Judul : The
Emerald Atlas (Buku-Buku Permulaan)
Pengarang :
John Stephens
Penerjemah :
Poppy D. Chusfani
Cetakan: 1,
Juli 2011
Tebal : 480
hlm
Penerbit :
Gramedia Pustaka Utama
Ribuan
tahun yang lalu, kaum penyihir benar-benar ada di Bumi ini. Mereka tinggal dan
berinteraksi dengan manusia biasa, mendirikan kota-kota purba,
kerajaan-kerajaan tua, dan dewan-dewan penyihir yang sangat berkuasa. Tetapi,
sihir akhirnya kalah dengan jumlah manusia yang terus bertambah dan berkembang
biak. Lambat laun, para penyihir mulai tersingkir dan terdesak oleh manusia
biasa sehingga komunitas sihir pun memutuskan untuk menutup dunia mereka dari
pandangan dan pengetahuan manusia biasa. Beberapa pulau dan bagian benua
menghilang dari peta dunia, menghilang dibalik tabir sihir tak kasat mata yang
membawa serta wilayah-wilayah manusia di sekitarnya. Untuk melestarikan sihir,
dewan sihir kuno memutuskan untuk mengumpulkan seluruh pengetahuan tentang
sihir dalam sebuah kitab. Tapi, karena sangat berbahaya—bahkan bagi seorang
penyihir—untuk memegang kekuatan sedahsyat itu sendirian, maka diputuskan untuk
menyimpan seluruh pengetahuan itu dalam tiga kitab sihir. Ketika pasukan
Alexander Agung menyerang Iskandariah ribuan tahun lampau, dewan penyihir
memutuskan untuk menyembunyikan kitab-kitab tersebut.
Kate,
Michael, dan Emma adalah tiga bersaudara yatim piatu yang menghabiskan
tahun-tahun awal kehidupan mereka berpindah-pindah dari satu panti asuhan ke
panti asuhan yang lain. Kecuali Kate, mereka tidak tahu bagaimana rupa dan
siapa orang tua mereka. Hanya ada inisial P di belakang nama ketiganya. Tapi,
satu hal yang pasti, ketiganya percaya bahwa orang tua mereka masih hidup dan
kelak mereka pasti akan dipertemukan kembali. Petualangan besar telah menanti
di depan, dan terbukti bahwa ketiga anak ini bukanlah 3 anak biasa ketika
mereka tiba di sebuah kota terpencil yang tidak ada dalam peta, Cambridge Falls—sebuah
kota tersihir yang terlindungi dari dunia luar. Di kota inilah ketiganya
menemukan sebuah buku kuno yang entah bagaimana bisa membawa mereka melintasi
waktu kembali ke Cambridge Falls di masa lampau. Ketiganya tidak mengetahui
bahwa mereka baru saja menemukan kitab Atlas Emerald, salah satu dari tiga
Kitab-Kitab Permulaan.
Terlempar
ke masa lampau, mereka mendapati kota itu berada di bawah penguasaan seorang
Countess keji yang pandai menyihir. Ia menyandera anak-anak di kota itu,
kemudian menjadikannya sebagai tawanan agar para pria dan lelaki di kota itu
mau menggali gunung demi menemukan sebuah artefak sihir yang sangat kuat. Tanpa
sengaja, Michael jatuh ke tangan sang penyihir sehingga Kate dan Emma harus
bahu-membahu menyelamatkannya. Bermula dari upaya menyelamatkan saudaranya,
petualangan mereka ternyata lebih dahsyat, kota itu membutuhkan bantuan dari
ketiga anak tersebut. Dari yang semula anak-anak yatim piatu tak berdaya,
ketiganya harus berlomba dengan sang
Countess yang dipersenjatai dengan makluk-makluk mengerikan: penjerit hingga
para entitas kuno yang hanya berkeliaran di perut bumi. Belum lagi para kurcaci
yang tidak dapat ditebak dan diduga. Dan, ketika akhirnya tiba, warga kota
Cambridge Falls sadar bahwa inilah saat untuk bersatu dan melawan tirani sang
Countess. Dan baik Kate, Michael, serta Emma pun terlibat dalam sebuah
petualangan melawan kejahatan yang akan mempengaruhi masa depan mereka,
seterusnya.
The Atlas Emerald dari segi cerita mirip
dengan seri Narnia, The Lion, the Witch, and the Wardrobe.
Mengangkat kisah tentang 3 bersaudara/ri yang terlempar ke dunia lain dan
mengalami petualangan besar di sana. Satu hal yang membedakan, penulis
menggunakan tema sihir dalam porsi yang lebih banyak dalam buku ini ketimbang
yang bisa kita temukan pada seri Narnia. Petualangan di dalam buku ini bisa
dibilang “ramah” dan tidak terlalu dark, cocok
dibaca remaja 10 tahun ke atas. Adegan pertempurannya agak nanggung menurut
saya, kurang epik kalau boleh dibilang. Tetapi karena ada embel-embel “buku”
(saya suka sekali buku-buku yang berkisah tentang buku), maka jadilah buku ini salah
satu koleksi yang must-read. Dari
segi terjemahan, seperti biasa, mbak Poppy memang tak pernah mengecewakan.
Hanya saja, saya belum menemukan ciri khas Mbak Poppy dalam penerjemahan buku
ini. Belum tampak keberanian atau sedikit dinamisasi terjemahan sebagaimana
yang biasa kita temukan dalam terjemahan beliau. Tapi, secara garis besar,
proses penerjemahannya berhasil dan sangat bisa dinikmati. Untuk cover, saya suka warnanya tapi tidak suka formatnya.
No comments:
Post a Comment