Search This Blog

Friday, December 18, 2015

The Girl on the Train

Pengarang: Paula Hawkins
Penerjemah: Inggrid  Nimpoeno
Penyunting: Rina Wulandari
Perancang sampul: Wida Sartika
ISBN:9786020989976
Halaman: 440
Cetakan: Pertama- Agustus 2015
Penerbit: Noura Books


26085996



Novel The Girl on Train sempat wira-riwi di linimasa dan goodreads beberapa pekan terakhir. Banyak pembaca yang memberikan ulasan positif, memyebutnya sebagai penerus kesuksesan The Gone Girl yang thriller kelam itu. Saya belum baca The Gone Girl (tepatnya sudah menyerah duluan karena bukunya yang tebal dengan font hemat) tapi sudah sedikit menonton filmnya. Ceritanya memang beda, semacam dark thriller tapi dengan latar rumah tangga dan dibumbui oleh kisah perselingkuhan. Kisah seperti ini mengagetkan pembaca sekaligus menyadarkan kita tentang borok-borok tersembunyi yang mungkin berlindung di balik sebuah foto sepasang suami istri yang terlihat harmonis. Kekelaman di balik keceriaan, sesuatu yang wajar adanya karena setiap manusia memang menyimpan kegelapannya masing-masing, hanya kadarnya saja yang berbeda. 

Rachel adalah seorang pelaju, yakni warga pinggiran London yang setiap hari naik kereta komuter untuk pergi pulang kerja. Rachel kebetulan sangat suka kereta, dan tentunya dia tidak keberatan setiap kali jadwal kereta mundur atau kereta berjalan melambat karena dia juga gemar mengamati kehidupan di pinggiran rel kereta. Ia suka menggamati rumah-rumah yang berjejer rapi di samping rel kereta, dengan para penghuni yang tengah sibuk mengerjakan kegiatan hariannya. Favoritnya adalah sebuah rumah dengan sepasang suami istri yang seolah telah tercipta sempurna: suami yang gagah dan bertanggung jawab serta istri yang jelita serta lembut budinya. Mungkin, Rachel iri kepada keduanya, karena dia sendiri gagal dalam rumah tangganya. Paling tidak, ada pasangan sempurna di luar sana. Rachel bahkan memberikan nama kepada keduanya: Jason dan Jess. Tapi, suatu hari, saat sedang naik kereta, Rachel melihat Jess tengah bermesraan di beranda belakang rumahnya, tapi tidak dengan Jason, melainkan dengan pria lain.

Tanpa disadarinya, kejadian ini merupakan awal dari rangkaian peristiwa tragis yang turut menyeret dirinya. Rachel sendiri—sayangnya—adalah seorang pecandu alcohol sehingga dia sendiri sering meragukan apa yang dilihatnya. Kebiasaan buruknya ini semakin parah setelah perceraiannya dengan sang suami, dan mencapai puncaknya ketika dia akhirnya dipecat dari pekerjaannya karena mabuk saat bekerja. Rachel pun depresi dan semakin larut dalam minuman kerasnya. Kondisi alkoholik ini akhirnya merugikan Rachel sendiri ketika dia seharusnya menjadi saksi kunci dari sebuah pembunuhan. Sayangnya, saat itu dia berada dalam kondisi mabuk sehingga dia tidak tahu dengan jelas siapa yang dilihatnya. Polisi yang sudah mengetahui riwayat kecanduan alkoholnya pun tidak mau mempercayai kesaksiannya, padahal dialah kunci yang akan mengungkap pelaku sesungguhnya. 

Semakin lama, Rachel makin menyadari pentingnya dirinya sebagai saksi atas peristiwa pembunuhan itu. Namun, kebiasaan minum alkoholnya telah menjadikan pikirannya buram da ingatannya kacau, segala kejadian berseliweran di kepalanya sehingga dia sampai melupakan satu fakta penting yang akan dapat mengungkap kasus tersebut. Sementara wanita itu berjuang melawan dorongan mengonsumsi alkoholnya, satu demi satu simpul telah terbuka, sang pembunuh ternyata si B, orang yang sama sekali tidak disangka oleh Rachel. Belum pernah sebelumnya Rachel menyadari bahwa orang-orang terdekatnya ternyata memiliki kaitan dengan peristiwa keji itu. Tidak tidak pernah bisa mengenal secara sempurna orang-orang, bahkan yang terdekat dengan kita. Novel ini membuktikannya. Dan, Rachel harus segera mengalahkan kecanduannya kalau tidak ingin menjadi korban selanjutnya.

Sebagai sebuah debut, buku ini memang luar biasa, enak dibaca dengan kalimat yang mengalir dan cerita yang bikin penasaran. Saya begitu tidak sabar membaca sampai ke halaman belakang untuk mengetahui siapa sebenarnya si pelaku. Tokoh sentral dalam novel ini juga tidak banyak, anggap saja ada Rachel, kemudian si Jason dan Jess, Tom dan Anna, serta Cathy yang adalah teman se-apartemen Rachel. Salah satu dari mereka adalah si pembunuh, karena itu penulis harus benar-benar lihai memelintir cerita agar pembaca tidak bosan. Dan, saya tidak bosan, selamat Anda berhasil, Mbak. Sayangnya, saya merasakan adanya semacam pengarahan agar pembaca mengira si pembunuh adalah si C, dan bukan si B. Dengan kata lain, penulis kelihatan banget mengiring pembaca agar pembaca mengira si C adalah pelakunya. Bagi pembaca akut yang sudah khatam dengan seri Agatha Christie (saya belum, btw) tentunya sudah bisa menebak bahwa C bukanlah si pelaku. Mereka bisa merasakan kalau penulis sedang menggiring para pembaca, dan penggiringan itu jelas banget bahkan bagi saya yang jarang baca novel detektif.
 Dalam cerita yang baik (di karya Agatha Christie misalnya—bandinginnya kejauhan ya wkwkwk) semua karakter bisa ‘termainkan’ dengan merata. Buku ini karakternya sedikit, sehingga harusnya penulis bisa membagikan peran secara merata, tapi beberapa karakter seperti si C seperti disia-siakan di penghujung kisah setelah dimanfaatkan habis-habisan di pertengahan untuk ‘menipu’ pembaca. 
Terus lagi, si Rachel ini di belakang ternyata memiliki kaitan dengan semua orang yang terlibat di buku ini, termasuk--maaf spoiler--rumahnya. Jika di masa lalu dia pernah ada di sana, kenapa kemudian dia lupa? Apakah kecanduan alkoholnya sedemikian parah sehingga dia lupa dengan masa lalunya? Padahal dia tidak amnesia, ok kalau alkohol memang dampaknya gawat pada otak tapi kalau sampai lupa parah kayak kasus Rachel ini, ya saya tidak tahu apa memang sedemikian parah efeknya. Tapi, saya tetap merasa si penulis kurang lihai dalam 'mengelabuhi' pembaca karena ujug-ujug saja seperti semua karakter bertalian di belakang. Entahlah, mungkin karena masih karya perdana sehingga belum muncul keluwesan yang biasanya datang seiring dengan banyaknya menulis kisah yang serupa.Kita nantikan saja karya hebat berikutnya dari si penulis.


5 comments:

  1. ooh... jadi ternyata si B ya pembunuhnya.... *kayak tahu aja si B siapa* :p
    ok masdi... siap-siap keluarin buku ini dari timbunan dan mulai dibaca. sebelumnya masih maju mundur malas mengingat si tokoh utama yg alkoholik dan rada2 gak sadar gitu... thx reviewnya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Huum si B ini kok ujug-ujug jadi si pelaku wkwkwk selamat membaca mbak Cyn

      Delete
  2. Saya suka pendapat Mas Dion tentang nasib si C. Hyakakakakakak... cian.
    Jangan bandingin sama Agatha. Cuba baca "4.50 dari Paddington" yang kasusnya sama-sama berawal dari penglihatan melalui kereta.
    Ikut bikin review nggak ea.
    :3

    ReplyDelete
  3. Pelakunya memang ketebak ya :D
    Setuju sama review ini.

    ReplyDelete