Judul : 99 Cahaya di Langit Eropa
Pengarang : Hanum Salsabiela Rais dan
Rangga Almahendra
Isi dan Grafis : Supriyanto
Judul : Maxima Pictures
Cetakan : kedua, November 2013
Tebal : 420 halaman
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Jika
ada sesuatu yang sekarang serasa hilang dari umat Islam kebanyakan saat ini, salah
duanya adalah ghirah atau semangat
untuk mencari ilmu dan kesantunan. Bom bunuh diri, perang saudara, penutupan paksa
tempat ibadah agama lain, penindasan rekan satu agama atas nama golongan yang berbeda,
belum lagi ditambah gejala korupsi, kolusi, dan nepotisme yang seolah sudah
menjadi penyakit akut; pemandangan-pemandangan miris seperti inilah yang
dilihat dunia dari negara-negara muslim. Tidak heran jika banyak yang kemudian
memandang sinis umat ini. Umat ini hanya bisa berteriak keras, memaki, dan
menginjak-injak boneka atau bendera salah satu negara Barat ketika Kanjeng Nabi
dihina atau ketika kebenaran ajaran Islam dinistakan. Ini adalah reaksi yang
wajar dan sudah seharusnya, tapi betulkan kekerasan adalah satu-satunya senjata
umat islam?
Mungkin
kita lupa, seribu tahun yang lalu, cahaya Islam pernah menerangi dunia. Di
Semenanjung Iberia (Spanyol Modern) berdiri salah satu pusat peradaban Islam
yang cemerlang, berdampingan dengan Kairo dan Baghdad sebagai pusat-pusat ilmu
pengetahuan dunia. Tradisi menulis, membaca, dan menerjemahkan mewarnai
keseharian umat. Mereka mengkaji kitab suci dan kitab bumi dengan sama-sama
giatnya. Kajian filsafat bersandingan dengan kajian ilmu nahwu. Ilmu kedokteran
maju seiring dengan majunya ilmu agama. Pengamatan bintang dan angkasa
dimanfaatkan untuk memperinci arah kiblat dan waktu sholat. Sementara itu, umat
Islam hidup berdampingan dengan kaum Yahudi dan Kristiani. Tidak ada pemaksaan
dalam beragama. Tidak ada penghancuran tempat ibadah agama lain. Tidak ada bom
bunuh diri (meskipun intrik politik tetap saja merajalela). Cemoohan dibalas
dengan tulisan. Kata-kata dibalas dengan karya. Saat itu, Islam benar-benar
menerangi dunia.
Menjadi
muslim yang santun, itulah yang tampaknya hendak disampaikan oleh para penulis
buku yang indah ini. Keduanya sama-sama minoritas muslim yang bermukim di
Austria, jantungnya Kristen. Keduanya setiap hari berinteraksi dan membaur
dengan orang Kristen, Aglikan, Katholik, Yahudi, bahkan atheis. Tapi, sama
sekali tidak ada niatan untuk mencoba memaksa berdakwah lewat ceramah yang
berapi-api atau seruan jihad. Mereka adalah orang-orang yang telah mengerti
bahwa Islam sejatinya disampaikan dengan kesantunan dan tanpa pemaksaan. Bahwa menjadi
muslim yang baik adalah dengan menunjukkannya lewat perilaku sosial kita
sehari-hari, selain dengan ibadah.
Buku
ini seperti menyadarkan kita bahwa muslim yang baik itu memiliki hubungan yang
baik dengan Tuhan Sang Pencipta dan juga dengan sesama manusia. Kita terlalu
sering larut dalam ibadah tapi lupa membiarkan tetangga sebelah rumah
kelaparan. Kita sering menggelegak marah mendengar Kanjeng Nabi dihina sehingga
kita membalas dengan menghina Tuhan agama lain. Hinaan dibalas dengan hinaan,
rudal dengan bom bunuh diri, dan dunia entah kapan menjadi damainya. Kita
sering lupa, bahwa Islam adalah agama yang santun, yang pernah menerangi dunia selama beberapa abad. Di
salah satu sudut Eropa, bukti-bukti itu masih ada. Melalui Fatma, kita belajar
bahwa Islam memang agama rahmatan lil
alamin, pembawa rahmat bagi alam semesta, termasuk ke Eropa di abad
pertengahan.
Tidak
seperti buku-buku traveling yang lain, 99
Cahaya di Langit Eropa menyajikan perjalanan ke 4 negara Eropa dengan gaya
novel, yakni Wina, Paris, Cordoba, dan
Istambul. Masing-masing disajikan dalam urutan bab-bab bercerita yang luwes
serta enak dibaca. Bukan hanya pamer tempat, penulis juga menyelipkan unsur
emosi dalam buku ini sehingga buku ini bisa tinggal lebih lama di dalam benak
pembaca. Bagian paling menarik tentu saja adalah bab Paris ketika mereka
menyelusuri Museum Louvre—museum terbesar di dunia yang semakin terkenal berkat
buku The Da Vinci Code. Bukan, bukan
potret Monalisa yang menjadi inti cerita, tetapi temuan lafal syahadat yang
tercetak pada lukisan Bunda Maria yang dilukis pada tahun 1315 – 1320. Banyak
fakta sejarah menakjubkan tentang peradaban Islam yang dulu pernah dipuja-puja
oleh bangsa Eropa (sementara keadaannya kini malah berbalik) yang bisa dijumpai dalam buku ini.
Bagian
tentang Cordoba dan Istambul mungkin sudah banyak yang paham. Bahwa Mezquita Agung
Cordoba kini telah diubah menjadi katedral, sementara Gereja Hagia Sophia di
Konstantinopel kini berubah menjadi museum setelah sebelumnya digunakan sebagai
masjid. Peradaban berputar. Yang lama menjadi landasan bagi yang baru sementara
yang baru menyempurnakan yang lama. Peradaban maju dan runtuh, berputar seperti
roda. Begitulah sejarah berputar sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu khaldun dalam Muqqadimmah-nya yang termasyhur. Buku ini berhasil menyentuh
sekaligus mengingatkan saya tentang indahnya menjadi seorang muslim, tanpa harus
berteriak keras ke penjuru dunia bahwa saya bangga menjadi muslim. Action speaks louder than words, menunjukkan
jati diri seorang muslim melalui perilaku yang santun dan positif, itu jauh
lebih baik ketimbang onral kata-kata yang malah berpotensi menimbulkan riya. Selamat merayakan Islam yang
santun.
Kekurangan: kurang tebal dan kovernya terlalu filmis, saya lebih suka cover yang nonfilm (sayang harganya lebih mahal #eh).
Nilai: 4,5 bintang
Kekurangan: kurang tebal dan kovernya terlalu filmis, saya lebih suka cover yang nonfilm (sayang harganya lebih mahal #eh).
Nilai: 4,5 bintang
No comments:
Post a Comment