Search This Blog

Monday, October 7, 2019

Yang Tersisih dari Celana: Bulu Matamu, Padang Ilalang

Judul: Bulu Matamu, Padang Ilalang
Penyair: Joko Pinurbo
Tebal: 61 hlm
Sampul: Suku Tangan
Cetakan: Oktober 2019
Penebrit: DIVA Press



Buku "Bulu Matamu : Padang Ilalang" adalah Joko Pinurbo sebelum "Celana". Sebelum diterbitkan DIVA Press, buku ini ternyata sudah pernah diterbitkan oleh Motion Publishing pada tahun 2014. Kok nggak kedengeran ya bukunya? Apa karena diterbitkan oleh penerbit minor sehingga kurang promosi? Bisa jadi sih, tapi ini kan Jokpin! Masak buku Jokpin kok nggak digeber promosinya. Rugi dong. 

Atau, mungkin karena puisi-puisi di buku ini memang--menurut pandangan saya--tidak atau belum semegah puisi-puisi Jokpin yang lain? Dalam pengantar di buku ini, Jokpin memang menyebut puisi-puisi dalam buku ini sebagai puisi-puisi yang ditemukan ketika beliau sedang menyortir dan mengarsipkan puisi-puisi untuk buku Celana. Bisa diibaratkan, puisi di buku ini adalah apa-apa yang tersisihkan dari buku tersebut. 

Puisi di buku ini kebanyakan ditulis antara tahun 1980 - 1996. Kemungkinan, Jokpin mengirimkannya ke koran minggu atau majalah sastra. Buku ini sekaligus bisa menjadi dokumentasi hasil karya sang penyair yang tak kenal berhenti berpuisi sejak awal tahun 1980-an. Bukti bahwa Jokpin memang benar-benar tekun beribadah di jalan puisi. Mengamati puisi-puisi di buku ini, kita juga bisa membandingkannya dengan puisi-puisi beliau yang terkini.

Bagi pembaca setia Jokpin, akan langsung terlihat bedanya--walaupun mungkin samar. Memang, kekhasan puisi-puisi Jokpin yang biasanya ringkas, pendek, dan menohok kurang begitu tampak di sini. Puisi-puisinya cenderung memanjang, walau tetap bercerita, serta masih mempertahankan kekuatan rimanya yang khas Jokpin, yakni bunyi /u/ atau /n/ yang entah bagaimana membawa nuansa muram. 

Rima dan "bercerita" sepertinya masih jadi andalah Jokpin dalam berpuisi. Ada tiga puisi panjang di buku ini yang memiliki bentukan semacam bab-bab dalam novel, yakni "Membaca Koran Pagi", "Kisah Isma", dan "Perginya Zarah". Puisi "Membaca Koran Pagi" tampaknya yang paling banyak mendapat aplaus karena baris-barisnya yang seperti bernyanyi: "seperti puisi, ibu tersenyum menghangatkan pagi / Kami biarkan koran mengoceh sendiri." (hlm. 46)


Saya sendiri paling suka sama puisi "Layang-Layang" ini:

Sekarang umur pun tak pernah lagi dirayakan
selain dibasahkuyupkan di bawah hujan.
Namun kutemukan juga layang-layang itu
di sebuah dahan meskipun tanpa benang
dan tinggal robekan. Aku ingin
berteduh di bawah pohon yang rindang.

Idola memang penyair yang satu ini.

Sebagai tambahan, sampul buku puisi ini akan terlihat sangat indah ketika diamati dari dekat, seperti saat kita memandang bulu mata. Kertasnya juga tebal dan bagus, cocok untuk dikoleksi di lemari sastrawi atau dibacakan keras-keras di depan kelas. 

2 comments: