Search This Blog

Thursday, April 16, 2015

Aksara Amananunna



Judul : Aksara Amananunna
Pengarang : Rio Johan
Penyunting : Pradikha Bestari
Sampul : Boy Bayu
Cetakan : 1, April 2014
Tebal : 240 hlm
Penerbit : KPG

 21947404

                Saya sebenarnya sudah mengincar buku ini beberapa minggu setelah terbit. Niat itu semakin mengebu-gebu ketika buku ini kemudian masuk dalam longlist 10 besar Kusala Sastra Khatulistiwa tahun 2014 dan kemudian Rio Johan dimantapkan oleh Tempo sebagai Tokoh Seni Tempo 2014 untuk Sastra Prosa. Apa yang membuat saya tertarik pada Aksara Amananunna? Lagi-lagi, salahkan Goodreads dengan segala reviewnya yang sekali lagi berhasil mengoda saya. Plus, penulisnya juga masih mahasiswa Teknik Kimia UNS. Itu anak Teknik Kimia aja bisa bikin buku sastra, nah elu yon yang mantan mahasiswa sastra cuma bisa bikin galau #plak. Luar biasa, masih muda dan mampu meraih prestasi sekelas ini adalah hal yang sangat patut diapresiasi. Maka, dengan mencuri-curi pandang, saya pun membaca buku ini di Gramedia. Dengan kaki pegal, saya berhasil membaca satu cerpen. Entah yang mana saya lupa. Dari dari satu cerpen itu, saya tahu kalau buku ini bukan buku sastra biasa. 



                Akhirnya, baru pada April 2015 (satu tahun setelah buku ini terbit perdana hahaha *plakdobel), saya kesampaian juga untuk membeli buku ini. Setelah itu, sahlah buku ini dalam gengaman dan tidak lagi saya harus merasa berdosa atau lirik kiri kanan atau menahan kaki pegal demi membaca sebuah buku gratisan hehehe. Saya pun membacanya, tidak urut tapi melompat-lompat dari satu cerpen ke cerpen lainnya. Saya suka membaca kumcer dengan teknik ini, rasanya tidak membosankan dan tidak tertebak. Tahu-tahu selesai. Dimulai dengan Riwayat Benjamin, lalu Ginekopolis, kemudian lanjut ke Pisang Tidak Tumbuh di Atas Salju, dan demikian seterusnya hingga selesai dan saya tanpa ragu memberikan 4 bintang untuk buku ini. Menuntaskan pembacaan Aksara Amananunna dengan segala konsekuensinya, bermacam rasa timbul di dada. Ada mual, ada keharuan, ada pengertian mendalam, ada sesuatu yang terbuka dalam pandangan saya. Apakah itu sastra selain memperluas pandangan dan menimbulkan empati kepada sesama?

                Cerpen-cerpen yang disuguhkan oleh Rio memiliki alur yang khas namun juga berbeda. Tiap cerpen memiliki nuansa unik dan tidak sama, tapi ada semacam sesuatu yang Rio banget yang menyatukan 12 cerpen dalam buku ini. Sesuatu yang belum pernah saya temukan di buku-buku sastra yang lain. Kebaruan, keliaran imajinasi, yang kemudian ditopang oleh struktur penceritaan yang mengalir dan bangunan fiksional detail (sebagaimana kata Tempo, yang entah apa maksudnya saya kurang paham wkwkwk). Kesegaran itu terlihat terutama pada tema-tema game seperti yang muncul dalam Undang-Undang Antibunuhdiri, Robbie Jobbie, dan Ginekopolis. Khas yang lain adalah cerpen-cerpen yang seperti diterjemahkan dari sastra klasik Eropa padahal itu adalah cerpen-cerpen karya Rio sendiri. Cobalah baca Riwayat Benjamin, Kevalier D’Orange (yang mengingatkan saya pada pejuang wanita dari Prancis Joan d’Arc), Susanna, Susanna!, dan Tidak Ada Air untuk Mikhail. Ada juga cerpen-cerpen yang digarap ala-ala Kompas, seperti di cerita Ketika Mubi Bermimpi Menjadi Tuhan yang Melayang di Angkasa (yang adalah cerpen paling sukar saya pahami).

                Namun, dari semua tema, tampaknya ada satu tema besar yang hendak diusung Rio dalam buku ini, yakni terkait gender dan seksualitas. Kedua unsur ini tampil dalam bentuknya yang vulgar dan modern, agak “warnet” dan adalah tema-tema seksual yang dekat dengan generasi Milenium. Dalam beberapa cerita,  tampaknya Rio hendak menegaskan kembali tema-tema tentang seksualitas yang terpinggirkan, seperti dalam Susanna, Susanna! dan Kevalier D’Orange. Dalam Ginekopolis, dengan lihainya Rio menggunakan media game untuk mengusung tema gender yang sensitif. Cerpen paling berani di buku ini adalah Robbie Jobbie yang mungkin agak vulgar bagi sementara orang, sementara dalam Komunitas, yah begitulah.

                Cerpen yang paling saya sukai di buku ini adalah Susanna, Susanna! yang merupakan cerpen paling panjang di Aksara Amananunna, mungkin bisa disebut sebagai sebuah novelette. Membaca cerpen terakhir ini layaknya membaca karya Jane Austen dalam bentuk gore-nya. Mungkin kalau cerita ini dinovelkan, apakah penerbit mau menerbitkannya? Belum tentu karena kadang sebuah novelette memang lebih baik diceritakan seperti ini, tersamarkan di antara cerpen cerpen lainnya sehingga akan mengejutkan pembacanya. Satu hal yang jelas, Aksara Amananunna memang layak mendapatkan penghargaan. Teknik menulisnya lancar sekali, dengan kata-kata khas sastrawi yang biasa kita temukan di cerpen-cerpen koran. Sayang sekali buku bagus ini harus ternoda oleh banyaknya salah pengetikan yang bertebaran di seluruh buku. Ini editornya apa saking terpakunya ya sama si Robbie Jobbie sampai-sampai teledor dan melupakan tugasnya? Yang jelas, buku ini melarutkan dan meyakinkan pembaca dengan amat lihai, dan itulah sebuah buku yang bagus.Tambahan, setuju kan ya kalau saya bilang sampul novel ini bagus sekali? SETUJU!

6 comments:

  1. *masukkin wishlist* xD Penulisnya masih muda ya? keren sudah bisa masuk nominee Kusala Sastra Khatulistiwa .
    Kalau masalah gender, Okky Madasari juga sering mengusung tema ini rasanya,.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yup. Penulisnya baru wisuda bulan kemarin kayaknya. Aku belum baca punyanya Okky tapi si Rio ini memang sering koment-komenan sama mbak Okky di FB jadi mungkin sealiran atau terpengaruh suhunya.

      Delete
  2. biasanya aku gak keberatan baca yg agak2 gore gitu, tapi cerpen Susana itu bener-bener bikin perasaanku gak nyaman masdi. hyii.... -_-

    Setuju, aku juga suka covernyaaa.

    ReplyDelete
  3. Aku juga udah ngincer buku ini dari dulu tapi nggak dapat buntelan juga *plak*

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya Lis, kan KPG jarang tuh kasih buntelan wkwkwk. Beli aja Lis sebelum langka lho

      Delete