Search This Blog

Friday, April 7, 2017

Rendra, Melawan dengan Puisi

Judul: Orang Orang Rangkasbitung
Penyair: Rendra
Cetakan: Pertama, April 2017
Tebal: 76 halaman
Penerbit: DIVA Press dan Mata Angin


No automatic alt text available.



Samar-samar saya pernah  membaca nama W.S. Rendra saat SMA dulu. Baca namanya doang sih belum baca karyanya. Kemudian pas era kuliah ketemu lagi, kali ini saya sempatkan baca karyanya juga. Sosok Rendra dalam ingatan saya adalah sastrawan berambut gondrong yang kalau lagi membacakan puisi-puisinya terasa banget aura gaharnya. Apalagi, puisi-puisi yang dibacakan Rendra biasanya bernada perlawanan. Dengan ekspresi muka yang sedemikian menghayati isi puisi, serta suaranya yang lantang menggelegar, menyaksikan pembacaan puisi oleh penyair ini niscaya akan mampu menghadirkan kenangan tersendiri. 

Betapa Rendra memang seorang seniman yang total dalam berekspresi, tidak hanya dalam kata-kata yang dipilihnya tetapi juga dalam hal bagaimana ia membawakan puisi-puisi perlawanan tersebut. Tidak heran jika Rendra pernah dikenal sebagai pembaca sanjak termahal di dunia. Konon, pada tahun 1990-an, bayaran untuk satu sesi pembacaan puisi untuk Rendra adalah 3 juta rupiah di Bandung dan Semarang, hingga 12 juta rupiah di TIM Jakarta. Itu tahun 1990-an loh, uang jajan saja masih 500 perak dan uang segitu udah bisa dapat soto satu mangkok plus es teh dan gorengan diplastik kasih sambal. Yah, begitulah. Ketika seseorang sudah fokus dan benar-benar mendalami keahliannya, maka uang akan datang menghampiri *malah ceramah motivasi.

Untungnya, saya nggak harus keluar banyak uang untuk bisa mendengarkan beliau bersanjak. Selain karena WS. Rendra sudah wafat pada tahun 2009, puisi-puisinya kini kembali diterbitkan oleh sejumlah penerbit. Salah satunya adalah Orang-Orang Rangkasbitung ini, yang dicetak ekslusif oleh DIVA Press dengan sampul jaket. Seingat saya, baru buku inilah buku terbitan DIVA Press yang diberi sampul jaket sehingga wajar harganya lumayan mahal. Plus kertasnya juga lebih tebal. Sepertinya buku ini memang untuk edisi koleksi. Karena mahal juga, saya terpaksa belum bisa memilikinya, sekadar menumpang alias meminjam baca dari kantor #numpangcurhat #hematbang. Kita cukupkan dulu pembahasan tentang fisik buku, mari kita fokus ke isinya karena kecantikan dalam itu lebih utama ketimbang polesan lipstik simple brown nomor 25.

PERLAWANAN, aroma inilah yang  langsung menyapa pembaca saat membuka lembar-lembar buku ini. Rendra fokus melawan tatanan dunia era ORBA di puisi-puisinya. Ini bisa diketahui pada tahun-tahun ketika puisinya ditulis, yakni antara tahun 1980-an hingga 1990-an. Negera-negara adidaya adalah yang paling banter dikritik Rendra, mulai dari Amerika Serikat hingga Rusia. Pemerintah negeri sendiri pun tak luput dari kritikannya, terutama terkait lajunya program pembangunan era ORBA yang tampak megah dari luar tetapi sejatinya menggusur dan mengusir orang-orang miskin dengan begitu tidak manusiawinya, dan kala itu belum ada aplikasi macam citizen journalism yang bisa melaporkan ketidakadilan yang dilakukan pemerintah pada rakyatnya. Pada kesempitan rakyat inilah Renda lalu tampil lewat puisi-puisinya:

...
Setiap kemegahan menciptakan kekumuhan
Setiap kejayaan menciptakan gelandangan
begitulah selalu akan terjadi
bila pembangunan berjalan
tanpa keadilan. (hlm 33)


Puisi-puisinya adalah suara dari mereka yang terbungkam dan dibungkam, dari mereka yang tertindas sehingga untuk coba bersuara saja sulit. Tampak jelas Rendra mengkritik pembangunan Orde Baru yang mengorbankan rakyat kecil atas nama kemajuan, seperti pada 'Sajak tahun Baru 1990'. Dalam 'Doa untuk Anak Cucu' juga tercermin kritik Rendra atas pembangunan membabi buta yang tak mengindahkan dampaknya untuk masa depan:

...
Lindungilah anak cucuku
Lindungilah mereka
dari kesabaran
yang menjelma menjadi kelesuan
dari rasa tak berdaya
yang kehilangan cita-cita. (hlm. 6)

Satu hal yang baru saya tahu, inisial W.S ternyata  singkatan dari  Willibrordus Surendra Broto Rendra yang kemudian berubah lagi menjadi Wahyu Sulaiman Rendra setelah beliau memeluk Islam. Walau nama berubah, inisial tetap sama (W.S.) dan begitu juga semangat perlawanan beliau.

1 comment:

  1. Saya justru waktu SMA pernah membaca karya Rendra yang puisinya berkisah non perlawanan. Atau saya yang keliru menafsirkan ya. Yang masih saya ingat, buku puisi itu mengulas Rendra dan beberapa perempuan. Pas sy cek via wikipedia, kayaknya judul bukunya Blues Untuk Bonnie dan Sajak-Sajak Sepatu Tua.

    ReplyDelete