Judul: Kita dan Mereka
Penulis: Agustinus Wibowo
Tebal: 667 hlm
Cetakan: 3, Maret 2024
Penerbit: Mizan
Setiap
kita membawa dalam diri kita semua perangkat identitas beserta segala konflik
dan kisahnya. Kita punya agama, bangsa, negara, kepercayaan, pilihan politik,
keluarga, pekerjaan, kelas sosial, hingga pengarang favorit. Segala atribut
identitas ini menempel begitu erat bersama diri kita, menjadikan kita seperti
kita. Tidak hanya menjadi tanda tentang siapa diri kita, kadang identitas ini
terlalu lekat melekat sehingga setuap upaya dan siapa yang mencoba
menyenggolnya dapat memicu reaksi perlawanan: aku versus dia, kita versus
mereka. Agustinus Wibowo lewat buku ini mencoba mengupas lapis demi lapis
kedirian kita yang terlalu erat melekat (bahkan mengikat) ini. Menunjukkan
kepada kita bahwa semua atribut diri ternya begitu subjektif, rapuh, dan
terkadang tidak seberharga itu jika kita memandangnya dari sudut pandang yang
lebih besar.
"Ketika keakuan meluluh, ego meluruh, kita akan melihat bahwa semua orang yang lain, apa pun identitas mereka, adalah sama seperti kita." (Hlm.620)
Lewat perjalanan fisik yang dilakukannya menjelajahi sejumlah bangsa dan negara di dunia, Agustinus menemukan berbagai fakta yang menunjukkan betapa manusia itu terlihat berbeda-beda tetapi setelah didekati ternyata sejati sama. Kita terbentuk oleh cerita-cerita memiliki tembok batas masing-masing, membangun peradaban yang berputar jatuh bangunnya, saling berperang dan berkonflik, meyakini suatu sistem keyakinan tertentu, hingga membentuk diri dengan segala aku dan kamunya.
Hnilah identitas, hal-hal yang begitu kita pegang
erat sehingga semua yang berbeda tidak jarang dianggap mengancam. Perjalanan
fisik di tanah asing menjadikan penulis mampu menanggalkan jubah keakuan ini,
menjadi bukan siapa-siapa kecuali bagian dari satu kelompok besar yang bernama umat manusia.
“Tiada tempat yang
sempurna di dunia ini, tiada tanah surgawi berlimpah susu dan madu. Kemana pun
kita pergi, di mana pun kita menetap, selalu ada tantangan yang menghadang,
selalu ada perjuangan yang harus dilalui untuk membuat suatu tempat menjadi
rumah yang sejati. ” (hlm. 585)
Setelah perjalanan fisik, berikutnya Agustinus melakukan perjalanan sejarah dengan pembacaan ratusan buku yang membawanya melintas waktu. Sebuah upaya yang menyadarkannya bahwa peradaban manusia memang dipergulirkan jatuh bangunnya, tidak peduli siapa mereka: apakah muslim, Kristen, ateis, penyembah berhala. Setiap kita merupakan hasil dari berpuluh-puluh bahkan beratus generasi yang telah lalu.
Sejarah mengajarkannya bahwa identitas yang sering terlalu erat
kita pegang itu ternyata sebenarnya juga terus berubah. Indonesia sempat
dikenal sebagai negara muslim dengan penduduk terbesar di dunia. Tapi sejarah juga menunjukkkan agama besar yang mendominasi perjalanan sejarah panjang bangsa ini
adalah Hindu dan Buddha (18). Begitu samar dan tercampur aduk apa yang namanya identitas suatu bangsa.
“Apa yang tidak bisa kau terima, ubahlah;
dan apa yang tidak bisa kau uah, terimalah.” (hlm 586).
Perjalanan
sejarah yang tidak pernah lepas dari konflik dan perang menunjukkan betapa
keakuan diri selalu ada. Agustinus mengatakan betapa manusia tampaknya sangat
berbakat untuk menonjolkan perbedaan-perbedaan di antara mereka dan mengobarkan perang atas dasar
perbendaan-perbedaan identitas tersebut (hlm. 19). Bahkan agama yang seharusnya
menjadi penuntun kehidupan dan pencipta keharmonisan pun menjadi salah satu
bentuk identitas yang membelanya bisa paling berdarah-darah. Di masa lalu,
seseorang bisa diperangi karena tuhannya berbeda, atau karena tidak bertuhan.
Sekarang, cara ibadah yang berbeda bahkan cara berpakaian berbeda pun dapat
memicu konflik. Mengapa kita berperang hanya karena kita berbeda?
“Ketika identitas kelompok
dipegang terlalu kuat hingga mendominasi pikiran individu, identitas kelompok
itu kemudian menjadi satu-satunya kebenaran baginya sehingga dia tidak lagi bisa
melihat kebenaran yang mungkin ada di luar kelompoknya. Hal ini bisa mendorong
individu menjadi fanatik dan ekstrem, bahkan sampai pada tingkat membenci
orang-orang dari kelompok lain.” (hlm. 606)
Mempertanyakan kembali identitas diri memang tidak nyaman. Tidak semua orang berani mempertanyakan lagi segala atribut identitas yang sudah telanjur melekat pada diri sekian lama. Benarkah bangsa kita selalu ramah dan cinta damai? Apakah bangsa Eropa itu hanya penjajah dan membawa penderitaan rakyat? Bukankah tahun 1965 menjadi bukti sejarah pembantaian jutaan anak bangsa oleh sesama anak bangsa sendiri. Bahwa adalah sebuah fakta sejarah bahwa karena penjajahan Belandalah sejatinya negara NKRI bisa terbentuk (wilayah Indonesia bekas Hindia Belanda saat ini malah lebih luas wilayahnya ketimbang di era imperium Majapahit). Jika tidak dijajah Belanda, Indonesia mungkin masih berupa kumpulan kerajaan dan kesultanan kecil yang masih saling berperang dan berebut pengaruh. Dengan demikian, mampukah kita kemudian meninggalkan narasi kebangsaan yang sempit dan mengakui bahwa bagaimana pun Indonesia ada karena Belanda? Pemahaman inilah yg hendak diangkat penulis di buku ini.
“Pada permukaannya, konflik
identitas terlihat sebagai pertarungan antara benar atau salah. Kami benar,
kalian salah. Kita benar, mereka salah. Ini adalah pola pikir dualis yang telah
menjadi bagian dari sejarah peradaban manusia selama berabad-abad.” (hlm.
607)
Apakah
dengan demikian kita tidak boleh menjadi seorang nasionalis? Apakah kita harus
memuji Belanda? Bukan seperti itu. Lewat buku ini, Agustinus mengajak kita
menanggalkan keyakinan-keyakinan berlebihan yang mendorong pada konflik. Buku
ini mengajak kita mengedepankan persamaan ketimbang perbedaan sehingga kita
mampu memandang segala sesuatu dari cakrawala yang lebih objektif, lebih
manusiawi, tidak berlebihan. Selama konflik bisa dihindari, maka hindarilah. Mampukah kita? Kadang sukit karena ini perkara identitas yang terlalu diganggam erat sehingga jatuhnya malah menyakiti.
Banyak orang yang memilih tetap tinggal dalam
kenyamanan kegelapan yang seragam ketimbang menikmati indahnya warna-warni
keberagaman dalam sebuah pelangi. Memang rasanya sulit, berat, bahkan menyakitkan untuk mengelupas identitas yang telanjur melekat sebagai kulit kedua. Agustinus bahkan sudah dari awal memberikan
peringatan, betapa membaca buku ini mungkin akan menimbulkan rasa tidak nyaman
bagi sementara orang. Tetapi, ketidaknyamanan itu memang perlu. Mengupas kulit
sendiri memang menyakitkan, tetapi itu tak bisa dihindari jika kita ingin
menemukan siapa diri sejati kita yang sebenarnya.
Hal pertama yang perlu dikupas adalah tembok
kedirian. Manusia membangun tembok, dengan tujuan untuk melindungi diri dan
keluarga dari berbagai serangan dan ancaman dari luar. Tembok ini bsa berupa
“tembok pikiran” di dalam kepala kita. Bisa juga tembok fisik nyata sepanjang
6000 km dengan 20.000 menara yang kini kita kenal dengan Tembok besar Cina. Tembok
menjadi bentuk kecenderungan manusia untuk membeda-bedakan antara kita versus
mereka. Tembok ini bahkan sudah terbentuk secara alamiah ketika kita masih
bayi. Bayi yang baru lahir akan menangis bahkan ketika digendong oleh ibunya
sendiri. Bayi itu juga gampang tertidur pulas, tidak perduli siapa yang
mengendongnya (apakah suster, atau ibunya). Tapi beberapa bulan kemudian, si
bayi sudah menciptakan temboknya sendiri. Ia akan menangis jika digendong oleh
yang bukan ibunya atau bukan keluarganya.
“Keberagaman manusia adalah hukum alam. Merangkul
keberagaman berarti mengalir bersama Hukum Alam.” (hlm. 613).
Tembok adalah mekanisme utama perlindungan diri yang wajar dan alamiah. Tetapi seperti tembok Besar Cina yang gagal melindungi Kerajaan dari serangan suku nomad Asia Tengah, tembok adalah perlindungan yang rentan. Manusia sejatinya membangun tembok hanya untuk mengusir rasa takut, bukan mengusir musuh. Tembok pikiran bukan menciptakan keamanan, tetapi hanya menciptakan perasaan aman (43).
Hal ini
karena manusia ingin tetap berada dalam goa perlindungannya yang seragam. Tidak
ingin melihat keberagaman dunia. Tembok kemudian menjadi benteng untuk pembeda
antara diri yang dianggap baik dan paling beradab dengan mereka yang di luar
tembok dan dianggap liyan karena berbeda.
Tembok yang awalnya untuk melindungi fisik, menjadi pelindung ego juga.
“Semua identitas adalah konsep abstrak yang
tidak mampu punya emosi atau perasaan. Negara tidak bisa menangis, agama tidak
dapat dipermalukan, ideologi tidak bisa marah, klub sepak bola tidak dapat
dipecundangi. Yang bisa merasa bersedih, malu, marah, atau terhina adalah
manusia, yaitu individu-individu yang secara kuat mengidentifikasi diri dengan
identitas-identitas itu.” (hlm 606)
Bab
tentang Cerita dan Agama termasuk bagian paling mindblowing di buku ini. Penulis membongkar seluruh konsep tentang
negara, uang, bangsa, hingga pemerintahan sebagai suatu cerita yang terus
diembuskan dan dipercaya agar dunia bisa berjalan. Tentang uang misalnya, ada
segolongan orang yang membuat kita percaya bahwa beberapa lembar kertas bisa
ditukarkan dengan sekarung beras, bahkan setumpuk kertas bernama uang bisa “ditukarkan”
dengan tanah seluas 1 hektar beserta semua kekayaan yang dikandungnya. Demikian
juga negara, Agustinus menulis bahwa negara bisa ada karena kita percaya dia ada.
Mitos tentang negara ini lalu diperkuat dengan “cerita-cerita lain” seperti
lagu kebangsaan, bendera negara, angkatan bersenjata, uang, lambang negara, dan
banyak lainnya. Betapa kacaunya dunia ketika ada banyak orang yang sudah tidak mempercayai
cerita tentang uang dan negara.
“Hidup ini bukanlah tentang kontradiksi
antara benar atau salah, melainkan tentang perpaduan berbagai elemen yang
tampaknya berkonflik satu sama lain, yin dan yang, yang saling melengkapi demi
terwujudnya harmoni yang utuh.” (hlm. 611)
Demikianlah, lewat riset pustaka dan pengamatan dan
pengalaman nyata, penulis menyusun tesis-tesis menariknya di buku. Termasuk
membongkar segala hal yang kita percayai dan itu turut membentuk identitas
kedirian kita, termasuk kedirian penulisnya. Bahkan Agustinus di buku ini memilih tetap menggunakan kata
“Cina”, bukan hanya Tionghoa semata padahal yang pribumi pun cenderung
menghindari menggunakannya. Bahkan konsep siapa pribumi dan siapa pendatang di
Indonesia pun sesungguhnya masih sangat kabur. Sudah bukan waktunya lagi
berdebat tentang siapa si paling pribumi karena kedua sisi seharusnya sama-sama
berperan aktif meredam konflik. Mayoritas menciptakan lingkungan yang menerima
identitas minoritas, sementara individu dengan identitas minoritas juga harus
mau menerima dan berusaha agar diterima di lingkungannya.
“Kalau kau menganggap dirimu minoritas,
selamanya kau adalah minoritas. Kalau kau menganggap dirimu korban, selamanya
kau adalah korban. Ini adalah masalah sudut pandang.” (hlm 587)
Sebuah buku berat, penuh dengan ide dan informasi, sekaligus fakta-fakta yang bakal membuat kita mempertanyakan kembali apa apa yang kita percayai selama ini. Bahwa memiliki sebuah identitas itu perlu dan wajib, bahkan bermanfaat. Tetapi, jangan sampai upaya meneguhkan identitas itu membuat kita memaksakan identitas kita kepada mereka yang memang sudah berbeda. Ketika kedua belah pihak sama-sama saling berjuang, maka tidak ada lagi konsep kita versus liyan atau kita vs mereka, melainkan sebuah konsep yang satu dan menyatu: kita dan mereka.
“Semua peradaban, semua budaya, semua negara, semua agama, semua individu; masing-masing memiliki kontribusi unik mereka dalam membangun narasi yang kaya tentang kehidupan dunia.” (hlm 609)
“…karena manusia adalah makhluk yang berpikir, terus menciptakan cerita, dan terus menemukan makna dari segala penderitaan dan keterbatasan yang dialami. Itulah yang membuat kita bisa terus beradaptasi dengan perubahan, terus berupaya menciptakan lingkungan yang lebih baik, demi tetap sintas. (hlm. 540).