Pengarang: Kuntowijoyo
Sampul: Faizal
Cetakan: Pertama, Mei 2017
Tebal: 223 hlm
Penerbit: DIVA Press
Dalam perjalanan hidupnya, manusia selalu merindukan
waktu-waktu untuk merenungkan kembali apa makna dari hidup yang tengah
dijalaninya. Orang-orang zaman dulu biasa melakukannya dengan menyepi ke tengah
hutan, atau bersemadi di tengah-tengah alam liar. Orang-orang modern zaman
sekarng mungkin menggantinya dengan menyewa vila di Puncak setiap akhir pekan. Keasrian
dan keheningan alam memang terbukti manjur mengusir segala penat akibat beban
keseharian. Sampai suatu titik, perjalanan hidup seseorang mungkin akan sampai pada titik yang membosan
bagi si empunya. Tidak peduli seberapa sukses perjalanan kariernya, banyak
orang yang merindukan bisa kembali kepada keheningan asali, kepada muasalnya
yang tercipta sebagai mahkluk yang tak ada apa-apanya. Karena tanpa memiliki
apa-apa saat kita lahir, maka tanpa membawa apa-apa pula saat kita pamit dari
dunia ini kecuali amal kebajikan.
“Pikiran kita jauh
lebih berat dari ransel.” (hlm. 61)
Kegelisahan inilah yang dialami Barman. Pensiunan sukses ini
memiliki karier gemilang di masa lalunya. Berbagai negara di dunia juga telah
dijelajahi. Pun, Barman jua dianugrahi keluarga yang lumayan harmonis. Putra
satu-satunya tumbuh menjadi penerus bisnis yang dapat diandalkan, serta
memberikan cucu-cucu yang teramat menawan. Tetapi, manusia memang selalu
kurang. Ditengah segala kelengkapan yang didapatkannya, Barman merasakan ada
sesuatu yang kurang. Ada lubang kosong dalam perjalanan kehidupannya yang entah
apa. Jika menyimak deskripsi sang tokoh di buku ini, Barman muda sepertinya
adalah orang yang gemar bertualang. Tujuan hidupnya semata dunia sehingga aspek
spiritual sepertinya tidak turut menyentuhnya di masa mudanya. Kegelisahan ini
yang kemudian dibaca sang putra, yang kemudian menghadiahkan kepada ayahnya
sebuah tamasya di sebuah bukit yang indah.
“Bung, kesenangan itu
tak bertambah atau berkurang. Kebahagiaan yang mutlak tak memerlukan apa-apa di
luar diri kita.” (hlm. 63)
“Tinggalkan segala milikmu.
Apa saja yang menjadi milikmu, sebenarnya memilikmu.” (hlm. 71)
Humam dan petuah yang diturunkannya kepada Barman sedikit
mengingatkan saya pada sosok Sidharta Gautama. Kepada Barman, Humam mengajarkan
bagaimana melepaskan diri dari segala bentuk kepemilikan karena semua di dunia
ini sejatinya bukan milik kita. Barman juga mendapatkan banyak pelajaran
tentang menikmati waktu, seirama dengan alam, juga menghargai semua ciptaan.
Ketika kita menikmati waktu, maka tak ada lagi yang namanya menunggu terlalu
lama. Dan dengan menghargai setiap ciptaan, bahkan dalam kondisi kekurangan pun
akan kita temukan keberlimpahan. Hidup itu seperti alir yang mengalir, yang
airnya mengalir ke suatu tempat, sebelum akhirnya beralih rupa menjadi wujud
lain sesuai takdir yang telah digariskan. Ketika kita selalu mengkhawatirkan
miliki kita, maka kita akan sulit menikmati hidup yang sejati.
“Lupakan semuanya,
bahkan dirimu. Yang ada ialah pohon-pohon, rumput-rumput. Engkau makhluk yang paling
berbahagia. Waktu ialah untuk dinikmati. Ruang ialah tempat kita bergerak.
Gerak adalah hidup kita.” (hlm. 61)
Bagi penikmat karya-karya Kuntowijoyo, Khotbah di Atas Bukit dipandang sebagai semacam otobiografi
Kuntowijoyo yang disamarkan dalam bentuk novel. Saya yang baru membaca dua buku
beliau tentunya masih belum berani membenarkan atau menolak gagasan ini. Tetapi,
jika ada sesuatu dalam buku ini yang mencerminkan kehidupan sang penulis, maka
itu adalah settingnya. Panorama vila-vila di bukit yang dilingkupi kabut serta
sebuah pasar di kaki bukit mengingatkan saya pada Kaliurang. Resor wisata di
sebelah utara Jogja ini memang terkenal dengan pemandangan alamnya yang indah,
udaranya yang sejuk, dengan deretan hutan pinus serta cemara yang selalu
menghijau. Ini yang bikin daerah Kaliurang dipenuhi oleh vila-vila mewah yang
entah disewakan atau malah dimiliki para orang kaya.
“Orang-orang yang
siang hari hilir mudik dan melepaskan hidup siang hari tanpa mengambil
kebijaksanaan. Itu dosa, Nak.” (hlm. 135)
Saya masih belum memahami apa yang terjadi di bangian akhir
novel ini. Sepertinya saya harus membacanya lagi untuk bisa menyerap apa yang
sejatinya hendak disampaikan oleh penulis lewat novel yang bagus ini. Seperti
novel bagus lainnya, Khotbah di Atas
Bukit meninggalkan rasa penasaran kepada pembacanya. Rasa penasaran yang
menggerakkan pembaca untuk ingin membacanya lagi dan lagi demi menangkap aneka
tafsiran yang dilontarkan penulisnya dari kisah Barman ini. Semoga, sebagaimana
Humam dan Barman, lewat membaca buku ini kita bisa juga menemukan oase kita
masing-masing, tempat kita bisa merenungkan kesejatian dari perjalanan hidup
ini, meskipun tanpa harus menyewa sebuah villa mewah di puncak bukit. Tuhan
selalu memberi petunjuk kepada mahkluk-mahklukNya lewat berbagai fenomena dan
pertanda. Hanya saja, kitanya saja yang sering kali abai dan terus mencari,
tanpa sempat sekalipun terpikir kalau jawaban yang kita cari sering kali ada di
sekitar kita sendiri.
saya lagi baca novel ini mas, kebetulan lagi cari reviewnya.
ReplyDeleteketemu punya mas dion