Search This Blog

Friday, May 13, 2016

Si Janggut Mengencingi Heru Cakra

Judul: Si Janggut Mengencingi Heru Cakra
Pengarang: A.S. Laksana
Cetakan: 1. Oktober 2015
Tebal: 133 hlm
Penerbit: Marjin Kiri


27464476

Saya menyukai buku-buku terbitan Marjin Kiri, bukan karena ada kiri-kirinya (yang saat ini lagi heboh tentang pemberangusan buku-buku berbau kiri) namun karena pilihan tema yang diangkatnya cenderung menarik. Penerbit ini bisa dibilang membidik buku-buku bagus namun kurang pasaran, buku-buku dengan segmen terbatas, yang karena itu membuat buku-buku mereka layak koleksi karena selang beberapa bulan setelah terbitnya, sering kali saya sebagai pembaca akan kesusahan mencarinya. Perkenalan pertama saya dengan penerbit ini adalah ketika membaca buku Penghancuran Buku dari Masa ke Masa yang mengupas dengan keren sekali berbagai bentuk pembakaran buku yang pernah terjadi sepanjang sejarah peradaban manusia. Buku yang layak sekali dibaca dan dimiliki para pecinta buku. Ini kok malah bahas buku lain ya? 


 
Ok fokus, yang akan diulas kali ini adalah kumpulan cerpen A.S Laksana yangg dari judulnya saja sudah ketahuan kalau ini bukanlah sebuah buku kumpulan cerpen biasa. Ajaibnya lagi, setelah saya rampung membaca buku ini, ternyata cerpen-cerpennya biasa saja secara cerita tapi aduhai ada sesuatu yang luar biasa dalam cerita-cerita itu. Ah, saya selalu  kesulitan menjelaskan buku-buku sastra yang seperti ini. Rasanya lebih mudah untuk pembaca membacanya sendiri untuk lalu menemukan apa yang saya temukan saat membaca buku kumpulan cerpen ini. Ada sesuatu dalam cerpen-cerpen A.S Laksana, yang membuat cerita-cerita selalu beda namun tetap istimewa. Tidak heran jika buku ini menjadi salah satu dari lima buku rekomendasi para petinggi Mojok.co nan masyur itu.

Salah satu hal yang berbeda dari kumcer ini adalah cerpen-cerpennya yang seolah hanya hendak bercerita, sudah itu saja. Jika selama ini tertanam di pikiran kita bahwa cerpen yang bagus harus punya ending yang mengejutkan atau tak terlupakan, maka AS Laksana mencoba menentang anggapan itu lewat cerpen-cerpennya di buku ini. Coba perhatikan nama-nama karakternya yang terkesan biasa-biasa semata (Nita, Seto, hingga Robi) yang memang mencerminkan kisah-kisahnya yang memang biasa-biasa saja. Kadang, hanya tentang kisah kasih tak sampai, atau kisah memendam cinta yang sering kita jumpai dalam kisah keseharian (atau malah mengalaminya sendiri). Semua kisah tampaknya disengaja oleh penulis untuk biasa-biasa saja, namun ada yang istimewa di dalamnya. 

Seorang penulis dengan jam menulis tinggi (dan jam membaca yang tinggi pula tentunya) akan tampak pada karyanya. Seperti AS Laksana, yang kepiawaiannya di dunia susastra tidak perlu diragukan lagi, lebih memilih untuk menggunakan kisah-kisah yang sederhana. Kisah-kisah di buku ini sepertinya hanya sekadar bercerita--karena memang itulah hakikat dasar dari sebuah cerita: untuk bercerita. Namun, lewat bercerita ini AS Laksana hendak menyampaikan banyak hal yang sering kali luput kita perhatikan padahal sejatinya layak untuk kita pertanyakan kalau saja kita tahu cerita-cerita itu ada. Dia juga menjelaskan hal-hal yang sebenarnya rumit namun dengan kisah-kisah yang terasa tidak tinggi.

"Aku tahu bahwa panggung sering memaksa kita membuat nama baru. Sebab ada sorot lampu dan sorot mata yang menimpa kita. Ada kehidupan lain yang tidak sama dengan kehidupan di rumah kita. Ada tabiat-tabiat lain yang berbeda dari tabiat kita sehari-hari." (hlm 113)

Seperti kisah tentang Rashida Chairani (hlm. 77) yang mengangkat kisah tentang tema yang sedang menjadi keprihatinan bangsa Indonesia saat ini: kejahatan seksual. Bagaimana seorang perempuan bisa mengklaim dirinyatelah diperkosa padahal saksinya yang 3 orang itu adalah para pemerkosanya sendiri. Meskipun bukti pemerkosaan itu semakin nyata tiap hari, namun pihak-pihak yang harusnya melindungi si korban sering kali malah menyalahkan si korban. Padahal, kejahatan tetaplah kejahatan, tidak peduli siapa pelakunya. Sungguh miris rasanya, memandang cerita ini dari sudut pandang anak si korban. Sebuah cerita miris dengan ending yang dibiarkan berjalan sendiri. Ada sesuatu dalam cerpen ini yang agak susah diulas kecuali pembaca membacanya sendiri agar bisa lebih memahami jerit orang-orang lain yang sering kita luput menyimaknya.

Dengan demikian, lewat medium sederhana, AS Laksana ibarat sedang mengajak pembaca untuk lebih memperhatikan, lebih merenungkan, lebih memikirkan apa-apa yang sederhana  di sekitar kita sehingga sering kita mengabaikannya. Ah, ulasan saya ini masih terlalu dangkal untuk bisa menyebut sepersepuluh saja dari inti buku ini. Lebih baik, pembaca membacanya sendiri dan rasakan apa-apa yang saya rasakan setelah merampungkan membaca buku bagus ini. Buku yang baik selalu mengajak pembacanya untuk mempertanyakan kembali tentang satu atau banyak hal, dan seperti itulah buku ini.

3 comments: