Pengarang: Tia Setiadi
Sampul: Joni Ariadinata
Sumber lukisan untuk sampul: Apple, karya Arya Sucitra
Cetakan: 1, Mei 2016
Tebal: 116 hlm
Penerbit: DIVA Press
Menulis
puisi adalah membebaskan kata-kata dari belenggu yang menyangkarnya dalam
kalimat dan paragraf. Puisi adalah kesempatan ketika penyair maupun membaca
bisa menggali keajaiban kata-kata hingga ke batas-batasnya yang paling
maksimal—namun tetap indah. Dan itulah yang dilakukan Tia Setiadi dalam
kumpulan sajak ini. Membaca rombongan puisi-puisi panjang di buku ini adalah
sebuah pengalaman panjang nan istimewa. J alinan kata-kata yang ditenung oleh
Tia Setiadi (yang dengan gaibnya mampu menenungkan pengetahuan pembacaannya
dalam jalinan puisi) dalam buku kumpulan puisi ini. Seperti saya, pembaca yang
jarang baca puisi ini, mampu duduk termanggu menikmati kata-kata biasa yang
ditata dan diperlakukan secara istimewa.
Bagaimana bila suatu petang kau
bercermin
Dan yang kau pandang di sana bukan
wajahmu
Melainkan riak senja yang mengalir,
Arus awan di langit, dan nyala api
di kejauhan
Wajahmu menjadi jejak yang meraib
Dan terbakar dalam bening api
Dan api adalah puisi itu. (Cermin,
Sungai, Puisi untuk Jorge Luis Borges, hlm. 94)
Dalam
sastra, manusia baru bisa melihat kata-kata berkelit dan melompat sedemikian
rupa dalam bentuk yang tidak biasa. Buku Tangan
yang Lain ini menjadi pembuktiannya. Bait-bait pendek dan panjang, beberapa
malah begitu panjang sampai berhalaman-halaman, dalam buku ini seperti hendak
bercerita panjang dalam cara yang ringkas. Bahkan sebuah jeruk pun ternyata
bisa berpanjang-panjang ketika sejarahnya dikupas cantik oleh Tia di halaman
53.
Untuk
memahami jiwa sebutir jeruk
Kau
perlu menyimak riwayatnya
Mengikuti
pengembaraannya
Menyebrang
benua demi benua,
Melintas
bangsa demi bangsa,
Dengan
puluhan kali bersulih nama.
Untuk
menulis dan menikmatinya dibutuhkan pengetahuan yang agak pelik, terutama
tentang simbolisme dan penggunaan perangkat bahasa (rima, bunyi, larik, dan
suku kata). Sapardi Djoko darmono menyebut puisi sebagai mahkotanya bahasa.
Puisi tercipta ketika seseorang mampu bermain-main dengan bahasanya, bercumbu
dan sesekali berkelahi dengannya. Dalam sejarahnya, puisi merupakan susatra
yang pertama kali muncul, yakni dalam bentuk nyanyian dan kidung suci kuno.
Namun dalam perjalanannya di dunia modern, puisi menjadi kurang popular
dibandingkan kedua adiknya, novel dan cerita pendek. Mungkin, karena sifatnya
yang ringkas, banyak bermain dengan simbol, dan sangat menjunjung permainan
bunyi; banyak yang beranggapan puisi sebagai sastra yang berat, sesuatu yang
hanya layak dibaca para penyair dan pemerhati sastra. Benarkah demikian? Tentu
tidak.
Lebih lengkap, ulasan ini bisa dibaca di basabasi.co.
Memahami puisi tuh sedikit membutuhkan kemampuan bahasa yang sensitif untuk menerima maksud puisinya, - kata saya.
ReplyDelete