Judul: Selamat Menunaikan Ibadah Puisi
Penyusun: Joko Pinurbo
Cetakan: Juni, 2016
Tebal: 212 hlm
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Baca di: Scoop
Membaca puisi-puisi Jok
Pin adalah membaca keistimewaan dalam kesederhanaan. Tanpa kata-kata
tinggi yang tak tersentuh awam, Jok Pin selalu berhasil membuai pembaca
lewat puisi-puisinya yang bercerita. Ini masih ditambah dengan permainan
bunyi-bunyian dalam kata-kata pilihan, menjadikan deretan kata-kata
biasa terasa lebih istimewa lewat puisi-puisinya. Kelebihan ini masih
ditambah dengan ending yang seperti mempermainkan pembaca, tetapi
dengan cara yang menyenangkan. Rasanya, selalu ada yang layak ditunggu
di bagian penghujung puisi-puisinya.
Masa kecil kaurayakan dengan membaca,
Kapalamu berambutkan kata-kata
Pernah aku bertanya, "Kenapa waktumu
kausia-siakan dengan membaca?" Kaujawab ringan.
"Karena aku ingin belajar membaca sebutir kata
yang memecahkan diri menjadi tetes air hujan
yang tak terhingga banyaknya."
Kau memang suka menyimak hujan.
Bahkan dalam kepalamu ada hujan
yang meracau sepanjang malam
Itulah sebabnya, kalau aku pergi belanja
dan bertanya minta oleh-oleh apa, kau cuma bilang
"Kasih saja saya beragam bacaan, yang serius
maupun yang ringan. Jangan bawakan saya
rencana-rencana besar masa depan.
Jangan bawakan saya kecemasan."
(Surat Malam untuk Paska)
Tema-tema puisinya awam dan lugas, tetapi ada kecenderungan Jok Pin menggunakan satu tema besar dalam puisi-puisinya. Di antaranya celana, hujan, dan buku. Penyair ini sepertinya tetap konsisten menampilkan permainan bunyi dari kata-kata sederhana, alih-alih menggunakan kata-kata kaya akan metafora sebagaimana banyak dipakai penyair-penyair eara kekinian. Prinsip 'puisi yang berbunyi' sebisa mungkin dipertahankan, meskipun akhirnya hanya berujung pada perulangan penggunaan kata-kata yang pendek dan sederhana.
Selamat ulang tahun, buku. Anggap saja
aku kekasih atau pacar malangmu.
Selamat panjang umur, cetak ulang selalu.
(Selamat Ulang Tahun Buku)
Walau begitu, tidak kemudian puisi-puisi ini jadi semacam larik-larik pasaran. Tidak sekadar berlagu, Jok Pin mempertahankan elemen "puisi yang bercerita" dengan sedikit pengaruh cerpen yang ditandai pada ending mengejutkan di larik paling belakang. Seperti pada puisi 'Dengan Kata Lain' di halaman 126 yang berkisah tentang seorang aku yang baru pulang ke kampung halaman. Keluar dari stasiun, si aku lalu mencari tukang ojek untuk mengantarnya pulang ke rumah. Tak disangka, tukang ojek itu adalah mantan gurunya dulu. Sesampai di rumah, di tukang ojek keburu berlalu padahal si aku belum sempat membayar ongkos ojeknya. Si aku bingung, pembaca juga penasaran. Kemudian, perhatikan bait terakhir di puisi ini:
Tak ada angin, tak ada hujan, Ayah tiba-tiba
bangkit berdiri dan berseru, "Dengan kata lain,
kamu tak akan pernah bisa membayar gurumu."
Masih banyak lagi puisi-puisi seru di buku ini. Seluruhnya bisa dibaca sambil lalu, atau dinikmati pelan-pelan satu-per-satu. Sambil menikmatinya pelan-pelan,
membaca puisi-puisi di buku ini adalah hiburan yang menyenangkan, sama
sekali tidak memberatkan. Jika pun ada beberapa puisi di buku ini yang
terlampau panjang sehingga menjenuhkan, atau sedikit berisi sehingga
memusingkan, cukup dinikmati dulu saja. Semoga selalu masih ada nanti
ketika kita bisa menenggoknya kembali.
No comments:
Post a Comment