Search This Blog

Tuesday, March 14, 2017

Curahan Hati Seorang Drupadi

Judul: Drupadi
Pengarang: Seno Gumira Ajidarma 
Editor: Widya Kirana
Cetakan: 1, 2017
Tebal: 149 hlm
Ilustrasi Sampul dan Isi: Danarto
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama




Membaca Drupadi adalah membaca epos agung Mahabharata dari sudut pandang Drupadi. Model penceritaan seperti ini sebenarnya sudah digunakan oleh Divakaruni dalam The Palace of Illusion yang sampai saat ini saya belum 'tega' membacanya karena lumayan tebal (padahal belinya tahun 2012). Mahabharata saja saya membacanya dengan cara mencicil  sehingga bisa tamat juga walau butuh waktu enam bulan. Tetapi, ada untungnya juga selesai membaca karya agung dari India itu jadi bisa sedikit tahu alur besar kisah dalam Mahabharata mulai dari pembuangan Pandawa hingga pecahnya perang akbar Bharatayudha. Sedikit banyak, juga jadi lumayan tahu beberapa tokohnya: Patih Sengkuni yang licik, Pandita Durna dan Adipati Karna yang sakti tetapi harus membela Kurawa karena kewajiban sebagai ksatria, dan terutama tentang sosok Drupadi yang begitu legendaris ini. Dalam banyak tulisan, istri dari kelima Pandawa ini disebut-sebut sebagai wanita yang memulai perang Bharata Yudha. Sebuah perang yang tidak hanya memunahkan semua bala Kurawa (yang jumlahnya 100 orang) tetapi juga meminta korban anak-anak Pandawa. 

"Betapa segala sesuatu yang berlebihan hanya akan berakhir memualkan sahaja." (hlm. 35)


Salah satu penyebab perang besar antara kubu Pandawa dan Kurawa ini memang dendam Drupadi kepada Duryudhana, meskipun masih ada penyebab-penyebab lain terkait kelicikan keluarga Kurawa. Tetapi, dalam Drupadi, Seno menyorot khusus peran Drupadi. Yang sudah baca Mahabharata pasti tahu posisi Drupadi ini. Generasi 80-90-an yang dulu sempat menyaksikan serial Mahabharata di TPI juga pasti masih hafal adegan Drupadi yang pakaian sarinya ditarik oleh Dursasana. Atas kehendak dewata, helaian kain yang membalut tubuh Drupadi tidak habis-habis meskipun Dursasana terus menariknya. Dalam cerita di TV atau di versi buku, dikisahkan Dursasana akhirnya kelelahan sendiri ketika hendak 'menelanjangi' Drupadi. Walau demikian, Drupadi tetap tidak rela dengan pelecehan kehormatan ini. Wanita itu menyerukan sumpah suci bahwa dendamnya tidak akan pernah tuntas sebelum dia bisa keramas dengan darah Dursasana. Mungkinkah Drupadi demikian mendendam sebegitu hebat? 

Seno rupanya memiliki versi jawaban terkait dendam Drupadi ini.  Dalam Drupadi, penulis ini menghadirkan kisah Mahabharata dalam versi ringkas, tetapi fokus penceritaan adalah dari sudut pandang Drupadi. Maka pembaca akan bisa menyimak di buku ini, tentang kelahiran Drupadi yang tercipta dari sekuntum teratai yang tengah mekar, bagaimana wanita ini kemudian tumbuh menjadi gadis yang cantik bak dewi kahyangan, hingga akhirnya ia menjadi istri dari Arjuna sekaligus istri dari keempat Pandawa yang lainnya. Kemudian, Seno secara khusus membeberkan adegan ketika Yudhistiwa bermain dadu (judi) dengan para bala Kurawa yang licik atas bisikan jahat Sengkuni. Sulung Pandawa ini memang gemar berjudi walaupun ia selalu kalah, dan inilah yang dimanfaatkan Sengkuni untuk merebut kerajaan Hastina. Ketika harta dan kerajaan sudah kalah di arena pertaruhan, Yudhistira pun mempertaruhkan Drupadi--istri yang sangat dicintainya.  Sebagaimana bis ditebak, ia kalah dan Drupadi pun direlakan menjadi barang milik Kurawa.

Di babak ini, pembaca akhirnya akan mengetahui mengapa Drupadi sedemikian mendendam kepada Kurawa. Agak berbeda dengan versi yang sudah kita baca, dalam Drupadi ini Seno menjatuhkan vonis yang sedemikian mengerikan kepada Drupadi. Ilustrasi Danarto yang menghiasi halaman-halaman dalam buku ini begitu pedih menggambarkan kepiluan wanita tersebut yang dipaksa melayani 100 Kurawa. Di mana Pandawa? Kelimanya hanya diam saja menyaksikan Drupadi sebagai korban keegoisan sang sulung. Betapa nasib Drupadi menyiratkan takdir wanita yang seolah adalah baran milik pria sehingga bisa dipertaruhkan atau bahkan diperjualbelikan seenaknya. Lebih miris lagi, lagi-lagi nilai kesatria yang menahan Pandawa untuk menyelamatkan Drupadi. Sebagai lelaki ksatria, mereka pantang melanggar janjinya, meskipun janji itu harus mengorbankan harga diri istri mereka yang sangat dicintai. Aneh rasanya, ketika nilai-nilai kesatriaan itu malah akhirnya mencegah mereka bertindak layaknya para kesatria yang harusnya melindungi wanita.

Jika membaca Mahabharata kita disuguhi dengan nilai-nilai kepahlawanan para Pandawa, maka dalam buku ini Pandawa-lah yang dikritik habis-habisan. Seno sepertinya menggunakan sudut pandang feminisme, terbukti dengan begitu banyak barus kalimat yang menyudutkan Pandawa. Dengan cerdas, penulis mengajak pembaca melihat kisah ini dari sudut pandang Drupadi sehingga sedikit banyak kita bisa 'memahami' besarnya dendam wanita itu terhadap keluarga Kurawa. Dari buku ini juga, kita belajar untuk menguak sisi hitam dari manusia--bahwa manusia adalah mahkluk yang abu-abu alias perpaduan dari hitam dan putih, baik dan buruk. Selalu ada alasan di balik setiap tindakan dan pilihan. Dan lewat membaca buku-buku seperti Drupadi ini, kita belajar untuk tidak lekas menghakimi dan mau memahami. 

“Maka hidup di dunia bukan hanya soal kita
menjadi baik atau menjadi buruk,
tapi soal bagaimana kita bersikap kepada
kebaikan dan keburukan itu.”

No comments:

Post a Comment