Search This Blog

Saturday, March 22, 2025

Rekonstruksi Sejarah al Qur'an

Judul: Rekonstruksi Sejarah al Qur'an
Penulis: Taufik Adnan Amal
Cetakan: 1, Oktober 2013
Tebal: 465 hlm
Penerbit: Alvabet



Pernah nggak sih penasaran pada bagaimana mushaf al-Qur'an yang selama ini kita baca bisa menjadi bentuknya yang seperti saat ini? Dalam keimanan seorang Muslim, al-Qur'an diturunkan/diwahyukan kepada Nabi Muhammad Saw secara berangsur-angsur selama 23 tahun. Jadi bukan dalam bentuk satu buku yang turun bleg langsung. Penurunan Al-Qur'an dimulai dengan wahyu pertama di Gua Hira pada saat Nabi Muhammad SAW berusia 40 tahun , dan berakhir dengan ayat terakhir yang diturunkan (Surat Al-Maidah ayat 5) Penurunan Al-Qur'an juga terbagi menjadi dua periode: periode Mekkah (12 tahun 5 bulan) dan periode Madinah (9 tahun 9 bulan). Jadi, kitab suci ini diwahyukan secara bertahap. Hikmah penurunan Al-Qur'an secara bertahap ini  antara lain untuk meneguhkan Rasulullah dalam berjuang, sebagai mukjizat, dan mempermudah pemahaman serta penghafalan ayat-ayat.

Jadi, al-Qur'an pada zaman Rasulullah Saw. lebih banyak disimpan dalam ingatan dan "dada" Nabi Saw dan para sahabatnya. Tradisi hafalan yang kuat di kalangan bansa Arab pada masa itu memungkinkan terpeliharanya teks-teks al-Qur'an.  Ketika sebuah wahyu turun kepada Rasul, beliau akan menyampaikannya kepada para pengikutnya yang kemudian menghafalkannya. Sejumlah sahabat yang dikenal sebagai penghafal Qur'an di antaranya Ubay ibn Kaab, Muadz ibn Jabal, Zayd ibn Tsabit, dan Abu Zaid al-Ansyari. Selain dihafalkan, sejumlah ayat Qur'an juga dicatat dalam bentuk tertulis. Dalam kisah populer tentang masuk Islamnya Umar ibn Khattab, kita mendapati adanya lembaran  atau shahifah berisi beberapa ayat suci al-Qur'an.

Saat Rasulullah hijrah ke Madinah, dikabarkan juga beliau meminta sejumlah sahabat untuk mencatat wahyu yang turun. Sejumlah hadist juga secara tersirat menyebut adanya pencatatan wahyu secara tertulis. Ayat-ayat ini turun secara acak dan Rasul sendiri yang kemudian memberi petunjuk tentang susunan ayat atau urutannya. Dengan demikian, bentuk dan susunan isi surah-surah yang ada dalam mushaf al-Quran saat ini memang ditata sesuai petunjuk langsung dari Nabi. Dengan demikian, ada  bukti yang mendukung teori bahwa ayat suci sudah dituliskan dan dicatat (bukan semata dihafalkan) sejak masa kehidupan Rasulullah. Mengenai bagaimana urutan turunnya ayat saat turun kepada beliau, sejumlah sarjana muslim dan barat turut membahas hal ini secara rinci di halaman 103 sampai 120.

Bagian menarik tentu saja, bagaimana al-Qur'an kemudian menjadi bentuk buku mushaf seperti yang saat ini kita pegang. Seperti disinggung di atas, sejumlah sahabat sudah memulai mencatat wahyu sejak masa Nabi. Namun, "penyempurnaan" kumpulan ayat ini baru mulai dilakukan setelah Nabi Saw wafat. Sejumlah riwayat menyebut Ali bin Abi Thalib adalah orang pertama yang mengumpulkan al-Qur'an pada masa Nabi, langsung dari perintah Nabi sendiri. Sejumlah riwayat menyebut Ali mengumpulkannya selama 6 bulan setelah Nabi wafat, ada juga yg menyebut Ali mengurung diri selama 3 hari untuk menuliskan al-Qur'an sebagaimana hafalannya sesuai kronologis. Ada juga riwayat tentang Nabi sendiri yang memberitahukan kepada Ali  tempat beliau menyimpan bahan-bahan al-Qur'an meskipun agak meragukan validitasnya.

Satu hal yang jelas, penyusunan al-Qur'an hingga menjadi bentuknya seperti saat ini dimulai setelah wafatnya Nabi. Saat itu mushaf belum ada tetapi para ahli sejarah menyakini sejumlah ayat telah dicatat meskipun terserak dan tersebar. Namun, perlunya pencatatan ayat-ayat suci mulai mengemuka ketika terjadi Perang Yamamah. Dikabarkan, banyak penghafal Qur'an yang gugur karena mereka juga turut dalam perang tersebut. Untuk menghindari hilangnya wahyu, Umar lalu menyarankan kepada Abu Bakar (yang menjadi khalifah pada saat itu) untuk mengumpulkan al-Qur’an dalam satu wadah. Abu Bakar awalnya khawatir dianggap melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh Rasul. Umar terus mendesaknya hingga akhirnya Abu Bakar meminta Zayd untuk menelusuri jejak al-Qur’an dan mengumpulkannya dalam satu mushaf.

Zayd yang di zaman Nabi dikenal sebagai penulis wahyu kemudian mengumpulkan ayat-ayat yang terserak dalam hafalan, dalam pelepah kurma, pada batu-batu tulis dari kapur berwarna putih, pada lembaran lontar (perkamen), tulang belikat onta, tulang rusuk unta, dan kulit binatang. Bahan-bahan ini lalu dikumpulkan dalam sebuah kumpulan lembaran-lembaran (shuhuf) yang lalu dipegang Abu Bakar selama masa kehidupannya, lalu dibawa Umar sebagai khalifah kedua, dan disimpan Hafshah binti Umar. Tentang bagaimana metode yang digunakan Zayd dalam mengumpulkan shuhuf ini diuraikan secara detail di halaman 161.

Di masa pemerintahan Umar dan Abu Bakar, terdapat juga shuhuf lain yang dikumpulkan dan dicatat sendiri oleh sejumlah sahabat seperti mushaf Ibnu Mas’ud, Ubay bin Kaab, dan lain-lain. Total terdapat 15 mushaf primer (mushaf independen yang dikumpulkan secara individual oleh sejumlah sahabat Nabi) dan 13 mushaf sekunder (13 kodeks atau mushaf yang dibuat oleh generasi setelah para sahabat dengan didasarkan pada mushaf primer). Seluruh mushaf ini lalu disebut sebagai mushaf pra-usmani. Perbedaan “kecil” dari seluruh mushaf ini bisa dibaca di halaman 177 sampai 210 buku ini.

Kemudian, bagaimana status atau kedudukan mushaf-mushaf pra-Utsmani ini? Para sarjana islam awal kemudian mencoba menelusuri derajat kesejatian bacaan dalam mushaf-mushaf ini dengan menggunakan metode tingkat kepercayaan trasmisinya (isnad). Cacat atau tidaknya isnad sangat menentukan apakah sebuah bacaan itu qurani atau tidak. Kesimpulan yang diambil para sarjana islam maupun para sarjana Barat yang meneliti islam menghasilkan simpulan kalau bacaan dalam mushaf-mushaf prautsmani tidak mencapai derajat mutawatir atau mayshur sehingga tidak bisa disebut sebagai bacaan al-Qur’an yang otentik. Tenang alasan selengkapnya mengapa demikian bisa dbaca di halaman 210.

Mushaf al-Qur’an yang sampai kepada kita saat ini adalah yang disebut sebagai Mushaf Utsmani. Mushaf ini disusun untuk menjawab persoalan tentang perbedaan bacaan al-Qur’an di antara penduduk Syam dan Irak. Utsman yang saat itu menjabat sebagai khalifah ketiga lalu mengirimkan utusan kepada Hafshah yang saat itu menyimpan shuhuf yang dulu dikumpulkan pertama kali oleh Zayd ibn Tasbit. Utsman lalu membentuk sebuah komite berisi 4 orang (termasuk Zayd) untuk menyalin shuhuf milik Hafshah ini menjadi beberapa mushaf. Jika terjadi perbedaan pendapat antara Zayd dengan 3 orang lain dalam komite ini, Ustman memerintahkan penulisannya dalam dialek Quraiys sebagaimana al-Qur’an diturunkan.

Setelah mushaf-mushaf salinan ini selesai, Ustman mengirimkannya ke setiap provinsi sebagai mushaf acuan, sementara shuhuf yang asli dikembalikan kepada Hafshah. Utsman juga memerintahkan agar seluruh salinan Qur’an yang lain (selain mushaf salinan dari milik Hafsah ini) untuk dimusnahkan dan dibakar habis, dalam berbagai bentuk dan wujudnya. Satu mushaf salinan ini lalu disimpan di Madinah sementara tiga sisanya dikirim ke Kufah, Basrah, dan Damaskus. Hal ini bertujuan untuk menyatukan umat Islam dalam satu bacaan al-Qur’an yang satu sehingga tidak lagi terjadi perbedaan bacaan. Inilah awal dari kodifikasi mushaf al-Qur’an dalam satu isi yang sama, dan dilakukan pada masa kekhalifahan Ustman bin Affan sehingga kita menyebutnya sebagai mushaf Ustmani.

Pemusnahan materi-materi al-Qur'an non Utsmani tentu mendapatkan pertentangan yang keras. Sejumlah sahabat bahkan menolak memusnakan, tetap menyimpan, bahkan membacanya dalam shalat. Penyebaran al-Qur'an edisi kanonik resmi versi Utsman dengan demikian tidak dicapai dalam waktu yang singkat, apalagi masa itu al-Qur'an lebih populer ditemukan dalam bentuk hafalan. Kodeks Utsmani harus menunggu hingga hadirnya generasi penghafal al-Qur'an dalam tradisi non Ustmani. Setelah itu, kodeks-kodeks prautsmani secara bertahap menghilang dengan sendirinya tanpa perlu dimusnahkan. 

Menarik sekali membaca sejarah mushaf al-Qur'an dalam buku ini. Tidak hanya itu, penulis juga menggunakan berbagai referensi baik dari sumber Islam klasik maupun para orientalis dari Barat. Catatan kaki dan referensi membentuk hampir seperduapuluh dari isi buku ini, membuktikan bahwa penulisnya memang mendasarkan setiap gagasan di buku ini berdasarkan sumber tertulis para sarjana. Selain jadi lebih tahu penyusunan al-Qur'an dari sisi ilmiah, buku ini juga memperkenalkan kita pada keragaman bacaan serta pemikiran para sarjana Islam klasik maupun orientalis barat tentang kitab suci umat Islam ini.


No comments:

Post a Comment