Judul:
Bertuhan pada Bahasa
Penulis:
Sengat Ibrahim
Penyunting:
Tia Setiadi
Cetakan:
Januari 2018
Tebal:
157 hlm
Penerbit:
Basabasi
Iseng saya membuka biografi penulis buku ini. Terkejutlah saya betapa si
penyair ternyata masih begitu belia, yakni kelahiran 1997. Coba bandingkan
dengan tahun lahir saya yang sudah begitu beliau. Ada rasa takjub, juga malu,
mengetahui betapa dalam usia yang masih begitu muda, Sengat telah mampu
menghasilkan sajak-sajak yang menghibur pembaca dengan rima-rimanya. Memang,
semakin maju ke sini, semakin banyak bibit-bibit muda yang sudah mulai
menunjukkan buah bakatnya. Tetapi, jika kita mau meluangkan sejenak membaca
pengantar buku ini, pembaca akan tahu betapa sejak usia begitu muda, sajak tidak
pernah meninggalkan Sengat, dan begitu pula sebaliknya. Penyair belia ini juga telah
menunjukkan keberanian yang jarang ditunjukkan pemuda seusianya, yang tetap
memihak pada sajak meskipun dunia (termasuk orang-orang terdekat) menentangnya.
Dan sajak tidak pernah lupa untuk membalas jasa. Sajak-sajak menarik di buku
ini adalah buktinya.
dewi
kenangan
segelas
kopi mengajariku
bagaimana
menelan rasa pahit dan manis dalam hidup
pada
waktu bersamaan. (hlm. 27)
Tema-tema sederhana mampu diolah menjadi puisi-puisi
nan dahsyat. Sesuai usianya yang masih seger, tema cinta tentu saja masih
menjadi favorit untuk diolah menjadi sajak-sajak. Dari banyak yang dahsyat di
buku ini, tema cinta tanpa mendominasi, bahkan sesekali menyelip dalam sajak-sajak
tentang lainnya. Seperti kutipan sederhana tapi sedemikian menyengat berikut
ini. Karena mencintaimu adalah sebuah pekerjaan, ini tempel-able banget di lini masa. Walau buat yang nyinyir mungkin
akan membalasnya dengan: “Oh, jadi kamu mencintaiku karena terpaksa gitu? Kayak
bekerja!” *kabur nggak mau ikut-ikutan ah.
tapi
tolong jangan bilang aku sebagai lelaki pengangguran
sebab
mencintaimu adalah pekerjaan. (hlm. 33)
Di beberapa puisi yang lain, penulis mampu menampilkan sosok
sastrawan yang selalu mampu melihat hitam dan putih dari segala sesuatu, lalu
menggunakannya untuk menjungkirbalikkan gagasan kita akan apa yang kita anggap
hitam dan apa yang kita anggap putih. Bikin bingung? Mungkin. Tetapi saya
yakin, nggak ada niat buruk dari mereka kecuali untuk meluaskan dan meluweskan pandangan
kita.
dewi
kenangan
sebelum
tidur mintalah mimpi buruk
kepada
Yang Maha Menciptakan
sebab
yang indah selalu sebatas bayang. (hlm. 25)
Walau kecenderungan utama masih
pada kekuatan rima, puisi-puisi ini masih memiliki gigitan sebuah syair dan
tidak kemudian menjadi selembut pantun. Memang, penulis sepertinya kurang menaruh tekanan pada ketukan atau panjang-pendeknya larik dan lebih banyak berfokus pada rima sanjak. Kecenderungannya, larik pendek di
awal, lalu semakin memanjang di tengah, sebelum kembali memendek di belakang.
Mungkin ini sebabnya mengapa seluruh puisi di buku ini ditata dengan aligment tengah atau center. Sambil menantikan ledakan nada
di ujung larik, kita bisa harap-harap cemas karena bakal “dihajar” dengan
kutipan yang menohok menjelang akhir bait. Seperti di puisi Ayat-Ayat An halaman 148 di bawah ini.
aku
hidup di yogyakarta
kau
hidup di pulau garam madura
jarak
bukanlah alasan tepat untuk memilih
meninggalkan
atau ditinggalkan
bagi
pecinta, bukankah meninggalkan dan ditinggalkan
sama
kejamnya, sama ganasnya?
Dalam usia yang
masih begitu muda, begitu belia, Sengat Ibrahim telah membuktikan dirinya
sebagai penyair dengan ciri khas. Jalan masih panjang di depan, tetapi saya
yakin hal-hal baik—sebagaimana sajak yang telah setia kepadanya—masih menunggunya
di dunia sastra.
Saya baca resensi ini jadi ikutan malu pula. Ah, sudahlah
ReplyDeleteAsyik dapat teman, malu ada temannya kan jadi malu-maluin hehehe
DeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDelete