Penerjemah: Inggrid Nimpoeno
Penyunting: Rina Wulandari
Perancang sampul: Wida Sartika
ISBN:9786020989976
Halaman: 440
Cetakan: Pertama- Agustus 2015
Penerbit: Noura Books
Novel The Girl on Train sempat wira-riwi di linimasa dan goodreads
beberapa pekan terakhir. Banyak pembaca yang memberikan ulasan positif,
memyebutnya sebagai penerus kesuksesan The
Gone Girl yang thriller kelam itu. Saya belum baca The Gone Girl (tepatnya sudah menyerah duluan karena bukunya yang
tebal dengan font hemat) tapi sudah sedikit menonton filmnya. Ceritanya memang
beda, semacam dark thriller tapi
dengan latar rumah tangga dan dibumbui oleh kisah perselingkuhan. Kisah seperti
ini mengagetkan pembaca sekaligus menyadarkan kita tentang borok-borok
tersembunyi yang mungkin berlindung di balik sebuah foto sepasang suami istri
yang terlihat harmonis. Kekelaman di balik keceriaan, sesuatu yang wajar adanya
karena setiap manusia memang menyimpan kegelapannya masing-masing, hanya
kadarnya saja yang berbeda.
Rachel adalah seorang pelaju,
yakni warga pinggiran London yang setiap hari naik kereta komuter untuk pergi
pulang kerja. Rachel kebetulan sangat suka kereta, dan tentunya dia tidak
keberatan setiap kali jadwal kereta mundur atau kereta berjalan melambat karena
dia juga gemar mengamati kehidupan di pinggiran rel kereta. Ia suka menggamati
rumah-rumah yang berjejer rapi di samping rel kereta, dengan para penghuni yang
tengah sibuk mengerjakan kegiatan hariannya. Favoritnya adalah sebuah rumah
dengan sepasang suami istri yang seolah telah tercipta sempurna: suami yang
gagah dan bertanggung jawab serta istri yang jelita serta lembut budinya.
Mungkin, Rachel iri kepada keduanya, karena dia sendiri gagal dalam rumah
tangganya. Paling tidak, ada pasangan sempurna di luar sana. Rachel bahkan
memberikan nama kepada keduanya: Jason dan Jess. Tapi, suatu hari, saat sedang
naik kereta, Rachel melihat Jess tengah bermesraan di beranda belakang
rumahnya, tapi tidak dengan Jason, melainkan dengan pria lain.
Tanpa disadarinya, kejadian ini
merupakan awal dari rangkaian peristiwa tragis yang turut menyeret dirinya. Rachel
sendiri—sayangnya—adalah seorang pecandu alcohol sehingga dia sendiri sering
meragukan apa yang dilihatnya. Kebiasaan buruknya ini semakin parah setelah
perceraiannya dengan sang suami, dan mencapai puncaknya ketika dia akhirnya
dipecat dari pekerjaannya karena mabuk saat bekerja. Rachel pun depresi dan
semakin larut dalam minuman kerasnya. Kondisi alkoholik ini akhirnya merugikan
Rachel sendiri ketika dia seharusnya menjadi saksi kunci dari sebuah pembunuhan.
Sayangnya, saat itu dia berada dalam kondisi mabuk sehingga dia tidak tahu
dengan jelas siapa yang dilihatnya. Polisi yang sudah mengetahui riwayat
kecanduan alkoholnya pun tidak mau mempercayai kesaksiannya, padahal dialah
kunci yang akan mengungkap pelaku sesungguhnya.
Semakin lama, Rachel makin
menyadari pentingnya dirinya sebagai saksi atas peristiwa pembunuhan itu. Namun,
kebiasaan minum alkoholnya telah menjadikan pikirannya buram da ingatannya
kacau, segala kejadian berseliweran di kepalanya sehingga dia sampai melupakan
satu fakta penting yang akan dapat mengungkap kasus tersebut. Sementara wanita
itu berjuang melawan dorongan mengonsumsi alkoholnya, satu demi satu simpul
telah terbuka, sang pembunuh ternyata si B, orang yang sama sekali tidak
disangka oleh Rachel. Belum pernah sebelumnya Rachel menyadari bahwa
orang-orang terdekatnya ternyata memiliki kaitan dengan peristiwa keji itu.
Tidak tidak pernah bisa mengenal secara sempurna orang-orang, bahkan yang
terdekat dengan kita. Novel ini membuktikannya. Dan, Rachel harus segera
mengalahkan kecanduannya kalau tidak ingin menjadi korban selanjutnya.
Sebagai sebuah debut, buku ini
memang luar biasa, enak dibaca dengan kalimat yang mengalir dan cerita yang
bikin penasaran. Saya begitu tidak sabar membaca sampai ke halaman belakang
untuk mengetahui siapa sebenarnya si pelaku. Tokoh sentral dalam novel ini juga
tidak banyak, anggap saja ada Rachel, kemudian si Jason dan Jess, Tom dan Anna,
serta Cathy yang adalah teman se-apartemen Rachel. Salah satu dari mereka adalah
si pembunuh, karena itu penulis harus benar-benar lihai memelintir cerita agar
pembaca tidak bosan. Dan, saya tidak bosan, selamat Anda berhasil, Mbak.
Sayangnya, saya merasakan adanya semacam pengarahan agar pembaca mengira si
pembunuh adalah si C, dan bukan si B. Dengan kata lain, penulis kelihatan
banget mengiring pembaca agar pembaca mengira si C adalah pelakunya. Bagi
pembaca akut yang sudah khatam dengan seri Agatha Christie (saya belum, btw)
tentunya sudah bisa menebak bahwa C bukanlah si pelaku. Mereka bisa merasakan
kalau penulis sedang menggiring para pembaca, dan penggiringan itu jelas banget
bahkan bagi saya yang jarang baca novel detektif.
Dalam cerita yang baik (di karya
Agatha Christie misalnya—bandinginnya kejauhan ya wkwkwk) semua karakter bisa ‘termainkan’
dengan merata. Buku ini karakternya sedikit, sehingga harusnya penulis bisa
membagikan peran secara merata, tapi beberapa karakter seperti si C seperti
disia-siakan di penghujung kisah setelah dimanfaatkan habis-habisan di
pertengahan untuk ‘menipu’ pembaca.
Terus lagi, si Rachel ini di belakang ternyata memiliki kaitan dengan semua orang yang terlibat di buku ini, termasuk--maaf spoiler--rumahnya. Jika di masa lalu dia pernah ada di sana, kenapa kemudian dia lupa? Apakah kecanduan alkoholnya sedemikian parah sehingga dia lupa dengan masa lalunya? Padahal dia tidak amnesia, ok kalau alkohol memang dampaknya gawat pada otak tapi kalau sampai lupa parah kayak kasus Rachel ini, ya saya tidak tahu apa memang sedemikian parah efeknya. Tapi, saya tetap merasa si penulis kurang lihai dalam 'mengelabuhi' pembaca karena ujug-ujug saja seperti semua karakter bertalian di belakang. Entahlah, mungkin karena masih karya
perdana sehingga belum muncul keluwesan yang biasanya datang seiring dengan
banyaknya menulis kisah yang serupa.Kita nantikan saja karya hebat berikutnya dari si penulis.
ooh... jadi ternyata si B ya pembunuhnya.... *kayak tahu aja si B siapa* :p
ReplyDeleteok masdi... siap-siap keluarin buku ini dari timbunan dan mulai dibaca. sebelumnya masih maju mundur malas mengingat si tokoh utama yg alkoholik dan rada2 gak sadar gitu... thx reviewnya.
Huum si B ini kok ujug-ujug jadi si pelaku wkwkwk selamat membaca mbak Cyn
DeleteSaya suka pendapat Mas Dion tentang nasib si C. Hyakakakakakak... cian.
ReplyDeleteJangan bandingin sama Agatha. Cuba baca "4.50 dari Paddington" yang kasusnya sama-sama berawal dari penglihatan melalui kereta.
Ikut bikin review nggak ea.
:3
Pelakunya memang ketebak ya :D
ReplyDeleteSetuju sama review ini.
bape hoodie
ReplyDeletekd 11
lebron 14
goyard handbags
kobe shoes
yeezy
adidas superstar
balenciaga speed trainer
yeezy 500 blush
supreme new york
xiaofang20191213