Judul: Dijual, Keajaiban
Pengarang: Gao Xinjian, Orhan Pamuk, Salman Rushdie, dkk
Editor: Ainini
Penyelaras Akhir: RN
Sampul: Wulan Nugra
Cetakan: 1, Desember 2015
Penerbit" DIVA Press
Tebal: 228 hlm
Ketika sembilan karya besar para sastrawan kenamaan Asia dikumpulkan dalam satu buku, maka hadirlah sebuah keajaiban. Sebuah keajaiban yang kemudian dapat dibeli oleh para pembacanya dengan membeli buku ini (atau dengan meminjamnya juga boleh deh. Tapi masak buku sebagus ini pinjem, kudu punya ah!). Sembilan sastrawan Asia dengan sembilan karyanya: sembilan cerita dengan corak, kekhasan, dan warnanya masing-masing. Juga, dengan keajaiban yang diusung setiap penulis. Membaca buku ini ibarat mengambil kepingan permata dari sebuah kantung uang (seperti yang terlihat pada sampul depannya), kita tidak tahu akan menemukan apa setiap kali tangan kita masuk ke dalamnya, atau setiap kali pikiran kita masuk dalam salah satu cerita di dalam buku ini.
Search This Blog
Thursday, December 31, 2015
Monday, December 28, 2015
Secret Santa 2015 Riddle
Lebih indah dari
permata kaum kurcaci
Sama sepadan
dengan keindahan Rinvendel
Harta
pustaka para pejuang suci
Bukan untuk
anak-anak yang bandel
Terbungkus
selaput bening bak hadiah mewah
Rapi, tebal,
berat dan sangat menggugah
Kadomu
datang sedemikian megah
Dengan
tekateki tak kalah indah
Lima kisah
seru yang begitu wah
Karya
pengarang istimewa yang tak pernah kalah
Dari hutan Shire
hingga lembah rahasia kaum elf
Perjalanan
dimulai, tapi tidak naik angkot elf
Bersama
Petani Giles dan Tom Bombadil
Mari
bertualang melawan orc dan troll
Dari ras
Hobbit dan kurcaci yang tidak kecil
Hingga
raksasa oliphaunt yang berkulit tebal
Wahai Santa
baik, siapa pun dirimu
Terima kasih
terindah kuhaturkan kepadamu
Bukan
arkenstone atau permata baiduri
Hanya cinta
hangat bak sinar mentari
Wahai penyihir,
elf, kurcaci, dan hobbit.
Juga para
raja manusia yang berkuasa.
Mohon bantu saya
yang ilmunya sedikit
Tuk pecahkan tekateki
rahasia:
“Didididam Parampampam …
Satu dua sama, kita yang sama, tapi berbeda
Dididisam Parampampam …
Abaikan yang lain, lihat dua saja yang
serupa.
Didididam Parampampam
Aku tahu kau lakukan apa, langkahku pernah
di sana
Semoga suka dengan buku pemberianku ya,
DIYAN"
Salam 1252
Note: Maaf, foto agak buram karena tertutup bayangan gelap dari Mordor wkwkwk.
Saturday, December 26, 2015
SUTI karya Sapardi Djoko | Review-BlogTour-Pengumuman Pemenang
Judul: SUTI
Pengarang: Sapardi Djoko Damono
Desain sampul: AN. Rahmawanta
Penerbit: Buku Kompas
ISBN: 978-979-709-986-2
Cetakan pertama, November 2015
Tebal: 192 halaman
Satu lagi karya pengarang besar Indonesia diterbitkan. Kali ini, Sapardi Djoko Darmono dengan novel terbarunya SUTI kembali menyapa pembaca yang merindukan hujan kata-kata nan teduh dan mendinginkan kalbu dari sang maestro sastra Indonesia. Suti, nama lengkangpnya Sutini, adalah gadis yatim yang tinggal bersama ibunya, Parni. Suti ini tipikal gadis desa kebanyakan yang polos, lincah, selalu ingin tahu, dan ... ehem gemar bergunjing sambil mencuci baju di sungai bersama karibnya, Tomblok. Oh ya, karena setting novel ini mengambil era tahun 1960-1970an di pinggiran kota Solo, maka bisa dibayangkan kejadulan novel ini yang memang terasa sekali. Telepon belum banyak, telegram masih laku banget, dan naik kereta ekonomi harus saling berebutan. Entah kenapa, membaca novel ini walau jadul tetapi terasa menentramkan. Hidup saat itu kelihatannya berjalan dengan sederhana dan apa adanya. Nggak pakai baper, galau, atau kekinian macam today. Pokoknya beautiful *nulis sambil diiringi Beautifulnya Baekhyun wkwkwk.
Terima kasih atas partisipasi teman-teman semua. Rame banget giveaway kali ini dan jawabannya bagus-bagus semua. Saya bingung memilihnya. Tapi, setelah dibaca berulang-ulang, saya cocoknya sama jawaban yang satu ini:
Nama : Qurotul Ayun
Twitter : @ayunqee
Email : ayun_aq@yahoo.co.id
Domisili : Yogyakarta
"Menjadi penulis multitalent (bisa menulis cerpen, novel, puisi, essay, dll) memang sungguh luar biasa. Tapi saya yakin, se-multitalent apa pun seorang penulis, tetap ada satu jenis tulisan yang paling dikuasai. Dan, menurut saya, Eyang Sapardi paling ahli menulis puisi. Ketika mendengar nama Sapardi Djoko Damono, yang berbayang di benak saya adalah puisi-puisi sarat makna dengan diksi yang manis, teduh, dan menenteramkan semacam puisi Hujan Bulan Juni. Karena itulah, karya beliau yang paling saya nantikan adalah karya puisi."
Pengarang: Sapardi Djoko Damono
Desain sampul: AN. Rahmawanta
Penerbit: Buku Kompas
ISBN: 978-979-709-986-2
Cetakan pertama, November 2015
Tebal: 192 halaman
Satu lagi karya pengarang besar Indonesia diterbitkan. Kali ini, Sapardi Djoko Darmono dengan novel terbarunya SUTI kembali menyapa pembaca yang merindukan hujan kata-kata nan teduh dan mendinginkan kalbu dari sang maestro sastra Indonesia. Suti, nama lengkangpnya Sutini, adalah gadis yatim yang tinggal bersama ibunya, Parni. Suti ini tipikal gadis desa kebanyakan yang polos, lincah, selalu ingin tahu, dan ... ehem gemar bergunjing sambil mencuci baju di sungai bersama karibnya, Tomblok. Oh ya, karena setting novel ini mengambil era tahun 1960-1970an di pinggiran kota Solo, maka bisa dibayangkan kejadulan novel ini yang memang terasa sekali. Telepon belum banyak, telegram masih laku banget, dan naik kereta ekonomi harus saling berebutan. Entah kenapa, membaca novel ini walau jadul tetapi terasa menentramkan. Hidup saat itu kelihatannya berjalan dengan sederhana dan apa adanya. Nggak pakai baper, galau, atau kekinian macam today. Pokoknya beautiful *nulis sambil diiringi Beautifulnya Baekhyun wkwkwk.
Alkisah, Suti kemudian dipekerjakan di rumah keluarga Sastro yang 'mantan' bangsawan meskipun aura priyayi masih kental di keluarga tersebut. Bu Sastro kebetulan memang tidak memiliki anak perempuan sehingga kedatangan Suti (walau sebagai pembantu) seperti menjadi pelengkap di rumahnya. Di rumah itu hanya ada dua anak lelakinya, Kunto dan Dewo, yang memiliki sifat 180 derajat. Kunto adalah tipe anak yang tidak macam-macam. Hari-harinya habis untuk belajar dan dia lebih sering bermain dengan teman laki-lakinya ketimbang pacaran. Sementara, Dewo adalah kebalikan. Anak ini walau masih SMP namun memiliki darah yang panas. Kerjaannya tidak lain adalah merayu teman-teman gadisnya, nyolong tebu, berburu anjing liar, atau berkelahi. Buset deh ini adik-kakak beda banget.
Keberadaan Suti di rumah keluarga Sastro ibarat katalis untuk membuat normal keluarga nan terlalu adem itu. Bu Sastro berharap Suti bisa mengubah Kunto jadi pria sejati, mampu melembutkan hati Dewo yang keras, serta menemani Bu Sastro sehingga rumah mereka tidak terlalu kaku karena sedikitnya wanita di dalamnya. Tapi, siapa sangka, dampak terbesar dari keberadaan Suti adalah kepada pak Sastro. Berbagai kejadian, peristiwa, dan drama bergerak dan berputar; menjadikan kehidupan keluarga Sastro dan juha kehidupan Suti menjadi penuh liku dan cerita. Pembaca akan dibuat tercengang dengan ending-nya, ketika semua tokoh seperti mampu menempatkan diri secara rapi dalam cerita. Sungguh buku yang nyaman sekali dibaca. Sayangnya, ada beberapa kesalahan editing dalam novel ini (duh, kebiasaan editor saya keluar deh), yakni di menjelang belakang. Beberapa kali penulis terbalik merujuk Kunto sebagai si bungsu dan Dewo sebagai si sulung. Semoga bisa menjadi perhatian di cetakan berikutnya.
Setelah novel "Hujan Bulan
Juni" yang ternyata kurang memenuhi ekspektasi, SUTI berhasil memberikan
penghiburan walau agak-agak terasa aroma Ahmad Tohari dengan lingkungan
pedesaannya. Setidaknya, dalam SUTI, pembaca dibikin penasaran dengan
nasib tokoh-tokohnya, dibuat merasa tentram dengan aroma lokal Solo-nya
yang kental, serta ikut lega sampai di penghujung cerita. Kesan pertama dari novel Suti adalah kejadulan settingnya, tapi inilah yang menjadikan buku ini istimewa. Sapardi menurut saya memang lebih keren ketika menulis dengan tema dan setting seperti ini: jadul dan ndeso, namun jadul yang indah dan ndeso yang menyamankan. Alurnya rapi, bikin penasaran, dan setiap pemain mendapatkan porsi yang sama rata. Konfliknya pun banyak, menyebar, dan kesemuanya itu dibungkus dalam kemasan tempoe doloe nan asik diikuti.
PEMENANG GIVEAWAY
Terima kasih atas partisipasi teman-teman semua. Rame banget giveaway kali ini dan jawabannya bagus-bagus semua. Saya bingung memilihnya. Tapi, setelah dibaca berulang-ulang, saya cocoknya sama jawaban yang satu ini:
Nama : Qurotul Ayun
Twitter : @ayunqee
Email : ayun_aq@yahoo.co.id
Domisili : Yogyakarta
"Menjadi penulis multitalent (bisa menulis cerpen, novel, puisi, essay, dll) memang sungguh luar biasa. Tapi saya yakin, se-multitalent apa pun seorang penulis, tetap ada satu jenis tulisan yang paling dikuasai. Dan, menurut saya, Eyang Sapardi paling ahli menulis puisi. Ketika mendengar nama Sapardi Djoko Damono, yang berbayang di benak saya adalah puisi-puisi sarat makna dengan diksi yang manis, teduh, dan menenteramkan semacam puisi Hujan Bulan Juni. Karena itulah, karya beliau yang paling saya nantikan adalah karya puisi."
Selamat kepada Qurotul Ayun yang terpilih sebagai pemenang. Silakan cek email ya untuk konfirmasi pengiriman hadiah. Bagi yang belum beruntung, tunggu giveaway berikutnya ya.
Wednesday, December 23, 2015
Negeri Para Roh
Judul : Negeri Para Roh
Penulis : Rosi L Simamora
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tebal : 288 halaman
Terbit: Oktober, 2015

Penulis : Rosi L Simamora
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tebal : 288 halaman
Terbit: Oktober, 2015

Pada tanggal 6 Juni
2006, longboat berpenumpang lima kru sebuah stasiun televisi berangkat dari
Agats menuju Timika. Mereka adalah Senna, Totopras, Sambudi, Bagus, dan Hara.
Belum lagi tengah hari, laut sekonyong mengganas dan longboat terbalik. Berbekal dry box berukuran lima puluh sentimeter persegi, empat dari mereka harus bertahan di tengah amukan Laut Arafuru. Yang seorang lagi terpisah bersama tiga awak perahu, terseret arus ke arah berlawanan.
Belum lagi tengah hari, laut sekonyong mengganas dan longboat terbalik. Berbekal dry box berukuran lima puluh sentimeter persegi, empat dari mereka harus bertahan di tengah amukan Laut Arafuru. Yang seorang lagi terpisah bersama tiga awak perahu, terseret arus ke arah berlawanan.
Hari itu, tanggal 6, bulan 6 tahun 2006 (ingat, tiga angka
enam yang berjajar adalah pertanda buruk dalam tradisi barat); Senna, Totopras,
Sambudi, Bagus, Hara, dan beberapa kru perahu longboat dari penduduk lokal memutuskan untuk menyeberang pulang. Sebelumnya, seorang dukun suku Asmat telah
memperingatkan agar rombongan menunda keberangkatan mereka karena tanggal
sedang tidak baik. Tetapi, kerinduan untuk segera pulang rupanya telah
sedemikian tak tertanggungkan sehingga berangkatlah mereka menyeberangi Laut
Arafuru yang sedang berombak ganas.
“Rindu selalu membuat
cinta jadi baru, seolah bereinkarnasi lewat jarak dan perpisahan.” (hlm. 33)
Monday, December 21, 2015
Detektif Cilik: Pelari Maraton Yang Curang & Kasus-Kasus Lain
Detektif Cilik Hawkeye Collins & Amy Adams: Pelari Maraton Yang Curang & Kasus-Kasus Lain
Pengarang: M. Masters
Tebal: 113 hlm
Penerbit: Penerbit Gramedia
Cetakan: 1987

Pengarang: M. Masters
Tebal: 113 hlm
Penerbit: Penerbit Gramedia
Cetakan: 1987

Lamat-lamat, saya masih ingat—dalam
masa kecil saya yang jauh dan teduh—ketika menemukan iklan buku ini di majalah Bobo, dan kemudian saya bergegas
meminjamnya di sebuah rental bacaan (sekarang sudah tutup, diubah menjadi kafe
kekinian yang sama sekali tidak menyuguhkan buku). Sebuah buku petualangan khas
anak yang langsung membuat saya terpesona karena penyajiannya yang tak biasa.
Saya masih ingat, dulu harus mencari cermin dulu agar bisa membaca bagian akhir
dari setiap cerpen yang tersuguh di buku kumcer ini. Sebelum akhirnya saya
menemukan cara yang jauh lebih praktis (walau tetap bikin pegel) yakni dengan
menghadapkan kertas membelakangi sumber cahaya. Sungguh pengalaman tak
terlupakan.
Seri Lima Sekawan, Pasukan Mau Tahu, Trio Detektif, STOP, dan Lupus adalah pembentuk masa kecil saya.
Sebagian mereka menjadikan saya menyukai petualangan (meskipun baru dalam tahap
membaca novel petualangan wkwk) dan sebagian lagi turut menjadikan saya lucu
seperti sekarang (*sodorin tas kresek buat yang mau muntah). Tapi, bukan karena
saya lucu, tapi karena buku-buku di atas adalah sedemikian istimewa dalam masa
kecil beberapa kita. Terkhusus untuk seri Detektik
Cilik ini, saya sedemikian terkesan membaca tulisan dengan teknik unik
seperti di buku ini. Belum pernah sebelumnya saya menemukan buku dengan ending
yang harus ditebak sendiri oleh pembaca, dengan kunci jawaban yang repot-repot
harus mencari cermin dulu agar bisa membacanya.
Mungkin, dulu membaca buku ini
memang repot: tangan pegal atau membaca sambil miring-miring manyun di depan
cermin. Tetapi, itulah rupanya yang membuat buku ini tak terlupakan. Ini juga
yang membuat membaca buku ini terasa seru dan menyenangkan di era 90-an yang
minim hiburan media social kecuali deretan kartun di hari Minggu yang selalu
ditunggu. Tidak hanya ditantang untuk membaca terbalik, kita juga diajak untuk
menebak si pelaku dengan mengamati gambar sketsa yang dibuat oleh Hawkeye.
Untuk mengingatkan, Detektif Cilik adalah Amy dan Hawkeye
yang masih berusia 12 tahun. Keduanya tinggal di sebuah kota kecil bernama
Lakewood Hills dan telah berulang kali membantu kepolisian lokal dalam
memecahkan kasus. Untuk memperkenalkan keduanya, seri ini—khas buku cerita
anak-anak jadul—menampilkan biodata singkat keduanya di halaman-halaman awal
sehingga pembaca baru bisa membacanya secara acak. Hawkeye adalah julukan bagi
Christopher Collins yang memiliki kecermatan luar biasa dalam memperhatikan
hal-hal sederhana yang kadang diabaikan orang. Dia juga jago membikin sketsa
tentang lokasi kejadian—yang kemudian terbukti sangat bermanfaat dalam membantu
penyelidikan.
Kenapa digambar? Bukannya difoto
lebih praktis dan cepat? Terang saja karena buku ini ditulis tahun 1984. Waktu
itu, kamera digital jelas belum ada, hanya ada kamera dengan negatif film yang harganya pun masih
terhitung mahal. Tidak mungkin anak-anak SD bawa kamera mahal kemana-mana
bukan? Lagipula, Hawkeye lewat gambarnya mengajarkan kepada kita tentang
pentingnya proses, tentang bermanfaatnya catatan (atau dalam hal ini gambar
sketsa), dan sekaligus mengajak pembaca belajar membuat gambar sketsa. Detektif
kedua adalah Amy Adams yang lincah dan atletis. Dia jagonya olahraga plus
pintar matematika; perpaduan elok yang terbukti banyak membantu mereka dalam
menyelidiki kasus-kasus aneh.
Kedua anak ini, anehnya, selalu
berada di waktu dan tempat yang tepat, yakni ketika terjadi sebuah kasus yang
melibatkan misteri atau ketika ada orang yang hendak menipu teman-teman
keduanya. Biasanya, Amy yang akan berpikir sementara Hawkeye yang segera
menggambar sketsa dari lokasi kejadian. Metode ini masih dipakai oleh
kepolisian dalam menyelidiki TKP (walau sekarang cukup dengan memotretnya
semata), yakni mengambil gambar dari lokasi kejadian untuk kemudian didalami
secara lebih teliti di laboratorium atau di markas besar. Secara tidak langsung, teknik sketsa Hawkeye
ini mengajak pembaca untuk fokus pada bukti dan mengabaikan gangguan-gangguan
yang masih berupa dugaan atau prasangka. Inilah cara yang paling menyenangkan
untuk mengajarkan keterampilan berpikir secara sistematis kepada anak-anak.
Semoga, kita masih bisa menemukan dan membaca buku-buku bagus tapi sudah langka
seperti ini di pasaran.
By the Time You Read This, I’ll Be Dead
Judul: By the Time You Read This, I’ll Be Dead
Penulis: Julie Anne Peters
Penerjemah: Hedwigis Lani Rachmah
Penerbit: Noura Books
Terbit: Cetakan pertama, April 2015
Tebal: 332 halaman
Penulis: Julie Anne Peters
Penerjemah: Hedwigis Lani Rachmah
Penerbit: Noura Books
Terbit: Cetakan pertama, April 2015
Tebal: 332 halaman
Banyak di antara kita yang pernah dibully (atau mungkin
malah mem-bully) di masa kecil dulu. Beberapa mungkin sampai ke penghujung masa
remaja. Entah yang masa, satu hal pasti bahwa kenangan tentangnya selalu
membekas dalam lubuk kantung masa lalu kita di dalam jiwa. Saat ketika diri
dilemahkan, tidak dihargai, dilecehkan, dipermainkan; semua hanya kadang karena
seseorang berbeda dari yang banyak (terlalu gemuk, genduk, terlalu kurus,
pendek, ceking, bahkan kadang karena terlalu miskin) sehingga si pihak yang
kuat (atau banyak) merasa berhak menindas mereka yang lebih lemah (atau lebih
berbeda). Pengalaman di-bully ini kemudian tetap tinggal dalam ceruk rahasia
yang tetap saja terasa menakutkan bahkan ketika si korban telah dewasa. Dalam
beberapa kasus, kenangan buruk tentangnya bahkan sedemikian rupa merusaknya,
seperti yang dialami Daelyn.
Mereka membunuhmu dengan kata-kata mereka.
Friday, December 18, 2015
Steal Like an Artist
Judul: Steal Like an Artist
Penulis: Austin Kleon
Penerjemah: Rini N Badariah
Cetakan: 5, September 2015
Tebal: 150 hlm
Penerbit: Noura Books
Akhir-akhir ini banyak buku yang mengulas
tentang kreativitas sebagai sesuatu yang bisa dipelajari dan ditingkatkan. Ini
menandakan bidang kreatif memang mulai mendapatkan tempat yang prestisius di
belantara lapangan pekerjaan di Indonesia. Namun, rata-rata buku itu sepertinya
sama: menyarankan kita untuk melepaskan diri dari segala bentuk ikatan dan
rutinitas agar kita bisa bebas dan lepas menerima curahan ilham dari semesta.
Buku Steal Like an Artist ini tidak,
dia berbeda dalam banyak hal. Penulis malah menganjurkan pembacanya agar tidak
melepaskan pekerjaan tetapnya hanya demi agar punya waktu dan kesempatan untuk
berkarya rupa. Mencipta sesuatu yang kreatif juga tetap bisa kita lakukan tanpa
harus mengorbankan pekerjaan tetap kita. Gagasannya begini, ketika seseorang
tidak lagi memikirkan tentang ‘bagaimana ia makan hari ini’ maka dia sudah memiliki
peluang besar untuk berkreasi. Dengan kata lain, ketika masalah finansial telah
teratasi, kita menjadi lebih bebas untuk berkreasi tanpa dibebani pikiran ini
dan itu.
"Apakah orisinalitas itu? Plagiarisme tak terdeteksi." (hlm.
8)
Begitu juga dengan rutinitas,
yang seharusnya bisa dijadikan sebagai pemacu untuk berkarya-cipta kreatif. Senin
sampai Jumat kita bekerja, menyisakan hanya dua hari saja untuk istirahat,
bermain, serta melakukan hal-hal lain termasuk berkarya cipta. Keterbatasan
waktu ini sesungguhnya bisa menjadi pemacu untuk mengkarya, semacam deadline
untuk segera merampungkan menggarap karya kita—apa pun itu. Teknik ini
membuktikan kebenaran dari sebuah ungkapan popular yang menyebut bahwa ‘tenggat
waktu adalah sumber ilham yang perkasa.’ Dengan menyadari bahwa kita hanya bisa
berkarya kreatif di Sabtu dan Minggu (beberapa bahkan hanya bisa di hari
Minggu), seharusnya kita jadi semakin terpacu untuk giat berkarya dan
memanfaatkan waktu yang sering kali kita sia-siakan itu.
"Seniman adalah kolektor. Bukan penimbun. Apa bedanya? Penimbun
mengumpulkan apa saja, seniman selektif mengoleksi. Mereka hanya mengumpulkan
yang benar-benar disukai.” (hlm. 13)
Hal lain yang juga diusung berbeda lewat buku
ini adalah tentang mencuri. Ketika buku-buku kreatif lain menjunjung tinggi
orisinalitas ide, buku ini malah menyuruh pembaca untuk mencuri ide/gagasan
orang lain. Bagaimana bisa? Bisa karena mencuri dalam buku ini adalah “mencuri”
dengan tanda petik. Bab pertama buku ini, yang memang sangat menarik dan unik,
mengulas bagaimana cara mencuri secara elegan. Prinsipnya adalah para ahli
mencuri satu atau beberapa bagian dari ide ahli-ahli yang lain sehingga menghasilkan
sebuah perpaduan ide berbeda sama sekali, dan itulah ide yang baru.
Tak ada yang orisinal. Semua kreasi berasal dari sesuatu yang pernah
ada. Dan kreativitas tidak pernah lahir begitu saja, butuh proses juga perlu
diasah. Mencuri ide adalah awal menumbuhkannya.
Teknik mencuri yang disarankan di
buku ini bukanlah meniru secara plek, melainkan “mencuri” secara terhormat.
Caranya adalah dengan prinsip ATM atau Amati, Tiru, dan Modifikasi. Sesuatu
yang lama kita ambil, lalu padukan dengan sesuatu-sesuatu yang lain, diubah
sedikit atau disempurnakan sehingga jadilah sesuatu yang baru yang benar-benar
sesuatu. Jangan takut ketika hasil tiruan kita ternyata tidak serupa alias “tidak
mirip aslinya’ karena sesuatu yang tidak mirip itulah sejatinya sesuatu karya
yang baru, yang benar-benar milik kita. Banyak ahli atau seniman dan bahkan
penulis yang memanfaatkan teknik mencuri ini, tetapi mereka melabelinya dengan kata-kata
bersayap: ‘terilhami’.
“Pura-pura dulu, lalu jadi sungguhan.” (hlm. 30)
Bab dua juga sangat menyentil
pembaca, tentang sebuah ungkapan lama yang berbunyi “masuk sampah maka akan
keluar sampah juga.”Untuk menjadi orang yang kreatif (atau pandai, atau popular,
atau apa pun itu hal-hal positif lainnya); kita harus mengelilingi diri dengan
orang-orang kreatif, bicara dengan mereka, bergaul dan juga ikut bekerja
bersama mereka, rasakan semangat mereka yang meluap-luap, berpikir sebagaimana
mereka. Menjadi kreatif itu adalah dengan bertindak kreatif, dan itulah teknik
yang paling manjur.
Kreatif adalah melihat dari sudut pandang berbeda. Kreatif adalah mampu
menyiasati keterbatasan. Kreatif adalah menemukan solusi terbaik dari
permasalahan. Buku ini mengembangkan kreativitasmu, siapa pun kamu, dalam
bidang apa pun kamu berkarya
The Girl on the Train
Pengarang: Paula Hawkins
Penerjemah: Inggrid Nimpoeno
Penyunting: Rina Wulandari
Perancang sampul: Wida Sartika
ISBN:9786020989976
Halaman: 440
Cetakan: Pertama- Agustus 2015
Penerbit: Noura Books
Penerjemah: Inggrid Nimpoeno
Penyunting: Rina Wulandari
Perancang sampul: Wida Sartika
ISBN:9786020989976
Halaman: 440
Cetakan: Pertama- Agustus 2015
Penerbit: Noura Books
Novel The Girl on Train sempat wira-riwi di linimasa dan goodreads
beberapa pekan terakhir. Banyak pembaca yang memberikan ulasan positif,
memyebutnya sebagai penerus kesuksesan The
Gone Girl yang thriller kelam itu. Saya belum baca The Gone Girl (tepatnya sudah menyerah duluan karena bukunya yang
tebal dengan font hemat) tapi sudah sedikit menonton filmnya. Ceritanya memang
beda, semacam dark thriller tapi
dengan latar rumah tangga dan dibumbui oleh kisah perselingkuhan. Kisah seperti
ini mengagetkan pembaca sekaligus menyadarkan kita tentang borok-borok
tersembunyi yang mungkin berlindung di balik sebuah foto sepasang suami istri
yang terlihat harmonis. Kekelaman di balik keceriaan, sesuatu yang wajar adanya
karena setiap manusia memang menyimpan kegelapannya masing-masing, hanya
kadarnya saja yang berbeda.
Tuesday, December 1, 2015
#Trio Detektif, Misteri Danau Siluman
Benarkah kisah-kisah lama itu,
tentang adanya harta karun yang berasal dari rampasan perompak, dan yang
disembunyikan di salah satu tempat di Phantom Lake-- di Danau Siluman?
(sumber gambar: http://www.amartapura.com)
Pertama
kali saya melihat promo seri Trio Detektif ini di majalah Bobo ketika saya masih SMP dulu. Perpaduan judul yang agak seram,harta
karun dan perompak, serta misteri yang harus dipecahkan; ketiga unsur inilah yang pesonanya sulit sekali untuk
ditampik anak-anak remaja di zaman ketika internet masih berupa entah dan game hanyalah ding-dong dan gamewatch serta Nitendo dengan Mario Bros-nya.
Kala ini, buku seperti Trio Detektif ini
bisa dibilang sangat terkenal sehingga ketika para remaja itu bertumbuh dewasa
saat ini, kisah-kisah ini (bersama seri Lima Sekawan Enyd Blynton) masih selalu
terkenang. Membaca kembali serial ini mengingatkan kami (((kami))) pada masa
kecil yang penuh petualangan, masa ketika menjelajah kebon di samping rumah
adalah upaya kami berpura-pura menjelajah hutan, dan membuat tenda dari selimut
dan selendang di kamar sebagai markas ala Trio Detektif (yang ada di balik
tumpukan barang bekas).
Subscribe to:
Comments (Atom)




