Search This Blog

Friday, December 20, 2024

Kita dan Mereka, Ilusi dari Identitas

Judul: Kita dan Mereka

Penulis: Agustinus Wibowo

Tebal: 667 hlm

Cetakan: 3, Maret 2024

Penerbit: Mizan 



                Setiap kita membawa dalam diri kita semua perangkat identitas beserta segala konflik dan kisahnya. Kita punya agama, bangsa, negara, kepercayaan, pilihan politik, keluarga, pekerjaan, kelas sosial, hingga pengarang favorit. Segala atribut identitas ini menempel begitu erat bersama diri kita, menjadikan kita seperti kita. Tidak hanya menjadi tanda tentang siapa diri kita, kadang identitas ini terlalu lekat melekat sehingga setuap upaya dan siapa yang mencoba menyenggolnya dapat memicu reaksi perlawanan: aku versus dia, kita versus mereka. Agustinus Wibowo lewat buku ini mencoba mengupas lapis demi lapis kedirian kita yang terlalu erat melekat (bahkan mengikat) ini. Menunjukkan kepada kita bahwa semua atribut diri ternya begitu subjektif, rapuh, dan terkadang tidak seberharga itu jika kita memandangnya dari sudut pandang yang lebih besar.

"Ketika keakuan meluluh, ego meluruh, kita akan melihat bahwa semua orang yang lain, apa pun identitas mereka, adalah sama seperti kita." (Hlm.620)

                Lewat perjalanan fisik yang dilakukannya menjelajahi sejumlah bangsa dan negara di dunia, Agustinus menemukan berbagai fakta yang menunjukkan betapa manusia itu terlihat berbeda-beda tetapi setelah didekati ternyata sejati sama. Kita terbentuk oleh cerita-cerita memiliki tembok batas masing-masing, membangun peradaban yang berputar jatuh bangunnya, saling berperang dan berkonflik, meyakini suatu sistem keyakinan tertentu, hingga membentuk diri dengan segala aku dan kamunya. 


Hnilah identitas, hal-hal yang begitu kita pegang erat sehingga semua yang berbeda tidak jarang dianggap mengancam. Perjalanan fisik di tanah asing menjadikan penulis mampu menanggalkan jubah keakuan ini, menjadi bukan siapa-siapa kecuali bagian dari satu kelompok besar yang bernama umat manusia.

“Tiada tempat yang sempurna di dunia ini, tiada tanah surgawi berlimpah susu dan madu. Kemana pun kita pergi, di mana pun kita menetap, selalu ada tantangan yang menghadang, selalu ada perjuangan yang harus dilalui untuk membuat suatu tempat menjadi rumah yang sejati. ” (hlm. 585)

                Setelah perjalanan fisik, berikutnya Agustinus melakukan perjalanan sejarah dengan pembacaan ratusan buku yang membawanya melintas waktu. Sebuah upaya yang menyadarkannya bahwa peradaban manusia memang dipergulirkan jatuh bangunnya, tidak peduli siapa mereka: apakah muslim, Kristen, ateis, penyembah berhala. Setiap kita merupakan hasil dari berpuluh-puluh bahkan beratus generasi yang telah lalu. 

Sejarah mengajarkannya bahwa identitas yang sering terlalu erat kita pegang itu ternyata sebenarnya juga terus berubah. Indonesia sempat dikenal sebagai negara muslim dengan penduduk terbesar di dunia. Tapi sejarah juga menunjukkkan agama besar yang mendominasi perjalanan sejarah panjang bangsa ini adalah Hindu dan Buddha (18). Begitu samar dan tercampur aduk apa yang namanya identitas suatu bangsa.

                “Apa yang tidak bisa kau terima, ubahlah; dan apa yang tidak bisa kau uah, terimalah.” (hlm 586).

                Perjalanan sejarah yang tidak pernah lepas dari konflik dan perang menunjukkan betapa keakuan diri selalu ada. Agustinus mengatakan betapa manusia tampaknya sangat berbakat untuk menonjolkan perbedaan-perbedaan di antara mereka  dan mengobarkan perang atas dasar perbendaan-perbedaan identitas tersebut (hlm. 19). Bahkan agama yang seharusnya menjadi penuntun kehidupan dan pencipta keharmonisan pun menjadi salah satu bentuk identitas yang membelanya bisa paling berdarah-darah. Di masa lalu, seseorang bisa diperangi karena tuhannya berbeda, atau karena tidak bertuhan. Sekarang, cara ibadah yang berbeda bahkan cara berpakaian berbeda pun dapat memicu konflik. Mengapa kita berperang hanya karena kita berbeda?

                “Ketika identitas kelompok dipegang terlalu kuat hingga mendominasi pikiran individu, identitas kelompok itu kemudian menjadi satu-satunya kebenaran baginya sehingga dia tidak lagi bisa melihat kebenaran yang mungkin ada di luar kelompoknya. Hal ini bisa mendorong individu menjadi fanatik dan ekstrem, bahkan sampai pada tingkat membenci orang-orang dari kelompok lain.” (hlm. 606)

                Mempertanyakan kembali identitas diri memang tidak nyaman. Tidak semua orang berani mempertanyakan lagi segala atribut identitas yang sudah telanjur melekat pada diri sekian lama. Benarkah bangsa kita selalu ramah dan cinta damai? Apakah bangsa Eropa itu hanya penjajah dan membawa penderitaan rakyat? Bukankah tahun 1965 menjadi bukti sejarah pembantaian jutaan anak bangsa oleh sesama anak bangsa sendiri. Bahwa adalah sebuah fakta sejarah bahwa karena penjajahan Belandalah sejatinya negara NKRI bisa terbentuk (wilayah Indonesia bekas Hindia Belanda saat ini malah lebih luas wilayahnya ketimbang di era imperium Majapahit). Jika tidak dijajah Belanda, Indonesia mungkin masih berupa kumpulan kerajaan dan kesultanan kecil yang masih saling berperang dan berebut pengaruh. Dengan demikian, mampukah kita kemudian meninggalkan narasi kebangsaan yang sempit dan mengakui bahwa bagaimana pun Indonesia ada karena Belanda? Pemahaman inilah yg hendak diangkat penulis di buku ini.              

“Pada permukaannya, konflik identitas terlihat sebagai pertarungan antara benar atau salah. Kami benar, kalian salah. Kita benar, mereka salah. Ini adalah pola pikir dualis yang telah menjadi bagian dari sejarah peradaban manusia selama berabad-abad.” (hlm. 607)

                Apakah dengan demikian kita tidak boleh menjadi seorang nasionalis? Apakah kita harus memuji Belanda? Bukan seperti itu. Lewat buku ini, Agustinus mengajak kita menanggalkan keyakinan-keyakinan berlebihan yang mendorong pada konflik. Buku ini mengajak kita mengedepankan persamaan ketimbang perbedaan sehingga kita mampu memandang segala sesuatu dari cakrawala yang lebih objektif, lebih manusiawi, tidak berlebihan. Selama konflik bisa dihindari, maka hindarilah. Mampukah kita? Kadang sukit karena ini perkara identitas yang terlalu diganggam erat sehingga jatuhnya malah menyakiti.

 Banyak orang yang memilih tetap tinggal dalam kenyamanan kegelapan yang seragam ketimbang menikmati indahnya warna-warni keberagaman dalam sebuah pelangi. Memang rasanya sulit, berat, bahkan menyakitkan untuk mengelupas identitas yang telanjur melekat sebagai kulit kedua. Agustinus bahkan sudah dari awal memberikan peringatan, betapa membaca buku ini mungkin akan menimbulkan rasa tidak nyaman bagi sementara orang. Tetapi, ketidaknyamanan itu memang perlu. Mengupas kulit sendiri memang menyakitkan, tetapi itu tak bisa dihindari jika kita ingin menemukan siapa diri sejati kita yang sebenarnya.

                 Hal pertama yang perlu dikupas adalah tembok kedirian. Manusia membangun tembok, dengan tujuan untuk melindungi diri dan keluarga dari berbagai serangan dan ancaman dari luar. Tembok ini bsa berupa “tembok pikiran” di dalam kepala kita. Bisa juga tembok fisik nyata sepanjang 6000 km dengan 20.000 menara yang kini kita kenal dengan Tembok besar Cina. Tembok menjadi bentuk kecenderungan manusia untuk membeda-bedakan antara kita versus mereka. Tembok ini bahkan sudah terbentuk secara alamiah ketika kita masih bayi. Bayi yang baru lahir akan menangis bahkan ketika digendong oleh ibunya sendiri. Bayi itu juga gampang tertidur pulas, tidak perduli siapa yang mengendongnya (apakah suster, atau ibunya). Tapi beberapa bulan kemudian, si bayi sudah menciptakan temboknya sendiri. Ia akan menangis jika digendong oleh yang bukan ibunya atau bukan keluarganya.

                “Keberagaman manusia adalah hukum alam. Merangkul keberagaman berarti mengalir bersama Hukum Alam.” (hlm. 613).

                Tembok adalah mekanisme utama perlindungan diri yang wajar dan alamiah. Tetapi seperti tembok Besar Cina yang gagal melindungi Kerajaan dari serangan suku nomad Asia Tengah, tembok adalah perlindungan yang rentan. Manusia sejatinya membangun tembok hanya untuk mengusir rasa takut, bukan mengusir musuh. Tembok pikiran bukan menciptakan keamanan, tetapi hanya menciptakan perasaan aman (43).


 Hal ini karena manusia ingin tetap berada dalam goa perlindungannya yang seragam. Tidak ingin melihat keberagaman dunia. Tembok kemudian menjadi benteng untuk pembeda antara diri yang dianggap baik dan paling beradab dengan mereka yang di luar tembok dan dianggap liyan karena berbeda.  Tembok yang awalnya untuk melindungi fisik, menjadi pelindung ego juga.

                “Semua identitas adalah konsep abstrak yang tidak mampu punya emosi atau perasaan. Negara tidak bisa menangis, agama tidak dapat dipermalukan, ideologi tidak bisa marah, klub sepak bola tidak dapat dipecundangi. Yang bisa merasa bersedih, malu, marah, atau terhina adalah manusia, yaitu individu-individu yang secara kuat mengidentifikasi diri dengan identitas-identitas itu.” (hlm 606)

                Bab tentang Cerita dan Agama termasuk bagian paling mindblowing di buku ini. Penulis membongkar seluruh konsep tentang negara, uang, bangsa, hingga pemerintahan sebagai suatu cerita yang terus diembuskan dan dipercaya agar dunia bisa berjalan. Tentang uang misalnya, ada segolongan orang yang membuat kita percaya bahwa beberapa lembar kertas bisa ditukarkan dengan sekarung beras, bahkan setumpuk kertas bernama uang bisa “ditukarkan” dengan tanah seluas 1 hektar beserta semua kekayaan yang dikandungnya. Demikian juga negara, Agustinus menulis bahwa negara bisa ada karena kita percaya dia ada. Mitos tentang negara ini lalu diperkuat dengan “cerita-cerita lain” seperti lagu kebangsaan, bendera negara, angkatan bersenjata, uang, lambang negara, dan banyak lainnya. Betapa kacaunya dunia ketika ada banyak orang yang sudah tidak mempercayai cerita tentang uang dan negara.

                “Hidup ini bukanlah tentang kontradiksi antara benar atau salah, melainkan tentang perpaduan berbagai elemen yang tampaknya berkonflik satu sama lain, yin dan yang, yang saling melengkapi demi terwujudnya harmoni yang utuh.” (hlm. 611)

Demikianlah, lewat riset pustaka dan pengamatan dan pengalaman nyata, penulis menyusun tesis-tesis menariknya di buku. Termasuk membongkar segala hal yang kita percayai dan itu turut membentuk identitas kedirian kita, termasuk kedirian penulisnya. Bahkan Agustinus di buku ini memilih tetap menggunakan kata “Cina”, bukan hanya Tionghoa semata padahal yang pribumi pun cenderung menghindari menggunakannya. Bahkan konsep siapa pribumi dan siapa pendatang di Indonesia pun sesungguhnya masih sangat kabur. Sudah bukan waktunya lagi berdebat tentang siapa si paling pribumi karena kedua sisi seharusnya sama-sama berperan aktif meredam konflik. Mayoritas menciptakan lingkungan yang menerima identitas minoritas, sementara individu dengan identitas minoritas juga harus mau menerima dan berusaha agar diterima di lingkungannya.

                “Kalau kau menganggap dirimu minoritas, selamanya kau adalah minoritas. Kalau kau menganggap dirimu korban, selamanya kau adalah korban. Ini adalah masalah sudut pandang.” (hlm 587)

Sebuah buku berat, penuh dengan ide dan informasi, sekaligus fakta-fakta yang bakal membuat kita mempertanyakan kembali apa apa yang kita percayai selama ini. Bahwa memiliki sebuah identitas itu perlu dan wajib, bahkan bermanfaat. Tetapi, jangan sampai upaya meneguhkan identitas itu membuat kita memaksakan identitas kita kepada mereka yang memang sudah berbeda. Ketika kedua belah pihak sama-sama saling berjuang, maka tidak ada lagi konsep kita versus liyan atau kita vs mereka, melainkan sebuah konsep yang satu dan menyatu:  kita dan mereka.  

                “Semua peradaban, semua budaya, semua negara, semua agama, semua individu; masing-masing memiliki kontribusi unik mereka dalam membangun narasi yang kaya tentang kehidupan dunia.” (hlm 609)

“…karena manusia adalah makhluk yang berpikir, terus menciptakan cerita, dan terus menemukan makna dari segala penderitaan dan keterbatasan yang dialami. Itulah yang membuat kita bisa terus beradaptasi dengan perubahan, terus berupaya menciptakan lingkungan yang lebih baik, demi tetap sintas. (hlm. 540).

Wednesday, August 21, 2024

1Q84 Jilid 1

Judul: 1Q84 Jilid 1
Pengarang: Haruki Murakami
Tebal: 516 hlm
Cetakan: Pertama, Mei 2013
Penerbit: KPG



Novelis bukanlah manusia yang menjawab pertanyaan, melainkan manusia yang mengajukan pertanyaan. (439)

Manusia dalam jagad Murakami seolah tidak pernah hitam dan putih, lebih sering kelabu campuran keduanya atau warna-warni yang saling bertabrakan. Kadang, kita marasa dibuat berjarak dengan si karakter karena entah pekerjaannya, dunianya yang jauh berbeda, bentuk fisiknya, detail kehidupannya. Namun, semakin ke ke belakang, seiring dengan makin tebalnya halaman-halaman yang kita baca, tersirat betapa walau berbeda di dalam diri manusia itu esensinya serupa. Ada masa lalu yang membentuk seseorang menjadi dia yang sekarang. Ada orang-orang dan lingkungan yang menjadikan mereka seperti mereka. Murakami sekali lagi bermain-main dengan kepribadian manusia. Inti dari kemanusiaan: menjadi manusiawi.

Setiap orang bebas memilih jalan hidup. Namun merampas hak asasi yang dimiliki seorang wanita sejak lahir adalah tindakan yang tidak dapat dimaafkan. (400)

Aomame awalnya hanya terjebak kemacetan di sebuah jalan tol layang. Tipikal wanita karier Tokyo yang sedang diburu janji bertemu kliennya. Sopir taksi yang ditumpanginya lalu menyarankan agar dirinya memanjat turun ke bawah lewat tangga pemeliharaan, untuk kemudian diteruskan dengan naik komuter ke dekat lokasi pertemuan. Aomame menurutinya, hanya untuk mendapati sentakan-sentakan kejutan dalam kehidupannya. Tidak hanya dia, pembaca juga dibikin terkejut dengan pekerjaan wanita itu. Aomame teryata menemui klien dengan tujuan untuk mengirimnya ke dunia lain. Berbekal jarum kecil dan titik akunpuntur tertentu, wanita itu dengan piawai mengirim seorang lelaki brengsek ke dunia lain tanpa ada bukti kekerasan, bahkan tanpa ada noda darah setetes pun. 

Di tempat lain, kita dipertemukan dan diperkenalkan dengan sosok Tengo, sosoknya mungkin lebih ramah bagi pembaca karena dia seorang tentor yang menulis.Tengo pandai matematika tetapi dia juga punya kepekaan sastrawi yang belum menemukan wadahnya. Ibarat, seorang berbakat menulis tapi belum punya buku. Dan, kesempatan itu datang meski agak lain. Oleh Komatsu, Tengo mendapatkan tawaran untuk menjadi seorang ghostwriter. Komatsu menemukan naskah "Kepompong Udara" karya seorang siswa berusia 17 tahun. Secara ide, karya itu bagus dan layak menang. Tetapi secara teknik penulisan, karya itu jauh dari selesai. 
 
Merampas sejarah yang benar sama saja dengan merampas sebagian kepribadian. Aksi kriminal." (428)

Tengo ditawari oleh Komatsu agar menulis ulang novel Kepompong Udara dengan tetap menyertakan pengarang aslinya. Jadi, Tengo sebagai penulis di belakang penulis asli yang secara tampang,umur, dan sensualitas jauh lebih menjual. Tengo pun setuju selama sudah meminta izin dari Fuka-Eri, si penulis asli. Perkara ini makin menantang setelah diketahui Fuka Eri ternyata penderita disleksia. Gadis itu kesulitan membaca (jadi bagaimana logikanya dia bisa menjadi seorang pengarang--begitu yang mungkin akan ditanyakan masyarakat). Dan masalah pun bertambah ketika Kepompong Udara tidak hanya memenangkan perlombaan sastra. Novel itu juga laris manis, dengan penjualan melampuai rekor. SosokFuka Eri pun diburu. Dan kalau sampai publik tahu persekongkolan antara Komatsu - Tengo - Fuka Eri; habislah karier ketiganya.

"Di dunia ini, bisa dikatakan tak ada orang yang tak tergantikan. Bagaimanapun tingginya pengetahuan atau kemampuan seseorang, biasanya ada yang mampu menggantikannya di suatu tempat. Seandainya dunia ini penuh dengan orang yang tak tergantikan, kita semua akan menghadapi kesulitan luar biasa besar."

Kembali ke dunia Aomame yang lebih sensual dan panas. Karakter wanita independen ini tidak disangka juga punya sisi feminin. Ia mengakui dirinya masih butuh lelaki dan seks dengan lelaki, tapi di sisi lain mangsa yang dibunuhnya juga lelaki. Mumet kan. Semakin mumet ketika Aomame sadar bahwa ada hal-hal yang berjalan keliru. Ia tidak tahu kalau Kepolisian sudah berganti rompi sejak bebetapa tahun lalu, dan bahkan ada kejadian berdarah besar yang dia sendiri tidak tahu. Padahal, Aomame selalu menjadi sosok yang waspada. Ia harus selalu up date demi keselamatan dirinya. Hal paling membingungkan, Aomame melihat bahwa bulan di langit ada dua. Satu bulan seperti yang biasa dilihat, dan satu lagi bulan yang lebih kecil berwarna kehijauan. Bulan ada dua?? Sejak kapan?

Sebagian brsar orang di dunia ini bukan percaya kepada kebenaran, melainkan rela percaya kepada sesuatu yang diharapkan sebagai kebenaran. (406)

Novel ini diawali dengan begitu gamblang dan nyata, untuk kemudian diselingi dengan hal-hal mustahil yang menjadikannya surealis. Kepiawaian Murakami meramu cerita membuat saya mengabaikan dulu hal-hal tak logis tentang bulan dan orang-orang kecil itu (mungkinkah ini dunia pararel?) dan fokus ke pengembangan kedua karakter. Pengarang memang benar-benar mematangkan karakter Tengo dan Aomame ini hingga taraf pembaca jadi selalu ingin tahu tentang kehidupan mereka. Menurut saya, paling menarik adalah bagian awal kehidupan Tengo yang benar-benar detail mengupas hidup dan jatuh bangun seorang pengarang. Dunia yang akrab dengan banyak pembaca buku. Tetapi kehidupan Aomame lebih menghentak dan mengambil alih. Belum ditambah kecenderungan Murakami menonjolkan keindahan kaum wanita lewat sensasi fisik (yang banyak dikritik para pembacanya). 

Kekerasan tidak selalu bersifat fisik, luka tidak selalu mengeluarkan darah. (403)

Banyak kutipan bagus di buku ini. Pengarang menyelipkannya entah dalam deskripsi entah dalam dialog yang begitu larut sehingga kadang kelewat kalau pembaca tidak awas. Kalimat-kalimat itu tegas dan tidak berbunga, menunjukkan apa yang harusnya dilakukan. Jenis kalimat yang muncul lewat perenungan dengan bersandarkan pada logika. Walau tebal dan beberapa bagian menjalar kemana-mana, ada semacam ikatan yang menjaga seluruh kisah tetap berada di tempatnya, di dunia 1Q84 dengan bulan yang jumlahnya dua. Membaca buku ini panjang tapi juga membuat ketagihan, bahkan jauh setelah kita selesai membacanya. Ada sesuatu yang tersembunyi, bagus dan menunggu untuk ditemukan di lembar-lembar buku ini.

"Sebesar apa pun bakatnya, orang tidak selalu bisa makan kenyang. Tapi jika memiliki naluri tajam, tidak perlu takut gagal mencari makan." 

Mutiara karya John Steinbeck

Judul: Mutiara 

Pengarang: John Steinbeck

Penerjemah: Ary Kristanti

Penerbit: Penerbit Liris

Tahun terbit: 2013

Tebal: 142 halaman





"Karena kekayaan selalu bisa mengubah setiap orang." (hlm. 51)

Kilauan harta bisa membuat manusia terlena, bahkan melupakan kemanusiaannya. Ini yang rupanya hendak ditunjukkan Steinbeck dalam novel tipis namun meninggalkan kesan mendalam ini. Seorang nelayan miskin, berasal dari ras yang dipinggirkan, mendadak menemukan harta terbesar di dunia. Orang-orang yang dulunya berlari menjauhinya kini seakan berlomba mendekatinya. Mereka yang dahulu cuek dan abai, kini berusaha mendekat dan mencari perhatiannya. Sebutir Mutiara ternyata lebih berharga nilainya ketimbang keberadaan manusia itu sendiri. Harta benar-benar bisa mengubah manusia.
 
Kino tidak pernah lupa, bagaimana dia ditolak oleh seorang dokter ketika hendak memeriksakan bayinya yang disengat kalajengking. Dokter menolak memeriksa karena Kino pasti tidak mampu membayar jasanya. Lebih dari itu, si dokter merasa dirinya berasal dari ras yang berbeda. Dokter yang jebolan universitas Eropa, sementara Kino hanya melayan miskin belaka—dari suku Indian yang terpinggirkan pula. Di sini kita menyaksikan, bukan hanya kemiskinan yang membentuk tembok tebal, tetapi juga prasangka dari dua suku yang berbeda.

Monday, August 19, 2024

Kitab Naga Naga

Judul: Kitab Naga Naga
Pengarang: E. Nesbit
Penerjemah: Titik Andarwati
Editor: Setyaningsih
Sampul: Satria Adhi
Cetakan: Pertama, Mei 2024
Penerbit: Bukukatta

 



Kitab Naga-Naga berisi tentang … naga, tentu saja. Buku yang terbit pertama kali pada tahun 1901 ini (atau 123 tahun yang lalu—Indonesia masih dikuasai Kolonial Belanda weh) ini berkonsep kumpulan cerita anak dengan mengangkat sosok naga dalam setiap ceritanya. Ada 8 kisah naga tetapi hampir semuanya menggambarkan sosok naga sebagai entitas yang jahat dan kejam. Mengingat waktu ditulisnya buku ini, wajar karena kala itu naga ala Eropa dipandang sebagai sosok yang kejam. Penggambaran naga di sini pun mirip dengan naga-naga ala barat, yang bersayap, bersisik keras, menyemburkan api, punya kekuatan magis, dan kejam. Ia digambarkan menelan kota, memakan manusia, melahap binatang, dan camilannya api. Para pecinta naga pasti bakal suka dengan buku ini sebagai salah satu karya awal yang mempioniri karya-karya fiksi fantasi tentang naga di Eropa.


1. Kitab Binatang
Seorang bocah mendadak ditunjuk menjadi raja sebuah negeri yang tadinya republik. Para sejarahwan kerajaan melacak garis keturunan kakek buyut dari kakek buyutnya sehingga sampailah mereka pada Lionel, pewaris terakhir. Selain mewarisi kerajaan, Lionel juga mewarisi perpustakaan istana. Dan dia suka membaca. Hanya saja, dia membaca buku yang salah, Kitab Binatang. Sebuah kitab sihir bergambar yang bisa menghidupkan dan mengeluarkan binatang di dalamnya. Aman jika yang keluar kupu-kupu atau burung berwarna cerah. Tapi bagaimana kalau yang keluar adalah naga? Lionel harus membuktikan dirinya layak dengan mengembalikan naga itu ke Kitab Binatang. Bagaimana Lionel yang kecil bisa mengalahkan naga yang raksasa dan bisa memakan kota? Kadang kala, otak lebih dibutuhkan daripada otot.

2. Paman James atau Mahkluk Asing Ungu
Kisah khas kerajaan, seorang putri pewaris sah dengan seorang paman jahat yang hendak merebut takhta. Tapi, si putri terlalu polos. Gawatnya, si paman juga seorang penyihir. Dia lalu mengatur agar putri dikorbankan kepada naga agar negerinya selamat. Sang putri tentu saja bersedia (kalian tahu kan kalau si putri berhati emas). Endingnya seperti yang sudah-sudah, kebajikan mengalahkan kejahatan dan naga!




3. Para Penyelamat Negeri
Kisah favorit di buku ini. Spesies naga mendadak muncul di kehidupan nyata. Bentuknya bermacam-macam, dari awalnya sebesar lalat (yang lalu menjadi perhatian pada ilmuwan, karena ada spesies baru) hingga sebesar rumah. Awalnya naga-naga ini hanya sekadar mengigit saat terusik, mirip serangga. Tapi, lama-lama naga semakin besar dan bervariasi hingga akhirnya mereka menguasai seluruh negeri. Naga di sini jadi mirip dinosaurus yang pernah menguasai bumi. Manusia terpaksa berdiam diri di dalam rumah saat siang hari dan baru beraktivitas ketika malam hari, saat naga tidur. Kalau tidak, naga akan memakan mereka. Keselamatan seluruh negeri bergantung pada dua anak kecil pemberani. Mereka harus menemukan kran yang tepat untuk bisa mengusir naga-naga itu selamanya dan merebut kembali siang hari mereka.

4. Naga Es, atau Lakukan Apa yang Diperintahkan
Dua anak menemukan jalan pintas menuju kutub utara. Mereka mendapati seluncuran ajaib yang bisa membawa seseorang (dan naga) langsung dari Inggris menuju pusat Kutub Utara. Awalnya hanya untuk melihat Cahaya Utara (Aurora Borealis), dan akhirnya berujung bertemu naga es. Lewat kisah ini, penulis hendak menunjukkan betapa kadang impian anak-anak tidaklah seindah kenyataan. Kutub utara sedemikian dinginnya dan tempat itu sangat berbahaya. Ini perlambang bahwa rasa penasaran tetap harus ada batasnya. Dan jika menurut rang dewasa sesuatu itu berbahaya, maka turutilah. Jadi buat anak-anak: Jangan ya dek ya, jangaaannnn!

5. Pulau Sembilan Pusaran Air
Kisah seorang putri yang dikurung di Menara oleh ayahnya, yang penyihir. Selain dikurung, ayahnya juga membuat pusaran air di sekeliling pulau, plus menambahkan naga sebagai penjaga. Siapa pembebas sang putri: tentu saja seorang pangeran atau calon pangeran. Metode mengalahkan naga di kisah ini pake perhitungan (yang lumayan rumit). Waktu yang tepat selalu menciptakan peluang yang harus digunakan. Hal menarik di kisah ini, 9 pusaran air timbul dari 9 tetes darah si raja. Karena darah si raja penyihir sedemikian jahatnya, laut berusaha menolaknya dengan membentuk pusaran air.

6. Para Penjinak Naga
Beberapa politisi dan pejabat kok kelakuannya nggak jauh beda ya, baik sekarang atau dulu. Mereka hanya mau dapat nama baik tapi tidak mau berkarya. Ketika ada seseorang yang berhasil memenangkan medali emas, atau menangkap seekor naga buas, para pejabat kerajaan berebutan ikut tampil. Mereka ingin dianggap berjasa juga. Mirip dengan kisah ke enam ini. Pada akhirnya, keberanian sejati tetap akan menampilkan diri. Mereka yang pengecut akan kelihatan aslinya.


7. Naga Api, atau Hati Batu dan Hati Emas
Putri yang dikurung di Menara oleh sepupunya yang ingin merebut kerjaan. Tema ini lagi! Tapi, ini di Menara antinaga, lengkap dengan segala peralatan anti naga. Sayangnya si putri begitu polosnya sehingga …ya manut-manut saja dikibulin. Tetapi, sekali lagi, hati yang murni akan mengalahkan hati yang jahat. Bahkan mahkluk naga pun tahu siapa yang hatinya jahat dan dengan demikian, bisa dimakannya.

8. Edmund Kecil yang Baik, atau Gua-Gua dan Cockatrice
Mengingatkan pada Edmund di kisah Narnia, rasa penasaran berujung pada kemalangan. Edmund ini bocah yang selalu ingin tahu, dia suka membolos karena sekolah terasa tidak cocok untuknya. Dia adalah tipe perintis, penjelajah, dan penemu. Tetapi oleh pengarang digambarkan seorang anak tidak boleh terlalu bersikap seperti itu kalau tidak mau celaka. Bahkan ketika Edmund berhasil menyelamatkan seisi kota dari naga, dia tetap dihukum. Orang lebih memilih mempercayai apa yang ingin dia dipercayai ketimbang apa yang harusnya dia percayai.

Kisah-kisah di buku ini sedikit banyak mengingatkan saya pada seri Narnia. Wanita yang anggun dan berhati bersih serta pria yang pahlawan dan pemberani. Setelah baca profil penulis di belakang buku, baru paham kalau E.Nesbit ini memang salah satu pengarang yang punya dampak besar terhadap karya-karya bertema anak di Inggris pada era-era berikutnya. Salah satunya, tentu saja C.S. Lewis. Pantas jika terasa aroma Narnia saat membaca buku ini, karena memang buku ini ditulis jauh sebelum seri Narnia muncul.

Kehati-hatian, kebaikan budi, keberanian, kebaikan mengalahkan kejahatan; hampir seluruh cerita digerakkan oleh tema-tema ini. Jatuhnya mungkin membosankan kadang, bahkan beberapa kali pengarang juga terasa mengurui saat menyampaikan petuahnya. Tetapi pembaca juga harus mempertimbangkan masa ketika buku ini ditulis, yakni akhir abad ke-19. Bukunya sendiri terbit 1901, di Inggris. Jadi wajar jika kondisi, situasi, dan sosial politik saat itu jauh berbeda di banding pertengahan abad ke-20 misalnya. Bagian "saling berciuman" ini juga agak gimana gitu. Walau masih ada yang tetap sama, misalnya bahwa dengan belajar kau akan pintar, dengan berani kau akan jadi mumpuni, dan dengan berkorban kau akan dapat kawan serta teman. Eh ada satu lagi yang tidak berubah: beberapa pejabat yang suka nebeng kesuksesan warganya …eh.

Untuk penggemar naga, baca buku ini, harus.


Monday, August 12, 2024

Perjalanan Mustahil Samiam dari Lisboa; Sepasang Elang dari Diyarbakir

Judul: Perjalanan Mustahil Samiam dari Lisboa; Sepasang Elang dari Diyarbakir
Pengarang: Zaky Yamani
tebal: 352 halaman, Paperback
Cetakan: Pertama, Juni 2024
Sampul:
Penerbit; Gramedia Pustaka Utama




Melanjutkan kisah dari buku pertama, Samiam, Bianca dan ayahnya, João, dipukul dan ditangkap saat tengah berada di Konstantinopel. Para penangkapnya ternyata antek-antek dari Ordo Fransiskan yang tujuannya memang hendak memberangus seluruh anggora Porto de Graal yang gagal membunuh Paus. Perjalanan Samiam yang awalnya hanya bertujuan mencari tanah leluhurnya di Sunda, Pulau Jawa, kini semakin rumit. Tanpa sadar, dia terlibat dalam sebuah pertikaian dan perang intrik skala internasional dari kekuatan-kekuasaan politik besar di abad ke-16, yakni Takhta Suci Vatikan, Imperium Turki Utsmani, dan Dinasti Safavid di Persia. Ketiganya menjadi sekadar boneka dari tangan-tangan berkuasa yang tidak ragu menggunakan cara apa pun untuk meraih kekuasaan.

Samiam kemudian dijual sebagai budak dari seorang Syekh yang juga seorang saudagar Arab kaya, sementara Bianca dan ayahnya diambil sebagai budak oleh Hakim Mehmed Ebussuud Effendi, seorang pembesar di lingkup pusat kerajaan Ottoman. Sedikit yang ketiganya ketahui, bahwa nasib mereka sebagai budak menjadi awal dari kisah hidup dan perjuangan sarat penderitaan. Samiam merasakan sendiri betapa menderitanya dirinya menjadi seorang budak belian, dari yang seumur hidup menjadi orang terbuka. Sebagai budak, dia harus memulai segala sesuatunya dari bawah, meninggalkan semua atribut diri. Ibarat dirinya dilucuti habis-habis sebagai seorang pribadi rendahan yang hampir-hampir tidak punya hak.

Mengikuti sang Syekh, perjalanan Samiam di buku ini jauh lebih berat dibanding di buku pertama. Selain posisinya yang sekarang sebagai seorang budak, dia harus menempuh perjalanan jauh dan berbahaya di kawasan Timur Tengah. Jika di buku pertama, latarnya adalah Eropa dan Mediterania di abad ke-16, maka di buku ini seting Arabia, Timur Tengah, dan Persia yang dominan. Sepertinya pengarang memang membagi perjalanan menjadi tiga bagian: Benua Eropa, Timur Tengah, dan selanjutnya India dan Kepulauan Nusantara di buku pamungkas.


Menyimak perjalanan penuh penderitaan Samiam sejatinya melelahkan. Tetapi pengarang cerdik dengan menyisipkan cerita ini dalam cerita (mirip seperti Kisah 1001 Malam) sehingga ada variasi cerita. Kita tidak melulu disugguhi perjalanan Samiam saat diperbudak dan kehausan di padang pasir, tetapi ada kisah Samiam dan sahabatnya Farhad dalam lini masa yang berjalan. Samiam mengisahkan catatan hariannya akan peristiwa yang sudah berlalu ketika dia masih sebagai budak (yang begitu menderita) sementara dia sendiri menuliskan kisahnya setelah dimerdekakan. Bab-babnya juga pendek dengan alur cepat, sehingga pembaca tidak bosan dan tidak bikin capek.

Keunggulan lain ada pada cara pengarang menuliskan perjalanan Samiam. Alih-alih semata penderitaan, pembaca dapat menganggap perjalanan Samiam di Timur Tengah ini sebagai tempaan. Samiam memang menderita, tetapi dari situ dia juga menjadi kuat dan bertemu banyak sahabat. Tidak sekadar perjalanan penuh bahaya, tetapi ada banyak ilmu, nasihat, dan pembelajaran hidup. Samiam bahkan sempat membicarakan tentang esensi hidup dan juga agama bersama tiga budak lain yang menjadi sahabat dekatnya.


Hal menakjubkan lain tentang buku ini adalah kota-kota yang dikunjungi Samiam. Kita sudah sering mendengar dan membaca tentang Yerusalem, kota dengan tiga agama. Selain Yerusalem, Samiam akan mengajak kita ke kota-kota di Timur Tengah yang mungkin hanya pernah kita dengar sekilas saja, seperti Mosul, Homs, Damascus, Teheran, dan Isfahan. Tidak hanya keindahannya tapi juga sekelumit sejarahnya. Juga, kota-kota yang mungkin baru dengar, seperti Tabriz, Halab, Idlib, Behestan, Yazd, dan Gamrun. Kota-kota ini punya sejarah yang panjang tetapi banyak yang belum diketahui karena memang kita jarang akrab dengan kota-kota di tanah Persia. Mungkin, karena ini adalah daratan kaum syiah.

Kota suci Mekkah dan Madinah juga tak luput dari kunjungan Samiam. Di kedua kota inilah Samiam mengalami pergulatan batin terkait manusia, tujuan keberadaan hidupnya, dan agama. Bagaimana Samiam bisa masuk Mekkah sementara dirinya adalah seorang Kristen? Ya, sudah tahu sendiri jawabannya. Kota kuno Petra juga sempat dikunjungi, hanya saja pengalaman di sana begitu mengerikan.

Tidak salah jika seri ini diberi judul Perjalanan Mustahil karena memang cobaan dan penderitaan yang harus dialami Samiam begitu beratnya. Tapi ini tidak menjadikan novel ini sendu dan lambat, justru ada semangat pantang menyerah seorang pria demi mencari istri dan juga tanah leluhurnya. Tidak hanya petualangan, ada banyak pelajaran tentang menjadi lebih baik dalam buku ini. Barangkali, semua agama itu baik tejuannya tetapi para manusianya yang menjadikan agama tampak sedemikian keras. Ketika agama dijadikan tunggangan untuk meraih kekuasaan dan kepentingan pribadi, maka itulah ketika seseorang disebut dengan menjual agamanya dengan harga murah.

Sebuah novel seru dengan latar tak biasa yang jarang ditulis di Indonesia, Timur Tengah di abad ke-16, lengkap dengan sejarah panjang konflik perebuatan kekuasaannya.

Sunday, August 11, 2024

Perca-Perca Bahasa

Judul:: Perca-Perca Bahasa
Penulis: Holy Adib
Tebal: 180 hlm
Cetakan: Maret 2021
Penerbit: DIVA Press


Keingintahuan dan kemauan untuk selalu belajar tetap menjadi kunci utama seseorang dapat menguasai suatu bidang keilmuwan. Pun demikian, mau belajar juga sebuah upaya yag layak dibanggakan. Seperti saya dan kita yang tertarik membaca buku atau esai tentang bahasa yang sekarang gampang sekali mengaksesnya secara gratis. Salah satunya, buku Perca-Perca Bahasa karya Hoky Adib yang dapat kita baca secara gratis di Ipusnas (walau kalau buat saya sih wajib punya versi cetaknya). Dan, saya butuh banget membaca buku ini. Bergulat *waduh* eh bergelut selama hampir sepuluh tahun di dunia penerbitan tidak menjamin saya benar-benar menguasai benar Bahasa Indonesia dengan segala pernak-perniknya. Ternyata, masih banyak yang belum saya kuasai. 

Harus banyak peluh yang tercucur, tenaga yang terkucur, dan waktu yang tercukur untuk menjadi penulis hebat (hlm. 170)

Buku ini merupakan kumpulan esai bahasa yang dikumpulkan dari sejumlah laman online. Meski sumbernya media daring, kita tidak perlu meragukan ketekunan penulis dalam menulis esai-esai tersebut. Sekian buku bahasa hingga deretan kamus legendaris menjadi bahan rujukan untuk penulisan esai-esai ini. Dan, dengan demikian, materi di dalamnya dapat diandalkan juga dijadikan sumb er referensi bagi para pemerhati dan pengguna Bahasa Indonesia. 

Beberapa, eh banyak materi yang seharusnya dasar tetapi nyatanya banyak yang saya sering lupa atau bahkan baru tahu. Misalnya saja, kata "bahwa: pada kalimat ini tidak bisa diganti dengan koma (demi efisiensi) karena akan merancukan posisi subyek/predikat (dan tidak bisa dianalisis secara sintaksis): 

"Ia menjelaskan, orang itu adalah temannya."

Jadi, bahwa tetap harus digunakan meskipun ada alasan efisiensi kata dengan tidak menggunakannya. Juga ada perbedaan besar antara kedua ungkapan khas ini:

aktor pembunuhan: pelaku atau eksekutor pembunuhan

auktor pembunuhan: otak/orang yang merencanakan pembunuhan (atau auktor intelektualis)"

Ungkapan 'dukungan moril' tidak bisa diganti dgn 'dukungan moral'. Moril sendiri bentuk tak baku dari "morel". Bantuan morel ; sokongan batin, bukan berupa uang atau barang."

Perkara imbuhan yang khas bahasa Indonesia bangat, ada sejumlah aturan yang harus ditaati agar  sebuah imbuhan bisa diterima ."Imbuhan "isasi" belum jadi imbuhan resmi dalam bahasa Indonesia, meski kita sudah sering melihat penggunaannya. Juga bahwa kata baku dan kata tidak baku tidak ada hubungannya dengan benar atau tidaknya sebuah kata. Tidak baku bukan berarti salah. Keduanya boleh digunakan, tergantung konteksnya. Jadi lain kali, jangan bilang "Manakah yang benar: himbau atau imbau?" tapi bilangnya begini: "Manakah yang baku: himbau atau imbau?" Baku dan tiak baku hanya perkara mana yang resmi dan tidak resmi, kedua-duanya sama-sama digunakan. 

Tentang akronim, atau singkatan, saya juga baru tahu kalau akronim bisa digunakan untuk menyembunyikan sesuatu. Ini terkait dengan fungsi bahasa yang salah satunya digunakan untuk menyembunyikan sesuatu (termasuk yg negatif). Dalam konsep kekuasaan, bahasa sering digunakan para penguasa  untuk menyembunyikan "sesuatu" dari warga negaranya. Salah satu yang dicontohkan penulis adalah tentang akronim DPR. Betapa sering dan akrab kita dengan singkatan dari Dewan Perwakilan Rakyat ini sehingga mungkin kita lupa kalau DPR ya tugasnya mewakili rakyat. Hal yang lebih berbahaya, ketika anggota DPR itu lupa kalau DPR adaalah Dewan Perwakilan Rakyat! Mereka lupa kalau tugasnya ya mewakili kepentingan rakyat, bukan kepentingan pribadi dan golongan.

Bahasa ternyata luar biasa. Tidak hanya beraneka ragam (jumlahnya bahasa daerah di Indonesia sendiri tercatat ada 710 - 720 bahasa daerah), bahasa juga turut membentuk perilaku dan pemikiran penggunanya. 


Sunday, August 4, 2024

Life Online

Judul: Life Online
Penulis: Nicola Morgan
Penerjemah: Nadya Andwiani
Penyunting: Maria Lubis
Sampul: Suku Tangan
tebal: 286 hlm
Cetakan: 1, Oktober 2020
Penerbit: Baca


Separuh kehidupan kita sekarang sepertinya dihabiskan untuk kehidupan daring atau life online. Mulai dari membeli barang, bertukar informasi, mencari pengumuman, ikut lomba, merayakan kenangan, hingga mengobrol; semuanya tidak lepas dari media sosial dan Internet. Kehidupan online telah memangkas jarak dan waktu, menghemat biaya dan akomodasi, dan mendekatkan yang jauh. Di sisi lain, seperti yang kita semua sudah paham tapi kok masih saja terlena, kemajuan teknologi online juga memunculkan masalah - masalah baru yang mungkin belum pernah ada sebelumnya.

Terlalu cepat menanggapi (tidak dipikir dulu) dan membuat status atau berkomentar adalah salah satunya. Yang lain misal bikin kurang tidur, merusak fokus dan konsentrasi, mengikis kemampuan kita untuk bisa tenang pada satu hal dalam waktu lama, dan menjauhkan yang dekat. Ini, saya yakin, kita semua sudah menyadarinya. Paling terasa adalah dengan hadirnya video-video pendek dengan format reel menjadikan otak terus menerus diguyur oleh beragam informasi yang berbeda, menjadikan pikiran sulit berfokus pada satu hal. Dalam jangka panjang, yang saya juga merasakannya, ada keinginan untuk membuka hape ketika baru bekerja di depan laptop selama sepuluh bahkan lima menit. Godaan dan distraksi semakin kencang, ini yang bikin fokus makin susah. Hal ini karena menurut buku ini manusia memang tercipta untuk terdistraksi sebagai peninggalan dari otak purba. Kita suka melihat distraksi (meskipun berusaha menghindarinya) karena distraksi di zaman purba bisa jadi penringatan akan adanya ancaman bahaya.

Kecenderungan ini yang kemudian dimanfaatkan oleh para pengembang internet dengan cara menaruh banyakdistraksi (berupa iklan atau pranala atau gambar bergerak) di halaman dari laman yang sedang kita buka. Saya sendiri sering dan masih mengalami, membuka internet dengan tujuan awal untuk mencaritahu harga buku A tetapi malah berujung di sebuah konten tentang perdebatan agama. Aktivitas yang aslinya bisa dilakukan kurang dari satu menit ternyata berujung sampai sejam, dengan entah konten apa saja yang telahsaya lihat. Yang jelas itu nggak ada hubungannya sama sekali dengan harga buku A. Demikian besar kekuatan distraksi.

Buku ini memang disusun untuk remaja, tetapi setelah membaca buku ini (dan mengamati perilaku berinternet para warganet di negeri ini) sepertinya orang dewasa termasuk saya pun juga butuh. Model tulisannya simpel, semacam esai ringan yang langsung memaparkan kelebihan dan kekurangan dari internet dan media sosial. Setelah itu, penulis juga menyertakan saran dan cara untuk menghindari efek buruk dari kehidupan online. Ini cara yang realistis. Penulis tidak kemudian mengajak pembaca menjauhi atau bahkan anti sama sekali dengan internet. Sebaliknya., kita butuh dan memang harus menggunakan internet untuk bisa hidup dengan normal di abad 21 ini. Hanya saja, kitalah yang harus mengatur kehidupan online, dan bukan kita yang diatur.