Judul : All You Can Eat
Pengarang : Christian Simamora
Penyunting : Alit T. Palupi
Sampul : Jeffri Fernando
Ilustrasi : Levina Lesmana
Cetakan : 1, 2013
Tebal : 460 hlm
Penerbit : Gagas Media
Proses membaca buku ini
merupakan bagian dari program “read-outside-your-box” sebagai upaya untuk
meragamkan bacaan dan menemukan permata dari ladang-ladang yang jarang saya
kunjungi *haish*. Intinya, All You can
Eat masuk dalam jenis buku di luar genre yang biasa saya baca tapi toh
akhirnya tetap saya baca juga (Iki piye tho
karepe?). Sebelum mulai, 3 jempol patut saya acungkan kepada buku ini: (1)
kerapian cerita, (2) cover yang entah bagaimana tapi indah dalam caranya
sendiri, dan (3) ketekunan si penulis yang masih sempet-sempetnya produktif
nulis novel di sela pekerjaannya sebagai editor. Saya kebetulan juga editor dan
juga kebetulan punya mimpi untuk bisa menulis novel suatu hari kelak, hanya
saja saya-nya yang memang kebangetan malasnya sehingga belum nulis apapun.
Sementara Christian Simamora sudah menghasilkan 10 novel, saya sejauh ini hanya
mampu menghasilkan ratusan resensi novel LOL.
Secara singkat, All You Can Eat adalah tentang meh, yo ollo, Gah!, Omaigat, Goddamit, dan
so many awkward + funny + sexy + bitchy
moments. Banyak adegan yang belum lolos sensor di dalamnya (terutama
imajinasi liar para tokoh dalam buku ini) sehingga wajar kalau novel ini
dilabeli NOVEL DEWASA (yang malah membuat saya tertarik membacanya).
Sebagaimana kisah-kisah penulis dalam novel-novel sebelumnya, Simamora sekali
lagi mengangkat kehidupan kaum muda urban dengan segala problematika asmaranya.
Jenis karakternya masih sama: muda, mapan, gaul, dan sedikit bitchy (eh banyak ding). Sarah, seorang penulis scriptwriter film di Jakarta baru putus
dari pacarnya yang selingkuh. Dengan dikompori oleh Anye—sobat kentalnya—Sarah
memutuskan untuk mengungsi ke Ubud, Bali selama dua minggu agar bisa melupakan sang mantan sekaligus mencari suasana baru
untuk menulis. Anye yang baik hati menawari Sarah untuk menginap di Vila Vimana
milik keluarganya di Bali. Nah, di vila inilah cerita ini bermula.
Tanpa kabar berita, Jandro, adik
Anye juga memutuskan untuk menginap di Vimana. Jadilah keduanya dipertemukan di
vila itu melalui sebuah adegan habis-mandi-belum-pakai-baju yang *waduh*. Lebih
kikuknya lagi, Jandro ini dulu pernah nembak Sarah pas masih SMP dan Sarah
menolaknya (wajar cinta monyet sih). Selisih usia mereka tujuh tahun, Sarah
yang lebih tua. Tapi, Jandro yang dulu kikuk dan kerempeng kini telah berubah
jadi Jandro yang sukses, mapan, dan uhuk berperut kotak-kotak. Sarah tak kuasa
menolak godaan fisik Jandro, tapi cowok seksi itu adalah adiknya Anye. Dan selama
dua minggu Sarah terpaksa menahan nafsunya yang menyala-nyala melihat santapan
nyata di depan mata di Vila Vimana. Dalam cerita ini, berulang kali penulis
menggambarkan pikiran-pikiran nakal si Sarah maupun Jandro yang errr …
sebaiknya adik-adik SMP - SMA jangan
baca dulu deh daripada galau :P
Cowok dan cewek, sama-sama mapan
dan singel (juga sekseh) tinggal di bawah atap yang sama; tentu sudah bisa
ditebak apa yang bakal terjadi: munculnya benih-benih cinta. Jandro masih
mencintai Sarah dan Sarah pun sebenarnya sayang dan nafsu sama Jandro; tapi ia
terhalang oleh tembok bernama Anya dan juga selisih usia di antara mereka. Jika
di bagian awal pembaca disuguhi pikiran-pikiran nakal Sarah, maka di bagian
separuh akhir kita akan melihat pergulatan psikologis dalam pikiran keduanya. Cinta
yang tumbuh begitu kuat, tapi rintangan yang menghadang begitu hebat. Ini
semakin diperparah dengan hadirnya mantannya Jandro. Konfliknya pun dapet dan
harus saya akui, walau enggak saya banget tapi saya memilih untuk menikmati
cerita buku ini *heleh
Kekurangan dari All You Can Eat terutama terletak pada
sudut pandangnya yang tidak jelas. Jika alur ceritanya rapi, maka tidak begitu
dengan point of view novel ini.
Kadang Jandro yang ngomong, kadang Sarah yang berpikir, kadang sudut pandang
keduanya bertumpuk dalam satu tempat sehingga membuat pembaca bingung dan harus
membaca ulang untuk menemukan siapa ini yang berbicara. Satu hal lain yang agak
cukup mengganggu adalah banyaknya ucapan-ucapan Inggris yang bertebaran. Hampir
setiap halaman ada. Nggak Jandro, nggak Sarah, nggak Anye; semuanya hobi banget
mencampur percakapan bahasa Indonesia dengan ungkapan-ungkapan dalam bahasa
Inggris. Saya saja yang Sarjana Bahasa Inggris malah beberapa kali menemukan
beberapa ungkapan gaul Inggris yang tidak saya ketahui maknanya. Boleh-boleh
saja sih menyelipkan ungkapan-ungkapan Inggris, tapi porsinya yang wajar. Kalau
di novel ini menurut saya porsinya kebanyakan dan bikin eneg. Untungnya, penulis konsisten dengan menggunakan ungkapan
Inggris yang benar, bukan Inggris sok Inggris campur-campur model singlish atau Javinglish. Ini salah satu yang bikin novel ini RAPI.
Sexy quote:
“Kalah setelah perang itu seksi. Seenggaknya, kamu sudah pernah
berjuang untuk sesuatu yang kamu anggap sangat berharga.” (hlm. 416)
No comments:
Post a Comment