Judul: Melihat Api Bekerja
Penyair: Aan Mansyur
Sampul dan Ilustrasi isi: EmTe
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: 1, 2015
Tebal: 160 hlm
Membaca
Melihat Api Bekerja adalah melihat
puisi bekerja. Dan, puisi tidak pernah bekerja secara biasa, karena dia adalah
istimewa. Seperti istimewanya jalinan kata-kata yang ditenung oleh Aan Mansyur
(saya curiga penulis menenungnya dengan sihir kata-kata zaman lampau dalam
wujud kekinian) dalam buku kumpulan puisi ini, berhasil membuat banyak
pembaca—yang buta puisi sekalipun seperti saya—duduk termanggu menikmati
kelincahan kata-kata. Dalam sastra, manusia baru bisa melihat kata-kata
berkelit dan melompat sedemikian rupa dalam bentuk yang tidak biasa. Buku
kumpulan puisi ini menjadi pembuktiannya. Bait-bait pendek dan panjang,
sama-sama bertenaga!
“Sebagian mimpi harus rela berhenti dan
menjadi rahasia.” (hlm. 143)
Dalam
pengantarnya untuk buku kumpulan puisi ini, Sang Hujan Bulan Juni alias Bapak
Sapardi menyebut bahwa sastra baru bisa disebut sebagai sastra ketika dia dituliskan.
Syair semata, sebagai bentuk tutur-lisan—yang karenanya terancam hilang ketika
ingatan mulai berkarat—membutuhkan sarana aksara agar tetap bertahan dan tetap
bercerita kepada generasi-generasi setelahnya sebagaimana dia bercerita kepada
kita kini. Dan, puisi-puisi dalam buku ini memang terasa sangat bercerita.
Mungkin, inilah sebab mengapa membaca kumpulan puisi ini tidak terasa seperti
membaca puisi. Kita seperti menyimak cerita yang dikisahkan lewat puisi-puisi,
dengan bahasa puitis, dan diksi nan indah tertenung dalam larik-larik tak
biasa.
“Ada kalanya puisi seperti cinta. Tidak tahu
di mana harus berhenti.” (hlm. 51)
Sebagaimana
karya prosa, larik-larik puisi penulis dalam Melihat Api Bekerja terasa sangat bercerita—padahal ini buku
kumpulan puisi. Jika banyak puisi lain cenderung gegas dan padat menyingkat,
membatasi (atau terbatasi) karena larik-larik yang cepat dan ringkas dengan
tetap meruapkan efek dramatisasi, maka puisi-puisi di buku ini seperti
dibawakan dengan lebih santai, dengan gaya seperti prosa. Dengan kata lain,
puisi di buku ini terasa lebih ber-paragraf sebagaimana karya-karya prosa pendek.
Namun, anehnya, larik-lariknya tetap bertenaga dan menyimpan nyawa sebuah
puisi.
“Berhenti. Jangan berangkat sebelum tiba,”
katanya. (hlm. 80)
Sebagai
penyair, penulis juga piawai memanfaatkan hak licencia poetica yang dimilikinya semaksimal mungkin. Dalam larik-larik
puisinya, dia pertemukan kata-kata yang jarang akur dalam keseharian sehingga memunculkan
efek dramatis yang bertentangan, aneh, namun entah kenapa indah. Kreativitas
ini memunculkan makna dan nuansa baru dari kata-kata. Dia membuat kata-kata
saling berkelahi sehingga kita bisa menikmati suara-suara dari kata-kata yang
mungkin selama ini jarang kita dengar gaungnya. Dalam puisi Menjatuhkan Bintang-Bintang (hlm. 27)
misalnya, Aan Mansyur mempermainkan
hari-hari dalam seminggu menjadi kisah yang unik dan sangat bertenaga.
“Begini ramalan cuaca
pekan ini. Besok, udara lebih cerah dari senyum bayi. Lusa, langit remaja jatuh
cinta—ceria, panas, dan mengumpulkan hujan. Kamis penuh awan berbentuk tanda
baca. Jumat, curah dari awan mirip kebun binatang. Sabtu, alam penuh api dan
apa pun yang menyerupai itu. Minggu, tidak ada cuaca.”
Saat membaca puisi, kita sering terkaget takjub melihat
keberanian penyair yang mendorong kata-kata ke batas-batas eksplorasi mereka.
Kapan lagi kebun binatang bergandengan dengan awan kecuali di puisi? Atau,
kapan lagi membenci itu bisa sebesar mencintai kecuali di puisi? Lewat
puisi-puisi ini, Aan Mansyur kembali menghadirkan kebesaran puisi yang selama
ini sempat tersisihkan dalam jagad pembaca, bahkan tanpa harus banyak mengumbar
kata-kata tinggi dan penuh bebunggaan. Jarang sekali saya temukan kata-kata
lampau atau sulit di buku ini, semuanya relative sederhana, hanya saja diolah
sedemikian istimewa lewat pemanfaatan perangkat-perangkat khas puisi.
“Aku tak pernah membenci apa pun sebesar aku
mencintai matamu.” (hlm. 44)
Lebih istimewa lagi, buku kumpulan puisi ini dilengkapi ilustrasi karya MT yang terkesan absurd namun nyeni—mengingatkan pembaca pada ilustrasi-ilustrasi pada cerpen Minggu di surat kabar. Sementara Aan Mansyur memanjakan telinga dengan bait-bait puisinya, MT memanjakan mata pembaca dengan sapuan-sapuannya yang berani lagi berjuta makna. Sebuah perpaduan unik yang menawarkan sebuah pengalaman baru dalam menikmati sastra, inilah Melihat Api Bekerja.
gambar: Goodreads.com dan sebuahsaja.files.wordpress.com
wah saya udah baca ini, tapi belum review mas dion :)
ReplyDeleteSaya bacanya butuh waktu lama mas, hampir dua bulan hahaha. Dihayati dulu sih. Ayo mas diulas.
ReplyDeletePermisi itu pengantarnya bukannya pak sapardi yah
ReplyDeleteWah iya , maaf saya kurang teliti. Terima kasih koreksinya
DeleteHalo, admin. Saya sudah baca buku melihat api bekerja sejak tahun 2020 tapi sampai sekarang belum buat ulasannya. hehehe, btw tulisannya keren saya suka. jika berkenan, mampir yuk ke blog saya di perjamuankhongguan.blogspot.com
ReplyDeleteTerima kasih sudah mampir mas
Delete