Search This Blog

Monday, December 30, 2013

99 Cahaya di Langit Eropa



Judul : 99 Cahaya di Langit Eropa
Pengarang : Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra
Isi dan Grafis : Supriyanto
Judul : Maxima Pictures
Cetakan : kedua, November 2013
Tebal : 420 halaman
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

                18804413

                Jika ada sesuatu yang sekarang serasa hilang dari umat Islam kebanyakan saat ini, salah duanya adalah ghirah atau semangat untuk mencari ilmu dan kesantunan. Bom bunuh diri, perang saudara, penutupan paksa tempat ibadah agama lain, penindasan rekan satu agama atas nama golongan yang berbeda, belum lagi ditambah gejala korupsi, kolusi, dan nepotisme yang seolah sudah menjadi penyakit akut; pemandangan-pemandangan miris seperti inilah yang dilihat dunia dari negara-negara muslim. Tidak heran jika banyak yang kemudian memandang sinis umat ini. Umat ini hanya bisa berteriak keras, memaki, dan menginjak-injak boneka atau bendera salah satu negara Barat ketika Kanjeng Nabi dihina atau ketika kebenaran ajaran Islam dinistakan. Ini adalah reaksi yang wajar dan sudah seharusnya, tapi betulkan kekerasan adalah satu-satunya senjata umat islam?

                Mungkin kita lupa, seribu tahun yang lalu, cahaya Islam pernah menerangi dunia. Di Semenanjung Iberia (Spanyol Modern) berdiri salah satu pusat peradaban Islam yang cemerlang, berdampingan dengan Kairo dan Baghdad sebagai pusat-pusat ilmu pengetahuan dunia. Tradisi menulis, membaca, dan menerjemahkan mewarnai keseharian umat. Mereka mengkaji kitab suci dan kitab bumi dengan sama-sama giatnya. Kajian filsafat bersandingan dengan kajian ilmu nahwu. Ilmu kedokteran maju seiring dengan majunya ilmu agama. Pengamatan bintang dan angkasa dimanfaatkan untuk memperinci arah kiblat dan waktu sholat. Sementara itu, umat Islam hidup berdampingan dengan kaum Yahudi dan Kristiani. Tidak ada pemaksaan dalam beragama. Tidak ada penghancuran tempat ibadah agama lain. Tidak ada bom bunuh diri (meskipun intrik politik tetap saja merajalela). Cemoohan dibalas dengan tulisan. Kata-kata dibalas dengan karya. Saat itu, Islam benar-benar menerangi dunia.

                Menjadi muslim yang santun, itulah yang tampaknya hendak disampaikan oleh para penulis buku yang indah ini. Keduanya sama-sama minoritas muslim yang bermukim di Austria, jantungnya Kristen. Keduanya setiap hari berinteraksi dan membaur dengan orang Kristen, Aglikan, Katholik, Yahudi, bahkan atheis. Tapi, sama sekali tidak ada niatan untuk mencoba memaksa berdakwah lewat ceramah yang berapi-api atau seruan jihad. Mereka adalah orang-orang yang telah mengerti bahwa Islam sejatinya disampaikan dengan kesantunan dan tanpa pemaksaan. Bahwa menjadi muslim yang baik adalah dengan menunjukkannya lewat perilaku sosial kita sehari-hari, selain dengan ibadah.

                Buku ini seperti menyadarkan kita bahwa muslim yang baik itu memiliki hubungan yang baik dengan Tuhan Sang Pencipta dan juga dengan sesama manusia. Kita terlalu sering larut dalam ibadah tapi lupa membiarkan tetangga sebelah rumah kelaparan. Kita sering menggelegak marah mendengar Kanjeng Nabi dihina sehingga kita membalas dengan menghina Tuhan agama lain. Hinaan dibalas dengan hinaan, rudal dengan bom bunuh diri, dan dunia entah kapan menjadi damainya. Kita sering lupa, bahwa Islam adalah agama yang santun, yang  pernah menerangi dunia selama beberapa abad. Di salah satu sudut Eropa, bukti-bukti itu masih ada. Melalui Fatma, kita belajar bahwa Islam memang agama rahmatan lil alamin, pembawa rahmat bagi alam semesta, termasuk ke Eropa di abad pertengahan.

                Tidak seperti buku-buku traveling yang lain, 99 Cahaya di Langit Eropa menyajikan perjalanan ke 4 negara Eropa dengan gaya novel, yakni Wina, Paris, Cordoba,  dan Istambul. Masing-masing disajikan dalam urutan bab-bab bercerita yang luwes serta enak dibaca. Bukan hanya pamer tempat, penulis juga menyelipkan unsur emosi dalam buku ini sehingga buku ini bisa tinggal lebih lama di dalam benak pembaca. Bagian paling menarik tentu saja adalah bab Paris ketika mereka menyelusuri Museum Louvre—museum terbesar di dunia yang semakin terkenal berkat buku The Da Vinci Code. Bukan, bukan potret Monalisa yang menjadi inti cerita, tetapi temuan lafal syahadat yang tercetak pada lukisan Bunda Maria yang dilukis pada tahun 1315 – 1320. Banyak fakta sejarah menakjubkan tentang peradaban Islam yang dulu pernah dipuja-puja oleh bangsa Eropa (sementara keadaannya kini malah berbalik) yang bisa dijumpai dalam buku ini.

                Bagian tentang Cordoba dan Istambul mungkin sudah banyak yang paham. Bahwa Mezquita Agung Cordoba kini telah diubah menjadi katedral, sementara Gereja Hagia Sophia di Konstantinopel kini berubah menjadi museum setelah sebelumnya digunakan sebagai masjid. Peradaban berputar. Yang lama menjadi landasan bagi yang baru sementara yang baru menyempurnakan yang lama. Peradaban maju dan runtuh, berputar seperti roda. Begitulah sejarah berputar sebagaimana yang dijelaskan oleh  Ibnu khaldun dalam Muqqadimmah-nya yang termasyhur. Buku ini berhasil menyentuh sekaligus mengingatkan saya tentang indahnya menjadi seorang muslim, tanpa harus berteriak keras ke penjuru dunia bahwa saya bangga menjadi muslim. Action speaks louder than words, menunjukkan jati diri seorang muslim melalui perilaku yang santun dan positif, itu jauh lebih baik ketimbang onral kata-kata yang malah berpotensi menimbulkan riya. Selamat merayakan Islam yang santun.  

Kekurangan: kurang tebal dan kovernya terlalu filmis, saya lebih suka cover yang nonfilm (sayang harganya lebih mahal #eh). 

Nilai: 4,5  bintang


No comments:

Post a Comment