Penulis : Rosi L Simamora
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tebal : 288 halaman
Terbit: Oktober, 2015
Pada tanggal 6 Juni
2006, longboat berpenumpang lima kru sebuah stasiun televisi berangkat dari
Agats menuju Timika. Mereka adalah Senna, Totopras, Sambudi, Bagus, dan Hara.
Belum lagi tengah hari, laut sekonyong mengganas dan longboat terbalik. Berbekal dry box berukuran lima puluh sentimeter persegi, empat dari mereka harus bertahan di tengah amukan Laut Arafuru. Yang seorang lagi terpisah bersama tiga awak perahu, terseret arus ke arah berlawanan.
Belum lagi tengah hari, laut sekonyong mengganas dan longboat terbalik. Berbekal dry box berukuran lima puluh sentimeter persegi, empat dari mereka harus bertahan di tengah amukan Laut Arafuru. Yang seorang lagi terpisah bersama tiga awak perahu, terseret arus ke arah berlawanan.
Hari itu, tanggal 6, bulan 6 tahun 2006 (ingat, tiga angka
enam yang berjajar adalah pertanda buruk dalam tradisi barat); Senna, Totopras,
Sambudi, Bagus, Hara, dan beberapa kru perahu longboat dari penduduk lokal memutuskan untuk menyeberang pulang. Sebelumnya, seorang dukun suku Asmat telah
memperingatkan agar rombongan menunda keberangkatan mereka karena tanggal
sedang tidak baik. Tetapi, kerinduan untuk segera pulang rupanya telah
sedemikian tak tertanggungkan sehingga berangkatlah mereka menyeberangi Laut
Arafuru yang sedang berombak ganas.
“Rindu selalu membuat
cinta jadi baru, seolah bereinkarnasi lewat jarak dan perpisahan.” (hlm. 33)
Perjalanan menembus pedalaman Papua selama berminggu-minggu
telah membuat lelah semangat bertualang pada pencari jejak petualang ini, dan
ditambah sebuncah kerinduan akan keluarga di Jawa-lah yang akhirnya mendorong
mereka nekad berlayar sebelum pulang. Dan peringatan sang dukun pun hanya
menghilang tersapu angin laut. Angin laut yang sama dengan angin yang kemudian
menjungkalkan perahu longboat mereka. Pupus sudah semua harapan dan impian
untuk dapat segera pulang membawa banyak cerita dan hasil liputan tentang suku
Asmat yang telah mereka kumpulkan selama berminggu-minggu.
"Semua perjalanan
selalu ditutup dengan pulang. Entah perjalanan itu jauh dan panjang, ataukah
hanya trip singkat akhir minggu, atau sekadar ke kantor setiap hari. Kita
selalu butuh pulang." (halaman 27)
Empat orang selamat dari terjangan ombak. Senna, Totopras,
Sambudi, dan Hara masih diselamatkan
oleh sebuah kotak penyimpanan berukuran besar yang tadinya turut mereka bawa
dengan kapal. Sementara, Bagus, bersama tiga kru longboat terapung-apung di
atas perahu longboat mereka yang posisinya terbalik akibat diterjang gelombang.
Nasib keempat orang yang terakhir ini tidak diketahui sampai sekarang. Bagus
menjadi salah satu korban yang tak pernah ditemukan.
“Tak seorang pun ingin
dilupakan. Itu sebab manusia mengabadikan jejaknya pada segala sesuatu yang
pernah disentuhnya.” (hlm
34)
Meskipun Senna, Totopras, Sambudi, dan Hara selamat; namun
ujian belum selesai. Mereka masih dihadapkan pada keperkasaan alam yang
mengombang-ambingkan nasib mereka selama beberapa hari. Keempat penyitas ini diombang-ambingkan oleh
ombak lautan nan ganas, diterjang badai hebat, dengan perut lapar dan tubuh
yang entah kedinginan atau kepanasan. Mereka hanya bertahan hidup dengan meminum
air hujan. Bahkan, ketika akhirnya menemukan pulau pun ujian belum berakhir. Pulau itu tak berpenghuni, gersang, bahkan
tidak memiliki sumber air. Sekali lagi, keempatnya mengandalkan air hujan dan
serangga serta binatang-binatang laut untuk bertahan hidup. Perjalanan kali ini
benar-benar mengubah keempatnya menjadi tidak sama lagi.
“Setiap perjalanan
memiliki caranya sendiri untuk memperkaya kita, kurasa.” (hlm 112)
Negeri Para Roh adalah kisah tentang kelima kru acara
Jejak Petualang Trans 7 (atau TV 7
ya?), dituturkan ulang dengan teknik dramatisasi ala novel serta diperkuat
dengan riset pustaka maupun riset lapangan, menghasilkan sebuah karya
perjalanan yang begitu mendalam. Rosi L Simamora menulis kisah ini berdasarkan
wawancara langsung dengan Dody Johanjaya yang merupakan salah satu dari kru Jejak Petualang yang selamat dalam
musibah tersebut.
“Kita semua adalah
peristiwa yang terjadi kepada kita.” (hlm 163)
Tidak hanya tentang petualangan bertahan hidup, novel ini
juga sedemikian kaya akan berbagai pengetahuan mengenai suku Asmat yang sangat
legendaris tersebut: tentang asal-muasal mereka, tradisi dan mitos serta
berbagai upacara mereka, serta—paling menarik—pandangan mereka tentang
pengayauan atau perburuan manusia untuk kemudian dimakan (semacam kanibalisme).
Tapi, kanibalisme di suku Asmat memiliki makna tradisi yang mendalam, dan buku
ini mencoba menggambarkan kepada orang luar tentang tradisi pengayauan dari
sudut pandang orang dalam.
Selain data etnologis dan geografis yang melimpah, novel ini
juga kaya akan kalimat-kalimat yang sangat ‘kutip-able’ terkait perjalanan,
terkait cinta, terkait pulang, dan juga terkait kehidupan itu sendiri. Para
pelaku yang mengalami kejadian nahas di Laut Arafuru ini mengalami perubahan
total terhadap kehidupannya. Perjalanan ke dunia suku Asmat telah menjadikan
sebagian mereka lebih dewasa, lebih lembut, lebih bersyukur, dan lebih memaafkan.
Kepada para pembaca, semoga juga demikian.
“Setiap perjalanan
memang seperti sihir yang dapat mengubah siapa pun.” (hlm 28)
aku mau bacaaaaaa
ReplyDeleteMasukin wl 2016.
ReplyDeletemoncler
ReplyDeletegolden goose outlet
golden goose outlet
supreme outlet
supreme clothing
golden goose
moncler outlet
golden goose
golden goose sale
golden goose outlet
xiaofang20191213