Judul :
Aksara Amananunna
Pengarang :
Rio Johan
Penyunting :
Pradikha Bestari
Sampul : Boy
Bayu
Cetakan : 1,
April 2014
Tebal : 240
hlm
Penerbit :
KPG
Akhirnya,
baru pada April 2015 (satu tahun setelah buku ini terbit perdana hahaha
*plakdobel), saya kesampaian juga untuk membeli buku ini. Setelah itu, sahlah
buku ini dalam gengaman dan tidak lagi saya harus merasa berdosa atau lirik
kiri kanan atau menahan kaki pegal demi membaca sebuah buku gratisan hehehe.
Saya pun membacanya, tidak urut tapi melompat-lompat dari satu cerpen ke cerpen
lainnya. Saya suka membaca kumcer dengan teknik ini, rasanya tidak membosankan
dan tidak tertebak. Tahu-tahu selesai. Dimulai dengan Riwayat Benjamin, lalu Ginekopolis,
kemudian lanjut ke Pisang Tidak
Tumbuh di Atas Salju, dan demikian seterusnya hingga selesai dan saya tanpa
ragu memberikan 4 bintang untuk buku ini. Menuntaskan pembacaan Aksara Amananunna dengan segala
konsekuensinya, bermacam rasa timbul di dada. Ada mual, ada keharuan, ada
pengertian mendalam, ada sesuatu yang terbuka dalam pandangan saya. Apakah itu
sastra selain memperluas pandangan dan menimbulkan empati kepada sesama?
Cerpen-cerpen
yang disuguhkan oleh Rio memiliki alur yang khas namun juga berbeda. Tiap
cerpen memiliki nuansa unik dan tidak sama, tapi ada semacam sesuatu yang Rio
banget yang menyatukan 12 cerpen dalam buku ini. Sesuatu yang belum pernah saya
temukan di buku-buku sastra yang lain. Kebaruan, keliaran imajinasi, yang
kemudian ditopang oleh struktur penceritaan yang mengalir dan bangunan
fiksional detail (sebagaimana kata Tempo,
yang entah apa maksudnya saya kurang paham wkwkwk). Kesegaran itu terlihat
terutama pada tema-tema game seperti
yang muncul dalam Undang-Undang
Antibunuhdiri, Robbie Jobbie, dan Ginekopolis.
Khas yang lain adalah cerpen-cerpen yang seperti diterjemahkan dari sastra
klasik Eropa padahal itu adalah cerpen-cerpen karya Rio sendiri. Cobalah baca Riwayat Benjamin, Kevalier D’Orange (yang
mengingatkan saya pada pejuang wanita dari Prancis Joan d’Arc), Susanna, Susanna!, dan Tidak Ada Air untuk Mikhail. Ada juga
cerpen-cerpen yang digarap ala-ala Kompas,
seperti di cerita Ketika Mubi
Bermimpi Menjadi Tuhan yang Melayang di Angkasa (yang adalah cerpen paling
sukar saya pahami).
Namun,
dari semua tema, tampaknya ada satu tema besar yang hendak diusung Rio dalam
buku ini, yakni terkait gender dan seksualitas. Kedua unsur ini tampil dalam
bentuknya yang vulgar dan modern, agak “warnet” dan adalah tema-tema seksual
yang dekat dengan generasi Milenium. Dalam beberapa cerita, tampaknya Rio hendak menegaskan kembali
tema-tema tentang seksualitas yang terpinggirkan, seperti dalam Susanna, Susanna! dan Kevalier D’Orange. Dalam Ginekopolis, dengan lihainya Rio
menggunakan media game untuk
mengusung tema gender yang sensitif. Cerpen paling berani di buku ini adalah Robbie Jobbie yang mungkin agak vulgar bagi
sementara orang, sementara dalam Komunitas,
yah begitulah.
Cerpen
yang paling saya sukai di buku ini adalah Susanna,
Susanna! yang merupakan cerpen paling panjang di Aksara Amananunna, mungkin bisa disebut sebagai sebuah novelette.
Membaca cerpen terakhir ini layaknya membaca karya Jane Austen dalam bentuk gore-nya. Mungkin kalau cerita ini
dinovelkan, apakah penerbit mau menerbitkannya? Belum tentu karena kadang
sebuah novelette memang lebih baik diceritakan seperti ini, tersamarkan di
antara cerpen cerpen lainnya sehingga akan mengejutkan pembacanya. Satu hal
yang jelas, Aksara Amananunna memang
layak mendapatkan penghargaan. Teknik menulisnya lancar sekali, dengan
kata-kata khas sastrawi yang biasa kita temukan di cerpen-cerpen koran. Sayang
sekali buku bagus ini harus ternoda oleh banyaknya salah pengetikan yang
bertebaran di seluruh buku. Ini editornya apa saking terpakunya ya sama si
Robbie Jobbie sampai-sampai teledor dan melupakan tugasnya? Yang jelas, buku
ini melarutkan dan meyakinkan pembaca dengan amat lihai, dan itulah sebuah buku
yang bagus.Tambahan, setuju kan ya kalau saya bilang sampul novel ini bagus sekali? SETUJU!
*masukkin wishlist* xD Penulisnya masih muda ya? keren sudah bisa masuk nominee Kusala Sastra Khatulistiwa .
ReplyDeleteKalau masalah gender, Okky Madasari juga sering mengusung tema ini rasanya,.
Yup. Penulisnya baru wisuda bulan kemarin kayaknya. Aku belum baca punyanya Okky tapi si Rio ini memang sering koment-komenan sama mbak Okky di FB jadi mungkin sealiran atau terpengaruh suhunya.
Deletebiasanya aku gak keberatan baca yg agak2 gore gitu, tapi cerpen Susana itu bener-bener bikin perasaanku gak nyaman masdi. hyii.... -_-
ReplyDeleteSetuju, aku juga suka covernyaaa.
Arrg akhirnya kita sehati ya KakCyn \(´▽`)/
DeleteAku juga udah ngincer buku ini dari dulu tapi nggak dapat buntelan juga *plak*
ReplyDeleteIya Lis, kan KPG jarang tuh kasih buntelan wkwkwk. Beli aja Lis sebelum langka lho
Delete