Search This Blog

Wednesday, May 4, 2016

Tangan yang Lain



Pengarang: Tia Setiadi
Sampul: Joni Ariadinata
Sumber lukisan untuk sampul: Apple, karya Arya Sucitra
Cetakan: 1, Mei 2016
Tebal: 116 hlm
Penerbit: DIVA Press

Menulis puisi adalah membebaskan kata-kata dari belenggu yang menyangkarnya dalam kalimat dan paragraf. Puisi adalah kesempatan ketika penyair maupun membaca bisa menggali keajaiban kata-kata hingga ke batas-batasnya yang paling maksimal—namun tetap indah. Dan itulah yang dilakukan Tia Setiadi dalam kumpulan sajak ini. Membaca rombongan puisi-puisi panjang di buku ini adalah sebuah pengalaman panjang nan istimewa. J alinan kata-kata yang ditenung oleh Tia Setiadi (yang dengan gaibnya mampu menenungkan pengetahuan pembacaannya dalam jalinan puisi) dalam buku kumpulan puisi ini. Seperti saya, pembaca yang jarang baca puisi ini, mampu duduk termanggu menikmati kata-kata biasa yang ditata dan diperlakukan secara istimewa.

Bagaimana bila suatu petang kau bercermin
Dan yang kau pandang di sana bukan wajahmu

Melainkan riak senja yang mengalir,
Arus awan di langit, dan nyala api di kejauhan

Wajahmu menjadi jejak yang meraib
Dan terbakar dalam bening api

Dan api adalah puisi itu. (Cermin, Sungai, Puisi untuk Jorge Luis Borges, hlm. 94)

Dalam sastra, manusia baru bisa melihat kata-kata berkelit dan melompat sedemikian rupa dalam bentuk yang tidak biasa. Buku Tangan yang Lain ini menjadi pembuktiannya. Bait-bait pendek dan panjang, beberapa malah begitu panjang sampai berhalaman-halaman, dalam buku ini seperti hendak bercerita panjang dalam cara yang ringkas. Bahkan sebuah jeruk pun ternyata bisa berpanjang-panjang ketika sejarahnya dikupas cantik oleh Tia di halaman 53. 

Untuk memahami jiwa sebutir jeruk
Kau perlu menyimak riwayatnya
Mengikuti pengembaraannya
Menyebrang benua demi benua,
Melintas bangsa demi bangsa,
Dengan puluhan kali bersulih nama.

Untuk menulis dan menikmatinya dibutuhkan pengetahuan yang agak pelik, terutama tentang simbolisme dan penggunaan perangkat bahasa (rima, bunyi, larik, dan suku kata). Sapardi Djoko darmono menyebut puisi sebagai mahkotanya bahasa. Puisi tercipta ketika seseorang mampu bermain-main dengan bahasanya, bercumbu dan sesekali berkelahi dengannya. Dalam sejarahnya, puisi merupakan susatra yang pertama kali muncul, yakni dalam bentuk nyanyian dan kidung suci kuno. Namun dalam perjalanannya di dunia modern, puisi menjadi kurang popular dibandingkan kedua adiknya, novel dan cerita pendek. Mungkin, karena sifatnya yang ringkas, banyak bermain dengan simbol, dan sangat menjunjung permainan bunyi; banyak yang beranggapan puisi sebagai sastra yang berat, sesuatu yang hanya layak dibaca para penyair dan pemerhati sastra. Benarkah demikian? Tentu tidak.

Lebih lengkap, ulasan ini bisa dibaca di basabasi.co.

1 comment:

  1. Memahami puisi tuh sedikit membutuhkan kemampuan bahasa yang sensitif untuk menerima maksud puisinya, - kata saya.

    ReplyDelete