Judul
: RUMAH ILALANG
Penulis
: Stebby Julionatan
Penerbit
: Basabasi
Edisi
: Pertama, September 2019
Tebal
: 135 hal
ISBN
: 9786237290230
Kita mungkin sudah pernah atau
mungkin sering melihat waria (bahasa Internasionalnya transgender, tetapi orang
biasa menyebut mereka dengan bencong¸ banci,
atau wadam). Pertanyaannya,
pernahkah kita melihat, atau mungkin iseng bertanya bagaimana seorang waria
dimakamkan ketika dia meninggal? Maksudnya, apakah dia dikebumikan sebagai
laki-laki atau seorang perempuan (jika kebetulan dia beragama Islam). Dalam
kasus kebanyakan, seorang waria tetap dianggap sebagai pria sehingga
kemungkinan dia akan dikebumikan selayaknya seorang pria. Soal apakah yang
dilakukannya semasa hidup, biar lah itu menjadi urusannya dengan Tuhannya.
Agama
itu baik. Tetapi kadang pemainnya tidak. (hlm. 46)
Permasalahannya agak rumit untuk Tabita.Waria
bernama asli Alang ini lahir dan besar sebagai penganut agama Islam. Tapi di
akhir kehidupannya, dia aktif datang ke gereja dan rutin mengikuti misa Minggu.
Pihak Gereja tidak bisa memberikan pelayanan kematian karena Tabita tidak
terdaftar sebagai warga jemaat. Sementara, warga lokal tidak berani
memakamkannya secara Islam karena takut ada apa-apa. Bahkan dalam kematian,
manusia masih sibuk bersengketa. Kisah cinta Tabita mungkin urusan pribadinya,
tetapi ritual kematian tetaplah urusan sosial. Ada banyak yang dilibatkan. Tentang
segala kepelikan inilah Rumah Ilalang berkisah.
Agama
seperti pilihan baju yang mereka kenakan, bukan menunjukkan kebaikan hati
seseorang. (hlm. 96)
Buku ini termasuk berani sekaligus
membebaskan untuk ukuran novelet. Ini adalah sedikit novel LGBT yang menyibak
secara blak-blakan kehidupan liyan yang
selama ini ada dalam masyarakat kita tetapi tertutupi oleh segala yang standar.
Konflik yang diangkat juga rumit dan pelik sekali, terlalu pelik untuk sebuah
novelet setipis ini. Namun, lewat yang tipis ini penulis menyajikan cerita yang
mampu membuka pandangan kita tentang kaum waria yang selama ini mungkin jarang
diekpos. Dengan gaya alur balik (flash
back), penulis mengajak kita menelusuri kehidupan Tabitha.
Begitu kompleksnya kehidupan si karakter
ini. Selain waria dan tidak jelas agamanya Islam atau Katholik, Tabitha juga
jatuh cinta kepada Gosvino—pria muda dari seminari yang sedang menempuh
pendidikan menjadi seorang romo. Bayangkan betapa muskyil jalan yang harus
ditempuh Tabitha untuk cintanya. Seorang waria yang jatuh cinta kepada pria
muda berbeda agama yang sekaligus calon pendeta. Jalan cintanya memang akhirnya
ditakdirkan kandas dengan kematian Tabitha yang tewas dalam kecelakaan ketika
dia hendak mengantarkan kue tart ulang tahun untuk Vino (yang sama sekali tak
mengubrisnya).
Kata
orang, pun juga katamu, kejujuran adalah hal terbaik. Tapi mengapa, ketika kau
mendengarnya, ketika kau mengetahuinya, kau malah menghilang? (hlm
15)
Nilai plus novel ini selain mengangkat
tema liyan yang jarang ada dalam
novel-novel Indonesia kebanyakan adalah kepiawaian si penulis dalam
menggambarkan kaum liyan tersebut.
Gaya menulisnya juga entah bagaimana terasa pas. Meskipun kisah ini bernada
murung, kita bisa menangkap humor dalam setiap baris kalimatnya. Humor yang
terselubung kemuraman, seolah penulis mengajak kita untuk menertawakan
kemurungan kehidupan para waria di Srikadi Utama—sebuah rumah singgah sekaligus
lembaga advokasi bagi para waria. Ceplas-ceplos banget cara penulis bercerita,
hingga kita kadang bingung bolehkan tertawa di tengah segala pelik masalah
Tabitha dan Tania ini.
Ya,
bukankah begitu melelahkan untuk berpura-pura dan mengkhianati diri sendiri?
(hlm. 55)
Saya suka cara penulis menuliskan judul
di setiap babnya. Bagi si A, si B adalah bla bla bla. Dengan sudut pandang
subjektif ini, pembaca bisa menyimak berbagai pandangan dan kehidupan para
karakter di dalam Rumah Ilalang. Tidak
semua orang memiliki pandangan yang sama: ada yang terbuka dan menerima, tetapi
yang kaku dan tertutup pun banyak sekali. Dalam salah satu bab, dikisahkan
perjuangan Tabitha dan Tania muda saat mereka bergulat dengan identitas
seksualnya sejak kecil. Bagaimana mereka tumbuh menjadi mereka yang sekarang,
ada kisah pilu yang sesekali disimak oleh pembaca seperti kita. Karena
perbedaan pandangan disebabkan oleh perbedaan tumbuh kembang dan latar
belakang, perbedaan itu memang niscaya adanya sehingga harusnya tidak perlu
terlalu pelik dipersoalkan.
Pengen kasih 4 bintang sebenarnya, tapi entah
kenapa editingnya lumayan banyak yang lumayan fatal. Tidak sekadar salah ketik
tapi sampai mengubah makna. Misalnya pada halaman 77 ada kalimat: “I will call you letter” (“Aku akan
memanggilmu surat”) padahal mungkin maksudnya “I will call you later” (“Aku
akan menghubungimu nanti”). Fatal lagi ada penyebutan nama yang tertukar, perujukan subjek dan predikat yang beberapa kali terbalik, serta
kalimat miring yang salah posisi. Bagian ini yang lumayan cukup mengganggu.
Beberapa kali saya harus membaca dari awal paragraf untuk menemukan siapa
berkata apa dan ditujukan kepada siapa.
Lepas dari itu, saya suka sekali kisahnya dan bagaimana cara penulis menyampaikan kisah ini. Salut untuk kebenarian Mas Stebby menulis tema liyan ini dengan begitu blak blakan. Bukan hanya tentang kaum transgender, tetapi ada tema agama yang diam-diam turut disusupkan penulis dalam kisah Tabita ini. Rumah Ilalang termasuk salah satu buku yang susah banget dilepas pas lagi dibaca. Pengennya baca terus sampai selesai dan pas selesai malah sambat karena bukunya kurang tebal. Terima kasih atas ceritanya mas Stebby.
Ya,
ia mencintai agamanya, tapi dirasanya, ia lebih mencintai Tuhannya. Baginya
agama adalah jalan, dan Tuhan adalah tujuan. Tak seharusnya satu meniadakan
yang lainnya. (131)
ada game seru loh di sini.. hanya di AJO Q Q, COM.. yuk mainkan dan dapatkan bonusnya,,, WA : +855969190856
ReplyDeletewebsite : AJOPK.ORG