Judul : Winnetou, the Wild West Journey
Pengarang : Karl May
Alih Bahasa : Melody Violine
Cetakan : pertama, Oktober 2013
Halaman : 348 hlm
Penerbit : Visi Media
Winnetou adalah paruh kedua dari buku Winnetou 1 karangan penulis Jerman termasyhur Karl May. Jika dalam
buku pertama, Old Shatterhand¸ pembaca
diajak untuk mengenal lebih dekat tentang Charlie atau Old Shatterhand dan
awal petualangannya di Wild West, maka
di buku ini kita akan diajak mengenal lebih dekat Winnetou. Secara prinsipil,
buku kedua ini tidak jauh berbeda dari buku pertama, yakni sama serunya. Kisah
masih didominasi oleh petualangan Old Shatterhand di Wild West yang diwarnai
dengan perjalanan di alam liar, mencari dan melacak jejak, berburu, dan adegan
tembak-tembakan. Yang membedakan, di buku kedua ini kita akan belajar lebih
banyak tentang suku India Apache dan ritual mereka. Dari pertama, penulis sudah
mengajak pembaca untuk mengunjungi perkampungan Indian di Pueblo di dekat Rio Pecos, mendatangi rumah-rumah mereka yang
dibangun di bahwa ceruk tebing, hingga menyaksikan beragam ritual tradisional
khas suku Indian. Semua digambarkan dengan begitu luwes dan deskriptif,
seolah-olah pembaca diajak bertamasya ke perkampungan suku Indian.
“Keberanian adalah sifat yang selalu
dihargai dan diakui oleh Indian, bahkan walaupun musuh mereka yang
menunjukkannya. “ (hlm 39)
Menyambung
buku sebelumnya ketika Old Shatterhand ditangkap oleh Winnetou dan sukunya,
cerita dimulai di pueblo suku Indian
Apache. Dalam keadaan terluka, Old Shatterhand harus tetap bisa berpikir tenang
agar bisa lepas dari kesalahpahaman dengan suku Apache ini. Bersama Sam, Dick, mereka
menjadi tawanan oleh orang-orang yang justru telah mereka selamatkan. Namun,
pada saat-saat genting seperti inilah, Old Shatterhand membuktikan kembali
ungkapan bahwa ketenangan dan pikiran yang dingin sering kali adalah senjata
yang paling ampuh. Ia masih menyimpan kartu terakhirnya (rambut Winnetou yang
ia potong saat menyelamatkannya) dan ia tahu semua kesalahpahaman ini akan
diluruskan pada waktu yang tepat, yakni menjelang saat penghukuman mereka oleh
suku Indian Apache. Ia memang seorang “tanduk hijau” (orang yang belum
berpengalaman), tetapi ia banyak membaca buku dan ia jadi tahu banyak hal dari
situ, termasuk taktik meloloskan diri.
“Aku tahu itu Sam. Aku juga tahu bahwa dalam
beberapa situasi, setitik kecerdikan lebih berguna daripada sekuali kekuatan.”
(hlm 50)
Petualangan
datang susul-menyusul dalam Winnetou 2. Ketika
hari penghakiman tiba, Old Shatterhand kembali menunjukkan kecerdikan dan
ketangkasannya. Sulit dipercaya, seorang Jerman yang tidak berpengalaman
sepertinya bisa mengalahkan Kepala Suku Apache nan legendaris. Dalam hal ini,
ia tidak menggunakan kekuatan otot, tetapi otak. Strategi dan kecerdikkan
adalah kekuatan utama, yang ditambah dengan ketangkasan badan dan keterampilan
bela diri. Semuanya ada dalam dirinya, Lepas dari hukuman, Old Shatterhand
akhirnya menceritakan apa yang terjadi, dan Winnetou yang merasa berutang budi
kemudian mengangkatnya sebagai saudara. Keadaan berbalik menjadi membaik, dan
persahabatan legendaris antara WInnetou Sang Kepala Suku Apache dengan Charlie
Old Shatterhand dari Jerman pun dimulai. Sebuah ikatan persahabatan yang kelak
akan memunculkan berbagai petualangan paling hebat yang pernah dikisahkan di
Wild West.
“Tidak ada orang yang pantas berpikir mereka lebih baik daripada orang
lain hanya karena warna kulit mereka berbeda.” (hlm 112)
Jika di
buku Old Shatterhand pembaca dibuat
gemes oleh kejahatan Rattler, di buku ini muncul penjahat lain yang lebih keji.
Kejahatan yang dilakukannya begitu tak terbayangkan hingga akan mengubah
kehidupan Winnetou maupun Old Shatterhand. Kelincahan penulis dalam mencipta
karakter-karakter jahat dalam serial ini benar-benar membuat pembaca gemes.
Karl May mampu menulis sosok-sosok yang langsung mudah dicintai atau langsung
mudah dibenci sejak dari awal cerita, sehingga pembaca tidak dibuat bingung dan
waswas oleh perubahan karakter yang mendadak. Uniknya, semua penjahat keji digambarkan
berasal dari muka pucat (orang kulit putih) seolah ia hendak menyindir
penjajahan orang kulit putih terhadap orang Indian di Amerika. Banyak
ucapan-ucapan para suku Indian dalam buku ini yang niscaya menyentil peradaban
kulit putih.
“Itulah kata semua muka pucat. Mereka mengaku
sebagai orang Kristen, tapi tidak berprilaku sesuai dengan ajaran Kristen.
Tapi, kami memiliki Manitou agung yang ingin semua manusia berbuat baik. Aku
berusaha berbuat baik, mungkin aku seorang Kristen, mungkin aku seorang
Kristiani yang lebih baik daripada orang-orang yang mengaku sebagai pemeluk
Kristen, tapi tidak menunjukkan kasih dan hanya mengejar keuntungan bagi diri
sendiri.” (hlm 129)
Pembaca akan disuguhi oleh
suasana kehidupan suku Indian Amerika pada abad ke-18. Semua digambarkan dengan
detail yang indah dan menawan oleh Karl May. Detail seperti ini tidak bisa
didapatkan kecuali si penulis pernah mengunjungi langsung pueblo di Wild West atau penulis membacanya dari buku-buku atau
catatan perjalanan. Karl May sama sekali belum pernah ke Wild West, jadi
kemungkinan ia mendapatkan deskripsinya dari buku-buku geografi yang ia baca. Sampai
sekarang saya masih berpikir bagaimana bisa buku sedetail ini ditulis oleh
seseorang yang belum pernah sekalipun menginjakkan kakinya di Wild West saat
dia menulis novel ini.
Satu pertanyaan dalam novel ini,
penulis sepertinya terlalu mengagung-agungkan sosok Old Shatterhand. Hampir
tidak ada yang kurang dari sosok ini: masih muda, cerdas luar biasa, memiliki
pikiran yang dingin, badannya kuat dan tangkas, jago menembak dan berenang,
plus umat Kristen yang taat. Keberuntungan juga selalu menaunginya. Hal-hal
yang klise seperti ini biasanya membuat pembaca bosan, tetapi dalam buku ini
anehnya tidak. Saya senang-senang saja melihat penggambaran Old Shatterhand sebagai
sosok nan sempurna karena sudah telanjur jatuh cinta pada alur ceritanya yang
seru.
“Namun, apakah berbicara itu perlu? Bukankah perbuatan adalah ajakan
yang jauh lebih kuat daripada kata-kata? (hlm 129)
Dari Old Shatterhand, kita
belajar tentang pentingnya membaca buku. Dalam cerita ini, penulis berulang
kali menekankan bahwa si Tanduk Hijau belajar semuanya dari buku, dan nyatanya
ia berhasil dan selamat. Membaca dan mengamati adalah dua hal yang wajib
dilakukan ketika seseorang hendak mencoba terjun dalam sesuatu yang baru.
Dengan bekal ini, otak akan otomatis berimprovisasi dan mengeluarkan ide-ide
cemerlang, sebagaimana yang dialami sendiri oleh Old Shatterhand.
Jika Anda menginginkan
petualangan ala koboi di Wild West, bacalah buku ini. Anda tidak hanya
mendapatkan sebuah kisah hebat tentang tembak-tembakan, tapi juga sebuah kisah
yang sarat petualangan, pembelajaran moral, ungkapan-ungkapan bijak, dan
karakter-karakter terhebat yang pernah menghidupkan kawasan Barat Liar atau
Wild West di Amerika Serikat.
gimana dapatkan buku ini, mohon dishare
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDelete