Search This Blog

Wednesday, December 25, 2013

All You Can Eat



Judul : All You Can Eat
Pengarang : Christian Simamora
Penyunting : Alit T. Palupi
Sampul : Jeffri Fernando
Ilustrasi : Levina Lesmana
Cetakan : 1, 2013
Tebal : 460 hlm
Penerbit : Gagas Media


          Proses membaca buku ini merupakan bagian dari program “read-outside-your-box” sebagai upaya untuk meragamkan bacaan dan menemukan permata dari ladang-ladang yang jarang saya kunjungi *haish*. Intinya, All You can Eat masuk dalam jenis buku di luar genre yang biasa saya baca tapi toh akhirnya tetap saya baca juga (Iki piye tho karepe?). Sebelum mulai, 3 jempol patut saya acungkan kepada buku ini: (1) kerapian cerita, (2) cover yang entah bagaimana tapi indah dalam caranya sendiri, dan (3) ketekunan si penulis yang masih sempet-sempetnya produktif nulis novel di sela pekerjaannya sebagai editor. Saya kebetulan juga editor dan juga kebetulan punya mimpi untuk bisa menulis novel suatu hari kelak, hanya saja saya-nya yang memang kebangetan malasnya sehingga belum nulis apapun. Sementara Christian Simamora sudah menghasilkan 10 novel, saya sejauh ini hanya mampu menghasilkan ratusan resensi novel LOL.
        Secara singkat, All You Can Eat adalah tentang meh, yo ollo, Gah!, Omaigat, Goddamit, dan so many awkward + funny + sexy + bitchy moments. Banyak adegan yang belum lolos sensor di dalamnya (terutama imajinasi liar para tokoh dalam buku ini) sehingga wajar kalau novel ini dilabeli NOVEL DEWASA (yang malah membuat saya tertarik membacanya). Sebagaimana kisah-kisah penulis dalam novel-novel sebelumnya, Simamora sekali lagi mengangkat kehidupan kaum muda urban dengan segala problematika asmaranya. Jenis karakternya masih sama: muda, mapan, gaul, dan sedikit bitchy (eh banyak ding). Sarah, seorang penulis scriptwriter film di Jakarta baru putus dari pacarnya yang selingkuh. Dengan dikompori oleh Anye—sobat kentalnya—Sarah memutuskan untuk mengungsi ke Ubud, Bali selama dua minggu agar bisa melupakan sang mantan sekaligus mencari suasana baru untuk menulis. Anye yang baik hati menawari Sarah untuk menginap di Vila Vimana milik keluarganya di Bali. Nah, di vila inilah cerita ini bermula.
                Tanpa kabar berita, Jandro, adik Anye juga memutuskan untuk menginap di Vimana. Jadilah keduanya dipertemukan di vila itu melalui sebuah adegan habis-mandi-belum-pakai-baju yang *waduh*. Lebih kikuknya lagi, Jandro ini dulu pernah nembak Sarah pas masih SMP dan Sarah menolaknya (wajar cinta monyet sih). Selisih usia mereka tujuh tahun, Sarah yang lebih tua. Tapi, Jandro yang dulu kikuk dan kerempeng kini telah berubah jadi Jandro yang sukses, mapan, dan uhuk berperut kotak-kotak. Sarah tak kuasa menolak godaan fisik Jandro, tapi cowok seksi itu adalah adiknya Anye. Dan selama dua minggu Sarah terpaksa menahan nafsunya yang menyala-nyala melihat santapan nyata di depan mata di Vila Vimana. Dalam cerita ini, berulang kali penulis menggambarkan pikiran-pikiran nakal si Sarah maupun Jandro yang errr … sebaiknya adik-adik SMP  - SMA jangan baca dulu deh daripada galau :P
                Cowok dan cewek, sama-sama mapan dan singel (juga sekseh) tinggal di bawah atap yang sama; tentu sudah bisa ditebak apa yang bakal terjadi: munculnya benih-benih cinta. Jandro masih mencintai Sarah dan Sarah pun sebenarnya sayang dan nafsu sama Jandro; tapi ia terhalang oleh tembok bernama Anya dan juga selisih usia di antara mereka. Jika di bagian awal pembaca disuguhi pikiran-pikiran nakal Sarah, maka di bagian separuh akhir kita akan melihat pergulatan psikologis dalam pikiran keduanya. Cinta yang tumbuh begitu kuat, tapi rintangan yang menghadang begitu hebat. Ini semakin diperparah dengan hadirnya mantannya Jandro. Konfliknya pun dapet dan harus saya akui, walau enggak saya banget tapi saya memilih untuk menikmati cerita buku ini *heleh
                Kekurangan dari All You Can Eat terutama terletak pada sudut pandangnya yang tidak jelas. Jika alur ceritanya rapi, maka tidak begitu dengan point of view novel ini. Kadang Jandro yang ngomong, kadang Sarah yang berpikir, kadang sudut pandang keduanya bertumpuk dalam satu tempat sehingga membuat pembaca bingung dan harus membaca ulang untuk menemukan siapa ini yang berbicara. Satu hal lain yang agak cukup mengganggu adalah banyaknya ucapan-ucapan Inggris yang bertebaran. Hampir setiap halaman ada. Nggak Jandro, nggak Sarah, nggak Anye; semuanya hobi banget mencampur percakapan bahasa Indonesia dengan ungkapan-ungkapan dalam bahasa Inggris. Saya saja yang Sarjana Bahasa Inggris malah beberapa kali menemukan beberapa ungkapan gaul Inggris yang tidak saya ketahui maknanya. Boleh-boleh saja sih menyelipkan ungkapan-ungkapan Inggris, tapi porsinya yang wajar. Kalau di novel ini menurut saya porsinya kebanyakan dan bikin eneg. Untungnya, penulis konsisten dengan menggunakan ungkapan Inggris yang benar, bukan Inggris sok Inggris campur-campur model singlish atau Javinglish. Ini salah satu yang bikin novel ini RAPI.  
Sexy quote:
                “Kalah setelah perang itu seksi. Seenggaknya, kamu sudah pernah berjuang untuk sesuatu yang kamu anggap sangat berharga.” (hlm. 416)



No comments:

Post a Comment