Pengarang: Kuntowijoyo
Sampul: Buldanul Khuri
Cetakan: 1, Februari 2017
Tebal: 378 hlm
Penerbit: DIVA Press dan Mata Angin
Pasar membawa kita kepada alam pedesaan di Jawa tahun
1970-an, ketika segala sesuatunya masih tampak sederhana, ketika dunia tidak
lebih lebar dari pasar kecamatan, dan ketika omongan orang menjadi semacam
hukum tak tertulis yang dampaknya sangat kuat. Seperti yang digambarkan dengan
begitu apik oleh Kuntowijoyo lewat novel Pasar
ini. Unsur ‘orang Jawa’ begitu kuat di dalam buku ini, bukan kemudian buku
ini untuk mengagung-agungkan orang Jawa,
tetapi sebagai semacam catatan sosiologis tentang perubahan sosial yang dialami orang Jawa pada tahun 1970-an yang dituliskan dalam bentuk
sastra. Lewat Pasar, penulis menyimpan sekeping data sosiologis dari sebuah masyarakat kecil di pelosok Jawa
dalam bentuk naratif. Bentuk novel seperti ini tentu akan lebih enak dinikmati ketimbang membacanya
dalam bentuk laporan. Kekuatan Kuntowijoyo
sebagai dosen antropologi sekaligus sastrawan telah terkukuhkan sepenuhnya
lewat Pasar ini. Sastra-sosiologi, mungkin memang inilah istilah yang tepat untuk
menyebut PASAR.
"Sebaik-baik perbuatan adalah
melihat diri sendiri, mawas diri." (hlm. 10)
"Tidak ada lagi orang Jawa yang
lain. Juga camat, juga kepala polisi. Ah, tahunya apa camat-camat sekarang.
membuat candrasengkala mesti ke Pak Mantri Pasar. Inilah kelirunya. Zaman dulu
pegawai itu mesti tahu sastra. Bukan sekadar bisa baca tulis."
Kemudian, Kuntowijoyo memperbenturkan nilai-nilai priyayisme
orang Jawa ini dengan perkembangan zaman. Pasar yang dulu teratur dibawah emongan Pak Mantri sedikit mulai
bertambah ruwet. Orang-orang baru berdatangan. Anak muda masuk membawa
pemikirannya sendiri yang sering kali tak mau kompromi. Belum lagi dengan
datangnya pemilik modal yang mengubah tatanan ekonomi para warga pasar. Pasar
pun mengalami pergolakan sosial akibat adanya perubahan sosial. Bisakah
nilai-nilai Jawa—yang terwakili oleh sosok Pak Mantri Pasar—masih sanggup bertahan
dalam gempuran nilai-nilai baru yang mulai masuk ke Indonesia pada sekitaran
tahun 1970-an?
"Dendam
itu sesaat. Cinta itu kekal."
Benturan sosial inilah yang digambarkan dengan apik dalam
novel ini. Empat tokoh utamanya masing-masing mewakili empat kelompok yang
mengalami benturan tersebut. Sosok Pak Mantri mengambarkan kegamangan kelas priyayi dalam
menghadapi berubahnya zaman pada era tahun 1970-an. Sementara
kaum muda yang mulai melupakan tradisi atas nama efisiensi diwakili oleh Siti
Zaitun, juru ketik di bank pasar. Gadis ini juga mewakili kelas birokrat yang
hanya suka cari aman, cari cepat, cari asal beres.Sosok Kasan
Ngali adalah kelas pemodal yang masuk ke pasar dengan membawa modal besar
dengan tujuan untuk meraih keuntungan sebanyak-banyaknya. Selain itu, ada
golongan lain yang juga turut terpengaruh oleh perubahan sosial tersebut namun
sedikit sekali yang bisa mereka lakukan terkait hal itu. Mereka adalah para
warga jelata yang diwakili oleh sosok Paijo yang polos.
"Burung-burung tak bisa
bersalah. Mereka memang tak punya otak. Mestinya orang-orang lah yang
menggunakan otaknya. Kalau punya beras, ya ditutup." (hlm. 28)
Ketika perubahan sosial besar-besaran
melanda dunia, termasuk Jawa-nya Indonesia di tahun 1970-an, apa yang terjadi
pada keempat golongan tersebut? Kuntowijoyo secara apik merekam fenomena
perubahan sosial ini lewat novel Pasar. Fenomena
menarik ini dikisahkan dengan jenaka tetapi tetap kaya akan makna. Istimewanya
lagi, Kuntowijoyo menggambarkan setting pedesaan Jawa di tahun 1970-an dengan
begitu jelas, kita serasa sedang diajak untuk bernostalgia. Latar dan setting
pasar di pedesaan Jawa digambarkan sedemikian detail, pembaca seperti tengah menonton
film tahun 70-an dalam bentuk tulisan.
"Orang Jawa harus suka sastra." (hlm. 355)
Selain kekuatan utama di setting dan latar, PASAR juga kuat dalam penyampaian nilai-nilai moral yang disampaikan secara tidak menggurui. Sesekali, penulis malah menyampaikan nilai moralnya lewat ungkapan-ungkapan yang ringan dan kadang ceplas-ceplos khas priyayi Jawa, ini yang bikin PASAR enak dibaca sambil santai.Selain enak dibaca ceritanya semata tanpa harus mengeryitkan kening, PASAR juga bisa jadi bahan studi untuk riset tentang kemasyarakatan di Jawa. Jadi, selain layak dikoleksi kalangan akademisi dan peneliti, PASAR juga bisa kok dinikmati para pembaca awam macam kita ini. Setelah membaca novel ini, walau agak senewen dengan sikap sok priyayinya, saya kok malah semakin kagum pada sosok Pak Matri Pasar. Ini novel yang sungguh hebat. Dikisahkan secara sederhana tetapi sesungguhnya begitu kaya akan makna.
"Orang Jawa harus suka sastra." (hlm. 355)
Selain kekuatan utama di setting dan latar, PASAR juga kuat dalam penyampaian nilai-nilai moral yang disampaikan secara tidak menggurui. Sesekali, penulis malah menyampaikan nilai moralnya lewat ungkapan-ungkapan yang ringan dan kadang ceplas-ceplos khas priyayi Jawa, ini yang bikin PASAR enak dibaca sambil santai.Selain enak dibaca ceritanya semata tanpa harus mengeryitkan kening, PASAR juga bisa jadi bahan studi untuk riset tentang kemasyarakatan di Jawa. Jadi, selain layak dikoleksi kalangan akademisi dan peneliti, PASAR juga bisa kok dinikmati para pembaca awam macam kita ini. Setelah membaca novel ini, walau agak senewen dengan sikap sok priyayinya, saya kok malah semakin kagum pada sosok Pak Matri Pasar. Ini novel yang sungguh hebat. Dikisahkan secara sederhana tetapi sesungguhnya begitu kaya akan makna.
No comments:
Post a Comment