Judul: Godlob,
Kumpulan Cerpen
Pengarang: Danarto
Tebal: 252 hlm
Cetakan: 1, Juli 2017
Sampul: Amalina
Sekali lagi, membaca karya Danarto terbukti membuat saya ‘kebingungan’.
Saya menjadi bagian dari sekian banyak pembaca yang berujung pada tanya setelah
menyelesaikan membaca Godlob. Cerpen-cerpennya
memang cenderung berat, terutama berat dengan aneka perlambang. Dan rasa ‘berat’
itu semakin intens ketika Danarto menjejalkan perlambang Ketuhanan dalam
tulisan-tulisan di buku ini. Tokoh-tokohnya begitu liar, dalam artian mereka
begitu rindunya ingin bertemu Tuhan sehingga maut pun mereka tantang. Putri
Salome bahkan bertindak lebih nekat lagi.
Begitu kuatnya keinginan untuk bisa melihat langsung wajahNya, wanita
itu memutuskan untuk menentang perintah-perintahNya. Bagi orang lain, apa yang
dilakukan Salome dan Rintrik yang buta mungkin dianggap sebuah kegilaan. Tetapi
bagi para pecinta, tindakan-tindakan ini adalah wajar adanya. Semacam penyakit
kerinduan akut yang mendera para perindu.
“Orang jantan adalah
orang yang mengakui keterbatasannya.” (hlm 44)
1. Godlob
Cerpen
yang diawali dengan muram dan angker ini ternyata tidak berujung pada horor.
Justru, lewat darah, luka, dan kematian, Danarto seperti hendak memprotes perang.
Dalam perang, selalu rakyat yang menjadi korban, selalu para serdadu yang
diumpankan sementara para petinggi hanya duduk-duduk di dalam benteng menyusun
strategi. Dan ketika akhirnya seluruh tentara binasa—anak-anak yang masih muda
itu, yang pergi berperang hanya sekadar memenuhi kewajiban sebagai warga negara
yang baik—tidak ada yang tersisa selain kesedihan bagi yang ditinggalkan.
Apalah artinya gelar pahlawan jika keluarga diceraiberaikan dan anak habis
tuntas tiada bersisa?
2. JUDUL: JANTUNG TERPANAH
Cerpen
ini unik sejak dari judulnya, yang bukan berupa tulisan tetapi gambar jantung terpanah
sebagai perlambang jatuh cinta. Judul unik ini rupanya sesuai dengan isinya,
tentang seorang wanita buta yang jatuh cinta kepada Tuhannya. Begitu tajamnya
panah asmara itu menancap, sehingga bahkan ancaman maut dari sesamamanusia pun
tidak mampu mengoyahkan tekadnya untuk menghadap sang Kekasih Sejati. Cerpen
ini memiliki aroma sufisme yang kuat.
3. Kecubung Pengasihan
Tentang
seorang wanita hamil yang gemar memakan kembang-kembang di taman. Tetapi,
kembang-kembang itu gemar bicara dengan si wanita hamil, sehingga disangka gila
dia oleh banyak orang. Tetapi, tiada yang tahu isi hati setiap manusia kecuali
Tuhannya. Bahkan seorang yang gila pun bisa menjadi walinya. Danarto lewat
cerpen ini seperti menyindir kita—orang-orang waras—yang sering kali terlalu
yakin pada keimanan kita, terlalu jumawa dengan ketakwaan diri, sehingga
mengerdilkan mereka yang berbeda cara beribadahnya.
4. Armagedon
Judulnya
ala-ala Barat, tetapi ada unsur horor nusantara (tepatnya Bali) di cerpen ini.
Setan dilambangkan sebagai bekakrak yang menghantui padang kering. Ia menggoda
manusia dengan tanya dan logika, sehingga akhirnya manusia pun akan terjungkal
akibat bujuk rayunya. Mungkin, di cerpen ini, Danarto ingin menunjukkan betapa
logika dan rasio tidak selamanya jumawa dalam melawan tipu daya setan penggoda
manusia. Dan ketika sang manusia jatuh dalam perangkap iblis, mungkin itulah
saat kiamat baginya.
5. Nostalgia
Ini
adalah cerpen yang paling saya sukai di buku ini. Jika saat ini banyak sastrawan
yang menceritakan ulang kisah Mahabharata dengan versi mereka sendiri, Danarto
sudah melakukannya sejak 1969. Seno Gumira Ajidarma pernah menulis Mahabharata dari versi Drupadi, maka
Danarto mencuplik sebagian dari epos besar
India itu dengan menyisipkan aroma sufisme Islam yang kental. Lewat sosok
Abimayu, Danarto melukiskan bagaimana pahlawan Padang Kurusetra itu menyambut
maut dengan kebahagiaan yang sempurna, sebagaimana kebahagiaan para pecinta
sejati yang telah menemukan makna hakiki dalam kehidupan ini. Seorang pecinta
yang telah menemukan Kekasih Sejatinya, lebih dari dewa-dewi, bahkan lebih dari
Batara Kresna itu sendiri.
6. Asmaradana
Akhirnya,
saya menyerah juga membaca cerpen ini. Judulnya Jawa banget tetapi isinya
adalah Hamlet dan Horatio-nya Shakespeare. Jika ada sastrawan yang bisa
menggabungkan Jawa dengan Inggris semudah dia memadukan seni dengan sastra,
maka Danarto adalah salah satunya. Saya masih menebak-nebak ini cerpen mau
ngomongin apa, tapi saya belum dapat pencerahan rupanya. Tebakan random saya
sih, cerpen ini seperti hendak berkata kalau dunia ini tidak lebih dari sekadar
panggung sandiwara.
7. A B R A C A D A B R A
A B R A C A D A B R
A B R A C A D A B
A B R A C A D A
A B R A C A D
A B R A C A
A B R A C
A B R A
A B R
A B
A
A B R A C A D A B R
A B R A C A D A B
A B R A C A D A
A B R A C A D
A B R A C A
A B R A C
A B R A
A B R
A B
A
Ini bukan salah ketik, memang seperti inilah judul cerpen
terakhir di buku ini. Kalau sekarang lagi model tuh cerpen eksperimental, maka
Danarto pastilah salah satu juaranya.
Tokohnya masih Hamlet dan Horatio. Hamlet mencoba mati dan lewat sudut
pandang penulis—yang anehnya bisa melihat Hamlet di alam sana—pembaca seperti
disuguhi bagaimana keadaan dan panorama alam setelah kematian. Sebisa mungkin,
penulis berusaha menjabarkan jawaban atas salah satu pertanyaan paling banyak
ditanyakan oleh manusia yang masih hidup. Tetapi, sayangnya, Hamlet malah hidup
lagi. Bahkan, dia tak tahu apakah benar alam yang dikunjunginya barusan adalah
alam maut. Sepertinya, memang tidak akan pernah ada manusia hidup yang bisa
mengetahuinya. Kok hal seberat gini bisa kepikiran dibikin cerpen ya, keren
memang Pak Danarto.
Tema ketuhanan memang begitu kental dalam cerpen-cerpen
Danarto, tetapi di buku ini tema itu begitu dominan menguasai. Berulang kali
tokoh-tokohnya menyuarakan nihilisme dalam hidup. Berulang kali pula Danarto
membolak-balik perkataan sehingga kelihatannya apa yang ditulisnya itu
membingungkan. Tetapi pembaca yang sudah pernah membaca karya Rumi,
literatur-literatur tentang sufi, atau setidaknya komik tentang perjalanan
hidup Budhha Gautama, akan bisa sedikit memahami apa yang dimaksud Danarto
dengan kalimat-kalimat berbaliknya. Bahwa sejatinya manusia berasal dari bukan
apa-apa dan akan kembali kepadaNya sebagai bukan apa-apa kecuali
hamba-hambaNya. Lewat bahasa yang terbolak-balik, Danarto seperti hendak mengingatkan
kita akan kefanaan dan kekerdilan diri di hadapan Sang Pencipta.
Cerpen-cerpen Danarto anehnya juga masih tetap relevan
dibaca saat ini. Bahkan setelah hampir lima puluh tahun berlalu semenjak
cerpen-cerpen ini dituliskan, orang masih bisa membaca dan tersentil batinnya
saat membaca Godlob. Memang begitulah
seorang sastrawan sejati. Ia tidak meninggalkan kepada kita harta benda yang
bisa habis sewaktu-waktu, melainkan sebentuk pemikiran yang mungkin akan terus
tumbuh mengembang, atau dipikirkan ulang sehingga kalaupun tidak menciptakan
sesuatu yang baru, pastilah perlu untuk dipikirkan atau direnungkan lagi dan
lagi.
“Apakah ada
tingkat-tingkat kebenaran? Agak benar! Lalu banyak benar! Lalu setidak-tidaknya
benar! Lalu lumayan benar! “ (hlm.
62)
bisa dibeli dimana
ReplyDelete