Search This Blog

Wednesday, December 3, 2025

Pintu-pintu Menuju Tuhan

Judul: Pintu-pintu Menuju Tuhan
Penyusun: Nurcholish Madjid
tebal: 299 hlm
Cetakan: Desember 1994 
Penerbit: Paramadina
ISBN 9789798321030 (ISBN10: 9798321030)


Buku lawas yang terbit pertama sekitar 31 tahun lalu, dan sebagian besarnya merupakan kumpulan tulisan Nurcholis Madjid dalam kolom "Pelita Hati" di harian Pelita tahun 1989 - 1991. Tema isinya beragam, dari iman, etika, peradaban, moral, dan tentu saja politik. Semua dikaitkan dengan POV seorang insan Muslim dalam menjalankan kehidupan maupun keagamaannya. Semua disampaikan dengan gaya bahasa sederhana khas surat kabar masa itu.

Hal yang menarik adalah penulisan buku ini yang menjelang senja dari Orde Baru. Cak Nur beberapa kali menunjukkan ketidakaetujuannya dengan sejumlah kebijakan pemerintah saat itu. Tetapi, protes ini dibahasakan lewat tulisan yang berhati hati, cenderung bersahaja tanpa sepenuhnya menghilangkan protes protes tersebut. Seperti saat Cak Nur membahas ttg siapa yang harus dipilih dalam pemilu yg saat itu hanya diikuti 3 partai (PPP, Golkar, dan PDI). Di tengah kuatnya tekanan untuk memilih salah satu partai, Cak Nur tetap memberikan anjuran pilihan tanpa harus menunjuk partai dimaksud.

Kedalaman pemikiran beliau tampak dari lestarinya isi tulisan di buku ini. Meski ditulis akhir 1980an dan awal 90an, tema dan anjurannya masih relevan untuk dibaca. Saya berulang kali lupa kalau buku ini ditulis semasa Orde Baru, bukan di awal tahun dua ribu.

Menulis bagi Cak Nur adalah meninggalkan jejak yang tidak hanya memandu, tetapi juga menerangi yang lain. Beliau sendiri  sudah wafat pada 29 Agustus 2005, tetapi jejak karyanya insya Allah selalu menghidupi dan menerangi para pembacanya. Bagi beliau, ada banyak jalan untuk beribadah kepadaNya. Tidak melulu via ibadah formal dan syariat, tetapi juga hal hal kecil yang memanusiakan diri sendiri dan juga orang lain, walau berbeda keyakinan, tanpa harus menggadaikan keimanan.


Santri Bertanya

 Judul: Santri Bertanya
Penulis: Ahmad Zahruddin M. Nafis
Tebal: 172 halaman
Cetakan:  Januari 2014 
Penerbit: Bhuana Ilmu Populer
ISBN 9786022496540 (ISBN10: 6022496543)


Judul buku menggunakan kata "santri" karena pembahasannya merujuk pada banyak kitab-kitab karya ulama klasik Islam yang sering disebut dengan kitab kuning. Kehadiran buku ini banyak menambah sentuhan "pesantren" pada pembaca awam yang mungkin belum pernah merasakan ngaji kitab kuning atau nyantri. Adalah sebuah realitas bahwa tidak semua persoalan kehidupan dapat ditemukan jawabannya secara tekstual dalam al-Qur'an dan Hadist. 

Di sinilah peran intelektual para ulama muncul melalui metode ijtihad, seperti qiyas, istihsan, maslahah mursalah, dan lainnya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan "meragukan" semisal: bagaimana hukum berazan sambil duduk, buang air kecil sambil berdiri, perkara muamalah dengan umat nonmuslim, besarnya zakat untuk tabungan di bank, hukum memelihara burung, tertinggal rakaat kedua dalam shalat Jum'at, dan banyak hal penting lain dalam ilmu fiqh yang saya pun belum banyak mengetahuinya.

Perempuan Bernama Arjuna #3: Javanologi dalam Fiksi

Judul: Perempuan Bernama Arjuna #3: Javanologi dalam Fiksi
Pengarang: Remy Sylado
Tebal: 308 hlm
Cetakan: Maret 2015 
Penerbit:  Nuansa Cendekia
ISBN 9786023500062 (ISBN10: 6023500064)


Sebagaimana klaim di sampulnya, buku ini memang bukan bacaan ringan. Tetapi di sisi lain buku ini juga masih terlalu ringan untuk membahas peradaban Jawa secara keseluruhan. Baik jawa sebagai sebuah entitas budaya, maupun Jawa sebagai salah satu peradaban tua di bumi Nusantara. Seperti buku Batakologi yang saya baca sebelumnya, buku ini dialurkan dengan kisah perjalanan Arjuna bersama sang suami Jean-Claude van Damme di latar yang menjadi sumber tema kisah utamanya. Kota Solo dan Jogja dipilih karena keduanya dipandang sebagai pusat peradaban Jawa saat ini, tentu sesuai judul buku seri ketiga ini: Javalogi dalam Fiksi.

Saya jadi teringat dengan Serat Centhini yang menggunakan metode berkisah tentang etnografis dan pengetahuan suatu tempat dengan dilakukan sambil berjalan oleh para tokoh utamanya. Metode serupa sepertinya digunakan dalam serial ini. Di masing-masing tempat, tokoh utama akan bertemu dengan tokoh lokal yang ahli dan akan menerangkan perihal budaya-agama-sejarah-tradisi manusia di wilayah tersebut. Jika di tanah Batak mereka ditemani seorang supir taksi S2 bernama Nadeak, di Solo ada Tuan Supardi Joko Darmono, seorang seniman tari (yang lahir, hidup, dan berharap wafat di Solo) sekaligus ahli tentang budaya Jawa.

Remy Sylado sepertinya menggunakan nama plesetan tokoh besar dalam seri Arjuna ini--selain mengakhiri atau memulai suatu bab dengan frasa khusus (di buku Batakologi, digunakan kata "tumben" untuk memulai setiap bab, sementara di buku ini digunakan frasa "jawabannya ada di bab berikut" di setiap akhir bab. Unik ya. Lewat sosok Supardi Joko Darmono inilah Arjuna, suami, ibu, pakde, dan keponakannya mendapatkan banyak info baru terkait hal-hal Jawa yang selama ini bikin penasaran. Salah satunya tentu asal muasal mitos tidak akurnya orang Sunda dengan orang Jawa padahal keduanya berada di pulau yang satu. Perang Bubat yang legendaris itu dikisahkan dengan luwes, lengkap dengan sejarah dan politik yang melatarinya.

Sedikit dibahas pula alasan mengapa orang Jawa terlihat selalu pasrah, ini terkait dengan filosofi mereka yang cenderung memilih hidup tenang walau seadanya, tidak terlalu ngoyo mengejar dunia meski itulah syarat cepat maju (dan kaya). Ada juga obrolan tentang Ramalan Jayabaya. Seorang pandhita Hindu yang karya ramalannya ternyata sangat bercorak Islam. Tentang agama sendiri, dibahas sebesar apa pengaruh Islam dalam perkembangan budaya dan peradaban Jawa di masa puncak. Ini menjawab kenapa Islam dan Jawa kemudian bisa menjadi suatu kesatuan pada umumnya. Hal yang menarik adalah tampilnya ajaran Katholik dan Protestan di Jawa, bagaimana ajaran yang dibawa bangsa Barat ini akhirnya bisa diterima juga oleh orang Jawa yang dominan Islam.

Bagian paling uhuk ada di pengujung buku ini, apalagi kalau bukan bagaimana orang Jawa memandang tentang senggama sebagai sebuah olah spiritual yang suci. Sedikit disunggung tentang Kitab Kamasutra dan pengaruhnya terhadap kehidupan rumah tangga Jawa. Sayang sekali, seks Jawa di buku ini tidak menyertakan kunjungan ke Candi Ceto dan Candi Sukuh, padahal lokasinya dekat sekali dengan Solo. Sepertinya, waktu mereka habis di Solo, bernama sang narasumber nyentrik bernama Joko Darmono.

Hal lain yang cukup disayangkan, latar Jawa di buku ini ternyata hanya Solo. Padahal, saya mengharapkan acara jalan-jalan mereka akan dibagi sama rata untuk Solo dan Jogja. Sayangnya, Jogja baru muncul di halaman 283 (padahal tebal buku hanya 305 halaman), dan dikesankan hanya sekadar lewat. Jadilah Jawa di buku ini akhirnya serba tanggung dan terkesan kurang tebal jika dibandingkan dengan peradaban yang bisa jadi berjilid-jilid ensiklopedia untuk menuliskannya. 

Tetapi, mungkin Jogja memang sudah terlalu sering dituliskan dan dijadikan latar. Saatnya Solo yang tampil sebagai sebuah kesegaran dari Jawa. Tetapi juga, bisa jadi memang seri ini ditulis untuk pembaca awam yang bukan hanya Jawa, sehingga sebuah karya yang terlalu Jawa hanya akan berujung pada sebuah buku antropologi--dan bukannya novel. Tetapi juga (lagi), rasanya masih jomplang ketika sebuah buku yang diklaim "membawa Jawa" ternyata hanya mampir di satu kota saja, ya sudahlah.

Entrok

Judul: Entrok
Pengarang: Okky Madasari
Tebal: 282 hlm
Cetakan: April 5, 2010 
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
ISBN: 9789792255898

Ada begitu banyak hal terjadi dalam novel ini, yang semua terjadi pada era Orde Baru. Peristiwa-peristiwa besar saat itu, mulai dari PEMILU yang selalu dimenangkan oleh bendera kuning, kasus Kedung Ombo, maraknya Petrus (penembak misterius), peledakan delapan stupa Borobudur oleh kaum ekstremis, pelarangan hal-hal terkait budaya dan kesenian Tionghoa, dan KTP bertanda PKI. Konon masa itu, mereka yang menentang pihak berkuasa akan diberi cap sebagai PKI—atau istilahnya di PKI-kan. Orang dengan stempel imajinatif ini akan sulit mendapatkan pekerjaan, sulit diterima masyarakat, dan bahkan susah untuk menikah—seperti yang dialami Rahayu, anak Yu Marni.

Entrok berkisah tentang kehidupan 3 generasi perempuan yang menjadi korban dari masa kehidupan mereka. Adalah Yu Marni, seorang penghayat kepercayaan kepada Ibu Bumi dan Bapak Langit yang tak pernah lelah memberi sesajen dan melakukan penghayatan pada tengah malam di bawah pohon asem di rumahnya. Yu Marni kecil hidup dengan didikan emaknya yang hanya bisa pasrah melihat bagaimana wanita diperlakukan pada saat itu. Hanya kaum lelaki saja yang boleh digaji dalam bentuk uang, sementara pekerja perempuan hanya dibayar dalam bentuk barang. Yu Marni dan emaknya yang bekerja mengupas ketela tentu saja hanya mendapat bayaran berupa ketela.

Untung Yu Marni punya pemikiran bisnis yang moncer. Ia tidak ingin seterusnya hidup seperti itu, ia ingin bisa hidup sejahtera, tidak diremehkan, dan berdikari. Mulailah ia menjadi kuli perempuan pertama di pasar Singger. Dari uang hasil jadi kuli angkut, ia menggunakannya untuk berjualan sayur, yang diiderkan di kampung-kampung. Murni menjemput bola dengan mendatangi pembeli. Usahanya lancar dan berkembang hingga akhirnya dia menjadi juragan dengan sawah berhektar. Usaha lainnya adalah sebagai bangplecit dengan bunga 10%.

Dari sinilah semua masalah ribet mulai bergulir. Tidak ada yang bisa tenang ketika melihat ada sumber uang di depan mata. Kekuasaan kemudian dijadikan senjata untuk mencari uang, dengan prinsip perlindungan padahal aslinya hanyalah penerapan politik jatah preman. Pembaca diuat terombang-ambing tentang siapa yang sebenarnya salah di sini. Apakah Yu Marni yang kaya raya sebagian dari hasil membungakan utang, ataukah pihak-pihak berkuasa yang turut menikmmati riba meskipun di luar mereka mengutuknya.

Entrok benar-benar membuka pandangan tentang apa-apa yang selama ini keliru di sekitar tetapi tidak disadari kalau itu keliru karena sudah terlalu banyak yang melakukannya. Ketika sebuah kekeliruan dianggap wajar dan biasa saja, tidak ada kata lain kecuali pasrah demi keamanan diri. Harta hasil jerih payah sendiri diambil paksa. Keyakinan luhur yang dianut sejak nenek moyang dicurigai. Sementara pihak berkuasa semakin mengurita dan rakyat kecil yang apesnya tidak bisa berbuat apa-apa—termasuk ketika diberi label “terlarang” hanya karena tindakan memprotes pihak berkuasa.

Hampir-hampir tidak ada orang benar di novel ini. Ceritanya begitu miris, membuat pembaca hanya bisa menerima karena memang sedemikian kuat pihak yang berkuasa waktu itu. Mungkin, hanya usaha Yu Marni dengan jiwa wirausahanya yang layak untuk kita tiru. Jika punya uang, jangan melulu dihabiskan untuk konsumsi. Belilah barang investasi yang bisa menghasilkan uang lagi. Yu Marni telah mencontohkannya. Carilah uang, yang banyak, karena kadang hanya diri sendiri yang bisa menolong kita.

Thursday, November 27, 2025

The Lost Symbol

Judul: The Lost Symbol

Pengarang: Dan Brown

Penerjemah: Ingrid Dwijani Nimpoeno (Mulus sekali terjemahannya, salut)

Tebal: 784 hlm

Cetakan:  2016

Penerbit : Bentang Pustaka

Hidup di dunia tanpa menyadari makna dunia itu ibarat berkeliaran di perpustakaan besar tanpa menyentuh buku-bukunya.

Lima bintang, puas sekali bacanya. Tidak banyak buku tebal dan berat yang begitu nagih untuk dibaca meski tangan rasanya pegel. Pegelnya jadi tidak begitu terasa, kalah sama rasa ingin tahu yang dipancing pengarang pada tiap akhir bab. Seperti novel-novel Brown yang lain, The Lost Symbol tetap mengeksplorasi tema-tema sejarah konspirasi yang dipadukan dengan alur thriller penuh misteri. Di buku yang seluruhnya berlatar di Washington DC ini, Brown mengekplorasi simbol-simbol organisasi Free Mason (Mason Bebas) yang sudah sejak lama menjadi tema panas untuk hal-hal beraroma konspirasi tingkat dunia. Di novel ini, organisasi rahasia itu ternyata tidak serahasia kedengarannya meskipun mereka juga punya banyak rahasia.

Lost Symbol dimulai dengan Robert Langdon, seorang simbolog Harvard ternama, yang mendadak dipanggil ke Washington, D.C. oleh mentornya Peter Solomon. Ia diminta untuk memberikan ceramah tepat di bawah kubah legendaris yang muncul di sampul buku. Peter sendiri adalah seorang tokoh Freemason terkemuka. Namun, misteri mulai muncul ketika setibanya di Capitol Building, Langdon mendapati panggilan itu adalah jebakan. Faktanya, Peter Solomon tengah diculik oleh seorang pria misterius bernama Mal'akh. Sebuah tanda mata dari Peter terpajang tepat di bawha kubah Rotunda Capitol Building.

Dengan menawan Peter, Malakh memaksa Langdon memecahkan rangkaian simbol demi menemukan “Kebijaksanaan Kuno” atau kata yang hilang,  yang diyakini tersembunyi oleh para Freemason. Masalah makin pelik ketika CIA ikut turun tangan dan mengejar Langdon CS. Dan begitu alurnya, sama seperti novel-novelnya yang lain: adegan kejar-kejaran sambil kuliah singkat tentang sejarah konspiratif serta wujud arsitektural yang terhubung dengan nilai-nilai Mason

Langdon bekerja sama dengan Katherine Solomon, adik perempuan Peter, yang merupakan ilmuwan Noetic Science. Wanita iu sendiri tengah melakukan penelitian tentang kekuatan pikiran manusia, termasuk eksperimen yang menunjukkan bahwa kesadaran manusia dapat memengaruhi materi. Katherine bahkan membuktikan bahwa jiwa punya massa.

Pencarian membawa keduanya (dan tentu pembaca) ke berbagai lokasi penting di Washington D.C., seperti Capitol Building, Museum Smithsonian, Katedral Nasional Washington, House of the Temple, hingga Washington Monumen yang merupakan tiruan kolosal dari Obeliks Mesir. Sepanjang perjalanan, kita diajak memecahkan simbol-simbol Mason, kutipan kuno, hingga geometri sakral yang diklaim tersembunyi dalam desain kota Washington.

Bagian ini yang paling menarik, apalagi jika kita sambil meng-googling foto dan video lokasinya lewat media sosial. Dan Brown menggunakan banyak bangunan Mason yang nyata di Washington, D.C., seperti George Washington Masonic National Memorial dan House of the Temple. Brown lewat fiksinya mengklaim bahwa tata kota Washington mengandung Geometri sakral, Simbol-simbol Mason, Penjajaran astrologis yang dipertimbangkan saat pembangunan kota ini. Beberapa landmark nyata di Washington D.C. digambarkan memiliki Simbolisme matematika, rang tersembunyi (ditambah unsur fiksi), pengaruh desain esoteric. Brown menggabungkan fakta arsitektur nyata dengan teka-teki yang ia ciptakan. Entah benar atau tidak, tapi ini menarik untuk sebuah cerita misteri-thriller.

Brown memberikan sentuhan dramatis dan fiksi, tetapi beberapa konsep berasal dari teori ilmiah pinggiran yang benar-benar ada. Salah satu yang fresh di novel ini adalah pembahasan tentang Noetic Science. Menurut internet, noetic Science adalah bidang penelitian nyata yang dipelajari oleh Institute of Noetic Sciences (IONS). Bidang ini mencakup penyelidikan tentang pengaruh pikiran terhadap materi, kesadaran manusia yang mempengaruhi realitas fisik, dan sebuah upaya untuk menyadarkan kemanusiaan secara global.

Seperti klaim pengarangnya Freemason adalah sebuah organisasi nyata.  Freemason benar-benar ada dan memiliki ritual, simbol, serta struktur keanggotaan yang kita bisa dengan mudah mencarinya di internet. Bahkan, anyak tokoh AS, termasuk George Washington, adalah anggota Mason. Organisasi ini sendiri—menurut Langdon—terlalu banyak disalahpahami. Tujuan Freemason adalah mengupayakan agar manusia mampu mencapai potensi setinggi-tingginya, dan ini pula yang menjadi tujuan besar dalam alur cerita The Lost Symbol.

"Hanya melalui kesadaran bahwa hari-harinya di dunia terbatas, seorang manusia bisa memahami pentingnya menjalani hari-hari itu dengan kehormatan, integritas, dan pelayanan terhadap sesama manusia."

 

 


Wednesday, November 19, 2025

Lelaki Lelaki Tanpa Perempuan

Judul: Lelaki Lelaki Tanpa Perempuan
Pengarang: Haruki Murakami
Penerjemah : Ribeka Ota (Sensei, terjemahannya bagus sekali. Indah banget asli kerasa liris dan bukan kayak baca buku terjemahan. Seolah memang karya ini ditulis aslinya dalam bahasa terjemahan. Memang sebagus itu terjemahannya *terharu)

Cetakan: Ketujuh, November 2024 

Tebal: 262 hlm

Penerbit: KPG 



"Sesuatu yang tampak luar biasa gemerlap dan absolut pada suatu saat, sesuatu yang membuat orang bahkan rela meninggalkan segala-galanya asal mendapatkannya, setelah beberapa waktu berlalu atau kalau dipandang dari sudut pandang yang sedikit berbeda, bisa jadi kelihatan begitu luar biasa kusam." (hlm. 164)

Cerpang (cerita cerita panjang) dalam buku kumcer ini untungnya tidak semuanya absurd. Kecuali dua cerpen terakhir, seluruh cerita di buku ini adalah tentang orang orang biasa yang Jepang banget. Tentu ketika itu kisah orang Jepang dan yg bercerita adalah Murakami, kisahnya jadi tidak biasa bagi pembaca.

Kisah kisah yang seolah biasa saja tetapi ditulis dengan mulus dan istimewa sehingga membuat pembaca larut dalam panjangnya cerita. Rasa lelah membaca panjang itu ada, tetapi seolah ada sesuatu yang menggedor pikiran untuk meneruskan membaca hingga menyimak akhir cerita yang kadang kok seperti begitu saja ya.

Membaca cerpen-cerpen Murakami memunculkan perasaan "nyaman" yang khas yang sering saya jumpai dalam novel-novel karya penulis Jepang yang diterjemahkan dengan baik. Ada nuansa teralienisasi, individualisme yang kuat, disiplin tinggi, kekepoan di tengah kecuekan khas orang Jepang, tapi di saat yang sama ada sensasi akrab dan lamban yang enak dinikmati.

Sensasi ini kembali saya temukan saat membaca cerpen pertama buku ini. Seorang pria 40 tahunan memutuskan mencari sopir pribadi sehabis dirinya mengalami kecelakaan akibat keterabatasan jarak pandangan. SIM-nya untuk sementara dicabut sehingga ia harus mengandalkan orang lain untuk menyupirinya ke tempat kerjanya sebagai pemain sandiwara. Proses pencarian sopir ini berujung pada seorang wanita nyentrik yang ternyata cocok. 

Bukan Murakami kalau ceritanya tidak sedikit melenceng kemana-mana tetapi masih enak diikuti. Proses pencarian sopir ini seakan hanya menjadi dalih untuk cerita lain yang lebih dalam. Si pria habis kehilangan istrinya yang wafat karena kanker rahim. Terlepas dari cinta dan kesetiaannya kepada sang istri, ia mendapati istrinya ternyata telah berselingkuh dengan setidaknya 4 pria. Ia tahu tapi ia tidak mau tahu. Ia pura-pura tidak tahu. Dan setelah istrinya meninggal, pertanyaan mengapa itu pun muncul. Apa yang kurang dalam dirinya, mengapa istrinya tega melakukan hal tidak senonoh dengan pria lain, dan semua pertanyaan itu tidak akan pernah terjawab. Ini adalah kisah tentang kegamangan seorang pria, tanpa solusi yang jelas, tetapi hanya untuk dikisahkan begitu saja. 

"Di antara beragam perasaan yang dialami manusia barangkali tak ada yang lebih sulit diatasi ketimbang iri hati dan tinggi hati." (hlm. 184)

Hal lain selain absurditas dalam unik yang berceceran sepanjang buku ini, adalah elemen seksualitas yang begitu kental. Hampir semua cerita ada unsur seksnya dengan kebanyakan menyorot pada sisi perempuan kecuali pada kisah Gregor Samsa yang digambarkan berereksi melihat tamu wanitanya. Entah itu perselingkuhan, seks di luar ikatan, atau fetish seorang remaja yang mengidolakan kawan cowok sekelasnya, unsusr seks seolah menjadi pembangun cerita sekaligus penggerak yang lumayan kuat untuk kisah kisah orang di buku ini. 


Buku ini ikut memunculkan perasaan enak dibaca tapi tetap berjarak dari ceritanya, sepi dan ngun ngun, jauh tapi kita mengenalnya. Dengan kalimat lain, sensasi yg sering kita jumpai saat membaca novel karya pengarang Jepang. Tema kadang berat dan kelam, tp Murakami mengemasnya dengan populer, sehingga banyak kita jadi bisa menerima dan memakluminya, sampai  akhirnya tersadar bahwa kisahnya ternyata sekroak itu.

Bisakah kita memaklumi seorang Kino yang hanya diam saja melihat istrinya menduduki rekan sekerjanya dalam kondisi tanpa busana? Tak habis pikir bagaimana seorang pria mapan yang menjunjung logika malah menjadi 'logila' bahkan sampai menyerah menjadi manusia hidup karena sakit cinta? Atau, kisah tentang si kecoa yang menjadi Gregor Samsa kemudian jatuh cinta?

Kisah-kisah itu terlalu absurd dan tak terpikirkan oleh kita, tetapi tentu saja ada. Dunia kadang lebih fiksi dari fiksi, dan Murakami seolah hendak membuktikan serta mengilustrasikan hal hal itu lewat fiksi karyanya. Manusia sejatinya mahkluk yg kuat sekaligus rapuh, kurang sekaligus penuh, dan sebuah kelokan tajam dalam perjalanan hidup dapat mengubah total apa yang selama ini diupayakan.

"Kita mungkin bisa mempertahankan kewarasan jika kita terus mengerjakan hal-hal kecil dengan telaten dan jujur." (hlm. 241)

Sejatinya apa dan bagaimana menjadi manusia. Dengan menjadi individu, bisakah kita lepas dari keruwetan dan kerandoman dunia. 
Dan Murakami berhasil menangkap kenyataan ini lewat kepiawaiannya serta entah proses kreatif seperti apa yang dialami dan dilaluinya. Kisah kisah di buku ini membuktikan sebaliknya. Manusia dengan segala keunikan dan keindividuannya adalah ruang untuk terjadinya berbagai cerita, yang absurb maupun yang biasa. Seperti yang dikatakan Syahrazad di halaman 164: "Kehidupan ini memang aneh."


Saturday, October 4, 2025

Chairil Anwar, Ini Kali Tak Ada yang Mencari Cinta

Judul: Chairil Anwar, Ini Kali Tak Ada yang Mencari Cinta

Penyusun: Sergius Sutanto
Tebal: 432 halaman
Cetakan: Pertama, October  2017 
Penerbit: Qanita
ISBN: 9786024020989 (ISBN10: 6024020988)


Selama ini hanya tahu penyair kenamaan ini dari karya-karyanya saja, yang bahkan sudah dikenalkan begitu dini. Sajak Karawang-Bekasi yang legendaris itu, yang pertama kali dibaca di sebuah buku pelajaran bahasa Indonesia saat masih bersekolah di tingkat pertama, adalah ingatan yang muncul tentang Chairil Anwar. Dari banyak info sepotong-potong yang beredar tentang sang penyair, juga dari Rangga yang kono bisa menjadi begitu romantis setelah membaca "Aku" karya Chairil Anwar, penyair ini terlihat begitu tinggi, dialah pelopor angkatan 45--salah satu penyair terbesar di Repulik ini.

Tetapi judul Aku ternyata menggambarkan dengan tepat bagaimana sosok Chairil Anwar seperti digambarkan di buku ini. Buku ini ditulis berdasarkan wawancara dengan putri kandungnya, dan juga berbasis riset pustaka pada begitu banyak sumber referensi yang sebagian memang kawan dekat atau setidaknya orang-orang yang pernah berinteraksi dengan sang penyair, seperti Rosihan Anwar, Des Alwi, dan H.B. Jassin. Saya sendiri baru tahu di buku ini kalau Chairil Anwar adalah keponakan dari Sutan Syahrir, seorang pejuang kemerdekaan dan Perdana Menteri Indonesia yang pertama.

Lingkungan "elite" inilah yang menyemai luasnya bibit kreativitas dari seorang Chairil. Dari muda hingga usia 19 tahun, digambarkan Chairil bisahidup enak, semua tercukupi, dengan asupan buku-buku dunia milik ayahnya. Memang ya, lingkungan dan mendukung serta priviledge itu punya andil sangat besar dalam mendorong lahirnya seorang sastrawan hebat (meskipun bukan satu-satunya faktor pendukung). Satu yang jelas, untuk bisa hebat tetap butuh modal--apa pun itu. Lewat koneksi keluarga dan juga kecukupan harta inilah, Chairil muda cenderung lebih mudah untuk bisa bertemu dengan sosok-sosok besar di neggeri ini.

Betapa bisa dibayangkan irinya banyak dari kita, ketika dalam usianya yang masih 20an awal, Chairil yang memang sudah menyemai bibit sastrawan dalam dirinya, bisa bertemu dengan sosok-sosok legendaris sastra negeri ini, seperti Sutan Takdir Alisyahbana dan Mohammad Hatta. Mengetahui bahwa Chairil adalah keponakan dari Sutan Syahrir (yang merupakan teman akrab dari Moh. Hatta dan Soekarno) sudah membuat iri. Betapa ia bisa dengan mudah dan dekatnya bertemu dengan orang-orang hebat. Ini mungkin membuktikan tesis bahwa banyak orang hebat yang dilahirkan dari lingkungan orang-orang hebat semua.

Tetapi di balik segala kebesaran namanya, buku ini mengelupas sosok Aku, si Binatang Jalang, hingga ngelotok. Kita sudah maklum dengan sejumlah seniman atau penyair atau sastrawan yang memiliki tingkah nyeleneh atau tak biasa. Chairil Anwar benar-benar menunjukkan ciri itu ada dalam dirinya. Kebebasan, anti kemapanan, agak bohemian, tidak mau terkunkung rutinitas--semua atas nama kreativitas. Chairil adalah tipe sastrawan yang memuja inspirasi. Ia melakukan kebebasan agar bisa bebas mendapatkan inspirasi untuk karya-karyanya. Dan memang benar ada tipe sastrawan (atau orang) yang seperti ini. Ia membutuhkan egosime diri untuk bisa menghasilkan hal-hal besar.

Sayangnya, tidak semua orang di dekatnya mampu memahami kecenderungan ini. Berulang kali Chairil mendapat nasihat dan ceramah tentang ggaya hidupnya yang awut-awutan dan kacau. Rutinitas kerja sangat dihindarinya--itu membuatnya tidak produktif, katanya. Bahkan soal keuangan pun dia kacau, entah sudah berapa banyak kawan yang menjadi "korban" untuk berutang uang. Diceritakan juga betapa di penghujung hidupnya Chairil harus berpindah-pindah menumpang tinggal di kos dan tempat tinggal para sahabatnya. Dan meski begitu, Chairil tetap dengan keakuannya, dengan semangat bebas tak terkekang.

Chairil Anwar adalah gambaran untuk sastrawan era bohemian yang menjunjung kebebasan, yang diakuinya sendiri saat mengutip kehidupan Van Gogh yang juga meninggal dalam kondisi miskin dengan hanya satu lukisan yang terjual selama ia hidup. Ia berutang banyak pada kawan-kawannya, yang begitu sering ia ejek dan ia sindir sebagai budak-budak kemapanan. Bisa dibilang, Chairil Anwar sangat beruntung memiliki lingkungan kehidupan dan kawan-kawan yang sangat mendukung kariernya sebagai penyair hebat negeri ini. Bahkan, ia sendiri berutang budi pada HB. Jassin sebagai orang yang pertama kali menerima dan mengusahakan agar puisi-puisinya bisa terbit.

Sayangnya, ia tidak beruntung dalam hal masa kehidupannya, juga percintaannya, selain juga keuangannya. Chairil berkarya dalam tiga zaman (penjajahan Belanda, penjajahan Jepang, dan masa Revolusi fisik Kemerdekaan). Ketiga masa genting inilah yang menyuburkan kreativitasnya, sekaligus menggerogoti dirinya. Kebiasaannya yang sangat produktif menghabiskan rokok, kelayapan di tengah malam, jarang pulang, jarang makan teratur, abai pada kesehatan yang akhirnya turut menurunkan kondisi kesehatannya. Tahun 1948 ia didiagnosis terkena TBC dan tifus akut. Dan mirisnya lagi, Sang Penyair Binatang Jalang ini bahkan tidak kuat untuk membayar biaya pengobatan dirinya sendiri. Terpaksa ia berutang lagi kepada kawan-kawannya yang sedemikian memaklumi kelakuan Chairil.

Kreativitas memang tak terbatas tetapi pada akhirnya tetap harus tunduk pada batas-batas duniawi. Chairil Anwar mungkin ingin hidup seribu tahun lagi, mencipta lebih banyak puisi, dan membaca banyak buku-buku bergizi--tetapi semua itu pada akhirnya harus menyerah pada tubuh yang lemah. Dalam usia yang begitu muda, 27 tahun, Chairil Anwar pergi dengan meninggalkan sajak-sajak perkasa yang terus diperbincangkan pembaca--seperti cita-citanya.