Search This Blog

Thursday, December 31, 2015

Dijual: Keajaiban

Judul: Dijual, Keajaiban
Pengarang: Gao Xinjian, Orhan Pamuk, Salman Rushdie, dkk
Editor: Ainini
Penyelaras Akhir: RN
Sampul: Wulan Nugra
Cetakan: 1, Desember 2015
Penerbit" DIVA Press
Tebal: 228 hlm



Ketika sembilan karya besar para sastrawan kenamaan Asia dikumpulkan dalam satu buku, maka hadirlah sebuah keajaiban. Sebuah keajaiban yang kemudian dapat dibeli oleh para pembacanya dengan membeli buku ini (atau dengan meminjamnya juga boleh deh. Tapi masak buku sebagus ini pinjem, kudu punya ah!). Sembilan sastrawan Asia dengan sembilan karyanya: sembilan cerita dengan corak, kekhasan, dan warnanya masing-masing. Juga, dengan keajaiban yang diusung setiap penulis. Membaca buku ini ibarat mengambil kepingan permata dari sebuah kantung uang (seperti yang terlihat pada sampul depannya), kita tidak tahu akan menemukan apa setiap kali tangan kita masuk ke dalamnya, atau setiap kali pikiran kita masuk dalam salah satu cerita di dalam buku ini.

Monday, December 28, 2015

Secret Santa 2015 Riddle






Lebih indah dari permata kaum kurcaci
Sama sepadan dengan keindahan Rinvendel
Harta pustaka para pejuang suci
Bukan untuk anak-anak yang bandel

Terbungkus selaput bening bak hadiah mewah
Rapi, tebal, berat dan sangat menggugah
Kadomu datang sedemikian megah
Dengan tekateki tak kalah indah

Lima kisah seru yang begitu wah
Karya pengarang istimewa yang tak pernah kalah
Dari hutan Shire hingga lembah rahasia kaum elf
Perjalanan dimulai, tapi tidak naik angkot elf

Bersama Petani Giles dan Tom Bombadil
Mari bertualang melawan orc dan troll
Dari ras Hobbit dan kurcaci yang tidak kecil
Hingga raksasa oliphaunt yang berkulit tebal

Wahai Santa baik, siapa pun dirimu
Terima kasih terindah kuhaturkan kepadamu
Bukan arkenstone atau permata baiduri
Hanya cinta hangat bak sinar mentari

Wahai penyihir, elf, kurcaci, dan hobbit.
Juga para raja manusia yang berkuasa.
Mohon bantu saya yang ilmunya sedikit
Tuk pecahkan tekateki rahasia:

“Didididam Parampampam …
Satu dua sama, kita yang sama, tapi berbeda
Dididisam Parampampam …
Abaikan yang lain, lihat dua saja yang serupa.
Didididam Parampampam
Aku tahu kau lakukan apa, langkahku pernah di sana
Semoga suka dengan buku pemberianku ya, DIYAN"
Salam 1252





Note: Maaf, foto agak buram karena tertutup bayangan gelap dari Mordor wkwkwk.


Saturday, December 26, 2015

SUTI karya Sapardi Djoko | Review-BlogTour-Pengumuman Pemenang

Judul: SUTI
Pengarang: Sapardi Djoko Damono
Desain sampul: AN. Rahmawanta
Penerbit: Buku Kompas
ISBN: 978-979-709-986-2
Cetakan pertama, November 2015
Tebal: 192 halaman



Satu lagi karya pengarang besar Indonesia diterbitkan. Kali ini, Sapardi Djoko Darmono dengan novel terbarunya SUTI kembali menyapa pembaca yang merindukan hujan kata-kata nan teduh dan mendinginkan kalbu dari sang maestro sastra Indonesia. Suti, nama lengkangpnya Sutini, adalah gadis yatim yang tinggal bersama ibunya, Parni. Suti ini tipikal gadis desa kebanyakan yang polos, lincah, selalu ingin tahu, dan ... ehem gemar bergunjing sambil mencuci baju di sungai bersama karibnya, Tomblok. Oh ya, karena setting novel ini mengambil era tahun 1960-1970an di pinggiran kota Solo, maka bisa dibayangkan kejadulan novel ini yang memang terasa sekali. Telepon belum banyak, telegram masih laku banget, dan naik kereta ekonomi harus saling berebutan. Entah kenapa, membaca novel ini walau jadul tetapi terasa menentramkan. Hidup saat itu kelihatannya berjalan dengan sederhana dan apa adanya. Nggak pakai baper, galau, atau kekinian macam today. Pokoknya beautiful *nulis sambil diiringi Beautifulnya Baekhyun wkwkwk.

Alkisah, Suti kemudian dipekerjakan di rumah keluarga Sastro yang 'mantan' bangsawan meskipun aura priyayi masih kental di keluarga tersebut. Bu Sastro kebetulan memang tidak memiliki anak perempuan sehingga kedatangan Suti (walau sebagai pembantu) seperti menjadi pelengkap di rumahnya. Di rumah itu hanya ada dua anak lelakinya, Kunto dan Dewo, yang memiliki sifat 180 derajat. Kunto adalah tipe anak yang tidak macam-macam. Hari-harinya habis untuk belajar dan dia lebih sering bermain dengan teman laki-lakinya ketimbang pacaran. Sementara, Dewo adalah kebalikan. Anak ini walau masih SMP namun memiliki darah yang panas. Kerjaannya tidak lain adalah merayu teman-teman gadisnya, nyolong tebu, berburu anjing liar, atau berkelahi.  Buset deh ini adik-kakak beda banget.

Keberadaan Suti di rumah keluarga Sastro ibarat katalis untuk membuat normal keluarga nan terlalu adem itu. Bu Sastro berharap Suti bisa mengubah Kunto jadi pria sejati, mampu melembutkan hati Dewo yang keras, serta menemani Bu Sastro sehingga rumah mereka tidak terlalu kaku karena sedikitnya wanita di dalamnya. Tapi, siapa sangka, dampak terbesar dari keberadaan Suti adalah kepada pak Sastro. Berbagai kejadian, peristiwa, dan drama bergerak dan berputar; menjadikan kehidupan keluarga Sastro dan juha kehidupan Suti menjadi penuh liku dan cerita. Pembaca akan dibuat tercengang dengan ending-nya, ketika semua tokoh seperti mampu menempatkan diri secara rapi dalam cerita. Sungguh buku yang nyaman sekali dibaca. Sayangnya, ada beberapa kesalahan editing dalam novel ini (duh, kebiasaan editor saya keluar deh), yakni di menjelang belakang. Beberapa kali penulis terbalik merujuk Kunto sebagai si bungsu dan Dewo sebagai si sulung. Semoga bisa menjadi perhatian di cetakan berikutnya.
 
Setelah novel "Hujan Bulan Juni" yang ternyata kurang memenuhi ekspektasi, SUTI berhasil memberikan penghiburan walau agak-agak terasa aroma Ahmad Tohari dengan lingkungan pedesaannya. Setidaknya, dalam SUTI, pembaca dibikin penasaran dengan nasib tokoh-tokohnya, dibuat merasa tentram dengan aroma lokal Solo-nya yang kental, serta ikut lega sampai di penghujung cerita. Kesan pertama dari novel Suti adalah kejadulan settingnya, tapi inilah yang menjadikan buku ini istimewa. Sapardi menurut saya memang lebih keren ketika menulis dengan tema dan setting seperti ini: jadul dan ndeso, namun jadul yang indah dan ndeso yang menyamankan. Alurnya rapi, bikin penasaran, dan setiap pemain mendapatkan porsi yang sama rata. Konfliknya pun banyak, menyebar, dan kesemuanya itu dibungkus dalam kemasan tempoe doloe nan asik diikuti. 


PEMENANG GIVEAWAY


27393777

Terima kasih atas partisipasi teman-teman semua. Rame banget giveaway kali ini dan jawabannya bagus-bagus semua. Saya bingung memilihnya. Tapi, setelah dibaca berulang-ulang, saya cocoknya sama jawaban yang satu ini:

Nama : Qurotul Ayun
Twitter : @ayunqee
Email : ayun_aq@yahoo.co.id
Domisili : Yogyakarta

"Menjadi penulis multitalent (bisa menulis cerpen, novel, puisi, essay, dll) memang sungguh luar biasa. Tapi saya yakin, se-multitalent apa pun seorang penulis, tetap ada satu jenis tulisan yang paling dikuasai. Dan, menurut saya, Eyang Sapardi paling ahli menulis puisi. Ketika mendengar nama Sapardi Djoko Damono, yang berbayang di benak saya adalah puisi-puisi sarat makna dengan diksi yang manis, teduh, dan menenteramkan semacam puisi Hujan Bulan Juni. Karena itulah, karya beliau yang paling saya nantikan adalah karya puisi."

Selamat kepada Qurotul Ayun yang terpilih sebagai pemenang. Silakan cek email ya untuk konfirmasi pengiriman hadiah. Bagi yang belum beruntung, tunggu giveaway berikutnya ya.



Wednesday, December 23, 2015

Negeri Para Roh

Judul : Negeri Para Roh
Penulis : Rosi L Simamora
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tebal : 288 halaman
Terbit: Oktober, 2015


26249241



Pada tanggal 6 Juni 2006, longboat berpenumpang lima kru sebuah stasiun televisi berangkat dari Agats menuju Timika. Mereka adalah Senna, Totopras, Sambudi, Bagus, dan Hara.

Belum lagi tengah hari, laut sekonyong mengganas dan longboat terbalik. Berbekal dry box berukuran lima puluh sentimeter persegi, empat dari mereka harus bertahan di tengah amukan Laut Arafuru. Yang seorang lagi terpisah bersama tiga awak perahu, terseret arus ke arah berlawanan.
 

Hari itu, tanggal 6, bulan 6 tahun 2006 (ingat, tiga angka enam yang berjajar adalah pertanda buruk dalam tradisi barat); Senna, Totopras, Sambudi, Bagus, Hara, dan beberapa kru perahu longboat dari penduduk lokal memutuskan untuk menyeberang pulang. Sebelumnya, seorang dukun suku Asmat telah memperingatkan agar rombongan menunda keberangkatan mereka karena tanggal sedang tidak baik. Tetapi, kerinduan untuk segera pulang rupanya telah sedemikian tak tertanggungkan sehingga berangkatlah mereka menyeberangi Laut Arafuru yang sedang berombak ganas.  


“Rindu selalu membuat cinta jadi baru, seolah bereinkarnasi lewat jarak dan perpisahan.” (hlm. 33)

Monday, December 21, 2015

Detektif Cilik: Pelari Maraton Yang Curang & Kasus-Kasus Lain

Detektif Cilik Hawkeye Collins & Amy Adams: Pelari Maraton Yang Curang & Kasus-Kasus Lain
Pengarang:




18931647



Lamat-lamat, saya masih ingat—dalam masa kecil saya yang jauh dan teduh—ketika menemukan iklan buku ini di majalah Bobo, dan kemudian saya bergegas meminjamnya di sebuah rental bacaan (sekarang sudah tutup, diubah menjadi kafe kekinian yang sama sekali tidak menyuguhkan buku). Sebuah buku petualangan khas anak yang langsung membuat saya terpesona karena penyajiannya yang tak biasa. Saya masih ingat, dulu harus mencari cermin dulu agar bisa membaca bagian akhir dari setiap cerpen yang tersuguh di buku kumcer ini. Sebelum akhirnya saya menemukan cara yang jauh lebih praktis (walau tetap bikin pegel) yakni dengan menghadapkan kertas membelakangi sumber cahaya. Sungguh pengalaman tak terlupakan.

Seri Lima Sekawan, Pasukan Mau Tahu, Trio Detektif, STOP, dan Lupus adalah pembentuk masa kecil saya. Sebagian mereka menjadikan saya menyukai petualangan (meskipun baru dalam tahap membaca novel petualangan wkwk) dan sebagian lagi turut menjadikan saya lucu seperti sekarang (*sodorin tas kresek buat yang mau muntah). Tapi, bukan karena saya lucu, tapi karena buku-buku di atas adalah sedemikian istimewa dalam masa kecil beberapa kita. Terkhusus untuk seri Detektik Cilik ini, saya sedemikian terkesan membaca tulisan dengan teknik unik seperti di buku ini. Belum pernah sebelumnya saya menemukan buku dengan ending yang harus ditebak sendiri oleh pembaca, dengan kunci jawaban yang repot-repot harus mencari cermin dulu agar bisa membacanya.

Mungkin, dulu membaca buku ini memang repot: tangan pegal atau membaca sambil miring-miring manyun di depan cermin. Tetapi, itulah rupanya yang membuat buku ini tak terlupakan. Ini juga yang membuat membaca buku ini terasa seru dan menyenangkan di era 90-an yang minim hiburan media social kecuali deretan kartun di hari Minggu yang selalu ditunggu. Tidak hanya ditantang untuk membaca terbalik, kita juga diajak untuk menebak si pelaku dengan mengamati gambar sketsa yang dibuat oleh Hawkeye. 

Untuk mengingatkan, Detektif Cilik adalah Amy dan Hawkeye yang masih berusia 12 tahun. Keduanya tinggal di sebuah kota kecil bernama Lakewood Hills dan telah berulang kali membantu kepolisian lokal dalam memecahkan kasus. Untuk memperkenalkan keduanya, seri ini—khas buku cerita anak-anak jadul—menampilkan biodata singkat keduanya di halaman-halaman awal sehingga pembaca baru bisa membacanya secara acak. Hawkeye adalah julukan bagi Christopher Collins yang memiliki kecermatan luar biasa dalam memperhatikan hal-hal sederhana yang kadang diabaikan orang. Dia juga jago membikin sketsa tentang lokasi kejadian—yang kemudian terbukti sangat bermanfaat dalam membantu penyelidikan.

Kenapa digambar? Bukannya difoto lebih praktis dan cepat? Terang saja karena buku ini ditulis tahun 1984. Waktu itu, kamera digital jelas belum ada, hanya ada kamera dengan negatif film yang harganya pun masih terhitung mahal. Tidak mungkin anak-anak SD bawa kamera mahal kemana-mana bukan? Lagipula, Hawkeye lewat gambarnya mengajarkan kepada kita tentang pentingnya proses, tentang bermanfaatnya catatan (atau dalam hal ini gambar sketsa), dan sekaligus mengajak pembaca belajar membuat gambar sketsa. Detektif kedua adalah Amy Adams yang lincah dan atletis. Dia jagonya olahraga plus pintar matematika; perpaduan elok yang terbukti banyak membantu mereka dalam menyelidiki kasus-kasus aneh. 

Kedua anak ini, anehnya, selalu berada di waktu dan tempat yang tepat, yakni ketika terjadi sebuah kasus yang melibatkan misteri atau ketika ada orang yang hendak menipu teman-teman keduanya. Biasanya, Amy yang akan berpikir sementara Hawkeye yang segera menggambar sketsa dari lokasi kejadian. Metode ini masih dipakai oleh kepolisian dalam menyelidiki TKP (walau sekarang cukup dengan memotretnya semata), yakni mengambil gambar dari lokasi kejadian untuk kemudian didalami secara lebih teliti di laboratorium atau di markas besar.  Secara tidak langsung, teknik sketsa Hawkeye ini mengajak pembaca untuk fokus pada bukti dan mengabaikan gangguan-gangguan yang masih berupa dugaan atau prasangka. Inilah cara yang paling menyenangkan untuk mengajarkan keterampilan berpikir secara sistematis kepada anak-anak. Semoga, kita masih bisa menemukan dan membaca buku-buku bagus tapi sudah langka seperti ini di pasaran.

By the Time You Read This, I’ll Be Dead

Judul: By the Time You Read This, I’ll Be Dead
Penulis: Julie Anne Peters
Penerjemah: Hedwigis Lani Rachmah
Penerbit: Noura Books
Terbit: Cetakan pertama, April 2015
Tebal: 332 halaman



25477403 



Banyak di antara kita yang pernah dibully (atau mungkin malah mem-bully) di masa kecil dulu. Beberapa mungkin sampai ke penghujung masa remaja. Entah yang masa, satu hal pasti bahwa kenangan tentangnya selalu membekas dalam lubuk kantung masa lalu kita di dalam jiwa. Saat ketika diri dilemahkan, tidak dihargai, dilecehkan, dipermainkan; semua hanya kadang karena seseorang berbeda dari yang banyak (terlalu gemuk, genduk, terlalu kurus, pendek, ceking, bahkan kadang karena terlalu miskin) sehingga si pihak yang kuat (atau banyak) merasa berhak menindas mereka yang lebih lemah (atau lebih berbeda). Pengalaman di-bully ini kemudian tetap tinggal dalam ceruk rahasia yang tetap saja terasa menakutkan bahkan ketika si korban telah dewasa. Dalam beberapa kasus, kenangan buruk tentangnya bahkan sedemikian rupa merusaknya, seperti yang dialami Daelyn.

Mereka membunuhmu dengan kata-kata mereka.


Friday, December 18, 2015

Steal Like an Artist


Judul: Steal Like an Artist
Penulis: Austin Kleon
Penerjemah: Rini N Badariah
Cetakan: 5, September 2015
Tebal: 150 hlm
Penerbit: Noura Books

20969670


Akhir-akhir ini banyak buku yang mengulas tentang kreativitas sebagai sesuatu yang bisa dipelajari dan ditingkatkan. Ini menandakan bidang kreatif memang mulai mendapatkan tempat yang prestisius di belantara lapangan pekerjaan di Indonesia. Namun, rata-rata buku itu sepertinya sama: menyarankan kita untuk melepaskan diri dari segala bentuk ikatan dan rutinitas agar kita bisa bebas dan lepas menerima curahan ilham dari semesta. Buku Steal Like an Artist ini tidak, dia berbeda dalam banyak hal. Penulis malah menganjurkan pembacanya agar tidak melepaskan pekerjaan tetapnya hanya demi agar punya waktu dan kesempatan untuk berkarya rupa. Mencipta sesuatu yang kreatif juga tetap bisa kita lakukan tanpa harus mengorbankan pekerjaan tetap kita. Gagasannya begini, ketika seseorang tidak lagi memikirkan tentang ‘bagaimana ia makan hari ini’ maka dia sudah memiliki peluang besar untuk berkreasi. Dengan kata lain, ketika masalah finansial telah teratasi, kita menjadi lebih bebas untuk berkreasi tanpa dibebani pikiran ini dan itu.

"Apakah orisinalitas itu? Plagiarisme tak terdeteksi." (hlm. 8)

Begitu juga dengan rutinitas, yang seharusnya bisa dijadikan sebagai pemacu untuk berkarya-cipta kreatif. Senin sampai Jumat kita bekerja, menyisakan hanya dua hari saja untuk istirahat, bermain, serta melakukan hal-hal lain termasuk berkarya cipta. Keterbatasan waktu ini sesungguhnya bisa menjadi pemacu untuk mengkarya, semacam deadline untuk segera merampungkan menggarap karya kita—apa pun itu. Teknik ini membuktikan kebenaran dari sebuah ungkapan popular yang menyebut bahwa ‘tenggat waktu adalah sumber ilham yang perkasa.’ Dengan menyadari bahwa kita hanya bisa berkarya kreatif di Sabtu dan Minggu (beberapa bahkan hanya bisa di hari Minggu), seharusnya kita jadi semakin terpacu untuk giat berkarya dan memanfaatkan waktu yang sering kali kita sia-siakan itu.

"Seniman adalah kolektor. Bukan penimbun. Apa bedanya? Penimbun mengumpulkan apa saja, seniman selektif mengoleksi. Mereka hanya mengumpulkan yang benar-benar disukai.” (hlm. 13)

 Hal lain yang juga diusung berbeda lewat buku ini adalah tentang mencuri. Ketika buku-buku kreatif lain menjunjung tinggi orisinalitas ide, buku ini malah menyuruh pembaca untuk mencuri ide/gagasan orang lain. Bagaimana bisa? Bisa karena mencuri dalam buku ini adalah “mencuri” dengan tanda petik. Bab pertama buku ini, yang memang sangat menarik dan unik, mengulas bagaimana cara mencuri secara elegan. Prinsipnya adalah para ahli mencuri satu atau beberapa bagian dari ide ahli-ahli yang lain sehingga menghasilkan sebuah perpaduan ide berbeda sama sekali, dan itulah ide yang baru.

Tak ada yang orisinal. Semua kreasi berasal dari sesuatu yang pernah ada. Dan kreativitas tidak pernah lahir begitu saja, butuh proses juga perlu diasah. Mencuri ide adalah awal menumbuhkannya.

Teknik mencuri yang disarankan di buku ini bukanlah meniru secara plek, melainkan “mencuri” secara terhormat. Caranya adalah dengan prinsip ATM atau Amati, Tiru, dan Modifikasi. Sesuatu yang lama kita ambil, lalu padukan dengan sesuatu-sesuatu yang lain, diubah sedikit atau disempurnakan sehingga jadilah sesuatu yang baru yang benar-benar sesuatu. Jangan takut ketika hasil tiruan kita ternyata tidak serupa alias “tidak mirip aslinya’ karena sesuatu yang tidak mirip itulah sejatinya sesuatu karya yang baru, yang benar-benar milik kita. Banyak ahli atau seniman dan bahkan penulis yang memanfaatkan teknik mencuri ini, tetapi mereka melabelinya dengan kata-kata bersayap: ‘terilhami’.

“Pura-pura dulu, lalu jadi sungguhan.” (hlm. 30)

Bab dua juga sangat menyentil pembaca, tentang sebuah ungkapan lama yang berbunyi “masuk sampah maka akan keluar sampah juga.”Untuk menjadi orang yang kreatif (atau pandai, atau popular, atau apa pun itu hal-hal positif lainnya); kita harus mengelilingi diri dengan orang-orang kreatif, bicara dengan mereka, bergaul dan juga ikut bekerja bersama mereka, rasakan semangat mereka yang meluap-luap, berpikir sebagaimana mereka. Menjadi kreatif itu adalah dengan bertindak kreatif, dan itulah teknik yang paling manjur.

Kreatif adalah melihat dari sudut pandang berbeda. Kreatif adalah mampu menyiasati keterbatasan. Kreatif adalah menemukan solusi terbaik dari permasalahan. Buku ini mengembangkan kreativitasmu, siapa pun kamu, dalam bidang apa pun kamu berkarya

The Girl on the Train

Pengarang: Paula Hawkins
Penerjemah: Inggrid  Nimpoeno
Penyunting: Rina Wulandari
Perancang sampul: Wida Sartika
ISBN:9786020989976
Halaman: 440
Cetakan: Pertama- Agustus 2015
Penerbit: Noura Books


26085996



Novel The Girl on Train sempat wira-riwi di linimasa dan goodreads beberapa pekan terakhir. Banyak pembaca yang memberikan ulasan positif, memyebutnya sebagai penerus kesuksesan The Gone Girl yang thriller kelam itu. Saya belum baca The Gone Girl (tepatnya sudah menyerah duluan karena bukunya yang tebal dengan font hemat) tapi sudah sedikit menonton filmnya. Ceritanya memang beda, semacam dark thriller tapi dengan latar rumah tangga dan dibumbui oleh kisah perselingkuhan. Kisah seperti ini mengagetkan pembaca sekaligus menyadarkan kita tentang borok-borok tersembunyi yang mungkin berlindung di balik sebuah foto sepasang suami istri yang terlihat harmonis. Kekelaman di balik keceriaan, sesuatu yang wajar adanya karena setiap manusia memang menyimpan kegelapannya masing-masing, hanya kadarnya saja yang berbeda. 

Tuesday, December 1, 2015

#Trio Detektif, Misteri Danau Siluman



Benarkah kisah-kisah lama itu, tentang adanya harta karun yang berasal dari rampasan perompak, dan yang disembunyikan di salah satu tempat di Phantom Lake-- di Danau Siluman?

http://www.amartapura.com/uploadimg/f_m/misteridanausiluman_11874.jpg 
(sumber gambar: http://www.amartapura.com)

                Pertama kali saya melihat promo seri Trio Detektif ini di majalah Bobo ketika saya masih SMP dulu. Perpaduan judul yang agak seram,harta karun dan perompak, serta misteri yang harus dipecahkan; ketiga  unsur inilah yang pesonanya sulit sekali untuk ditampik anak-anak remaja di zaman ketika internet masih berupa entah dan game hanyalah ding-dong dan gamewatch serta Nitendo dengan Mario Bros-nya. Kala ini, buku seperti Trio Detektif ini bisa dibilang sangat terkenal sehingga ketika para remaja itu bertumbuh dewasa saat ini, kisah-kisah ini (bersama seri Lima Sekawan Enyd Blynton) masih selalu terkenang. Membaca kembali serial ini mengingatkan kami (((kami))) pada masa kecil yang penuh petualangan, masa ketika menjelajah kebon di samping rumah adalah upaya kami berpura-pura menjelajah hutan, dan membuat tenda dari selimut dan selendang di kamar sebagai markas ala Trio Detektif (yang ada di balik tumpukan barang bekas).