Judul : Our Story
Pengarang : Orizuka
Penyunting : Agatha Tristanti
Sampul : Tedy Hanggara
Cetakan : 2, 2011
Tebal : 235 hlm
Penerbit : Authorized Books
Sekali lagi, saya
dibuat kagum dengan kepiawaian seorang Orizuka dalam bercerita. Dia berani
mengambil tema yang bisa dibilang berani. Tapi, Orizuka juga berhasil
mengeksekusi tema tersebut dalam cerita yang matang namun tetap terasa aroma
remajanya. Hal lain yang sangat saya sukai dari buku ini adalah semua tokoh di
dalamnya abu-abu, seperti celana dan rok yang mereka kenakan sebagai anak-anak
SMA. Tidak ada tokoh utama yang sepenuhnya sempurna (well, mungkin Ferris),
tapi seluruh tokoh dalam Our Story adalah
sebagaimana diri mereka sendiri. Mereka dipaksa oleh keadaan, dan bukannya
dipaksa oleh penulis untuk selalu menjadi sempurna. Mereka tetap abu-abu,
remaja kebanyakan dengan segala persoalannya.
Berkali-kali saya menepuk jidat saat membaca novel ini. Bukan karena
jidat saya nonong, tapi karena banyaknya “kejutan” yang disembunyikan Orizuka. Orang yang semula
akan saya kira menjadi tokoh utama, ternyata hanyalah salah satu pemain di
panggung SMA Budi Bangsa. Sementara, tokoh lain yang saya kira awut-awutan,
ternyata punya sisi lain. Dan, hebatnya lagi, Orizuka tidak lalu memaksa
tokoh-tokohnya untuk berubah drastic. Semua dieksekusi dengan pelan dan lembut,
terasa sangat manusiawi dan tidak berlebihan.
Cerita
dimulai ketika Yasmine, seorang murid SMA pindahan dari Amerika, didaftarkan di
sekolah yang salah. Alih-alih mendaftar di SMA Internasional Budi Karya, dia
malah didaftarkan di SMA Budi Bangsa yang dikenal sebagai SMA buangan. Sekolah
yang siswa-siswinya dikenal sebagai
preman, pengacau, pembangkang, pembully, dan pelacur. Sayangnya,Yasmine
tidak bisa menarik lagi surat-surat pendaftarannya karena ayahnya sudah
telanjur membayar unag 30 juta kepada sekolah itu. Mau tidak mau,Yasmine harus
menyelesaikan tahun terakhir SMA-nya di sekolah yang tidak normal itu.
Bayangkan, dari yang semula di Amerika, dia malah terjerumus ke sekolah dengan
masa depan suram itu.
Hari
pertama masuk, Yasmine langsung tahu bahwa firasat buruknya memang benar.
Sekolah itu dikuasai oleh geng kasar yang dipimpin oleh Nino, seorang jagoan
yang hanya suka berkelahi dan membully adik-adik kelasnya. Teman-teman ceweknya
pun setali tiga uang. Bukannya belajar, di kelas mereka malah sibuk berdandan
dan mainan telepon genggam. Sesekali bahkan dia mendengar percakapan seorang
cewek dengan klien yang hendak mem-booking-nya nanti malam. Sementara
guru-gurunya, mereka mungkin sudah menyerah dengan kelakuan anak-anak didiknya
yang tidak pernah masuk kelas saat jam pelajaran. Tapi, kedatangan Yasmine
bermakna sesuatu. Keberaniannya melawan Nino di hari pertama telah menimbulkan
efek sayap kupu-kupu yang getarannya semakin lama semakin menyebar.
Awalnya,
saya menebak si Yasmine ini adalah malaikat penolong SMA Budi Bangsa. Tapi
tidak, Yasmine tetap sebagai dirinya sendiri, tapi kedatangannya telah memulai
suatu perubahan. Hanya anak-anak SMA Budi Bangsa sendiri yang bisa mengubah
kondisi buruk mereka, bukan Yasmine. Dan, sementara perubahan positif itu mulai
terjadi, pembaca tiba-tiba dihadapkan pada Yasmine yang memiliki masalahnya
sendiri. Sumber perubahan positif yang utama di sekolah itu mungkin ada pada
diri Ferris. Ketua OSIS yang tidak memiliki anggota OSIS itulah yang kemudian
berjuang menggerakkan teman-temannya menuju arah kebaikan. Tidak mudah memang,
dan sangat sulit tentu saja. Impiannya agar mereka bisa lulus bareng-bareng
lebih terlihat sebuah utopia ketimbang impian. Tetapi,
Ferris membuktikan kembali kata-kata Eleanor Roosevelt (yang juga menjadi
tagline akun twitter penulisnya) bahwa: “The
future belongs to those who believe in the beauty of their dreams.”
Seperti
novel-novel umumnya, meskipun ini novel remaja, alurnya naik turun naik turun
trus naik lagi. Kompleks banget, namun sekaligus masih menyenangkan untuk terus
diikuti. Problem yang diangkat dalam ceritanya pun tidak main-main (tentang
narkoba, seks bebas, hingga tawuran) namun Orizuka masih mampu mengemasnya
dalam bahasa remaja yang tidak mengurui. Bisa dibilang, Our Story adalah novel remaja yang inspiratif namun tidak
disampaikan secara menggurui. Yasmine yang saya kira akan jadi tokoh utama pun
nyatanya semakin ke belakang makin melempem (sampai-sampai dia hanya melongo
saat hendak di serang). Pahlawan sebenarnya dalam buku ini adalah Feriss dan
anak-anak SMA Budi Bangsa. Juga Nino, yang saya kira bakal berubah drastis di
penghujung cerita, ternyata tetap dibiarkan berkembang sebagaimana adanya,
dalam tahap yang wajar-wajar dan tidak sinetroniyah.
Saya jadi kepingin membaca
buku-buku Orizuka yang lainnya. Indonesia perlu memiliki banyak penulis buku
remaja seperti ini.
ke korea-koreaan ga mas?
ReplyDeleteEnggak mbak kalo ya ini aseli remaja Indonesia
Deletewaah, jadi pengen bacaaa... :D
ReplyDeletesoalnya agak males sama cerita remaja yang kebanyakan klise..
ini ngak klise, endingnya pun ngak dipaksain. Puas bacanya :)
ReplyDelete