Judul: Impian Amerika
Pengarang: Kuntowijoyo
Penata Aksara: Erwan Supriyono
Tebal: 264 hlm
Cetakan: Pertama, November 2017
Penerbit: DIVA Press
Selama ini, kita mungkin lebih akrab dengan diaspora orang
India, orang Tiongkok, atau orang Arab. Bangsa-bangsa ini memang termasuk
bangsa dengan tingkat diaspora paling besar di dunia. Hampir di setiap negara,
Barat ataupun Timur, orang bisa dengan mudah menemukannya. Bagaimana dengan
diaspora orang Indonesia? Data terakhir menunjukkan ada ratusan ribu orang
Indonesia yang hidup dan tinggal di luar negeri. Mereka entah berkuliah,
bekerja, atau ikut dengan suami yang orang bule di negara-negara luar. Salah
satu negara yang menjadi tujuan favorit untuk berimigrasi adalah Amerika Serikat. Negeri yang konon adalah
Tanah Kebebasan ini rupanya masih memiliki daya tarik kuat bagi para imigran
untuk bisa pergi dan menetap di sana, termasuk bagi warga Indonesia.
American Dreams, sebuah
istilah sangat terkenal yang merujuk pada cita-cita banyak penduduk dunia yang
ingin pindah dan hidup makmur di Amerika. Sejak abad ke-18, Amerika telah
menjadi lambang bagi kebebasan dan kemakmuran baru. Berbondong-bondong manusia
dari Afrika, Eropa, dan Asia menjadikan benua ini sebagai tempat tinggal mereka
yang baru. Senyum Dewi Kebebasan yang menyambut kapal-kapal para imigran di
lepas pantai New York seolah menandakan adanya harapan baru di negeri yang
baru. Apa yang menjadikan Amerika begitu didamba? Kemajuan, kemakmuran, dan kebebasan.
Setidaknya, itulah tiga poin utama yang menjadikan Amerika Serikat magnet bagi
para imigran. Setidaknya sebagaimana kisah-kisah para perantau yang dikisahkan
Kuntowijoyo dalam buku Impian Amerika ini.
“Kalau kau tak bisa
mengubah, kaulah yang harus berubah.” (hlm. 56)
Buku ini berlabel novel, tetapi isinya adalah kisah-kisah
dari 30 perantau asal Indonesia yang pindah, menetap, bersekolah, bekerja, dan
hidup di Amerika Serikat—terutama di sekitar wilayah New York. Ada berbagai
alasan mengapa mereka memutuskan menetap di kota ini, tetapi mayoritas adalah
karena alasan kemajuan, kemakmuran, dan kebebasan. Ada yang sedang melanjutkan sekolah
atau kuliah di Amerika Serikat karena sistem pendidikannya yang lebih maju.
Beberapa memilih bekerja apa saja asal bisa pergi dan menetap di Amerika
Serikat karena negeri ini lebih makmur daripada Indonesia. Tak sedikit pula
yang memilih Amerika Serikat karena dorongan jiwanya yang ingin bebas dan
bertualang. Apa pun itu, Kuntowijoyo kemudian mengikat kisah-kisah ini dalam
satu bundel yang direkatkan oleh keberadaan si penulis aku dan istrinya yang digambarkan
sedang tinggal di New York juga.
Khasnya Kuntowijoyo, aroma etnografisnya sangat kental.
Menggambarkan 30 orang perantau asal Indonesia di buku ini, beliau tetap
memijakkan kaki pada tonggaknya sebagai seorang priyayi Jawa. Dalam hal ini,
aneka rupa kisah orang di buku ini dipandang dari sudut pandang si aku sebagai
orang Jawa. Tak heran jika pembaca kemudian masih bisa menemukan aroma kejawaan
yang kuat meskipun kisahnya berlangsung di New York, Amerika Serikat. Tetapi,
posisi penulis tidak kemudian menjadi seperti dalang yang “mengendalikan”
orang-orang dalam ceritanya. Si aku pencerita bertindak sebagai pengamat yang
melaporkan keunikan dan keganjilan kisah dari setiap orang, tanpa banyak turut
campur. Sesekali si pencerita aku memang ikut masuk dalam cerita, tetapi porsinya
tidak sampai mengendalikan.
“Hanya orang desa dan
Jawa seperti kami yang mengkeramatkan tempat tinggalnya, sekali menempati terus
mencintai.” (hlm. 46)
Pun demikian, tidak kemudian kisah-kisah ini menjadi semacam
laporan jurnalistik yang kaku. Sentuhan Kuntowijoyo yang Jawa banget membuat
kisahnya mengalir serta enak dinikmati. Setiap orang (atau setiap bab) membawa pengalaman
baru dari orang baru yang akan sangat berkesan bagi pembaca. Tidak heran jika
banyak pelaku di buku ini yang mengalami gegar budaya, karena saya yang baru
baca buku ini sembilan belas tahun setelah edisi pertamanya terbit (1998) pun
masih terkaget-kaget membaca beberapa cerita yang “terlalu bebas” di Amerika. Si
pencerita aku seperti berlaku semacam tonggak untuk menjaga agar keindonesiaan
itu tetap Indonesia di buku ini. Keberadaannya sebagai orang Jawa juga
mengembalikan pembaca pada posisinya sebagai pembaca yang orang Indonesia.
Mengusik, tetapi sekaligus menenangkan.
Masih banyak hal yang bisa dikisahkan dari novel ini. Tetapi, saya hanya akan merusak kejutan jika membocorkan satu kisah di buku ini. Silakan baca sendiri saja ya. Seperti kata penulis di novel ini: “sepanjang-panjangnya jalan, masih panjang omongan orang.” Sepanjang-panjangnya membaca sebuah ulasan, membaca bukunya akan tetap lebih berkesan.
Masih banyak hal yang bisa dikisahkan dari novel ini. Tetapi, saya hanya akan merusak kejutan jika membocorkan satu kisah di buku ini. Silakan baca sendiri saja ya. Seperti kata penulis di novel ini: “sepanjang-panjangnya jalan, masih panjang omongan orang.” Sepanjang-panjangnya membaca sebuah ulasan, membaca bukunya akan tetap lebih berkesan.
This comment has been removed by the author.
ReplyDelete