Pengarang: Aditya Mulya
Tebal: 340 hlm
Cetakan: Kedua, 2016
Penerbit: Gagas Media
Saya selalu suka membaca buku sejarah, apalagi jika ada novel yang mengunakan satu babakan peristiwa dalam sejarah tempo dulu di nusantara sebagai setting waktunya. Salah satunya yang paling baru adalah Raden Mandasia si Pencuri Daging Sapi yang walau linimasa sejarahnya agak campur baur, tapi entah bagaimana kok tetap asyik diikuti. Novel Bajak Laut dan Purnama Terakhir ini juga menggunakan latar sejarah sebagai settingnya, yakni sekitar abad 17 atau 18 masehi. Kala itu, lautan nusantara memang masih dikuasai oleh para bajak laut yang berbasis di pulau yang kini bernama Singapura. Mereka ini menjadi duri dalam daging bagi pemerintah VOC karena sering merompak kapal dagang perusahaan. Nah, salah satu diantara bajak laut yang bersliwearn di nusantara kala itu adalah kelompok Kerapu Merah. Namanya memang lebih mengingatkan kita pada nama rumah makan seafood, dan ternyata pemimpin gerombolan ini memang sama manjurnya dengan hidangan laut: sama-sama bikin darah tinggi wkwkwk.
Kerapu Merah dipimpin oleh Jaka Kelana, seorang pemuda
berusia 30 tahunan yang lebih sering memuji dirinya sendiri ketimbang merompak
kapal dagang. Menurutnya, dia adalah seorang visioner dengan pemikiran yang
melampui zamannya (misalnya saja, dia sudah tahu kue cucur padahal di
abadke-17, kue ini belum ditemukan). Sementara anak buahnya berpendapat kalau pimpinannya
adalah orang yang paling tepat untuk diabaikan saja. Loh, ini buku sejarah apa
buku humor? Saya sebenarnya bingung mengelompokkan novel ini sebagai jenis ini.
Soalnya, sejarahnya ada (walau ada banyak bagian yang direka-reka sendiri oleh
penulisnya), ada naganya juga (yes, you
heard me right, there is a dragon in thisss book. Imagine!), dan humor yang
menjurus ke pisuh memisuh juga
banyak. Campur aduk gini malah jatuhnya
bikin salah fokus. Awalnya, pembaca diajak mundur ratusan tahun lampau ke
nusantara yang masih dikuasai VOC, lalu tiba-tiba ada perompak koplak yang minta
ditimpuk. Saya memutuskan untuk menikmati jalan ceritanya saja ketimbang
ceriwis.
Selain kekocakan khas Aditya Mulya, hal
asyik lain dari novel ini ada pada cara si penulis menfiksikan sejarah. Satu
babakan dalam sejarah Majapahit dituliskan ulang dengan versi rekaannya
sendiri. Rekaan ini kemudian dipaskan dengan tarikh sejarah yang kita kenal
sehingga menjadi semacam cocoklogi yang enak dinikmati. Konon, salah satu sebab berjayanya Majapahit
tidak bisa dilepaskan dari keberadaan 9 orang istimewa yang disebut para arya. Merekalah yang setia mendampingi
Raden Wijaya dalam perjuangannya mendirikan Majapahit. Penulis mereka ulang
sejarah gelap Majapahit ini dengan menyebut sepuluh pusaka yang membantu Raden Wijaya
naik takhta dan memenangkan hampir seluruh kepulauan nusantara. Bagian
pusakanya agak-agak fantasi sih, tapi sosok-sosok arya itu benar-benar adalah para tokoh nyata dalam sejarah. Patih
Nambi, Lembu Sora, dan tokoh-tokoh lain yang biasanya kita dengarkan sambil
lalu dalam pelajaran sejarah dimunculkan ulang dalam karakter-karakter yang
kuat. Kualitas ini yang mungkin bikin banyak pembaca bisa belajar sejarah
secara lebih menyenangkan.
Banyak informasi untuk yang bisa kita dapatkan dari novel
ini, di antaranya asal muasal dari sejumlah kata yang masih kita gunakan hari
ini, semisal preman dan KUTANG. Dalam catatan kaki yang diberikan penulis,
pembaca juga bisa mendapatkan informasi-informasi ringkas namun penting dalam
sejarah nusantara. Walau semakin ke belakang, catatan kaki yang muncul lebih
sering bikin ngakak ketimbang bikin paham sejarah. Walau ada embel-embel “Sebuah
Komedi Sejarah” pada judul novel ini, nuansa fantasi dan sejarah lebih sering
hadir. Keberadaan Jaka Kelana lebih sebagai selingan ketika ceritanya menjadi
terlampau serius sejarah atau terlalu kental fantasinya. Saya juga agak merasa
keberadaan Jaka Kelana cs ini digunakan sebagai penambal sejumlah bolong logika
yang beberapa kali bertebaran di buku ini. Misalnya saja, ada adegan ketika
kapal tercepat milik VOC yang dilengkapi meriam dan layar raksasa ternyata
tidak mampu mengejar kapal phinisi yang ditunggangi Jaka cs. Juga, adegan pembobolan kraton Mataram yang
kayaknya receh banget. Tapi, sekali lagi, ini kan komedi sejarah. Jadi, lebih
baik kita nikmati saja humornya
ketimbang pusing mikirin kurangnya.
No comments:
Post a Comment