Search This Blog

Showing posts with label horor Indonesia. Show all posts
Showing posts with label horor Indonesia. Show all posts

Wednesday, September 9, 2020

Terkutuk dan Kisah-Kisah Mengerikan Lainnya

Judul: Terkutuk dan Kisah-Kisah Mengerikan Lainnya
Penulis: Yudhi Herwibowo
Penyunting: Fidyastria Saspida
Desain sampul: Erson
ISBN: 9786230016486
Halaman: 156
Cetakan: Pertama-Juli 2020
Penerbit: PT Elex Media Komputindo

 54782530

Seperti saran populer, saya membaca buku ini pada malam hari. Dimulai selepas magrib, lalu dilanjutkan lagi saat nglilir bangun tengah malam jam 2 dini hari. Sensasinya memang lebih ngena kalau baca kisah-kisah horor di malam hari. Apalagi, ini kisah horor yang Indonesia banget. Horor yang tipe cerpen koran, bukan horor mesum murahan dan kadang jatuhnya malah jadi jenaka. Horor model nyastra gini kadang efeknya lebih mengerikan karena seringkali berangkat dari fenomena sosial nyata di masyarakat dan memiliki misteri yang berlapis-lapis. Bahkan pembaca kadang harus menemukan akhir kisah sesuai pembacaannya sendiri.

Terkutuk adalah kumpulan cerita pendek karya Mas Yudhi Herwibowo. Beliau ini salah satu penulis favorit saya, penulis pertama yang saya benar-benar bisa ngobrol langsung dengan beliau secara sangat menyenangkan dan egaliter dan bahkan saya pernah dibonceng dianter ke stasiun sama beliaunya. Kekaguman saya terutama pada luasnya rentang genre yang bisa ditulis mas Yudhi. Saya sudah pernah membaca tulisan humor asoi geboinya, lalu roman-roman berlatar dunia kuliah, dan yang paling saya nantikan adalah fiksi-fiksi sejarah yang begitu produktif terlahir dari jemarinya (Halaman Terakhir dan Sang Penggesek Biola masih jadi favorit). Kali ini, gimana kalau mas Yudhi menulis genre seram?

Ternyata genre ini pun berhasil dieksekusi dengan luar biasa lincah olehnya. Menengok sekilas ke halaman belakang, 9 dari 15 cerita pendek di buku ini pernah diterbitkan di sejumlah media cetak ternama seperti Koran Tempo, Horison, dan bahkan The Jakarta Post. Jadi bicara tentang kualitas tentu tidak perlu lagi. Kita sudah yakin deh kisah -kisah di buku ini jaminan mutu. Tidak perlu diragukan lagi: ceritanya sangat mengalir sampai saya lupa kalau sedang membaca buku. Tahu-tahu lembaran terakhir tiba dan meninggalkan pembaca dengan asupan belasan kisah baru yang menambah pengetahuan, penghiburan, dan pelepasan sejenak dari ingar bingar seramnya kasus virus Korona.

Ketakutan itu ada dan nyata adanya. Bahkan ketakutan juga telah membantu manusia bertahan dari berbuat merugikan. Kisah tentang pintu di buku ini menjadi gambaran tentang ketakutan manusia yang sejatinya didasari oleh ketidaktahuannya. Kita tidak pernah tahu apa yang ada di balik pintu kecuali setelah kita membukanya. Dan apa yang belum kita ketahui sering kita takuti. Untuk kasus kisah horor, kadang mencoba-coba adalah berbahaya dan lebih baik menghindarinya. Ini digambarkan dengan bagus sekali oleh dua cerpen dengan judul pintu di buku ini. Kita tidak pernah tahu apa yang menanti di baliknya: apakah sebuah lorong hitam yang panjang ataukan tanah terbengkalai dengan gundukan gundukan tanah yang masih tampak jelas meskipun sudah ditumbuhi rerumputan liar.

Kadang, cerita horor digunakan penulis untuk menjelaskan kegalauan penulis akan ketidakadilan sejarah yang menimpa orang-orang tidak bersalah. Juga, cerita macam ini sangat ampuh mengkritik sejumlah keluputan sosial yang berlangsung di masyarakat. Cerita Kasus, Anjing-anjing Pulau Merah, Suanggi, dan Asu Baung kental sekali dengan maksud ini. Lebih menarik lagi, kisah horor digunakan untuk menelanjangi kebobrokan dalam diri manusia. Bahwa di balik selubung topeng sikap dan rutinitas keseharian, pada dasarnya setiap kita adalah manusia yang memiliki sisi gelapnya. Tidak ada yang lebih menakutkan ketimbang ketika sisi gelap dalam diri terbuka dan diketahui oleh orang lainnya. Ini digambarkan dengan bagus sekali di kisah Setelah Tahun Baru.

Kadar seram buku ini menurut pendapat saya ada pada elemen lokalnya yang Indonesia banget. Bahkan dalam Suanggi, kesan horor ala Papua turut dipersembahkan kepada pembaca. Elemen standar kisah horor lokal seperti hutan terlarang, pesugihan, makam yang tak terawat, pohon tua, anjing misterius, alih rupa, pemerkosaan, pelacuran, sedikit peristiwa politik, perang, dan masa lalu tetap bisa kita temukan. Kemudian, masih ditambah elemen ending atau akhir cerita yang menggantung atau dibuat agak-agak misterius. Khas kisah sastra ketika pembaca diajak untuk menemukan sendiri tafsirnya atas sebuah cerita. Dan hasil pembacaan mungkin bisa berbeda-beda tetapi itu tidak mengapa.

Buku Terkutuk ini disarankan untuk pecinta kisah horor lokal, terutama kisah yang digarap dengan tidak murahan. Membacanya di malam hari tidak semata menimbulkan efek seram yang bikin buku kudu merinding, tetapi juga mengajak pembaca meninjau dirinya secara lebih dalam untuk merenungkan segala sifat gelap dalam diri kita. Pun sebagai sebuah bacaan hiburan, kumpulan cerpen ini sudah sangat memuaskan.

 

Thursday, January 28, 2016

Alias

Judul: Alias
Pengarang: Ruwi Meita
Editor: Mahir Pradana
Proofread: Dewi Fita
Sampul: Dwi Anissa A
Cetakan: 1, 2016
Tebal: 236 hlm
Penerbit: Rak Buku



"Saat seseorang mengikatkan diri dalam dendam, tidak ada yang namanya selesai. Sebab dendam adalah kemarahan yang tak pernah padam. Kamu melihat awalnya tapi tak bisa melihat akhirnya." (hlm. 277)

Awal-awal ketika Alias ramai dibicarakan akan terbitnya, saya mengira ini akan menjadi sekuel dari Misteri Patung Garam, atau paling tidak sama jenisnya dengan novel bestseller mbak Ruwi itu. Ternyata, Alias adalah sebuah kisah baru dengan tokoh-tokoh yang juga baru. Tidak hanya itu, novel ini adalah novel horor dengan elemen supranatural di dalamnya. Meskipun jauh berbeda, Alias saya rasa tetap mempertahankan ciri khas dari penulis, yakni pada petunjuk-petunjuk yang bertebaran di sepanjang cerita (bukan semata di akhir cerita) sehingga ketika mendekati ending akan terasa benar-benar betapa penulis pasti sudah bekerja keras dalam menyusun skema alur serumit ini.

"Hubungan itu bertahan lama bisa terjadi karena dua hal, pertama karena kebutuhan dan yang kedua karena ketergantungan." (hlm. 57)

Novel ini berkisah tentang seorang novelis bernama Jeruk Marsala. Gadis ini adalah seorang penulis novel romansa yang populer, namun memiliki keinginan terpendam untuk menulis novel horor. Sayangnya, penerbitnya yang lama tidak mengizinkannya berganti genre karena takut mereka akan kehilangan pembaca setia novel-novel Jeruk. Maka, diam-diam Jeruk pun menggunakan nama alias agar dirinya tidak ketahuan. Nama Rinai dipilihnya, tepatnya dipilihkan untuknya oleh sebuah liontin tua milik neneknya. Dengan nama itulah, Jeruk seperti menemukan kebebasan dan haknya dalam menulis novel-novel horor. Entah bagaimana, cerita itu mengalir begitu derasnya ketika Jeruk tengah menulis sebagai Rinai.
Siapa sangka, novel-novel horor karya Rinai (alias Jeruk) meledak di pasaran. Pembaca sangat menyukainya. Awalnya, Jeruk sangat bangga dengan popularitas ganda ini. Sebagaimana JK Rowling yang menggunakan nama alias Robert Galbraith untuk menulis novel detektifnya, Jeruk berhasil. Tidak ada yang tahu bahwa Jeruk adalah RInai, hanya Darla—sahabatnya sejak kecil—yang mengetahui siapa sebenarnya Rinai. Semua korespondensi kepada dan dari Rinai diwakili oleh Darla. Pembaca pun turut bersorak dengan hadirnya penulis horor baru ini, sampai-sampai di dunia maya terjadi heboh perseteruan antara penggemar karya-karya Jeruk dan Rinai. Jeruk Marsala hanya bisa bersorak di dalam hati. 

"... seharusnya penulis  itu mau menerima karyanya dari sudut pandang  orang lain agar karyanya menjadi lebih matang dan dewasa. Saat seorang penulis hanya menggunakan satu sudut pandang dalam menulis, dia tidak bisa menilai karyanya dari berbagai arah." (hlm. 92)

Tapi, setiap ketenaran selalu ada harganya. Jeruk tetap menulis novel ketiganya sebagai Rinai, sampai akhirnya dia sadar, ada harga untuk nama alias yang dipilihnya. Dari kabar dan berita, Jeruk mengetahui kalau telah terjadi sejumlah pembunuhan dengan pola yang sama persis dengan adegan yang ada di novel-novel yang telah ditulisnya dengan nama pena Rinai. Awalnya, Jeruk menganggapnya semacam kebetulan, tetapi korban terus berjatuhan, satu per satu, tepat seperti yang ditulis Rinai. Kedatangan seorang cowok misterius bernama Eru malah semakin membuat dirinya bingung. Tapi, dari Eru lah Jeruk mulai menyadari ada sesuatu yang keliru tentang Rinai. Aliasnya itu seperti bisa melakukan hal-hal sebagaimana yang tertulis dalam novelnya.

"Hei, tidak ada ide yang baru. Kebaruan itu hanyalah sesuatu yang tidak kita ketahui." (hlm. 104)

Jeruk tidak bisa berdiam diri, apalagi kini Rinai mulai mengancam orang-orang terdekatnya, mulai dari Alan, pacarnya hingga Darla. Bersama Eru, keduanya bergegas melakukan penyelidikan tentang siapa Rinai sebenarnya, juga tentang liontin keramat berisi foto seorang gadis bernama Rinai. Mendekati akhir kisah, satu demi satu fakta dan petunjuk mulai terungkap. Tetapi, Eru dan Jeruk harus bergegas karena sosok Rinai semakin kuat dan keji, dan korban terus berjatuhan. Siapa Rinai sebenarnya? Bagaimana caranya melakukan pembunuhan-pembunuhan itu? Dan, apakah sebenarnya peran Jeruk dalam aksi sang makhluk gelap ini? 

"Penampilan memang bisa menipu." (hlm. 25)

Alias benar-benar buku yang susah dilepas sebelum sampai ke halaman belakang, cara penulis membangun  ketegangan sungguh layak diacungi jempol, pembaca seperti dibuat penasaran sepanjang cerita, sebelum kemudian disodori kejutan demi kejutan yang membuat Alias semakin seru. Tambahan bumbu mistis dalam buku ini sebenarnya bisa menjadi penyegar yang cantik kalau saja tidak ada bolong-bolong kecil. Misalnya saja, saya masih belum habis pikir bagaimana sesosok dendam bisa mewujud sedemikian nyata sehingga mahkluk gelap itu mampu meng-up date status Facebook serta Twitter. Juga, membawa benda-benda fisik seperti pisau berhias batu putih untuk menghabisi korban-korbannya.

Tetapi, sebuah cerita yang bagus menurut saya adalah cerita yang mampu menghibur pembaca. Saya terhibur, dan saya berani bilang bahwa Alias adalah novel yang sangat nagih untuk dibaca.   Melalui Alias, saya juga seperti bisa membaca sosok mbak Ruwi dalam diri Jeruk, tentang penulis yang menulis tentang  penulis, bukan kah itu sesuatu yang indah? Setting Alias yang mengambil tempat-tempat seputaran Jogja (yang saya akrab banget dengannya, semacam Jalan Imogiri dan juga Amplaz) serta kecenderungan Jeruk yang membutuhkan waktu lebih lama untuk membeli buku ketimbang membeli baju juga merupakan elemen-elemen Alias yang sangat klop dengan saya si penimbun buku ini ngohahahaha. Saya suka novel ini \(´`)/


Selamat atas novel tentang novelis ini, mbak Ruwi. Terima kasih atas kesempatan yang diberikan kepada blog Baca Biar Beken. Ditunggu karya-karya ciamik berikutnya ya, Mbak.  Sukses.

Monday, April 27, 2015

Gerbang Dialog Danur

Pengarang : Risa Saraswati
Penyunting :  Irsyad Zulfahmi
Sampul : Fariza Dzatalin Cetakan : Pertama, 2015
Tebal : 223 hlm
Penerbit : Bukune 

25191081 



“Kau tahu kan apa itu danur? Itu adalah air berbau busuk yang keluar dari mayat yang mulai membusuk.” (hlm 195)

                Apa yang membuat seorang Risa Saraswati berbeda dengan anak-anak SD seusianya? Dia sering bicara sendiri, berlarian ke sana kemari seraya tertawa, juga sendiri. Di kali lain, ketika jam menunjuk pukul satu malam, dia sering dijumpai tengah berbicara seorang diri di loteng rumah yang sepi. Apakah Risa benar-benar sendiri? Gerbang Dialog Danur adalah segala pengakuan Risa tentang dirinya yang tak pernah sendiri. Dia melihat apa yang tidak pernah kita lihat. Dia mendengar apa yang tidak bisa kita dengar. Dia berinteraksi dengan apa yang selama ini kita sebut sebagai hantu. Ya, Risa tidak pernah sendirian. Mereka selalu menemaninya, kadang membantunya, dan sering sekali menampakkan diri di hadapannya dengan wujud kematiannya.

Monday, November 17, 2014

Simfoni Kematian

Judul : Simfoni Kematian
Pengarang : Abdullah Harahap
Tebal : 160 hlm
Penerbit : Bintang Usaha Jaya

Kover tidak dipajang karena terlalu mesum tidak ketemu datanya di internet


Membaca Simfoni Kematian ibarat flashback menonton film horor tahun 1980-an yang mengambil setting di sebuah desa terpencil dan dikelilingi hutan dan pegunungan. Dengan meyakinkannya penulis mengambarkan suasana pedesaan yang sunyi senyap sehabis magrib. Tidak ada lagi orang yang meronda, nonkrong di warung kopi, apalagi main di warnet. Walau tidak dijelaskan, setting waktu novel ini diperkirakan sekitar tahun 80-an akhir atau paling banter tahun 90-an awal, ini dilihat dari masih jarangnya mobil pribadi, belum maraknya sepeda motor, sementara angkutan umum masih laris dinaiki. Dalam sebuah adegan, Ansari bahkan dimarahi kakaknya karena datang tanpa menulis surat terlebih dahulu. Jadi, bisa disimpulkan, telepon belum masuk ke desa tersebut. Untuk tempat, walau penulis menyebut di sebuah desa di Sumatra, namun logat atau dialek atau karakter Sumatranya sangat minim. Namanya juga horor, jadi penulis pastinya lebih menekankan pada sisi horornya. Dan beliau berhasil.

Berkebalikan dengan sampulnya yang agak seronok tapi serem-serem sedikit, isi buku ini sangat bagus dan sama sekali tidak terkesan sebagai sebuah karya mesum atau stensilan. Sangat jauh berbeda. Saya pikir, si pembuat sampul pasti tidak membaca buku ini saat dia mengarap sampulnya, yang mana masih dilukis tangan. Sayang sekali saya tidak menemukan file sampul buku ini diinternet, mungkin karena sangking jadulnya. Saya gambar saja sekilas sampul buku ini: ada gambar cewek bahenol dengan pakaian minim dalam posisi seperti tengah mengelinjang *haduh* trus di atasnya adalah gambar hutan dengan tengkorak-tengkorak dan juga sesosok pocong di latar belakang. Hiyaaaa…. Sekali memandang, orang pasti salah mengira isi buku ini, dikiranya pasti novel mesum ala ala supir truk yang dikerjain hantu-hantu cewek. Ya, memang di awal seperti itu, tapi semakin ke belakang semakin tidak kok. Saya sangat yakin, novel ini salah sampul.

Lalu, bagaimana cerita sendiri? Kisah dibuka dengan tibanya Ansari di kampong halamannya. Jam dua dini hari! Dan sudah tidak ada ojek yang mangkal. Itu wajar. Yang tidak wajar adalah kondisi kampungnya yang kini sunyi senyap, nyaris tanpa ada orang yang keluar rumah. Ini ditambah dengan kabut misterius yang bergulung-gulung serta lolongan anjing di kejauhan. Belum terjawab rasa penasarannya, dia dihampiri sebuah dokar yang dikusiri oleh sesosok kakek yang mengenakan pakaian serba hitam. Si kusir misterius menawari Ansari diantarkan ke rumahnya. Karena capek dan sudah sepi, Ansari menyanggupi. Anehnya, selama di kereta kuda, perjalanan yang biasanya lama jadi terasa cepat. Di samping itu, Ansari juga sempat menyaksikan sosok-sosok anjing misterius yang menyongsong di kegelapan, sebelum kemudian serempak terdengar koor lolongan anjing di seantero kampong. Sebuah simfoni lolongan yang menandakan telah jatuh satu korban lagi.

Sesampai di rumah sang Kakak, Ansari menceritakan pengalaman mistisnya. Diceritakan pula bagaimana dia sempat dikejar gerombolan anjing. Kakak dan iparnya kaget, setelah diceritakan, barulah Ansari mengetahui kalau kusir misterius itu adalah Mbah Renggo, yang sudah meninggal 10 tahun sebelumnya. Esoknya, warga desa digembarkan dengan penemuan sesosok mayat suir truk dengan kondisi yang mengenaskan. raganya dicabik-cabik anjing liar dengan kondisi mayat yang sudah kering, semua darahnya seperti telah disedot habis. Dan dia adalah korban ke-4.

Salah satu ciri khas tulisan beliau memang hantu hantu yang gemar menyedot darah korbannya. Korban biasanya seorang pria hidung belang atau yang bernafsu tinggi. Mau tahu bagaimana darahnya disedot? Disedot saat korban diajak berhubungan badan, dan nyedotnya lewat *maaf* selangkangan #duh. Namun selain ciri khas ini, penulis tetap mempertahankan style tulisan model lama, yakni tokoh protagonis yang mendekati sempurna. Si Ansari ini digambarkan sebagai bujang dari kota yang tampan, sopan, pemberani,gentle, dan taat beribadah. Bagian adegan mesum hanya ditampilkan satu kali, tetapi agak gimana gitu bacanya soalnya mesum trus mati hiyaaaaa *tutup mata

Buku ini adalah seri pertama dari judul yang sama. Seri kedua entah saya bisa menemukannya atau tidak soalnya seri pertama ini juga nemu di onggokan buku bekas seharga 3rb di Shopping Centre. Walau sampul mesum, tak dinyata isinya sangat sopan bila dibandingkan dengan novel-novelnya ChrisMor misalnya (sungguh perbandingan yang tidak adail), bahkan mengajarkan pada pembaca tentang pentingnya ibadah dan berbuat baik. Bahwa tidaklah layak manusia takut kepada setan, karena kepada Tuhanlah seluruh mahkluk di semesta ini tunduk. 

Wednesday, January 8, 2014

Penunggu Puncak Ancala

Judul : Penunggu Puncak Ancala
Pengarang : Acen Trisusanto dkk
Editor : A. Apriyani dan E. Afriani
Proofread : W. Oktavia
Tebal : 208 hlm
Cetakan : 1, September 2013
Penerbit : Bukune


18663352

Selamat, buku ini telah berhasil membuat saya menjadi seorang penakut!

Bisa dibilang sebuah keganjilan ketika saya begitu ingin membaca buku ini. Saya yang terbiasa tersesat di dunia fiksi fantasi entah kenapa seperti “ditarik-tarik” untuk membeli buku ini. Padahal, bisa dibilang saya jarang sekali membaca buku genre horor, apalagi horor dalam negeri. Lebih anehnya lagi, saya kok tenang-tenang saja membeli buku ini di Gramedia dengan harga utuh, ya harga utuh tanpa diskon! Baru kali ini saya beli buku tunai tanpa diskon! Ini diluar kewajaran saya, aneh sekali, tapi, buku yang saya beli dan akhirnya kelar dibaca dalam sehari (saya membacanya siang hari, di kantor, biar rame banyak temennya) ini memang aseli serem. Bukan, bukan horor ala monster trus terjadi pembunuhan begitu, indak. Hantu dalam buku ini hanya sekedar “menampakkan diri” di sudut mata para pencerita. Hyaaaaaa …

Perhatikan deh dari kutipan di halaman belakang! Kutipan inilah yang sukses membuat saya penasaran hingga rela beli buku ini tanpa diskon.

Aku dan teman-teman penasaran akan keberadaan komplek makam Prabu Siliwangi di puncak Gunung Tampomas. Sesampainya di sana, perasaanku jadi tidak enak. Ingin rasanya segera kembali ke tenda. Aku merasa… ada yang mengawasi.
Sesosok anak perempuan terlihat mengintip rombongan dari balik pohon. Siapa itu? Kulitnya hitam, bajunya lusuh, dan…. Ah, aku dibuatnya gemetaran, tapi kami saling berjanji untuk tetap diam jika menemukan keganjilan.
Perlahan, anak perempuan itu keluar dari persembunyiannya. Sepertinya tidak ada yang sadar bahwa kami tidak lagi bersepuluh, melainkan sebelas. Karena dia kini mengikuti kami di barisan paling belakang.
Dan…, selama berjalan… lehernya yang hampir putus juga ikut bergoyang….


Satu hal yang menyeramkan dari buku ini adalah kisahnya yang terasa begitu real karena memang kira-kira seperti itulah yang sering kita dengar dan bahkan alami. Jika Anda seorang pendaki gunung (atau punya teman seorang pendaki gunung), pasti sudah biasa mendengar atau bahkan mengalami kisah-kisah dalam buku ini. Misalnya kisah tentang seorang pendaki misterius yang menemani para pendaki di gunung, tapi setelah di puncak yang ditemui adalah nisan bertuliskan nama pendaki misterius yang barusan ia ajak bicara. Misalnya juga tentang tempat-tempat wingit dimana para pendaki diwajibkan untuk berbicara sopan dan menjaga etika saat berada di alam liar. Semua itu benar-benar ada. Saya ingat pernah mendapat cerita dari temen pendaki bahwa di lereng menuju puncak Merapi ada titik yang disebut Pasar Bubrah. Tempat itu sepi, kering, dan berbatu-batu, tapi kalau malam hari para pendaki konon bisa mendengar keramaian pasar di tempat itu, dan penjual dan pembelinya tidak kelihatan …

Cerita paling seram menurut saya adalah yang pendakian ke gunung Tampomas (yang dikutip dalam backcover buku ini). tapi setelah saya baca-baca lagi, kejadian di gunung Gede Pangrango adalah yang paling bikin syok. Kisah di Danau Singkarak adalah yang paling bikin depresi mental dan lama bacanya, sementara cerita penutup bukannya meninggalkan pembaca dengan kelegaan, tapi malah membuat misteri baru sehingga rasa merinding itu masih muncul ketika kita selesai membaca buku ini.

Mungkin karena penulisnya adalah para pendaki, mereka jadi bisa menceritakan secara apa adanya apa-apa yang ada di sana. Penulisannya naratif sekaligus deskriptif, seolah-olah pembaca diajak mendaki. Dan, tidak tampak kepura-puraan dalam melebih-lebihkan cerita karena para penulis ini saya yakin semuanya sering atau pernah mendaki dan mendengar/mengalami sendiri cerita-cerita seperti yang ada di kumcer ini. Tidak salah saya membaca buku ini (dan membelinya tanpa diskon) karena saya jadi tahu banyak pantangan saat di alam liar: (1) Harus selalu berdoa dan mengucap salam sebelum masuk ke tempat yang asing, (2) Dilarang menyorotkan cahaya senter ke sembarang arah, apalagi ke atas, saat sedang berjalan di hutan pada malam hari, (3) Jangan membicarakan “mereka” saat kita sedang berada di tempat-tempat wingit, dan (4) selalu mendaki dengan jumlah peserta yang genap. Dan, usahakan selalu bersama, jangan sampai terpisah. Intinya, jangan lupakan ibadah dan berdoa kapan pun di manapun karena Tuhan adalah yang nomor satu.

Tuhan menciptakan banyak mahkluk. Beberapa di antara mereka tinggal di antara kita. Hanya saja, mereka tidak kasat mata. Selama kita berpikiran baik dan berbuat baik, keseimbangan itu akan terjadi dan sejatinya kita bisa hidup berdampingan dengan mereka. Jangan lupa ya, ambil air wudlu kalau habis naik gunung atau jalan-jalan di hutan.

Monday, December 2, 2013

Bloody River


 Judul : Bloody River
 Pengarang : Esa Nalendra
 Editor : RN
 Halaman : 214 hlm
 Cetakan : pertama, Oktober 2013
 Penerbit : GACA
             

         Lima abg dari kota, merasa penat dengan sumpeknya kota, memutuskan untuk berkemah di alam liar.  Udara segar yang mereka cari, pemandangan indah yang mereka nanti; tapi sayang, yang menunggu di depan adalah tragedi. Mereka berkemah di tempat dan di waktu yang salah! 

18957264



                Semua berawal ketika keputusan berkemah itu dilakukan secara terburu-buru, dan mengabaikan peringatan dari orang tua. Biasalah, tipikal anak-anak remaja yang cenderung suka membangkang, tidak gampang dinasehatin, dan jagonya ngeles. Tapi, kali ini, kelima remaja itu akan merasakan sendiri akibat dari tidak mematuhi nasihat dari orang tua. Kawasan tepian sungai yang hendak  mereka gunakan untuk berkemah tiba-tiba berubah menjadi hutan yang menyesatkan. Seharian mereka berputar-putar dan tak tampak sekalipun jalan keluar. Kelima anak abg itu, enam orang ditambah satu anak dari sekitar situ, tersesat di kawasan tepian sungai yang terkenal angker. Mereka telah melangkahi akar mumang (akar mimang).


Akar Mimang berasal dari Pohon Dewandaru. Sejak zaman dahulu akar mimang sering digunakan masyarakat jawa sebagai sarana untuk menjaga rumah atau gedung yang menyimpan barang berharga dari orang yang berniat jahat (pencuri). Rumah atau kantor yang halamannya ditanam Akar Mimang akan mampu membuat bingung pencuri yang masuk. Akar Mimang ini berwarna kuning kecoklatan. Akar ini sering di sebut dengan oyot mimang atau akar mimang karena menonjol pada permukaan tanah, bumi. Akar ini sangat terkenal mistik, konon siapa saja yang melangkahi akar ini di dalam hutan maka akan bingung dan tersesat, akar ini maupun kayunya sangat di yakini mempunyai memiliki nilai tuah tersendiri. (sumber: pusatbendabertuah.wordpress.com)



                Keadaan semakin diperparah dengan munculnya danyang atau mahkluk gaib penguasa sungai yang mengincar nyawa salah satu dari enam anak muda itu. Sudah menjadi keyakinan lokal bahwa wilayah pertemuan dua sungai adalah wilayah yang wingit alias keramat. Di tempat-tempat seperti inilah dipercaya sebagai tempat bersemayamnya jin-jin penunggu sungai. Lebih parahnya lagi, sungai itu konon selalu meminta tumbal manusia setiap tahunnya saat banjir, dan saat-saat sungai banjir itu bertepatan dengan waktu ketika enam anak remaja kota itu sedang berkemah.  Sang danyang penunggu sungai yang bermata merah dan basah pun menghantui rombongan anak kota ini. Dan, saat itulah anak-anak itu tahu bahwa terkadang mitos lokal itu ada benarnya. Bahwa ada kekuatan-kekuatan alam yang sebaiknya tidak diganggu dan diusik. 


                Bloody River bisa dibilang cerita horor yang menghibur. Saya tidak menyangka bisa menikmati novel ini, padahal saya suka ilfil kalau melihat novel-novel horor Indonesia yang ditulis dari skenario film layar lebar. Tanpa sadar, saya larut dan berulang kali merasa merinding membacanya, juga penasaran mengetahui akhir dari cerita ini, tentang siapa yang akan menjadi korban, dan apakah atau siapakah mahkluk gaib yang selalu meneror mereka. Ada twist di bagian belakang buku yang ternyata tidak tertebak.  

                Penulis pandai sekali memainkan emosi pembaca, membuat pembaca terus deg-deg dan penasaran, ini ditambah dengan deskripsi dan narasinya yang singkat tapi tidak meluber ke mana-mana. Karakter-karakternya pun digarap dengan tidak lebai, khas tipikal anak-anak muda, tapi tidak berusaha sok dewasa. Penyelesaian masalah pun dilakukan secara logis, meskipun yang mereka hadapi adalah mahkluk supranatural. Tulisannya rapi, khas penulis yang sudah banyak berkarya, atau kalau tidak pasti telah memiliki sense of writing yang ciamik. Walau genrenya teenlit, buku Bloody River adalah buku horor lokal yang tidak rugi dibaca.