Search This Blog

Wednesday, December 7, 2016

Borobudur, Monumen Terindah di Belahan Bumi Selatan

Judul: Borobudur, Warisan Umat Manusia
Penulis: Daoed Joesoef
Tebal: 176 hlm
Cetakan: 1, 2015
Penerbit: Buku Kompas

18779624

Kadang, saya ini yang dibaca buku apa yang diulas buku apa. Malah bukan buku utamanya yang diulas, tetapi buku lain yang serupa sebagi bentuk bantahan atau perbandingan dari buku yang dibaca. Terkait buku Borobudur, pasti sudah tahu kan buku Borobudur yang bestseller itu. Buku yang mendapat bintang empat di Goodreads itu sedemikian wownya (dalam artian 'halowwwww') jadi pengennya gemes aja nulis ulasan buku tandingan. Apa yang dibawa oleh penulis buku Borobudur yang itu bisa jadi benar, bisa juga keliru. Hanya Tuhan yang tahu. Tetapi, dalam dunia ilmu pengetahuan, bahwa perdebatan dan kontroversi adalah sesuatu yang lumrah. Temuan baru diperbarui oleh temuan lain yang lebih baru, bukan untuk saling meniadakan tetapi saling melengkapi sehingga semakin sempurna ranah ilmu pengetahuan yang dikumpulkan. Ada pun mengajukan sebuah hipotesis juga sah-sah saja, terlebih dalam bidang sejarah yang bukti-buktinya mungkin telah hilang di masa lampau. Namun, beda kasusnya kalau hipotesis diajukan dengan asal terjang saja tanpa memerdulikan berpuluh tahun bahkan ratusan tahun upaya restorasi sebuah monumen akbar yang melibatkan banyak ahli dari dalam dan luar negeri. Semua penelitian dan kerja besar para arkeolog dan ilmuwan seolah sia-sia sahaja hanya karena sebuah hipotesis dari satu orang penulis (entah peneliti entah bukan) yang beranggapan bahwa pendapatnya tentang Borobudur adalah yang paling benar, pokoknya yang lain salah semua. Daripada ribut mulu baca buku begituan, mending baca buku ini aja.

Sketsa Borobudur pada era penjajahan Belanda (static1.bigstockphoto.com)
Dalam hal menanggapi seorang penulis dan para pemujanya yang sudah sedemikian yakin benar dengan pendapatnya, yang sama sekali tidak mau sedikit pun membuka jalan pada sedikit pun kemungkinan bahwa ada kekurangan kecil dalam hipotesisnya,  tidak ada jalan lain yang lebih elok menghadapi yang seperti ini selain menanggapinya dengan menulis ulasan dari buku lain yang (menurut saya) lebih berbobot. Buku Borobudur ini salah satunya. Penulis buku ini, Daoed Joesoef, adalah ahli yang turut menyaksikan proses restorasi Borobudur selama sepuluh tahun. Dimulai pada 10 Agustus 1973, Candi Borobudur dipugar besar-besaran di bawah pengawasan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Pemugaran akbar ini juga mendapat dukungan dari UNESCO walaupun Indonesia tetap menanggung sebagian terbesar dari biaya pemugaran monumen Buddhis kuno ini. Penulis yang kemudian diangkat menjadi Menkendikbud tahun 1978 ini turut menyempatkan melihat langsung proses pemugaran Borobudur, mulai dari pelepasan dan pemasangan ulang panel-panel pada dindingnya, hingga rehabilitasi stupa-stupa candi. Sepuluh tahun setelah pemugaran, Borobudur akhirnya kembali pada kecantikan aslinya, meskipun beberapa bagian yang hilang memerlukan penambalan.

Secara penyusunan, buku ini mengingatkan kita pada buku-buku teks dari era Orde Baru yang didominasi oleh tulisan dan sangat minim gambar. Kalimatnya cenderung 'berat' dalam segi muatan, namun masih enak dinikmati pembaca awam. Membaca buku ini seperti melemparkan saya kembali ke masa-masa meminjam buku di perpustakaan sekolah. Jenis buku keilmuan yang memang diterbitkan untuk menyampaikan aneka ilmu pengetahuan ketimbang sebagai sebuah bacaan hiburan. Ini bisa dilihat pada pembuatan judul untuk tiap paragraf yang kaku banget, kayak sebuah buku teks pelajaran. Bab . misalnya berjudul 'Nama Candi', bab 2 judulnya 'Keadaan Candi," dan bab-bab berikutnya diwarnai dengan judul yang bentuknya nyaris seragam (Nilai Arkeologis, Nilai Historis, Nilai Spiritual, Nilai Budaya, dan seterusnya). Pembaca buku fiksi mungkin cepat bosan, tapi bagi para penggemar bacaan sejarah, buku ini adalah harta karun. Penulisannya yang jadul malah semakin memunculkan efek nostalgia. Plus, penulisan buku ini pun terkesan sangat serius dan tidak main-main. Penulisnya benar-benar memiliki kompetensi serta pengalaman nyata terkait interaksinya dengan Borobudur.

Jika dibandingkan dengan gaya penulisan sejarah yang lebih kekinian ala Penerbit Komunitas Bambu (dengan judul dan sampul yang eyecacthing plus foto-foto lama), buku ini jelas kalah. Tetapi, isinya dijamin tidak kalah lengkapnya. Pembagian bab yang didasarkan pada nilai-nilai khusus Borobudur membuat buku ini terasa resmi tetapi sekaligus sangat berisi. Pembaca jadi mudah memahami Borobudur dari berbagai aspeknya, mulai dari aspek historis (sejarah pembangunan), arkeologis (nilai penting relik-relik pada bangunan candi), hingga nilai spiritualnya. Dalam teks-teks padat ini, akan kita temukan pelbagai hal menakjubkan seputar candi yang konon merupakan The most beautiful monument on the southern hemisphere (monumen paling indah di belahan bumi selatan) ini. Di antaranya, tentang pendapat bahwa Borobudur pernah memiliki semacam payung yang menutupi stupa puncaknya. Para ahli sampai sekarang belum bisa mereproduksi bagaimana bentuk formasi payung ini, sehingga puncak candi dibiarkan terbuka seperti saat ini.

Struktur 'payung' yang konon pernah menaungi stupa utama Borobudur (luk.staff.ugm.ac.id)

Dalam salah satu edisi majalah National Geographic, saya pernah juga membaca bentuk asli Borobudur yang konon dulu dikelilingi oleh semacam danau. Pembangunan candi ini, yang memiliki pola konsentris, memang terlihat seperti kelopak bunga teratai yang tengah mekar di atas air jika dilihat dari atas. Para ahli juga menemukan bahwa nama-nama desa-desa di sekitar Borobudur memiliki makna-makna yang berkaitan dengan air. Jadi, mungkinkah Borobudur dulu memang terletak di tengah-tengah danau? Seandainya benar demikian, pasti luar biasa hebat para pembangun yang awal. Info lain yang juga diungkap buku ini diantara tentang misteri the unfinished Buddha of Borobudur. Saat pemugaran, ada satu arca Budhha yang para ahli tidak tahu harus meletakkan di bagian mana arca tersebut. Setelah diamati, arca itu juga belum sempurna dibuat sehingga banyak yang berpendapat bahwa itu adalah arca yang gagal dalam proses pembuatan. Tapi, ada pula pendapat bahwa arca tak sempurna itu sebenarnya adalah arca yang dulu mengisi stupa utama. Entah pendapat mana yang benar, semoga kelak ada arkeolog dan ahli sejarah kita yang bisa menjawabnya.

Struktur penampang Candi Borobudur (kumpulanmisteri.com)

Membahas Borobudur belum lengkap kalau kita belum mengupas tentang tingkatan-tingkatan di dalamnya. Seperti kita ketahui, candi ini tersusun atas beberapa bagian berisi panel-panel dinding yang bercerita. Buku ini mengupas lengkap apa saja isi dari panel Karmawibhangga, Lalitawistara, dan Jatada dan Awadana di Borobudur, termasuk misteri panel-panel di kaki candi yang sengaja ditutup karena berisi panel-panel yang menampilkan adegan-adegan berbau pornografi. Ternyata tidak demikian, panel-panel terbawah ini sengaja 'dikorbankan' dengan cara ditutup dengan pondasi batu sebagai upaya agar struktur bangunan candi tidak longsor ke bawah akibat menahan bobot batuan di atasnya. Panel-panel yang disembunyikan ini ternyata tidak melulu menggambarkan adegan-adegan agak saru, tetapi juga tentang keseharian kehidupan manusia pada umumnya, seperti bercocok tanam dan perbuatan-perbuatan yang terpuji. Sayang sekali, bagian kaki candi yang asli ini harus ditutup untuk menjaga keutuhan candi. Sungguh sedih ketika pada tahun 1985, beberapa stupa di candi megah ini diledakkan oleh sekelompok kaum ekstremis-fanatik dengan alasan Borobudur sebagai sebuah berhala raksasa. Lucu kiranya kalau puluhan tahun setelahnya, ada buku laris yang menyebut berhala ini sebagai peninggalan dari era Nabi Sulaiman. Hanya Allah Swt. sebenar-benarnya pemilik jawaban.



No comments:

Post a Comment