencana-rencana besar masa depan.
Jangan bawakan saya kecemasan."

                                                                              (Surat Malam untuk Paska, hlm. 15)






Mari kita membaca.
 

Wednesday, May 4, 2016

Tangan yang Lain



Pengarang: Tia Setiadi
Sampul: Joni Ariadinata
Sumber lukisan untuk sampul: Apple, karya Arya Sucitra
Cetakan: 1, Mei 2016
Tebal: 116 hlm
Penerbit: DIVA Press

Menulis puisi adalah membebaskan kata-kata dari belenggu yang menyangkarnya dalam kalimat dan paragraf. Puisi adalah kesempatan ketika penyair maupun membaca bisa menggali keajaiban kata-kata hingga ke batas-batasnya yang paling maksimal—namun tetap indah. Dan itulah yang dilakukan Tia Setiadi dalam kumpulan sajak ini. Membaca rombongan puisi-puisi panjang di buku ini adalah sebuah pengalaman panjang nan istimewa. J alinan kata-kata yang ditenung oleh Tia Setiadi (yang dengan gaibnya mampu menenungkan pengetahuan pembacaannya dalam jalinan puisi) dalam buku kumpulan puisi ini. Seperti saya, pembaca yang jarang baca puisi ini, mampu duduk termanggu menikmati kata-kata biasa yang ditata dan diperlakukan secara istimewa.

Bagaimana bila suatu petang kau bercermin
Dan yang kau pandang di sana bukan wajahmu

Melainkan riak senja yang mengalir,
Arus awan di langit, dan nyala api di kejauhan

Wajahmu menjadi jejak yang meraib
Dan terbakar dalam bening api

Dan api adalah puisi itu. (Cermin, Sungai, Puisi untuk Jorge Luis Borges, hlm. 94)

Dalam sastra, manusia baru bisa melihat kata-kata berkelit dan melompat sedemikian rupa dalam bentuk yang tidak biasa. Buku Tangan yang Lain ini menjadi pembuktiannya. Bait-bait pendek dan panjang, beberapa malah begitu panjang sampai berhalaman-halaman, dalam buku ini seperti hendak bercerita panjang dalam cara yang ringkas. Bahkan sebuah jeruk pun ternyata bisa berpanjang-panjang ketika sejarahnya dikupas cantik oleh Tia di halaman 53. 

Untuk memahami jiwa sebutir jeruk
Kau perlu menyimak riwayatnya
Mengikuti pengembaraannya
Menyebrang benua demi benua,
Melintas bangsa demi bangsa,
Dengan puluhan kali bersulih nama.

Untuk menulis dan menikmatinya dibutuhkan pengetahuan yang agak pelik, terutama tentang simbolisme dan penggunaan perangkat bahasa (rima, bunyi, larik, dan suku kata). Sapardi Djoko darmono menyebut puisi sebagai mahkotanya bahasa. Puisi tercipta ketika seseorang mampu bermain-main dengan bahasanya, bercumbu dan sesekali berkelahi dengannya. Dalam sejarahnya, puisi merupakan susatra yang pertama kali muncul, yakni dalam bentuk nyanyian dan kidung suci kuno. Namun dalam perjalanannya di dunia modern, puisi menjadi kurang popular dibandingkan kedua adiknya, novel dan cerita pendek. Mungkin, karena sifatnya yang ringkas, banyak bermain dengan simbol, dan sangat menjunjung permainan bunyi; banyak yang beranggapan puisi sebagai sastra yang berat, sesuatu yang hanya layak dibaca para penyair dan pemerhati sastra. Benarkah demikian? Tentu tidak.

Lebih lengkap, ulasan ini bisa dibaca di basabasi.co.

Tuesday, February 23, 2016

Melihat Api Bekerja


25325367        

Judul: Melihat Api Bekerja            
Penyair: Aan Mansyur
Sampul dan Ilustrasi isi: EmTe
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: 1, 2015
Tebal: 160 hlm

 Membaca Melihat Api Bekerja adalah melihat puisi bekerja. Dan, puisi tidak pernah bekerja secara biasa, karena dia adalah istimewa. Seperti istimewanya jalinan kata-kata yang ditenung oleh Aan Mansyur (saya curiga penulis menenungnya dengan sihir kata-kata zaman lampau dalam wujud kekinian) dalam buku kumpulan puisi ini, berhasil membuat banyak pembaca—yang buta puisi sekalipun seperti saya—duduk termanggu menikmati kelincahan kata-kata. Dalam sastra, manusia baru bisa melihat kata-kata berkelit dan melompat sedemikian rupa dalam bentuk yang tidak biasa. Buku kumpulan puisi ini menjadi pembuktiannya. Bait-bait pendek dan panjang, sama-sama bertenaga!

                “Sebagian mimpi harus rela berhenti dan menjadi rahasia.” (hlm. 143)

                Dalam pengantarnya untuk buku kumpulan puisi ini, Sang Hujan Bulan Juni alias Bapak Sapardi menyebut bahwa sastra baru bisa disebut sebagai sastra ketika dia dituliskan. Syair semata, sebagai bentuk tutur-lisan—yang karenanya terancam hilang ketika ingatan mulai berkarat—membutuhkan sarana aksara agar tetap bertahan dan tetap bercerita kepada generasi-generasi setelahnya sebagaimana dia bercerita kepada kita kini. Dan, puisi-puisi dalam buku ini memang terasa sangat bercerita. Mungkin, inilah sebab mengapa membaca kumpulan puisi ini tidak terasa seperti membaca puisi. Kita seperti menyimak cerita yang dikisahkan lewat puisi-puisi, dengan bahasa puitis, dan diksi nan indah tertenung dalam larik-larik tak biasa.

                “Ada kalanya puisi seperti cinta. Tidak tahu di mana harus berhenti.” (hlm. 51)

                Sebagaimana karya prosa, larik-larik puisi penulis dalam Melihat Api Bekerja terasa sangat bercerita—padahal ini buku kumpulan puisi. Jika banyak puisi lain cenderung gegas dan padat menyingkat, membatasi (atau terbatasi) karena larik-larik yang cepat dan ringkas dengan tetap meruapkan efek dramatisasi, maka puisi-puisi di buku ini seperti dibawakan dengan lebih santai, dengan gaya seperti prosa. Dengan kata lain, puisi di buku ini terasa lebih ber-paragraf sebagaimana karya-karya prosa pendek. Namun, anehnya, larik-lariknya tetap bertenaga dan menyimpan nyawa sebuah puisi.

                “Berhenti. Jangan berangkat sebelum tiba,” katanya. (hlm. 80)

                Sebagai penyair, penulis juga piawai memanfaatkan hak licencia poetica yang dimilikinya semaksimal mungkin. Dalam larik-larik puisinya, dia pertemukan kata-kata yang jarang akur dalam keseharian sehingga memunculkan efek dramatis yang bertentangan, aneh, namun entah kenapa indah. Kreativitas ini memunculkan makna dan nuansa baru dari kata-kata. Dia membuat kata-kata saling berkelahi sehingga kita bisa menikmati suara-suara dari kata-kata yang mungkin selama ini jarang kita dengar gaungnya. Dalam puisi Menjatuhkan Bintang-Bintang (hlm. 27) misalnya,  Aan Mansyur mempermainkan hari-hari dalam seminggu menjadi kisah yang unik dan sangat bertenaga.

“Begini ramalan cuaca pekan ini. Besok, udara lebih cerah dari senyum bayi. Lusa, langit remaja jatuh cinta—ceria, panas, dan mengumpulkan hujan. Kamis penuh awan berbentuk tanda baca. Jumat, curah dari awan mirip kebun binatang. Sabtu, alam penuh api dan apa pun yang menyerupai itu. Minggu, tidak ada cuaca.”

Saat membaca puisi, kita sering terkaget takjub melihat keberanian penyair yang mendorong kata-kata ke batas-batas eksplorasi mereka. Kapan lagi kebun binatang bergandengan dengan awan kecuali di puisi? Atau, kapan lagi membenci itu bisa sebesar mencintai kecuali di puisi? Lewat puisi-puisi ini, Aan Mansyur kembali menghadirkan kebesaran puisi yang selama ini sempat tersisihkan dalam jagad pembaca, bahkan tanpa harus banyak mengumbar kata-kata tinggi dan penuh bebunggaan. Jarang sekali saya temukan kata-kata lampau atau sulit di buku ini, semuanya relative sederhana, hanya saja diolah sedemikian istimewa lewat pemanfaatan perangkat-perangkat khas puisi.

                “Aku tak pernah membenci apa pun sebesar aku mencintai matamu.” (hlm. 44)

Lebih istimewa lagi, buku kumpulan puisi ini dilengkapi ilustrasi karya MT yang terkesan absurd namun nyeni—mengingatkan pembaca pada ilustrasi-ilustrasi pada cerpen Minggu di surat kabar. Sementara Aan Mansyur memanjakan telinga dengan bait-bait puisinya, MT memanjakan mata pembaca dengan sapuan-sapuannya yang berani lagi berjuta makna. Sebuah perpaduan unik yang menawarkan sebuah pengalaman baru dalam menikmati sastra, inilah Melihat Api Bekerja. 

gambar: Goodreads.com dan sebuahsaja.files.wordpress.com