Search This Blog

Wednesday, December 23, 2015

Negeri Para Roh

Judul : Negeri Para Roh
Penulis : Rosi L Simamora
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tebal : 288 halaman
Terbit: Oktober, 2015


26249241



Pada tanggal 6 Juni 2006, longboat berpenumpang lima kru sebuah stasiun televisi berangkat dari Agats menuju Timika. Mereka adalah Senna, Totopras, Sambudi, Bagus, dan Hara.

Belum lagi tengah hari, laut sekonyong mengganas dan longboat terbalik. Berbekal dry box berukuran lima puluh sentimeter persegi, empat dari mereka harus bertahan di tengah amukan Laut Arafuru. Yang seorang lagi terpisah bersama tiga awak perahu, terseret arus ke arah berlawanan.
 

Hari itu, tanggal 6, bulan 6 tahun 2006 (ingat, tiga angka enam yang berjajar adalah pertanda buruk dalam tradisi barat); Senna, Totopras, Sambudi, Bagus, Hara, dan beberapa kru perahu longboat dari penduduk lokal memutuskan untuk menyeberang pulang. Sebelumnya, seorang dukun suku Asmat telah memperingatkan agar rombongan menunda keberangkatan mereka karena tanggal sedang tidak baik. Tetapi, kerinduan untuk segera pulang rupanya telah sedemikian tak tertanggungkan sehingga berangkatlah mereka menyeberangi Laut Arafuru yang sedang berombak ganas.  


“Rindu selalu membuat cinta jadi baru, seolah bereinkarnasi lewat jarak dan perpisahan.” (hlm. 33)


Perjalanan menembus pedalaman Papua selama berminggu-minggu telah membuat lelah semangat bertualang pada pencari jejak petualang ini, dan ditambah sebuncah kerinduan akan keluarga di Jawa-lah yang akhirnya mendorong mereka nekad berlayar sebelum pulang. Dan peringatan sang dukun pun hanya menghilang tersapu angin laut. Angin laut yang sama dengan angin yang kemudian menjungkalkan perahu longboat mereka. Pupus sudah semua harapan dan impian untuk dapat segera pulang membawa banyak cerita dan hasil liputan tentang suku Asmat yang telah mereka kumpulkan selama berminggu-minggu.


"Semua perjalanan selalu ditutup dengan pulang. Entah perjalanan itu jauh dan panjang, ataukah hanya trip singkat akhir minggu, atau sekadar ke kantor setiap hari. Kita selalu butuh pulang." (halaman 27)


Empat orang selamat dari terjangan ombak. Senna, Totopras, Sambudi,  dan Hara masih diselamatkan oleh sebuah kotak penyimpanan berukuran besar yang tadinya turut mereka bawa dengan kapal. Sementara, Bagus, bersama tiga kru longboat terapung-apung di atas perahu longboat mereka yang posisinya terbalik akibat diterjang gelombang. Nasib keempat orang yang terakhir ini tidak diketahui sampai sekarang. Bagus menjadi salah satu korban yang tak pernah ditemukan.


“Tak seorang pun ingin dilupakan. Itu sebab manusia mengabadikan jejaknya pada segala sesuatu yang pernah disentuhnya.” (hlm 34)


Meskipun Senna, Totopras, Sambudi, dan Hara selamat; namun ujian belum selesai. Mereka masih dihadapkan pada keperkasaan alam yang mengombang-ambingkan nasib mereka selama beberapa hari.  Keempat penyitas ini diombang-ambingkan oleh ombak lautan nan ganas, diterjang badai hebat, dengan perut lapar dan tubuh yang entah kedinginan atau kepanasan. Mereka hanya bertahan hidup dengan meminum air hujan. Bahkan, ketika akhirnya menemukan pulau pun ujian belum berakhir.  Pulau itu tak berpenghuni, gersang, bahkan tidak memiliki sumber air. Sekali lagi, keempatnya mengandalkan air hujan dan serangga serta binatang-binatang laut untuk bertahan hidup. Perjalanan kali ini benar-benar mengubah keempatnya menjadi tidak sama lagi.


“Setiap perjalanan memiliki caranya sendiri untuk memperkaya kita, kurasa.” (hlm 112)


Negeri Para Roh adalah kisah tentang kelima kru acara Jejak Petualang Trans 7 (atau TV 7 ya?), dituturkan ulang dengan teknik dramatisasi ala novel serta diperkuat dengan riset pustaka maupun riset lapangan, menghasilkan sebuah karya perjalanan yang begitu mendalam. Rosi L Simamora menulis kisah ini berdasarkan wawancara langsung dengan Dody Johanjaya yang merupakan salah satu dari kru Jejak Petualang yang selamat dalam musibah tersebut.


“Kita semua adalah peristiwa yang terjadi kepada kita.” (hlm 163)


Tidak hanya tentang petualangan bertahan hidup, novel ini juga sedemikian kaya akan berbagai pengetahuan mengenai suku Asmat yang sangat legendaris tersebut: tentang asal-muasal mereka, tradisi dan mitos serta berbagai upacara mereka, serta—paling menarik—pandangan mereka tentang pengayauan atau perburuan manusia untuk kemudian dimakan (semacam kanibalisme). Tapi, kanibalisme di suku Asmat memiliki makna tradisi yang mendalam, dan buku ini mencoba menggambarkan kepada orang luar tentang tradisi pengayauan dari sudut pandang orang dalam. 


Selain data etnologis dan geografis yang melimpah, novel ini juga kaya akan kalimat-kalimat yang sangat ‘kutip-able’ terkait perjalanan, terkait cinta, terkait pulang, dan juga terkait kehidupan itu sendiri. Para pelaku yang mengalami kejadian nahas di Laut Arafuru ini mengalami perubahan total terhadap kehidupannya. Perjalanan ke dunia suku Asmat telah menjadikan sebagian mereka lebih dewasa, lebih lembut, lebih bersyukur, dan lebih memaafkan. Kepada para pembaca, semoga juga demikian. 


“Setiap perjalanan memang seperti sihir yang dapat mengubah siapa pun.” (hlm 28)


3 comments: