Pengarang: Faisal Oddang
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Tahun Terbit: Oktober, 2015
Tebal: 218 Halaman
“Setiap
ayunan kaki manusia, ia tengah berjalan pergi sekaligus menuju pulang.
Orang-orang hidup hanya untuk mati, begitulah. Semakin kau berjalan menjauh,
semakin maut berjalan mendekat.”
Garis besar novel ini adalah wafatnya Rante Ralla yang seorang pemuka adat di desanya. Sebagai seorang tetua adat dan bangsawan di Kampung Kete Kesu Toraja, adat mensyaratkan dia harus dimakamkan dengan mengadakan adat Rambu Solo’. Seperti yang sudah jamak diketahui, Rambu Solo' membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Paling tidak, ahli waris harus menyiapkan 24 kerbau dan ratusan babi sebagai syarat untuk mengantar mendiang ke puya (surga). Tanggung jawab melaksanakan Rambu Solo' ini jatuh kepada Allu Rante, satu-satunya putra Rante Ralla yang saat itu hanyalah seorang mahasiswa di Makassar. Sebagai anak muda yang sudah terkena doktrin kehidupan modern, Alle berpendapat bahwa Rambu Solo' hanyalah bentuk pemborosan sehingga tidak perlu dilakukan. Lebih baik, sang ayah dimakamkan di Makassar tanpa embel-embel adat kuno yang memberatkan itu.
"Kebudayaan adalah produk manusia, manusia dan kebudayaan itu dinamis sesuai ruang dan waktu. Dan relevansi dengan zaman sangat penting sebagai acuan untuk mempertahankan sebuah tradisi yang merupakan bagian dari kebudayaan itu. Acuan untuk tetap melakukan atau tidak, dan saya pikir zaman sudah tidak relevan dengan yang kalian pertahankan." (hlm. 20)
Niat Alle ini tentu langsung ditentang oleh keluarga besarnya, terutama oleh Paman Marthen, adik Rante Ralla. Sebagai keluarga bangsawan, mereka tentu malu dan tidak sanggup saat dimintai pertanggungjawaban oleh para leluhur. Si paman kemudian membujuk Alle dan ibunya, Tina Ralla, untuk menjual tanah dan tongkonan mereka kepada Mr. Berth. Lokasi rumah keluarga Ralla memang menghalagi akses jalan menuju tambang nikel milik bule itu. Allu menghadapi dilema terberat di usianya yang masih muda, apakah dia tega membiarkan roh ayahnya melayang-layang tak dapat tempat hanya karena masalah dana? Di sisi lain, tongkonan peninggalan sang ayah terancam roboh demi melaksanakan Rambu Solo'. Apa yang semula adalah pertentangan antara prinsip adat dengan nilai-nilai modern kemudian berkembang lebih jauh lagi. Puya ke Puya menyodorkan lebih dari konflik antara cueknya modernitas dan kolotnya adat. Novel ini memotret sisi dalam manusia dengan segala warna-warni mereka.
Selain setting Toraja yang kental dengan Rambu Solo'-nya, hal menarik dari novel ini adalah sudut pandang yang digunakan penulis. Faisal Oddang menggunakan sudut pandang orang pertama secara bergantian. Peralihan sudut pandang hanya ditandai dengan tanda bintang satu, dua, dan tiga. (* digunakan untuk Rante Ralla yang baru meninggal. (** digunakan untuk Allu Ralla. Dan, (*** digunakan untuk Maria Ralla, adik Allu yang meninggal saat masih bayi. Dengan demikian, penceritaan di novel ini lebih banyak dilakukan dari alam lain. Sebuah cara bercerita yang unik bukan? Dengan teknik ini, pembaca bisa tahu hal-hal yang tidak mungkin dilihat oleh narator yang masih hidup. Dan, di saat yang sama, pembaca masih bisa menyelami dilema dalam diri Alle.
Penokohan dalam novel ini juga sangat kuat. Faisal menunjukkan kepada kita betapa manusia tidak pernah hitam atau putih, kebanyakan dari kita berada di antara keduanya. Tokoh yang semula kita harap jadi protagonis, ternyata berubah di tengah, dan di belakang berbeda lagi. Benar-benar tidak ada tokoh yang sempurna di novel ini. Tarikan tradisi dan kebutuhan akan materi benar-benar mampu mengubah perjalanan para tokoh di buku ini, menjadikan mereka sebagaimana para manusia normal di dunia kebanyakan. Buku sastra yang baik adalah tentang manusia dan menggambarkan kepada kita sejatinya manusia. Dari situ, kita lalu belajar menjadi manusia. Kalau pun belum bisa menjadi manusia yang sempurna, paling tidak kita bergerak menjadi manusia yang lebih baik. Memang layak kalau novel ini menjadi juara IV Sayembara Penulisan Novel DKJ.
No comments:
Post a Comment