Judul : Tempat Paling Liar di Muka Bumi
Pengarang : Theoresia Rumthe & Weslly Johannes
Tebal: 104 hlm
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: Pertama, 2016
Puisi-puisi cinta yang bermegah kata sempat menguasai jagad perpuisian di negeri ini. Salah satu pionernya adalah pembacaan Kahlil Gibran yang marak di awal tahun 2000. Tidak heran jika puisi-puisi yang muncul di era setelahnya, terutama puisi yang dibikin awam, memiliki corak yang megah kata bingung makna. Kata-katanya tinggi dan cantik, tetapi serasa kosong karena terlihat berlebihan. Buku ini juga bercinta-cintaan, kata-katanya manis, tetapi entah kenapa kok tidak terasa lebai atau berlebihan.
Perempuan dan gelisah,
layaknya lautan biru
kalau kau berdiri di pantai dan bertanya tentang rindu
maka ia akan memberimu satu ombak
untuk menghapus jejak kaki
dan menyiapkan seribu lainnya
supaya engkau terus kembali”
-W, perempuan dan gelisah
Dulu banget, pernah salah mengira buku ini buku non-fiksi tentang alam liar, atau kisah perjalanan di Alaska dan semacam itu. Setelah membuka halaman-halamannya, barulah saya tau bahwa tempat paling liar di muka Bumi adalah dirimu, di dalammu. Sebuah kisah cinta yang dipuisikan oleh dua penulisnya, digambarkan dengan bagus sekali dalam pembuka buku ini:
"aku ingin bercinta denganmu
dan melahirkan banyak puisi."
Dan sepertinya keinginan itu terkabul dalam puluhan halaman buku ini. Bertabur puisi yang tidak hanya manis tetapi juga realistis. Ya, meski aneka kisah cinta dalam dongeng itu begitu uwu, tetapi kisah yang bertahan di dunia realita adalah cinta yang realistis. Dan inilah yg sepertinya hendak diangkat kedua penyair ini. Semisal tentang jarak, betapa jarak itu perlu tetapi tidak terlalu jauhnya sehingga menyebabkan rindu menjadi kaku karena lama tidak bertemu.
"ingat, jarak baik untuk kesehatan jiwa." (hlm. 71) tetapi LDR yang kepanjangan akan mengacaukan jiwa dan raga, karena "bagaimana mungkin kata dapat menggantikan mata, ciuman-ciuman, dan hangat badan seorang kekasih." (hlm. 84).
Dan wahai para pecinta yang dirundung rindu, pernahkan rindu itu dipuisikan dengan manis tapi tidak klise seperti puisi ini:
"Rindu ini membuatku gerah,
Aku ingin mandi
Dari semua puisi hujan
Yang kautulis."
Maka yang terbaik adalah jatuh cintalah dengan biasa tetapi rayakan dengan semeriah-meriahnya. Caranya ada di halaman 86 buku ini: "tidak ada jalan, selain menjadi diri mereka sendiri dan mencintai tanpa permisi." Lalu nikmatilah.
Karena "yang berdosa itu, ketika jatuh cinta dan tidak menikmatinya."
Mari kita sudahi keindahan ini dengan puisi pamungkas nan sarat makna ini:
"Semoga kita bertemu di sebuah waktu
D mana semua lebih natural dan sederhana.
Sesungguhnya Tuhan itu pecinta.
Ia lebih paham."
NB: Tulisan yang miring atau italic adalah kutipan-kutipan puisi dalam buku ini.
No comments:
Post a Comment