Judul : Araminta Spook, My Haunted House
Pengarang : Angie Sage
Tebal : 130 hlm
Cetakan: 1, Oktober 2014
Penerbit : Noura Books
Satu hal yang menakjubkan dari para penulis adalah mereka
mampu menciptakan karya yang belum pernah kita—para pembaca—memikirkan tentang
hal itu sebelumnya, kemudian membuat kita menepuk jidat sendiri sambil berkata,
“Ah, sesederhana itu, kenapa tidak terpikirkan sejak dulu!” Sejakseri Septimus
Heap, pengarang yang satu ini memang sudah memukau saya dengan caranya sendiri.
Angie Sage menulis sebuah novel petualangan sihir yang hampir menyaingi (dan
mungkin agak-agak mirip) ke-epik-an Harry
Potter tapi tetap dengan cita rasa yang khas, orisinal, dan unik miliknya
sendiri. Penulisan mantra dengan huruf kapital ber-font Tebal serta setting Kastel yang magical
sungguh unik dan bisa menyeret pembaca melupakan sejenak Harry Potter untuk kemudian masuk dalam
dunia Magyk ciptaan Angie Sage. Dan,
ketika seorang penulis mempu menyeret para pembaca dalam karya ciptaannya, maka
penulis itu bisa dibilang telah berhasil, seperti kisah Araminta berikut ini.
Seri Araminta Spook merupakan serial buku
anak karya Angie Sage. Yup, selain menulis novel fantasi, penulis ini ternyata
jago menulis buku anak-anak. Total ada 6 seri (saya lihatnya di Goodreads) dan
3 seri pertama langsung saya lahap dengan rakusnya. Buku pertama, My Haunted House, adalah kisah pembuka.
Kita akan diperkenalkan dengan seorang anak kecil yang usil, kreatif, agak
bandel, sangat ingin tahu, pemberani, sekaligus tidak mau kalah yang bernama
Araminta yang tinggal bersama bibi dan pamannya di sebuah rumah tua berhantu.
Dan, judul rumah hantu memang selalu menarik rasa penasaran dan ingin tahu
pembaca. Keren sekali penulis memulai serinya dengan judul ini, karena pembaca
jadi penasaran untuk membuka dan mencicipi serial ini.
Pengambaran
rumah hantu yang ditinggali Araminta—anehnya—malah saya temukan di buku ketiga
serial ini, yakni di Frognapped.
“Spookie House adalah rumah yang luar biasa besar. Aku
tidak tahu jumlah kamar yang ada karena kapan pun aku mulai menghitung, aku
yakin beberapa kamar berpindah tempat hanya untuk menggangguku. Sehingga aku
harus menghitungnya dua kali atau tidak sama sekali. Kemudian, ada kamar-kamar
rahasia, dan aku hanya tahu satu di antaranya karena sudah jelas yang lainnya
adalah rahasia. Kamar rahasia yang kutahu berada di tengah-tengah rumah, di
akhir sebuah terowongan rahasia, dan kamar itu milik Tuan Horace, salah satu
hantu rumah kami.”
Selain Tuan Horace, masih
ada penghuni lain yang tak kasat mata di Spookie
House, yakni hantu bocah dari 500 tahun yang lalu yang bernama Edmund. Dan,
seperti telah disinggung di atas, masih ada Bibi Tabby dan Paman Dracul
(keduanya manusia) yang menjadi semacam wali dari Araminta. Kemana orang tua
Araminta? Rupanya jawabannya masih menjadi misteri yang mungkin akan dijawab
Sage di buku-buku selanjutnya. Kembali ke topic, bibi dan paman Araminta ini
juga tidak kalah nyentriknya. Sang Bibi adalah tipikal wanita Inggris rumahan
dan cerewet, sementara Paman Dracul senang sekali dengan kelelawar dan dia
tidur di kantong tidur yang digantung terbalik di atas menara. Pria itu juga
tidur di siang hari dan bekerja mengantar pupuk di malam hari.
Cerita
bergulir ketika Bibi Tabby memutuskan untuk hendak menjual rumah tua berhantu
itu. Bukan, bukan karena seram, tapi karena pemanas model kunonya yang susah
sekali dibersihkan sekaligus dioperasikan, serta luasnya bidang rumah yang
harus dibersihkan dengan segenap sarang laba-laba dan kotoran kelelawarnya.
Araminta yang sangat menyukai Spookie
House pun mulai merajut rencana untuk menggagalkan niat bibinya itu. Dengan
dibantu oleh pikiran cerdas dan kreatifnya, Araminta merancang sebuah
pertunjukan seram untuk menakuti para calon pembeli rumah itu. Berhasilkah dia?
Ending dari buku ini sungguh nyeleneh tapi
menyenangkan. Senang sekali buku pertama diakhiri dengan manis seperti itu.
Membaca
Araminta Spook ibarat memakan permen
sederhana yang manis dan melegakan hati. Bacaan yang memadukan antara
hantu, petualangan, dan orang dewasa
selalu membuat anak tertarik, dan Angie Sage tetap mampu membuatnya sederhana
tapi penuh warna. Dikisahkan dengan sudut pandang Araminta—yang masih anak-anak—buku
ini memang ditujukan untuk anak-anak dan remaja, walau orang dewasa tetap bisa
menikmatinya. Sosok kecil Araminta yang lincah, cerdas, kreatif, dan ingin tahu
seperti menyadarkan kepada kita betapa setiap anak terlahir dengan rasa ingin
tahu yang tinggi. Mereka menjalani dan menikmati hidup apa adanya, dengan
segala keajaiban di dalamnya. Sesuatu yang semakin terkikis menjelang kita
bertambah dewasa.
No comments:
Post a Comment