Judul : Half Wild
Pengarang : Sally Green
Penerjemah : Reni Indardini
Penyunting :Nunung Wiyati
Sampul : Fahmi Ilmansyah
Tebal : 459 hlm
Cetakan : 1, April 2015
Penerbit : Mizan Fantasy
“Hewan tidak baik, tapi juga tidak
jahat.” (hlm 149)
Petualangan Nathan si separuh
penyihir putih-separuh penyihir hitam berlanjut dan semakin seru di buku kedua
ini. Lebih banyak aksi, lebih banyak pertarungan, lebih banyak darah dan organ
tubuh berceceran, lebih banyak perjalanan, dan lebih banyak kisah manis
antara Nathan dan Gabriel #eaaaa. Dalam buku pertama, Nathan akhirnya
mendapatkan anugrahnya dari sang ayah, Marcus si penyihir hitam. Dari
judul buku ini yang setengah liar dan kutipan yang saya gunakan di
depan, sudah bisa ditebak kan apa anugrah yang dimiliki Nathan? Sayangnya, hal
itu harus dibayar mahal. Nathan terpisah dari teman-temannya, dia tertembak dan
hampir saja mati karena racun dari peluru pemburu putih, serta—yang paling
buruk—kehilangan Analise yang ditidurkan paksa oleh penyihir hitam Mercury
sebagai jaminan agar Nathan mau membunuh Marcus.
“Jangan
kau benci dirimu sendiri. Jangan membenci bagian dari dirimu sendiri, yang
manapun juga.” (hlm 150)
Mengetahui bahwa Nathan mewarisi
anugrah dari ayahnya, dia lalu berusaha mengendalikannya. Sayangnya, hewan
dalam dirinya begitu buas dan liar, tanpa sadar, dirinya bisa lupa diri (dia
bahkan lupa apa yang dialaminya) ketika tengah bertranformasi. Tahu-tahu saja,
Nathan terbangun dengan musuh yang telah mati tercabik-cabik di sisinya. Apa
sebenarnya yang terjadi ketika dia berubah? Apakah kemanusiaannya turut berubah
menjadi kebinatangan? Nathan sadar, jika tidak bisa mengendalikan kemampuannya,
bukan hanya musuh-musuhnya yang akan tewas secara mengenaskan, teman-temannya
juga bisa terancam. Ancaman itu kini tersembunyi dalam dirinya.
“Namanya
juga sihir. Wajar kalau tidak bisa dinalar walau praktiknya memang begitu.” (hlm
137)
Untungnya, Nathan dipertemukan lagi
dengan teman-teman penyihir hitam yang baru, yakni Nesbitt si pengintai dan van
Dal sang ahli ramuan. Melalui van Dal inilah akhirnya Nathan dan Gabriel
dipertemukan kembali. Wanita hebat itu juga yang membantu menyembuhkan kondisi
Nathan, memberinya tumpangan dan makanan, serta menunjukkan masa depan yang
baru kepada Nathan. Ramuan benar-benar menakjubkan. Nathan teringat kembali
dengan keampuhan ramuan penyembuh yang dibuat neneknya. Dalam beberapa hal,
berkaca pada keberhasilan van Dal, Nathan mengetahui bahwa kadang ramuan adalah
senjata sihir yang paling hebat jika diramu dengan tepat.
“Kebanyakan
penyihir putih hanya tahu sedikit sekali tentang keampuhan ramuan penyihir
hitam. Khasiat dan kekuatan ramuan bermacam-macam. Menurutku pribadi, ramuan
adalah senjata paling kuat.” (hlm 109)
Keempatnya kemudian memulai suatu
misi baru, yakni mencari Mercury dan membebaskan Analise. Dan, dimulailah
perjalanan panjang berkeliling Eropa daratan, mulai dari Swiss hingga ke daerah
terpencil Norwegia, kita serasa diajak menikmati keindahan hutan pinus dan
pegunungan bersalju di Eropa. Lebih menyenangkan lagi, cerita mulai bergerak ke
out line yang jelas, ada tujuan dan
ada proses untuk menuju tujuan tersebut. Tentu saja, penulis masih membiarkan
pembaca untuk sulit memihak, karena tidak ada yang sempurna hitam dan sempurna
putih di buku ini. Yang hitam bisa saja baik, sementara yang putih bisa saja
kejam, seperti itulah manusia. Komunitas penyihir putih di Britannia mengalami
revolusi, dan kini dipimpin oleh Soul yang berambisi menghabisi seluruh
penyihir hitam di Eropa. Dari yang semula di Inggris, pengaruhnya mulai melebar
ke Eropa yang selama ini adem ayem.
“Kau
menjalani dan meresapi hidup, terutama dengan menjalani ini-itu.” (hlm.
151)
Nathan pun terseret masuk dalam sebuah
persekutuan untuk melawan penyihir putih pimpinan Soul. Ternyata, banyak
penyihir putih yang tidak setuju dengan cara Soul, mereka kemudian bergabung
dan membentuk persekutuan dengan sejumlah penyihir hitam yang terancam. Nathan
harus memutuskan dia memihak yang mana. Mulai terbentuknya dua buku untuk
menyongsong sebuah perang besar, inilah yang membuat buku kedua ini berjalan
cepat dan lebih seru. Hitam dan putih bersatu untuk melawan Soul dan komplotan
penyihir putihnya, dan Nathan harus memutuskan hendak bergabung di kelompok
mana, ataukah malah tidak bergabung dan pergi saja.
“Isi
hati manusia sukar dibaca, apalagi manusia senantiasa berubah.” (hlm. 245)
Semakin ke belakang, pertempuran
semakin banyak. Perang, perkelahian, serbuan, dan tubuh-tubuh yang jatuh
bergelimpangan darah mewarnai pertempuran antara penyihir putih dan persekutuan
penyihir. Ini masih dibumbui oleh kisah romansa antara Nathan dan Analise dan bromance antara Gabriel dan Nathan.
Bumbu romansa di buku ini disuguhkan dalam prosi yang seimbang, tidak terlalu
berlebihan hingga membuat eneg atau menjadikannya
sebagai buku percintaan remaja. Semuanya seimbang antara sihir, pergulatan
dalam diri Nathan, masa lalu Marcus, pertempuran antar-penyihir, dan perjalanan
mengelilingi Eropa.
“Baik-tidaknya
seseorang justru ditentukan dari reaksinya ketika menghadapi situasi sulit,
bukan saat keadaan sedang mudah.” (hlm. 412)
Satu hal yang sangat menganggu dalam
Half Wild adalah bab pertama yang … ngiiiiing ngiiiiiiiiing
ngiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiing ngiiiiinggggggggg. Saya
tahu, penulis hendak membuka novel ini dengan cara yang tidak biasa. Tapi,
mengisi satu bab penuh dengan punyi deringan ponsel yang berisiknya kadang
seperti tengah benar-benar berbunyi di telinga kita adalah sesuatu yang kurang
oke menurut saya. Kesannya seperti menghabis-habiskan halaman saja. Tapi dengan mengabaikan dering ponsel itu, saya sangat menyukai buku kedua trilogy Halfbad ini karena perkembangan para tokoh-tokohnya. Menyenangkan
sekali mengamati perkembangan Nathan, persahabatannya dengan Gabriel, rasa
cintanya pada Analise, rasa kikuknya (dia bingung apakah harus membenci atau
mencintainya) pada sang ayah, serta percakapan-percakapan imajiner dalam
pikiran Nathan.
Setengah
hitam dan setengah putih, Nathan sejatinya melambangkan kondisi kita, manusia
kebanyakan, yang sering kali mengalami pertempuran antara sisi kemanusiaan dan
sisi kebinatangan (nafsu) dalam diri.
No comments:
Post a Comment