Search This Blog

Thursday, June 4, 2015

Our Story


Judul    : Our Story
Pengarang : Orizuka 
Penyunting : Agatha Tristanti
Sampul : Tedy Hanggara
Cetakan : 2, 2011
Tebal : 235 hlm 
                                                            Penerbit : Authorized Books

10048887
 
Sekali lagi, saya dibuat kagum dengan kepiawaian seorang Orizuka dalam bercerita. Dia berani mengambil tema yang bisa dibilang berani. Tapi, Orizuka juga berhasil mengeksekusi tema tersebut dalam cerita yang matang namun tetap terasa aroma remajanya. Hal lain yang sangat saya sukai dari buku ini adalah semua tokoh di dalamnya abu-abu, seperti celana dan rok yang mereka kenakan sebagai anak-anak SMA. Tidak ada tokoh utama yang sepenuhnya sempurna (well, mungkin Ferris), tapi seluruh tokoh dalam Our Story adalah sebagaimana diri mereka sendiri. Mereka dipaksa oleh keadaan, dan bukannya dipaksa oleh penulis untuk selalu menjadi sempurna. Mereka tetap abu-abu, remaja kebanyakan dengan segala persoalannya.  Berkali-kali saya menepuk jidat saat membaca novel ini. Bukan karena jidat saya nonong, tapi karena banyaknya “kejutan”  yang disembunyikan Orizuka. Orang yang semula akan saya kira menjadi tokoh utama, ternyata hanyalah salah satu pemain di panggung SMA Budi Bangsa. Sementara, tokoh lain yang saya kira awut-awutan, ternyata punya sisi lain. Dan, hebatnya lagi, Orizuka tidak lalu memaksa tokoh-tokohnya untuk berubah drastic. Semua dieksekusi dengan pelan dan lembut, terasa sangat manusiawi dan tidak berlebihan.
       
            Cerita dimulai ketika Yasmine, seorang murid SMA pindahan dari Amerika, didaftarkan di sekolah yang salah. Alih-alih mendaftar di SMA Internasional Budi Karya, dia malah didaftarkan di SMA Budi Bangsa yang dikenal sebagai SMA buangan. Sekolah yang siswa-siswinya dikenal sebagai  preman, pengacau, pembangkang, pembully, dan pelacur. Sayangnya,Yasmine tidak bisa menarik lagi surat-surat pendaftarannya karena ayahnya sudah telanjur membayar unag 30 juta kepada sekolah itu. Mau tidak mau,Yasmine harus menyelesaikan tahun terakhir SMA-nya di sekolah yang tidak normal itu. Bayangkan, dari yang semula di Amerika, dia malah terjerumus ke sekolah dengan masa depan suram itu.

            Hari pertama masuk, Yasmine langsung tahu bahwa firasat buruknya memang benar. Sekolah itu dikuasai oleh geng kasar yang dipimpin oleh Nino, seorang jagoan yang hanya suka berkelahi dan membully adik-adik kelasnya. Teman-teman ceweknya pun setali tiga uang. Bukannya belajar, di kelas mereka malah sibuk berdandan dan mainan telepon genggam. Sesekali bahkan dia mendengar percakapan seorang cewek dengan klien yang hendak mem-booking-nya nanti malam. Sementara guru-gurunya, mereka mungkin sudah menyerah dengan kelakuan anak-anak didiknya yang tidak pernah masuk kelas saat jam pelajaran. Tapi, kedatangan Yasmine bermakna sesuatu. Keberaniannya melawan Nino di hari pertama telah menimbulkan efek sayap kupu-kupu yang getarannya semakin lama semakin menyebar.

            Awalnya, saya menebak si Yasmine ini adalah malaikat penolong SMA Budi Bangsa. Tapi tidak, Yasmine tetap sebagai dirinya sendiri, tapi kedatangannya telah memulai suatu perubahan. Hanya anak-anak SMA Budi Bangsa sendiri yang bisa mengubah kondisi buruk mereka, bukan Yasmine. Dan, sementara perubahan positif itu mulai terjadi, pembaca tiba-tiba dihadapkan pada Yasmine yang memiliki masalahnya sendiri. Sumber perubahan positif yang utama di sekolah itu mungkin ada pada diri Ferris. Ketua OSIS yang tidak memiliki anggota OSIS itulah yang kemudian berjuang menggerakkan teman-temannya menuju arah kebaikan. Tidak mudah memang, dan sangat sulit tentu saja. Impiannya agar mereka bisa lulus bareng-bareng lebih terlihat sebuah utopia ketimbang impian.   Tetapi, Ferris membuktikan kembali kata-kata Eleanor Roosevelt (yang juga menjadi tagline akun twitter penulisnya) bahwa: “The future belongs to those who believe in the beauty of their dreams.

            Seperti novel-novel umumnya, meskipun ini novel remaja, alurnya naik turun naik turun trus naik lagi. Kompleks banget, namun sekaligus masih menyenangkan untuk terus diikuti. Problem yang diangkat dalam ceritanya pun tidak main-main (tentang narkoba, seks bebas, hingga tawuran) namun Orizuka masih mampu mengemasnya dalam bahasa remaja yang tidak mengurui. Bisa dibilang, Our Story adalah novel remaja yang inspiratif namun tidak disampaikan secara menggurui. Yasmine yang saya kira akan jadi tokoh utama pun nyatanya semakin ke belakang makin melempem (sampai-sampai dia hanya melongo saat hendak di serang). Pahlawan sebenarnya dalam buku ini adalah Feriss dan anak-anak SMA Budi Bangsa. Juga Nino, yang saya kira bakal berubah drastis di penghujung cerita, ternyata tetap dibiarkan berkembang sebagaimana adanya, dalam tahap yang wajar-wajar dan tidak sinetroniyah.

Saya jadi kepingin membaca buku-buku Orizuka yang lainnya. Indonesia perlu memiliki banyak penulis buku remaja seperti ini.

4 comments:

  1. Replies
    1. Enggak mbak kalo ya ini aseli remaja Indonesia

      Delete
  2. waah, jadi pengen bacaaa... :D
    soalnya agak males sama cerita remaja yang kebanyakan klise..

    ReplyDelete
  3. ini ngak klise, endingnya pun ngak dipaksain. Puas bacanya :)

    ReplyDelete