Search This Blog

Showing posts with label Buntelan Kuis. Show all posts
Showing posts with label Buntelan Kuis. Show all posts

Wednesday, March 25, 2015

Tempest



Judul : Tempest
Pengarang  : Julie Cross
Penerjemah : Angelic Zaizai
Penyunting : Dyah Agustine
Cetakan : Pertama, Oktober 2014
Tebal: 477 hlm
Penerbit : Mizan Fantasy

23472301

                Jakson Meyer, 19 tahun, bukanlah pemuda biasa. Pertama, dia remaja yang kaya raya, dan kedua, ia bisa melintasi waktu dan mundur ke masa lalu tanpa mengubah masa sekarang atau masa depan.  Awalnya Jackson hanya bisa melompat mundur ke beberapa jam,  kemudian semakin lama semakin jauh mundur ke belakang. Jakson melakukannya hanya untuk bersenang-senang. Saat sedang bosan di ruang kuliah, dia bisa melompat mundur ke dua hari sebelumnya, berjalan-jalan sebentar, dan lalu kembali ke masa kini tanpa ada satupun yang mengetahuinya. Tak perlu ada kewajiban menyelamatkan dunia atau apapun. Menyenangkan sekali jadi Jackson bukan? Mengingatkan pada film Jumper.

                Tapi, suatu hari, sekumpulan orang asing yang menyerbu masuk ke kamar asrama Holly—pacar Jackson. Mereka hendak menangkap Jackson. Holly tertembak, dan Jackson hanya bisa melarikan diri—meninggalkan Holly—dengan melompat mundur ke masa lalu. Dari tahun 2009, Jackson melompat ke tahun 2007. Gawatnya lagi, Jackson tidak bisa melompat kembali ke masa kini. Setiap lompatan waktu yang dia lakukan selalu kembali ke tahun 2007, ketika dia masih berusia 17 tahun. Di tahun inilah Jackson harus  menjalani hidupnya sebagai anak SMA (sementara secara fisik dia adalah anak kuliahan), bertemu dengan Holly yang masih SMA, dan ayahnya yang kebingungan.

                Sekuat kemampuan, Jackson berusaha kembali ke tahun 2009, tapi semuanya sia-sia. Dia hars mencari sekutu yang mampu membantu dan mengetahui rahasianya. Jackson bertemu dengan Adam, seorang nerd cerdas yang jago meretas komputer. Atas saran Adam, Jackson menuliskan semua pengalaman lompat waktunya dalam sebuah jurnal agar Adam bisa membacanya setiap kali keduanya bertemu di dimensi waktu yang berbeda. Sementara itu, Jackson mulai mnjumpai berbagai keganjilan. Ayahnya ternyata bukan seorang CEO biasa. Ditambah lagi, mulai bermunculan orang-orang asing yang mencoba mengusiknya atau bahkan menangkap Jackson. Siapakah mereka? Benarkah ada orang-orang lain yang mengetahui kemampuannya ini selain Adam? Dan, bagaimana caranya agar Jackson bisa kembali ke tahun 2009?

Konsep ide yang menarik bukan? Cukup memunculkan rasa penasaran untuk membaca buku ini. Perjalanan waktu adalah tema yang sangat seksi untuk ditulis dalam sebuah novel. Namun, tema seksi ini bisa menjadi bumerang jika tidak digarap dengan teliti. Sebagaimana kita tahu, perjalanan waktu berarti mengubah sejarah, ada terlalu banyak anomali dan variabel yang harus diperhatikan. Jika A mengubah B di masa lalu, apakah B akan menjadi D di masa kini padahal di masa kini B adalah C. Penulis mengatasi bolong disini dengan menyebut bahwa perjalanan Jackson ke masa lalu tidak akan mengubah masa kini. Bagaimana bisa? Bisa, jika ada lebih dari satu semesta, atau istilahnya semesta pararel.

Dalam Tempest, Julie Cross mengabungkan antara konsep relativitas waktu dengan dunia pararel. Dua tema yang berat tapi penulis mampu menuliskannya dalam kalimat-kalimat yang mudah dan tidak njlimet. Ada beberapa konsep yang hampir selip dan menimbulkan tanda tanya mengenai konsep perjalanan waktu ini. Jackson begitu sering melompati waktu, berulang kali sampai saya malas menghitung ini lompatan ke berapa dan dia ada di tanggal yang mana. Begitu seringnya sampai saya malas melihat tanggal yang tertera di bagian atas sejumlah bab. Padahal, tanggal-tanggal tersebut sangat krusial jika kita ingin melacak linimasa perjalanan lompat waktu Jackson. Tapi, karena begitu sering, saya jenuh dan lebih memilih menikmati ceritanya.

Untungnya, buku ini enak sekali dibaca, baik cerita maupun terjemahannya mengalir banget. Saya abaikan konsep lompatan waktunya dan lebih memilih untuk menikmati ceritanya. Satu hal yang kurang dari novel ini, saya kok tidak bisa menyukai dua tokoh utamanya ya, si Jackson dan Holly. Karakter Jackson ini flat banget, tipikal cowok anak orang kaya yang membosankan, sementara Holly, cewek ala-ala SMA Amerika sekali, bukan jenis karakter yang lovable. Saya juga kesulitan membayangkan si Jackson ini orangnya kayak gimana saat membaca novel ini. Entah kenapa. Dua karakter yang ditulis dengan baik dan menyentuh menurut saya adalah Courtney—saudarai kembar Jackson—serta ya Adam bolehlah.

Untuk sebuah novel fantasi (atau mungkin ini masuk young adult), kadar romance di dalam novel ini terlalu pekat, padahal yang pacaran hanya Jackson dan Holly. Jackson seperti memaksa agar dunia mau berputar mengelilingi dia dan Holly, dan hanya itu yang penting. Ada juga beberapa adegan dalam buku ini yang terlalu dewasa untuk pembaca remaja Indonesia, seperti konsep tinggal bersama dalam satu kamar sebelum menikah, juga hubungan pacaran antara Jackson dan Holly yang diekspos habis-habisan. Pembaca dibawah usia 17 tahun sebaiknya tidak membaca novel ini dulu. 

Semoga, di buku kedua, kadar romance-nya dikurangi dan penulis lebih fokus ke perjalanan waktunya. Pembaca membuka buku ini sebagai sebuah buku petualangan melompati waktu, bukan sekadar tebar-tebar romansa ala-ala anak kuliahan. Adalah bagus memadukan antara kisah fantasi dengan romansa, banyak penulis lain yang berhasil melakukannya. Tapi, sebagai sebuah novel fantasi, Tempest kebanyakan romansa-nya menurut saya. 


Monday, June 2, 2014

The Fault in Our Stars (Salahkan Bintang-Bintang)

Judul : The Fault in Our Stars (Salahkan Bintang-Bintang)
Pengarang : John Green
Penerjemah : Ingrid Dwijani N
Penyunting : Prisca Primasari
Sampul : BlueGarden
Cetakan : 1, 2012
Tebal : 422 hlm
Penerbit : Qanita

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgttFgW3DIuuslK7ZD94ArwstPscjIkKGWuxsywaA5Y8ZXc5c04E1i4HzK7qBvmNPhsSPbfTBAretxzQ8cLEtIBp1QJ49pVcb7ljhyFWPd5GtuBIFvJqKPBha4VntWecRCMqwDRGHaeT6mI/s320/the+fault+in+our+stars+salahkan+bintang-bintang.jpg

            “Keberanian kita akan menjadi senjata rahasia kita.” (hlm 273)

            Hazel Grace, seorang gadis muda berusia 16 tahun penderita kanker paru-paru yang harus membawa-bawa tabung oksigen kemanapun dia pergi. Augustus Waters, 17 tahun, cowok cakep berusia 17 tahun yang disukai Hazel. Dia juga penderita kanker osteosarkoma yang telah merenggut satu tungai kakinya (satu kakinya adalah kaki palsu, dan dia berjalan pincang, tapi kata Hazel cowok itu seksinya luar biasa). Kedua anak muda korban takdir ini dipertemukan dalam Pertemuan Kelompok Pendukung sebelum akhirnya saling jatuh cinta. Walau keduanya penderita kanker, tapi cinta kadang memang membuat yang lain kalah (untuk sementara) sampai-sampai keduanya terjerat juga oleh gombalan-gombalan khas remaja.

            “Aku ingin menemui lagi malam mini. Tapi aku bersedia menunggu semalaman dan hampir sepanjang esok.” (hlm 54)

            Hazel Grace sudah lama menerima kankernya sebagai sesuatu yang tidak terhindarkan. Dia sudah siap mati, kapan saja daripada menanggung penderitaan yang tak terperi. Semangatnya hampir patah, dan dia menjalani hidup-hidup yang datar dan monoton sebagai penderita kanker, jauh dari sekolah dan teman-temannya. Dunia remajanya yang seharusnya cerah ceria menjadi hari-hari panjang antara satu suntikan dan suntikan lainnya, rangkaian hari-hari diantara masuk ke rumah sakit dan masuk lagi ke rumah sakit. Tapi, dia tidak mau dikasihani. Dari pikiran-pikirannya yang cerdas dan kadang ironis (buku ini ditulis dengan sudut pandang Hazel), kita tahu bahwa gadis ini adalah anak yang kuat.
           
“Jika kau tidak menjalani kehidupan untuk melayani kebaikan yang lebih besar, setidaknya kau harus mati untuk melayani kebaikan yang lebih besar.” (hlm 227)

            Sampai akhirnya, takdir memberikan kesempatan kepada Hazel untuk satu kali menjadi normal: Hazel jatuh cinta. Augustus, atau Gus, datang dalam kehidupannya dan menawarkan cinta ala-ala remaja. Hazel sudah bilang dia tidak mau dikasihani, tetapi Gus tidak mau menyerah dan mengatakan bahwa yang dia tawarkan adalah cinta, bukan rasa kasihan.

“Sungguh, aku jatuh cinta kepadamu, dan aku tidak mau mengingkari diriku sendiri dari kenikmatan sederhana berkata jujur. Aku jatuh cinta kepadamu, dan aku tahu bahwa cinta hanyalah teriakan ke dalam kekosongan, dan pelupaan abadi tak terhindarkan, dan kita semua sudah ditakdirkan, dan ada hari ketika semua upaya kita menjadi debu, dan aku tahu matahari akan menelan satu-satunya Bumi yang kita miliki, dan aku jatuh cinta kepadamu.” (hlm 208)

            Maka, cinta melawan kanker, atau setidaknya hidup dengan kanker tapi memiliki orang yang dicintai dan mencintaimu akan terasa jauh lebih berharga ketimbang hidup dengan kanker saja. Gus telah mengingatkan Hazel bagaimana rasanya menjadi manusia normal. Kanker boleh saja telah mengambil kesehatan (dan kelak) hidup mereka, tetapi tidak seharusnya kanker juga dibiarkan mengambil cintanya.

            Dari Hazel, pembaca akan belajar banyak tentang makna perjuangan hidup. Jarum suntik, obat, rasa nyeri, tatapan iba, terputus dari dunia yang normal, segala sesuatu yang tidak pernah kita alami (dan jarang kita syukuri) sebagai orang-orang normal. Dari Gus, kita belajar arti mencintai. Bahwa tidak ada waktu terlambat untuk mencintai dan bahwa setiap orang berhak untuk merasa dicintai. Dari Gus juga kita akan mengetahui pentingnya makna memiliki mimpi, dan mengejarnya sekuat tenaga agar kelak tidak lagi ada penyesalan karena kita gagal mencoba.

            Luar biasa buku ini. Sebuah buku tentang pengidaup kanker tapi buku ini  begitu jauh dari kesan muram. Covernya yang biru unyu khas remaja seolah menyamarkan bahwa cerita ini adalah kisah sedih tentang dua penderita kanker yang saling jatuh cinta. Tapi, John Green memang penulis yang luar biasa. Tidak akan dia biarkan pembaca berkubang dalam kesedihan dan air mata. Kisah Hazel dan Gus dalam buku ini begitu “remaja”, hampir-hampir setiap kesedihan di dalamnya digambarkan dari sudut pandang anak muda yang optimis dan selalu memandang hidup, apapun itu, sebagai sesuatu yang harus dinikmati.

Hazel dan Gus mungkin tidak berusia panjang. Tapi, kenangan atas mereka akan selalu dikenang oleh mereka yang membaca buku ini. Keyakinan bahwa Tuhan Maha Adil dan bahwa segala sesuatu dalam hidup memang sudah diatur sedemikian rupa. Hazel mendapatkan hadiah terindah dalam masa remajanya.

            “Di hari-hari terkelam, Tuhan meletakkan orang-orang terbaik dalam hidupmu.” (hlm 42)


Friday, December 20, 2013

Beyonder

Judul : Beyonder
Pengarang : Brandon Mull
Penerjemah : Lulu Fitri Rahman
Penyunting : Silvero Shan
Tebal : 600 halaman
Cetakan: 1, November 2013
Penerbit: Mizan Fantasi



                Brandon Mull, melalui Beyonders semakin membuktikan dirinya sebagai pengarang kisah fantasi yang membius pembaca, tidak kalah membius dibanding memakan buah beri lumba. Setiap cerita yang ia kisahkan selalu mampu membawa pembaca ke alam petualangan yang tidak pernah membosankan. Jika dalam seri Fablehaven kita mendapati petualangan yang susul-menyusul dan plot yang tak terduga, maka dalam Beyonders ini penulis membuat pembaca menanti-nanti dan menebak-nebak apa yang kiranya akan ditemui oleh Jason dalam Rachel dalam petualangan mereka di Dunia Lyrian. Sebagaimana kata kritikus, Beyonder ini ditulis dengan sangat rapi dan runtut-teratur. Jika dibayangkan, kisah ini mirip sebuah kotak yang sisi-sisinya pas membentuk persegi sempurna. Dari sisi cerita memang tidak (atau belum) seseru seri Fablehaven kara Om Brandon ini punya kebiasaan menulis cerita yang agak datar di awal tetapi semakin seru ke seri-seri berikutnya.
                Beyonders berkisah tentang Jason Walker, seorang anak remaja berusia 13 tahun yang tersesat masuk ke sebuah dunia lain bernama Lyrian. Selama berabad-abad, manusia diketahui telah menyeberang ke dunia Lyrian lewat berbagai cara, umumnya secara tidak sengaja melalui lengkung batu alam, lorong dekat puncak gunung, atau batang pohon mati. Untuk kasus Jason, kasusnya agak unik: ia masuk ke Lyrian lewat mulut kuda nil—salah satu sisa-sisa gerbang sihir Lyrian yang jarang digunakan. Sendirian di Lyrian, ia mendapati dunia itu dikuasai oleh seorang penyihir lalim bernama Maldor (remind me about Mordor #eh since Mull himself said that he has only one life to be presented to Gondor or Rohan’s Kingdom in Tolkien’s Middle Earth). Maldor menindas Lyrian, mengisolasi antar provinsi, dan melakukan teknik-teknik sedemikian rupa agar tidak terjadi pemberontakan dan kekuasaannya bertahan lama.

                Disinilah letak kejeniusan Maldor (atau penulisnya) karena dalam cerita yang tampaknya sederhana ini penulis telah membangun sebuah dunia fantasi yang baru, lengkap dengan berbagai intrik pemerintahan nan cemerlang. Bagaimana Maldor menindas rakyatnya sedemikian rupa sehingga membuat rakyat takut padanya tapi tidak memberontak kepadanya, bagaimana ia membangun kastil Harthenham sebagai sebuah opsi untuk melenyapkan musuh-musuhnya secara menyenangkan, dan bagaimana ia menyembunyikan Kata. Jason mengetahui, melalui kunjungannya ke Rumah Pengetahuan, bahwa ada sebuah kata sihir yang bila diucapkan tepat di depan Maldor akan membuat penyihir lalim itu langsung hancur dan melebur. Kata sihir itu tersusun atas 6 silabel, yang masing-masing harus dikumpulkan untuk kemudian disatukan dan diucapkan langsung di depan Maldor sendiri agar dapat bekerja.

                Maka, dimulailah petualangan Jason  untuk menemukan keenam silabel yang akan membentuk Kata. Awalnya, ia memburu Kata untuk mengetahui jalan pulang kembali ke dunianya. Tapi, seiring dengan perjalanannya ke dunia Lyrian, Jason perlahan mulai diyakinkan bahwa ada sesuatu yang salah dengan negeri itu: sama sekali tidak ada orang yang mau berjuang melawan Maldor, sama sekali tidak ada pahlawan di dunia yang menakjubkan itu. Dan, kini, dengan dipandu oleh pengetahuan dari seorang pahlawan tua yang telah dikalahkan Maldor serta seorang gadis dari Dunia Luar yang juga sama-sama tersesat di Lyrian seperti dirinya, Jason harus mengumpulkan enam silabel yang menyusun Kata. Petualangan seru menanti di depan. Dari seorang remaja biasa, Jason dan Rachel harus bekerja sama menghadapi berbagai mahkluk berbahaya yang tidak pernah mereka jumpai di Bumi. Mulai dari kepiting raksasa penjaga silabel kedua, hingga ular berbisa yang mengelilingi lokasi persembunyian silabel keenam. Silabel-silabel lainnya juga tidak mudah di dapatkan. Keduanya harus naik ke kawah dan bahkan terlibat dalam intrik politik. Begitu beragamnya petualangan di dunia Lyrian.

                Seandainya ada peta di buku ini, pembaca pasti akan lebih mudah menikmati petualangan Jason dan Rachel dalam memburu kata. Tapi, sebagaimana kata Galloran, sang Raja Buta, bahwa tidak ada peta di Lyrian. Maldor telah memusnahkan semua jenis peta dan melarang penggambaran peta Lyrian. Ini sebagai bagian dari politiknya untuk mengisolasi provinsi-provinsinya agar tidak menjalin persekutuan untuk memberontak. Negeri itu juga tidak ramah terhadap para penggembara karena Maldor hendak memastikan siapapun yang berniat mencari silabel Kata agar menyerah dan menghentikan upayanya. Begitu kuatnya pengaruh Maldor, sampai-sampai Om Brandon pun terpaksa tidak memuat peta dalam novelnya ini!

                Dari segi terjemahan, saya harus berteriak HORE kepada sang penerjemah dan editornya. Terjemahan Beyonders minim sekali serapan kata asingnya, hampir semua kata dalam bahasa asli diterjemahkan ke dalam bahasa sasaran, kecuali sedikit yang tidak diterjemahkan karena itu adalah nama atau gelar kebangsawanan. Menyenangkan sekali membaca Beyonders karena rasanya tidak seperti membaca buku terjemahan, diperlukan pengetahuan dan pencarian yang amat teliti dalam menerjemahkan novel ini, saya yakin. Untuk salah ketik, saya hanya menemukan dua kali typho, salah satunya kata muncub yang seharusnya muncul. Selamat kepada Jason dan Rachel, kisah kalian diterjemahkan dan disunting dengan baik.  

                

Monday, May 6, 2013

Child Thief (Si Pencuri Anak)


Judul     : Child Thief (Si Pencuri Anak)
Pengarang          : Brom
Penerjemah       : Tanti Lesmana
Sampul/Ilustrasi: Brom
Cetakan               : 1, Oktober 2012
Tebal                     : 932 halaman
Penerbit              : Gramedia Pustaka Utama



                Alkisah, tersebutlah seorang anak laki-laki bernama Peter. Ia memiliki telinga lancip, gesit, lincah, selalu gembira, dan senang bermain. Hanya saja, permainan itu sering berakhir dengan berdarah-darah. Dari luar, ia tidak jauh berbeda dengan anak-anak menjelang remaja normal lainnya. Tapi, tidak ada yang tahu bahwa ia adalah anak yang tugasnya membawa anak-anak terbuang berpindah menuju Avalon, sebuah pulau sihir tempat petualangan hebat menanti. Satu demi satu, Peter berhasil mengaet anak-anak yang terlunta-lunta di jalanan, yang terbuang, yang tersakiti, dan tidak diinginkan. Ia menjanjikan petualangan dan rumah yang nyaman bagi anak-anak tersebut. Tapi, ia lupa mengatakan bahwa petualangan di Avalon lebih seringnya berakhir dengan kematian! Bahkan, menembus kabut yang mengelilingi Avalon pun sudah merupakan horor tak termaafkan. Anak yang tidak memiliki keteguhan hati akan tersesat di dalam kabut, sebelum kemudian kehidupannya direnggut oleh roh-roh ganas yang menjaga kabut itu.

                Adalah Nick, seorang remaja berusia 14 tahun yang mendapat giliran ke Avalon. Peter menemukannya tengah di-bully oleh anak-anak berandalan. Merasa cocok, Nick pun setuju ikut dengan Peter ke pulau petualangan itu. Tantangan pertama adalah menembus kabut, Nick berhasil. Tapi, sejak saat itu ia tahu bahwa ada yang salah dengan Peter, dengan Avalon, dengan anak-anak buangan yang dijuluki Iblis. Nick mendapati Avalon penuh dengan monster berbahaya serta beragam kekejian yang tidak beradab. Belum lagi, ada Para Pemakan Daging yang menghantui dan memusnahkan mahkluk-mahkluk ajaib penghuni Avalon. Nick baru menyadari bahwa ia dan anak-anak lainnya direkrut oleh Peter sebagai pasukan untuk melawan para Pemakan Daging, untuk menyelamatkan Avalon.

                Jangan percaya pada roh hutan atau dewi air sekalipun, karena di Avalon Nick belajar bahwa mahkluk-mahkluk mitologis itu ternyata bisa sangat kejam dan egois. Ketika pecah perang besar antara pasukan Peter dengan kelompok Pemakan Daging, Nick baru memahami bahwa tidak ada yang gratis jika kita berkenaan dengan mahkluk-mahkluk di Avalon. Semua ada bayarannya, dan di Avalon, tidak jarang bayaran itu berupa darah atau bahkan nyawamu sendiri. Bagi Peter, pengorbanan itu diperlukan demi tetap lestarinya dunia sihir Avalon, suaka terakhir dari makhluk-mahkluk mitologis dari dunia modern.

                Kelam dan sangat muram, itulah kesan saat membaca lembar-lembar novel ini. dari awal hingga akhir, Brom membawa pembaca kepada petualangan yang sifatnya berdarah-darah, perang sampai mati, mahkluk-mahkluk yang tidak punya belas kasih, dan rahasia kelam dari Avalon dan sang dewi pelindungnya. Setelah pertempuran besar melawan para pemakan daging, pembaca akan dibuat galau lagi tentang siapa yang sebenarnya baik dan siapa yang sebetulnya jahat. Berselang-seling dari tengah hingga akhir, akan ada begitu banyak karakter yang berhasil ditampilkan secara utuh dan manusiawi oleh penulisnya. Seiring pembacaan berlanjut, makin tidak jelas mana yang baik dan mana yang jahat karena semuanya punya motif dan pandangannya sendiri. Ini teknik ekplorasi karakter yang bagus, kalau saja Brom tidak membuatnya semuram dalam novel ini.

                Jadi, mengapa novel ini begitu muram, kejam, dan berdarah-darah? Semuanya dijelaskan oleh Brom di catatan akhir. Buku ini merupakan versi “gelap” dari kisah Peter Pan. Brom terinspirasi menulis novel tebal ini setelah menemukan sebuah kalimat “mengerikan” yang ada dalam versi asli Peter Pan karya JM Barrie. Saya tidak masalah dengan ceritanya yang gelap dan kelam, tapi mbok ya endingnya dibikin begimana gitu jangan dibikin ending yang begituan (emang begituannya gimana Yon?) Masak ending-nya kayak gini: ***************** (gatel spoiler). Pembaca kan sudah sabar dan sekuat tenaga membaca 900 halaman lebih, jadi paling enggak hibur dong dengan ending yang gimana gitu, jangan kayak begini aja *halah*. Pokoknya endingnya seharusnya bisa dibikin lebih baik lagi. Demikian. *Kemudian dikeplak Gramedia hahaha*