Search This Blog

Thursday, June 4, 2015

Half Wild


Judul   : Half Wild
Pengarang       : Sally Green
Penerjemah      : Reni Indardini
Penyunting      :Nunung Wiyati
Sampul            : Fahmi Ilmansyah
Tebal               : 459 hlm
Cetakan           : 1, April 2015
Penerbit           : Mizan Fantasy



 25477397

“Hewan tidak baik, tapi juga tidak jahat.” (hlm 149)

            Petualangan Nathan si separuh penyihir putih-separuh penyihir hitam berlanjut dan semakin seru di buku kedua ini. Lebih banyak aksi, lebih banyak pertarungan, lebih banyak darah dan organ tubuh berceceran, lebih banyak perjalanan, dan lebih banyak kisah manis antara Nathan dan Gabriel #eaaaa. Dalam buku pertama, Nathan akhirnya mendapatkan anugrahnya dari sang ayah, Marcus si penyihir hitam. Dari judul buku ini yang setengah liar dan kutipan yang saya gunakan di depan, sudah bisa ditebak kan apa anugrah yang dimiliki Nathan? Sayangnya, hal itu harus dibayar mahal. Nathan terpisah dari teman-temannya, dia tertembak dan hampir saja mati karena racun dari peluru pemburu putih, serta—yang paling buruk—kehilangan Analise yang ditidurkan paksa oleh penyihir hitam Mercury sebagai jaminan agar Nathan mau membunuh Marcus.

            “Jangan kau benci dirimu sendiri. Jangan membenci bagian dari dirimu sendiri, yang manapun juga.” (hlm 150)


            Mengetahui bahwa Nathan mewarisi anugrah dari ayahnya, dia lalu berusaha mengendalikannya. Sayangnya, hewan dalam dirinya begitu buas dan liar, tanpa sadar, dirinya bisa lupa diri (dia bahkan lupa apa yang dialaminya) ketika tengah bertranformasi. Tahu-tahu saja, Nathan terbangun dengan musuh yang telah mati tercabik-cabik di sisinya. Apa sebenarnya yang terjadi ketika dia berubah? Apakah kemanusiaannya turut berubah menjadi kebinatangan? Nathan sadar, jika tidak bisa mengendalikan kemampuannya, bukan hanya musuh-musuhnya yang akan tewas secara mengenaskan, teman-temannya juga bisa terancam. Ancaman itu kini tersembunyi dalam dirinya.

            Namanya juga sihir. Wajar kalau tidak bisa dinalar walau praktiknya memang begitu.” (hlm 137)

            Untungnya, Nathan dipertemukan lagi dengan teman-teman penyihir hitam yang baru, yakni Nesbitt si pengintai dan van Dal sang ahli ramuan. Melalui van Dal inilah akhirnya Nathan dan Gabriel dipertemukan kembali. Wanita hebat itu juga yang membantu menyembuhkan kondisi Nathan, memberinya tumpangan dan makanan, serta menunjukkan masa depan yang baru kepada Nathan. Ramuan benar-benar menakjubkan. Nathan teringat kembali dengan keampuhan ramuan penyembuh yang dibuat neneknya. Dalam beberapa hal, berkaca pada keberhasilan van Dal, Nathan mengetahui bahwa kadang ramuan adalah senjata sihir yang paling hebat jika diramu dengan tepat.

            “Kebanyakan penyihir putih hanya tahu sedikit sekali tentang keampuhan ramuan penyihir hitam. Khasiat dan kekuatan ramuan bermacam-macam. Menurutku pribadi, ramuan adalah senjata paling kuat.” (hlm 109)

            Keempatnya kemudian memulai suatu misi baru, yakni mencari Mercury dan membebaskan Analise. Dan, dimulailah perjalanan panjang berkeliling Eropa daratan, mulai dari Swiss hingga ke daerah terpencil Norwegia, kita serasa diajak menikmati keindahan hutan pinus dan pegunungan bersalju di Eropa. Lebih menyenangkan lagi, cerita mulai bergerak ke out line yang jelas, ada tujuan dan ada proses untuk menuju tujuan tersebut. Tentu saja, penulis masih membiarkan pembaca untuk sulit memihak, karena tidak ada yang sempurna hitam dan sempurna putih di buku ini. Yang hitam bisa saja baik, sementara yang putih bisa saja kejam, seperti itulah manusia. Komunitas penyihir putih di Britannia mengalami revolusi, dan kini dipimpin oleh Soul yang berambisi menghabisi seluruh penyihir hitam di Eropa. Dari yang semula di Inggris, pengaruhnya mulai melebar ke Eropa yang selama ini adem ayem.

            “Kau menjalani dan meresapi hidup, terutama dengan menjalani ini-itu.” (hlm. 151)

            Nathan pun terseret masuk dalam sebuah persekutuan untuk melawan penyihir putih pimpinan Soul. Ternyata, banyak penyihir putih yang tidak setuju dengan cara Soul, mereka kemudian bergabung dan membentuk persekutuan dengan sejumlah penyihir hitam yang terancam. Nathan harus memutuskan dia memihak yang mana. Mulai terbentuknya dua buku untuk menyongsong sebuah perang besar, inilah yang membuat buku kedua ini berjalan cepat dan lebih seru. Hitam dan putih bersatu untuk melawan Soul dan komplotan penyihir putihnya, dan Nathan harus memutuskan hendak bergabung di kelompok mana, ataukah malah tidak bergabung dan pergi saja.

            Isi hati manusia sukar dibaca, apalagi manusia senantiasa berubah.” (hlm. 245)

            Semakin ke belakang, pertempuran semakin banyak. Perang, perkelahian, serbuan, dan tubuh-tubuh yang jatuh bergelimpangan darah mewarnai pertempuran antara penyihir putih dan persekutuan penyihir. Ini masih dibumbui oleh kisah romansa antara Nathan dan Analise dan bromance antara Gabriel dan Nathan. Bumbu romansa di buku ini disuguhkan dalam prosi yang seimbang, tidak terlalu berlebihan hingga membuat eneg atau menjadikannya sebagai buku percintaan remaja. Semuanya seimbang antara sihir, pergulatan dalam diri Nathan, masa lalu Marcus, pertempuran antar-penyihir, dan perjalanan mengelilingi Eropa.

            Baik-tidaknya seseorang justru ditentukan dari reaksinya ketika menghadapi situasi sulit, bukan saat keadaan sedang mudah.” (hlm. 412)

            Satu hal yang sangat menganggu dalam Half Wild adalah bab pertama yang … ngiiiiing ngiiiiiiiiing ngiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiing ngiiiiinggggggggg. Saya tahu, penulis hendak membuka novel ini dengan cara yang tidak biasa. Tapi, mengisi satu bab penuh dengan punyi deringan ponsel yang berisiknya kadang seperti tengah benar-benar berbunyi di telinga kita adalah sesuatu yang kurang oke menurut saya. Kesannya seperti menghabis-habiskan halaman saja. Tapi dengan mengabaikan dering ponsel itu, saya sangat menyukai buku kedua trilogy Halfbad ini karena perkembangan para tokoh-tokohnya. Menyenangkan sekali mengamati perkembangan Nathan, persahabatannya dengan Gabriel, rasa cintanya pada Analise, rasa kikuknya (dia bingung apakah harus membenci atau mencintainya) pada sang ayah, serta percakapan-percakapan imajiner dalam pikiran Nathan.

Setengah hitam dan setengah putih, Nathan sejatinya melambangkan kondisi kita, manusia kebanyakan, yang sering kali mengalami pertempuran antara sisi kemanusiaan dan sisi kebinatangan (nafsu) dalam diri.

No comments:

Post a Comment