Search This Blog

Monday, December 30, 2013

Gadis Ketiga

Judul : Gadis Ketiga
Pengarang : Agatha Christie
Penerjemah : (maaf lupa ngak dicatat hiks)
Tebal : 351 halaman
Cetakan : 16, 2009
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

http://gramediapustakautama.com/uploads/dirimg_buku/re_buku_picture_77815.jpg

                Sepanjang karir kepenulisannya, Agatha Christie telah menghasilkan lebih dari 70 karya cerita detektif yang telah memukau dunia. Dari sebagiannya, ada beberapa karya yang begitu tak tertebak, membuat pembaca menepuk jidat sambil berkata “Ah, kenapa nggak kepikiran ya kalau pelakunya dia?”  (dalam Buku Catatan Josephine, misalnya). Beberapa karya yang lain membuat deg-degan pembaca, membuat pembaca menebak dan menerka kira-kira akan dibawa kemana ceritanya (seperti dalam 10 Anak Negro), sementara ada kalanya Tante Agatha membuat pembaca bercucuran air mata saat membaca Tirai. Karya-karya beliau begitu luar biasa dan menetap di hati pembaca, menjadikannya layak menyandang gelar Ratu Cerita Detektif Se-Dunia.

                Gadis Ketiga diawali dengan kedatangan seorang gadis muda ke kantor Poirot. Kepada detektif tua itu, ia mengaku telah membunuh seseorang. Ketika Poirot menanyanya lebih jauh, gadis itu menjawab bahwa ia merasa telah membunuh tapi ia tidak tahu kapan dan bagaimana dan siapa yang ia bunuh. Poirot pun memutar otak, instingnya mengatakan memang telah terjadi pembunuhan tetapi  ia tidak menemukan satupun mayat. Kasus ini ditambah seru dengan kehadiran Nyonya Ariadne Oliver, seorang penulis cerita detektif, yang ikut-ikutan  penasaran dan nekat menyelidiki kasus ini.

                Dari penelusuran mandiri, diketahui kalau si gadis tinggal satu flat (satu petak) bersama dua gadis lain. Gadis itu memutuskan pindah dari rumah ayahnya, yang kini punya istri baru (ibu tirinya). Wajarlah jika seorang gadis membenci ibu tirinya, tapi si gadis merasa bahwa kebenciannya tidak sebegitu besarnya sehingga membuatnya hendak meracuni si ibu tiri. Si ibu tiri terus menerus sakit (walau dia akhirnya selamat), ditemukan racun sianida dalam dosis kecil dalam makanannya.

               Seluruh mata seolah menuduh sang gadis sebagai si tersangka, dan si gadis pun merasa bahwa dirinya memang telah berbuat seperti itu. Kasus yang sepertinya sederhana ini ternyata janggal di mata Poirot. Melalui pikiran dan pengamatan serta antisipasinya yang tajam, Poirot tahu bahwa ada yang salah, bahwa orang yang benar malah tengah terancam bahaya. Kasusnya makin pelik ketika nyonya Ariadne Oliver yang ceroboh ikut melakukan penyelidikan sendiri. Sekarang, bukan hanya satu orang yang terancam bahaya, penulis tua itu juga tengah diincar. Mampukah Poirot bertindak tepat pada waktunya sebelum jatuh korban yang kedua?

                Lepas dari keistimewaan beliau, Tante Agatha juga hanyalah seorang manusia yang kadang mengalami pasang-surut dalam berkarya. Jika sebagian buku-bukunya begitu hebat dan luar biasa, ada beberapa (sedikit sih) yang bisa dibilang biasa-biasa saja. Meskipun yang biasa-biasa dari beliau adalah luar biasa bagi kita. Tidak semua karyanya terasa “menyenangkan” pembaca, ada beberapa yang bisa dibilang standar-standar saja, entah karena alasan apa. Dan, salah satunya (menurut saya) adalah Gadis Ketiga.

                Ada beberapa poin yang membuat Gadis Ketiga terasa aman-aman saja alias standar-standar saja meskipun dalam karya ini Tante Agatha tetap mempertunjukkan kepiawaiannya dalam mengamati dan mengolah karakter. Salah satunya adalah alur cerita yang terlalu panjang sementara endingnya bisa dibilang “hanya begitu doang!” Setelah beratus-ratus halaman  kita disuguhi sepak terjang Poirot dan Nyonya Oliver, lalu tahu kalau endingnya hanya  begitu saja, rasanya kok kurang puas ya. Walau jujur, saya juga gagal menebak kalau pelakunya si itu dan si anu (hihhihihi spoiler). Tapi, tetap saja sulit untuk melepaskan buku ini kalau belum ketahuan siapa pelakunya (atau dalam kasus ini, benang merah kasusnya).


99 Cahaya di Langit Eropa



Judul : 99 Cahaya di Langit Eropa
Pengarang : Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra
Isi dan Grafis : Supriyanto
Judul : Maxima Pictures
Cetakan : kedua, November 2013
Tebal : 420 halaman
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

                18804413

                Jika ada sesuatu yang sekarang serasa hilang dari umat Islam kebanyakan saat ini, salah duanya adalah ghirah atau semangat untuk mencari ilmu dan kesantunan. Bom bunuh diri, perang saudara, penutupan paksa tempat ibadah agama lain, penindasan rekan satu agama atas nama golongan yang berbeda, belum lagi ditambah gejala korupsi, kolusi, dan nepotisme yang seolah sudah menjadi penyakit akut; pemandangan-pemandangan miris seperti inilah yang dilihat dunia dari negara-negara muslim. Tidak heran jika banyak yang kemudian memandang sinis umat ini. Umat ini hanya bisa berteriak keras, memaki, dan menginjak-injak boneka atau bendera salah satu negara Barat ketika Kanjeng Nabi dihina atau ketika kebenaran ajaran Islam dinistakan. Ini adalah reaksi yang wajar dan sudah seharusnya, tapi betulkan kekerasan adalah satu-satunya senjata umat islam?

                Mungkin kita lupa, seribu tahun yang lalu, cahaya Islam pernah menerangi dunia. Di Semenanjung Iberia (Spanyol Modern) berdiri salah satu pusat peradaban Islam yang cemerlang, berdampingan dengan Kairo dan Baghdad sebagai pusat-pusat ilmu pengetahuan dunia. Tradisi menulis, membaca, dan menerjemahkan mewarnai keseharian umat. Mereka mengkaji kitab suci dan kitab bumi dengan sama-sama giatnya. Kajian filsafat bersandingan dengan kajian ilmu nahwu. Ilmu kedokteran maju seiring dengan majunya ilmu agama. Pengamatan bintang dan angkasa dimanfaatkan untuk memperinci arah kiblat dan waktu sholat. Sementara itu, umat Islam hidup berdampingan dengan kaum Yahudi dan Kristiani. Tidak ada pemaksaan dalam beragama. Tidak ada penghancuran tempat ibadah agama lain. Tidak ada bom bunuh diri (meskipun intrik politik tetap saja merajalela). Cemoohan dibalas dengan tulisan. Kata-kata dibalas dengan karya. Saat itu, Islam benar-benar menerangi dunia.

                Menjadi muslim yang santun, itulah yang tampaknya hendak disampaikan oleh para penulis buku yang indah ini. Keduanya sama-sama minoritas muslim yang bermukim di Austria, jantungnya Kristen. Keduanya setiap hari berinteraksi dan membaur dengan orang Kristen, Aglikan, Katholik, Yahudi, bahkan atheis. Tapi, sama sekali tidak ada niatan untuk mencoba memaksa berdakwah lewat ceramah yang berapi-api atau seruan jihad. Mereka adalah orang-orang yang telah mengerti bahwa Islam sejatinya disampaikan dengan kesantunan dan tanpa pemaksaan. Bahwa menjadi muslim yang baik adalah dengan menunjukkannya lewat perilaku sosial kita sehari-hari, selain dengan ibadah.

                Buku ini seperti menyadarkan kita bahwa muslim yang baik itu memiliki hubungan yang baik dengan Tuhan Sang Pencipta dan juga dengan sesama manusia. Kita terlalu sering larut dalam ibadah tapi lupa membiarkan tetangga sebelah rumah kelaparan. Kita sering menggelegak marah mendengar Kanjeng Nabi dihina sehingga kita membalas dengan menghina Tuhan agama lain. Hinaan dibalas dengan hinaan, rudal dengan bom bunuh diri, dan dunia entah kapan menjadi damainya. Kita sering lupa, bahwa Islam adalah agama yang santun, yang  pernah menerangi dunia selama beberapa abad. Di salah satu sudut Eropa, bukti-bukti itu masih ada. Melalui Fatma, kita belajar bahwa Islam memang agama rahmatan lil alamin, pembawa rahmat bagi alam semesta, termasuk ke Eropa di abad pertengahan.

                Tidak seperti buku-buku traveling yang lain, 99 Cahaya di Langit Eropa menyajikan perjalanan ke 4 negara Eropa dengan gaya novel, yakni Wina, Paris, Cordoba,  dan Istambul. Masing-masing disajikan dalam urutan bab-bab bercerita yang luwes serta enak dibaca. Bukan hanya pamer tempat, penulis juga menyelipkan unsur emosi dalam buku ini sehingga buku ini bisa tinggal lebih lama di dalam benak pembaca. Bagian paling menarik tentu saja adalah bab Paris ketika mereka menyelusuri Museum Louvre—museum terbesar di dunia yang semakin terkenal berkat buku The Da Vinci Code. Bukan, bukan potret Monalisa yang menjadi inti cerita, tetapi temuan lafal syahadat yang tercetak pada lukisan Bunda Maria yang dilukis pada tahun 1315 – 1320. Banyak fakta sejarah menakjubkan tentang peradaban Islam yang dulu pernah dipuja-puja oleh bangsa Eropa (sementara keadaannya kini malah berbalik) yang bisa dijumpai dalam buku ini.

                Bagian tentang Cordoba dan Istambul mungkin sudah banyak yang paham. Bahwa Mezquita Agung Cordoba kini telah diubah menjadi katedral, sementara Gereja Hagia Sophia di Konstantinopel kini berubah menjadi museum setelah sebelumnya digunakan sebagai masjid. Peradaban berputar. Yang lama menjadi landasan bagi yang baru sementara yang baru menyempurnakan yang lama. Peradaban maju dan runtuh, berputar seperti roda. Begitulah sejarah berputar sebagaimana yang dijelaskan oleh  Ibnu khaldun dalam Muqqadimmah-nya yang termasyhur. Buku ini berhasil menyentuh sekaligus mengingatkan saya tentang indahnya menjadi seorang muslim, tanpa harus berteriak keras ke penjuru dunia bahwa saya bangga menjadi muslim. Action speaks louder than words, menunjukkan jati diri seorang muslim melalui perilaku yang santun dan positif, itu jauh lebih baik ketimbang onral kata-kata yang malah berpotensi menimbulkan riya. Selamat merayakan Islam yang santun.  

Kekurangan: kurang tebal dan kovernya terlalu filmis, saya lebih suka cover yang nonfilm (sayang harganya lebih mahal #eh). 

Nilai: 4,5  bintang


Wednesday, December 25, 2013

All You Can Eat



Judul : All You Can Eat
Pengarang : Christian Simamora
Penyunting : Alit T. Palupi
Sampul : Jeffri Fernando
Ilustrasi : Levina Lesmana
Cetakan : 1, 2013
Tebal : 460 hlm
Penerbit : Gagas Media


          Proses membaca buku ini merupakan bagian dari program “read-outside-your-box” sebagai upaya untuk meragamkan bacaan dan menemukan permata dari ladang-ladang yang jarang saya kunjungi *haish*. Intinya, All You can Eat masuk dalam jenis buku di luar genre yang biasa saya baca tapi toh akhirnya tetap saya baca juga (Iki piye tho karepe?). Sebelum mulai, 3 jempol patut saya acungkan kepada buku ini: (1) kerapian cerita, (2) cover yang entah bagaimana tapi indah dalam caranya sendiri, dan (3) ketekunan si penulis yang masih sempet-sempetnya produktif nulis novel di sela pekerjaannya sebagai editor. Saya kebetulan juga editor dan juga kebetulan punya mimpi untuk bisa menulis novel suatu hari kelak, hanya saja saya-nya yang memang kebangetan malasnya sehingga belum nulis apapun. Sementara Christian Simamora sudah menghasilkan 10 novel, saya sejauh ini hanya mampu menghasilkan ratusan resensi novel LOL.
        Secara singkat, All You Can Eat adalah tentang meh, yo ollo, Gah!, Omaigat, Goddamit, dan so many awkward + funny + sexy + bitchy moments. Banyak adegan yang belum lolos sensor di dalamnya (terutama imajinasi liar para tokoh dalam buku ini) sehingga wajar kalau novel ini dilabeli NOVEL DEWASA (yang malah membuat saya tertarik membacanya). Sebagaimana kisah-kisah penulis dalam novel-novel sebelumnya, Simamora sekali lagi mengangkat kehidupan kaum muda urban dengan segala problematika asmaranya. Jenis karakternya masih sama: muda, mapan, gaul, dan sedikit bitchy (eh banyak ding). Sarah, seorang penulis scriptwriter film di Jakarta baru putus dari pacarnya yang selingkuh. Dengan dikompori oleh Anye—sobat kentalnya—Sarah memutuskan untuk mengungsi ke Ubud, Bali selama dua minggu agar bisa melupakan sang mantan sekaligus mencari suasana baru untuk menulis. Anye yang baik hati menawari Sarah untuk menginap di Vila Vimana milik keluarganya di Bali. Nah, di vila inilah cerita ini bermula.
                Tanpa kabar berita, Jandro, adik Anye juga memutuskan untuk menginap di Vimana. Jadilah keduanya dipertemukan di vila itu melalui sebuah adegan habis-mandi-belum-pakai-baju yang *waduh*. Lebih kikuknya lagi, Jandro ini dulu pernah nembak Sarah pas masih SMP dan Sarah menolaknya (wajar cinta monyet sih). Selisih usia mereka tujuh tahun, Sarah yang lebih tua. Tapi, Jandro yang dulu kikuk dan kerempeng kini telah berubah jadi Jandro yang sukses, mapan, dan uhuk berperut kotak-kotak. Sarah tak kuasa menolak godaan fisik Jandro, tapi cowok seksi itu adalah adiknya Anye. Dan selama dua minggu Sarah terpaksa menahan nafsunya yang menyala-nyala melihat santapan nyata di depan mata di Vila Vimana. Dalam cerita ini, berulang kali penulis menggambarkan pikiran-pikiran nakal si Sarah maupun Jandro yang errr … sebaiknya adik-adik SMP  - SMA jangan baca dulu deh daripada galau :P
                Cowok dan cewek, sama-sama mapan dan singel (juga sekseh) tinggal di bawah atap yang sama; tentu sudah bisa ditebak apa yang bakal terjadi: munculnya benih-benih cinta. Jandro masih mencintai Sarah dan Sarah pun sebenarnya sayang dan nafsu sama Jandro; tapi ia terhalang oleh tembok bernama Anya dan juga selisih usia di antara mereka. Jika di bagian awal pembaca disuguhi pikiran-pikiran nakal Sarah, maka di bagian separuh akhir kita akan melihat pergulatan psikologis dalam pikiran keduanya. Cinta yang tumbuh begitu kuat, tapi rintangan yang menghadang begitu hebat. Ini semakin diperparah dengan hadirnya mantannya Jandro. Konfliknya pun dapet dan harus saya akui, walau enggak saya banget tapi saya memilih untuk menikmati cerita buku ini *heleh
                Kekurangan dari All You Can Eat terutama terletak pada sudut pandangnya yang tidak jelas. Jika alur ceritanya rapi, maka tidak begitu dengan point of view novel ini. Kadang Jandro yang ngomong, kadang Sarah yang berpikir, kadang sudut pandang keduanya bertumpuk dalam satu tempat sehingga membuat pembaca bingung dan harus membaca ulang untuk menemukan siapa ini yang berbicara. Satu hal lain yang agak cukup mengganggu adalah banyaknya ucapan-ucapan Inggris yang bertebaran. Hampir setiap halaman ada. Nggak Jandro, nggak Sarah, nggak Anye; semuanya hobi banget mencampur percakapan bahasa Indonesia dengan ungkapan-ungkapan dalam bahasa Inggris. Saya saja yang Sarjana Bahasa Inggris malah beberapa kali menemukan beberapa ungkapan gaul Inggris yang tidak saya ketahui maknanya. Boleh-boleh saja sih menyelipkan ungkapan-ungkapan Inggris, tapi porsinya yang wajar. Kalau di novel ini menurut saya porsinya kebanyakan dan bikin eneg. Untungnya, penulis konsisten dengan menggunakan ungkapan Inggris yang benar, bukan Inggris sok Inggris campur-campur model singlish atau Javinglish. Ini salah satu yang bikin novel ini RAPI.  
Sexy quote:
                “Kalah setelah perang itu seksi. Seenggaknya, kamu sudah pernah berjuang untuk sesuatu yang kamu anggap sangat berharga.” (hlm. 416)



Wishful Wednesday X-Mas Giveaway by PerpusKecil




wishful wednesday
                 
Hola, Selamat Hari Natal untuk teman-teman yang merayakan. Hari ini, di Twitter ramai sekali postingan tentang tema lama yang setiap akhir tahun selalu muncul. Tapi satu yang saya yakini, Tuhan melihat umat-Nya pada hati, bukan hanya pada ucapan. Sebelum saya melantur lebih absurb lagi, perkenalkan saya untuk mengucapkan Selamat Natal kepada Mbak Astrid , yang telah baik banget mengadakan meme “wishful Wednesday” berhadiah untuk umum kali ini. Saya kebetulan tidak ikutan WW, dulu takut kalau ikutan ini bakal terdorong terus ke toko buku setiap pekan sebagai efek menulis postingan WW. Tapi, manfaat mengikuti WW ini ternyata lebih pada mendorong kita, para blogger, agar bisa rajin dan rutin merawat serta meramaikan blog masing-masing. Such a great idea, Kak Astrid. 

                Dalam setiap WW, kita dipersilakan mem-posting judul buku yang sangat kita inginkan tapi belum juga kesampaian bisa beli hingga saat ini. Dalam edisi WW khusus Natal ini, Kak Astrid berbaik hati akan mewujudkan 2 WW yang beruntung (Yeah, she’s the real Santa today!). Untuk WW saya yang belum juga kesampaian beli sampai saat ini adalah buku ini:




Judul: Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut
Penulis: Adrian B. Lapian
Harga: Rp 75.000
Penerbit: Komunitas Bambu, Jakarta
Bisa dibeli di: komunitasbambu.com 
           bukabuku.com

Alasan: Adrian B Lapian adalah seorang penulis tema kelautan paling terkenal (dan mungkin baru satu-satunya) di Indonesia. Karya-karya beliau selalu menjadi rujukan utama dalam setiap penelitian sejarah mengenai Asia Tenggara dan juga Indonesia, terutama dari segi ke-maritiman. Kata seorang teman (yang juga hobi menimbun buku), buku ini digarap dengan riset yang teliti, detail yang mencengangkan, dan kecintaan yang mendalam akan ilmu kelautan. Buku ini merupakan buku terlengkap saat ini mengenai sejarah kelautan di Nusantara. “Setiap kalimat,” kata teman saya itu, “ditulis dengan begitu padat, sarat informasi, dan kaya data!” Bagi saya yang penyuka buku-buku sejarah, pernyataan tersebut sudah lebih dari cukup untuk membuat api keinginan memiliki di dalam dada menyala berkobar-kobar *haiah*
                Sayangnya, buku-buku terbitan Komunitas Bambu sangat sulit dicari di kota saya, Yogyakarta. Satu-satunya alternatif paling tepat adalah membeli langsung ke penerbitnya yang kebetulan juga melayani pembelian online. Buku ini masuk dalam rencana pembelian buku di bulan Februari 2014  (lamanyooo) mengingat saya telah berjanji untuk hanya membeli 1 buku baru setiap bulannya (Both December and January have already taken hihihi).
                Thanks to Mbak Astrid for posting this beautiful giveaway. Mari teman-teman, kita ramaikan event seru ini,. Cek lengkapnya di sini.

Friday, December 20, 2013

Riddle from My Secret Santa



Horee kado dari My Secret Santa sudah tiba sejak sekitar 2 minggu yang lalu. Terima kasih Santa, kebetulan saya sudah ke toko buku berulang kali sambil menggalau memegang buku ini, beli tidak-tidak beli, yaudah nggak beli hihihi. It is just like a blessing for me receiving this book. Buku ini judulnya Kitab Api, lanjutan dari Atlas Emerald yang merupakan bagian dari serial Buku-buku Permulaan. Untuk resensi buku pertama bisa dibaca di sini --> Atlas Emerald 

       Nah, lalu siapa sang Santa baik hati itu? Petunjuknya sedikit sekali, hanya berupa gambar salam tiga jari seperti ini. Berkaitan dengan angka "3" atau mungkin "distrik 13". 




Untuk teka-tekinya, jujur ini susah sekali. Semoga saya bisa menebak siapa sebenarnya dirimu wahai Santa yang baik hati. 


Walau teka-tekinya susah, terima kasih saya ucapkan atas hadiahnya. 



Salam peluk (kalau Santaku cewek)
Salam jabat tangan (kalau Santaku cowok)


Beyonder

Judul : Beyonder
Pengarang : Brandon Mull
Penerjemah : Lulu Fitri Rahman
Penyunting : Silvero Shan
Tebal : 600 halaman
Cetakan: 1, November 2013
Penerbit: Mizan Fantasi



                Brandon Mull, melalui Beyonders semakin membuktikan dirinya sebagai pengarang kisah fantasi yang membius pembaca, tidak kalah membius dibanding memakan buah beri lumba. Setiap cerita yang ia kisahkan selalu mampu membawa pembaca ke alam petualangan yang tidak pernah membosankan. Jika dalam seri Fablehaven kita mendapati petualangan yang susul-menyusul dan plot yang tak terduga, maka dalam Beyonders ini penulis membuat pembaca menanti-nanti dan menebak-nebak apa yang kiranya akan ditemui oleh Jason dalam Rachel dalam petualangan mereka di Dunia Lyrian. Sebagaimana kata kritikus, Beyonder ini ditulis dengan sangat rapi dan runtut-teratur. Jika dibayangkan, kisah ini mirip sebuah kotak yang sisi-sisinya pas membentuk persegi sempurna. Dari sisi cerita memang tidak (atau belum) seseru seri Fablehaven kara Om Brandon ini punya kebiasaan menulis cerita yang agak datar di awal tetapi semakin seru ke seri-seri berikutnya.
                Beyonders berkisah tentang Jason Walker, seorang anak remaja berusia 13 tahun yang tersesat masuk ke sebuah dunia lain bernama Lyrian. Selama berabad-abad, manusia diketahui telah menyeberang ke dunia Lyrian lewat berbagai cara, umumnya secara tidak sengaja melalui lengkung batu alam, lorong dekat puncak gunung, atau batang pohon mati. Untuk kasus Jason, kasusnya agak unik: ia masuk ke Lyrian lewat mulut kuda nil—salah satu sisa-sisa gerbang sihir Lyrian yang jarang digunakan. Sendirian di Lyrian, ia mendapati dunia itu dikuasai oleh seorang penyihir lalim bernama Maldor (remind me about Mordor #eh since Mull himself said that he has only one life to be presented to Gondor or Rohan’s Kingdom in Tolkien’s Middle Earth). Maldor menindas Lyrian, mengisolasi antar provinsi, dan melakukan teknik-teknik sedemikian rupa agar tidak terjadi pemberontakan dan kekuasaannya bertahan lama.

                Disinilah letak kejeniusan Maldor (atau penulisnya) karena dalam cerita yang tampaknya sederhana ini penulis telah membangun sebuah dunia fantasi yang baru, lengkap dengan berbagai intrik pemerintahan nan cemerlang. Bagaimana Maldor menindas rakyatnya sedemikian rupa sehingga membuat rakyat takut padanya tapi tidak memberontak kepadanya, bagaimana ia membangun kastil Harthenham sebagai sebuah opsi untuk melenyapkan musuh-musuhnya secara menyenangkan, dan bagaimana ia menyembunyikan Kata. Jason mengetahui, melalui kunjungannya ke Rumah Pengetahuan, bahwa ada sebuah kata sihir yang bila diucapkan tepat di depan Maldor akan membuat penyihir lalim itu langsung hancur dan melebur. Kata sihir itu tersusun atas 6 silabel, yang masing-masing harus dikumpulkan untuk kemudian disatukan dan diucapkan langsung di depan Maldor sendiri agar dapat bekerja.

                Maka, dimulailah petualangan Jason  untuk menemukan keenam silabel yang akan membentuk Kata. Awalnya, ia memburu Kata untuk mengetahui jalan pulang kembali ke dunianya. Tapi, seiring dengan perjalanannya ke dunia Lyrian, Jason perlahan mulai diyakinkan bahwa ada sesuatu yang salah dengan negeri itu: sama sekali tidak ada orang yang mau berjuang melawan Maldor, sama sekali tidak ada pahlawan di dunia yang menakjubkan itu. Dan, kini, dengan dipandu oleh pengetahuan dari seorang pahlawan tua yang telah dikalahkan Maldor serta seorang gadis dari Dunia Luar yang juga sama-sama tersesat di Lyrian seperti dirinya, Jason harus mengumpulkan enam silabel yang menyusun Kata. Petualangan seru menanti di depan. Dari seorang remaja biasa, Jason dan Rachel harus bekerja sama menghadapi berbagai mahkluk berbahaya yang tidak pernah mereka jumpai di Bumi. Mulai dari kepiting raksasa penjaga silabel kedua, hingga ular berbisa yang mengelilingi lokasi persembunyian silabel keenam. Silabel-silabel lainnya juga tidak mudah di dapatkan. Keduanya harus naik ke kawah dan bahkan terlibat dalam intrik politik. Begitu beragamnya petualangan di dunia Lyrian.

                Seandainya ada peta di buku ini, pembaca pasti akan lebih mudah menikmati petualangan Jason dan Rachel dalam memburu kata. Tapi, sebagaimana kata Galloran, sang Raja Buta, bahwa tidak ada peta di Lyrian. Maldor telah memusnahkan semua jenis peta dan melarang penggambaran peta Lyrian. Ini sebagai bagian dari politiknya untuk mengisolasi provinsi-provinsinya agar tidak menjalin persekutuan untuk memberontak. Negeri itu juga tidak ramah terhadap para penggembara karena Maldor hendak memastikan siapapun yang berniat mencari silabel Kata agar menyerah dan menghentikan upayanya. Begitu kuatnya pengaruh Maldor, sampai-sampai Om Brandon pun terpaksa tidak memuat peta dalam novelnya ini!

                Dari segi terjemahan, saya harus berteriak HORE kepada sang penerjemah dan editornya. Terjemahan Beyonders minim sekali serapan kata asingnya, hampir semua kata dalam bahasa asli diterjemahkan ke dalam bahasa sasaran, kecuali sedikit yang tidak diterjemahkan karena itu adalah nama atau gelar kebangsawanan. Menyenangkan sekali membaca Beyonders karena rasanya tidak seperti membaca buku terjemahan, diperlukan pengetahuan dan pencarian yang amat teliti dalam menerjemahkan novel ini, saya yakin. Untuk salah ketik, saya hanya menemukan dua kali typho, salah satunya kata muncub yang seharusnya muncul. Selamat kepada Jason dan Rachel, kisah kalian diterjemahkan dan disunting dengan baik.