Search This Blog

Monday, May 18, 2015

Senja yang Mendadak Bisu



Judul: Senja yang Mendadak Bisu
Pengarang: Lugiwa W.G dkk
Penyunting: Ainini
Pemeriksa Aksara: Addin Negara, RN
Tebal: 240 hlm
Cetakan: 1, April 2014
Penerbit: De Teens (Kampus Fiksi)

25435264 
 
Kumpulan cerpen “Senja yang Mendadak Bisu” adalah hasil saringan dari seluruh karya terbaik para alumni #KampusFiksi Reguler, #KampusFiksiRoadShow, dan #KampusFiksiSpesial. Ratusan peserta berlomba mengirimkan karya-karya cerpennya, kemudian terpilihlah 21 karya emas yang dibukukan dalam satu buku kumcer bersampul kuning-hijau ini. 21 kisah, 21 penulis, ribuan pembacaan dan tafsir. Terlepas dari perbedaan corak kepenulisan dari masing-masing menulis, ada satu persamaan yang menautkan ke-21 cerpen dalam buku ini: konten lokal. Sejak kompetisi #KF yang pertama, ketersediaan konten lokal merupakan salah satu elemen yang wajib ada dan sangat dipertimbangkan dalam penilaian cerpen-cerpen #KF yang masuk, karenanya tidak salah kalau kumcer ini terasa begitu “Indonesia banget”. 

            Sebuah cerita yang baik adalah kisah yang membius pembaca untuk terus membaca dan menikmatinya. Perkara cerita itu mengandung muatan positif, atau menggunakan konten lokal yang kental, yang lainnya adalah tambahan. Karena, inti utama sebuah cerita adalah bercerita. Kemudian, ada saya temukan sejumlah cerpen di buku ini dengan konten lokal yang berhasil menyatu dengan indahnya dalam cerita. Seperti, si penulis pernah ada di sana dan kemudian menuliskan cerita tersebut sebagai salah satu pengalamannya. Cerpen yang bisa bercerita sekaligus tetap menampilkan konten lokal secara indah seperti inilah yang layak untuk diapresiasi. Sebaliknya, sejumlah cerpen dalam buku ini ada yang seperti hanya menempelkan suatu konten lokal dari daerah tertentu pada cerita yang mungkin sebelumnya sudah jadi. Untuk kasus ini, saya sudah senang karena cerpennya sudah bercerita, bukankah itu tujuan paling dasar dari sebuah tulisan fiksi?
Berikut ini ulasan singkat saya yang apa adanya pada 21 cerita dalam buku ini:

1. Battle Tirakat
            Cerita dengan setting orang Samin ini merupakan pembuka yang baik, perpaduan antara kisah horor, romansa, dengan sedikit unsure religi. Berkisah tentang seorang pemuda yang harus menjalani ritual uji nyali di Petilaan Songo Langit Pitu yang terkenal wingit selama lima hari agar dia bisa meminang gadis pujaan hatinya. Endingnya sedikit horor, konten lokalnya tidak terlalu kental, tetapi cerita ini sangat menghibur.

2. Gadis di Pulau Seberang
            Cerpen ini mengangkat setting lokal menurut saya, belum konten lokalnya, yakni di kawasan Selat Sunda. Sangat beraroma religi, dengan ending yang membuat saya harus membaca ulang pelan-pelan sebelum mengetahui maksud dari ceritanya.  Setelah ketemu, barulah muncul rasa nyess saat membaca cerpen kedua ini.

3. Hikayat Terpendam Gadis Lasem
            Pia Devina menurut saya adalah penulis yang sudah jadi, memiliki basic kepenulisan yang mantap sehingga tulisan-tulisannya serasa memiliki kedalaman tertentu yang telah dicapai oleh mereka yang telah banyak menulis dan membaca. Karakter  pilihannya dalam cerpen ini adalah yang paling tidak biasa, yakni ampas kopi yang mengamati dunia di sekitarnya. Kata-katanya juga sastra banget.

4. Iki Palek, Sebuah Rindu Tak Berkesudahan
            Akhirnya, muncul juga cerpen yang mengaplikasikan setting Papua yang jarang sekali digunakan oleh penulis Indonesia. Ini adalah cerpen yang membelajarkan, dalam artian pembaca belajar banyak hal-hal baru tentang wanita-wanita suku Dani yang berdiam di Lembah Baliem. Tentang pengorbanan dan kesetiaan mereka nan luar biasa, wanita-wanita ini harus memotong satu ruas jarinya setiap kali ada anggota keluarganya yang meninggal. Perihnya luka yang mengering menandakan perih rindu yang muncul setelah ditinggal pergi orang-orang tercinta. Dalam hal ini, luka fisik mungkin bisa sembuh, tetapi perihnya rindu kadang sering memunculkan luka-luka yang baru. Apakah itu rindu selain luka yang tak terobati kecuali ditutupi dengan perih yang lain. Cerpen ini begitu luwes sekali, dengan ending yang dituturkan begitu tersiratnya, namun mengena.

5. Jangan Sebut Dia Singkek
            Saya mendapati di buku ini elemen konten lokal Tionghoa muncul agak banyak di buku ini, dan cerita ini adalah salah satu yang sangat saya sukai dari kumcer ini. Etnis Tionghoa sejatinya telah lama menjadi bagian dari negeri ini, tetapi puluhan tahun doktrin Orde Baru yang memandang miring etnis ini telah memunculkan stigma yang keliru tentang mereka. Sebagaimana dalam cerita ini, ketika ada seorang gadis pribumi yang jatuh cinta pada seorang kokoh dari etnis Tionghoa. Hubungan antaretnis yang pasti akan mendapatkan begitu banyak tentangan, begitu banyak stigma, bahwa antara pribumi dan singkek seharusnya memang tidak seharusnya bersatu. Bahkan, orang lebih memaklumi gadis itu menikah dengan pria yang lebih pantas jadi kakeknya ketimbang menikah dengan seorang singkek. Sejatinya, etnis hanyalah kulit, semua manusia adalah sama. “Aku menjagamu dari jauh,” duh so sweet banget kalimat penutup cerpen ini.

6. Kapurung
            Entah kenapa, efek mengejutkan sebuah cerpen sering kali harus dimunculkan dengan sad ending demi agar karya pendek itu bisa menguratkan bekas yang dalam bagi pembacanya. Termasuk cerpen ini, indah tapi endingnya bikin nyesek. Ketika indahnya kesetiaan hanya berbalas pada kesalahpahaman, seolah piring demi piring kapurung yang disiapkan setiap malam itu menjadi tak berguna hanya karena ketidaktahuan. Cerpen ini seperti menyindir kita yang terlalu sering menyimpulkan sendiri dan malas untuk sekadar bertanya. Kesetiaan itu indah, bahkan ketika dia disalahartikan.

7. Kunang-Kunang di Ranu Lus
            Dari semua cerpen di buku ini, cerita ketujuh ini adalah yang paling berjiwa menurut saya, orisinal dengan caranya sendiri. Konten lokalnya berhasil nge-blend dengan begitu halusnya ke dalam cerita.Settingnya di Semeru, menggunakan pesona mistis Semeru, dengan sebuah kisah yang membuat kita teringat pada kisah-kisah orang tua tentang orang-orang yang melanggar batas perjanjian.

8. Lama Ketiga Belas Setelah Tahun Baru Lunar
            Tionghoa lagi, setting budaya Asia Timur ini sepertinya memang jadi favorit banyak penulis dewasa ini. Kisah berjudul panjang ini agak membingungkan bagi saya, tetapi langsung jelas begitu tiba di ending meskipun kejutannya kurang wow. Andai saja bagian ekornya bisa dibikin lebih mengigit, kisah ini pasti bisa lebih seru.

9. Moksa
            Farrahnada kembali dengan cerita khasnya, romantisme campur-campur fantasi yang bagaimana begitu. Kali ini, setting dan konten lokal budaya Bali yang diterapkannya dalam tulisan.

10. Otok
            Cerita kesepuluh ini unik, sederhana namun mengigit. Bukti bahwa penulisnya memang telah banyak pengalaman dalam menulis. Bahwa apa yang kita omongkan bisa menjadi doa, karena itulah terbiasakanlah mulut untuk hanya bicara yang baik-baik saja. Sebagaimana yang dikatakan oleh ibu guru: “Kata-kata itu sebagian dari doa! Jadi, jagalah setiap kata yang keluar dari mulut kalian.” (hlm 113)

11. Pasola
            Even pasola alias perang antarsuku dengan menaiki kuda Sumbawa sepertinya menjadi destinasi favorit para traveler, begitu juga para penulis yang tertarik untuk menerapkan elemen tradisi itu dalam sebuah tulisan. Tradisi dibangun oleh ikatan suci dan kebijaksanaan lokal, karena itu bermainlah dengan hati yang bersih dalam pasola.

12. Penerus Klitik
            Menjadi penerus dalang klitik bukanlah sesuatu yang mudah. Abyasa, anak satu-satunya dari satu-satunya dalang wayang klitik yang tersisa, mengemban tugas berat itu. Tapi, cerita kedua belas ini rupanya bukan tentang itu saja, ada kisah tersembunyi lain yang menyertainya, dan mengagetkan kita menjelang akhir cerita.

13. Piil Pesenggiri
            Entah kenapa di buku ini saya mendapati banyak sekali upaya mempertentangkan anatara adat istiadat dengan logika modern. Perkawinan antarsuku yang terlarang hendak didobrak oleh penerus generasi sekarang, hanya untuk berujung pada rasa malu tak tertanggungkan. Cerpen ini berusaha menghadirkan jalan tengah antara kekolotan tradisi dan kenekatan generasi muda, bahwa ketika kedua kutub hanya mau menang sendiri, selalu akan ada korban yang terjadi.

14. Pohon Randu Wangi
            Kisah yang simpel, namun sangat enak dibaca dan dinikmati, sangat mengalir dan indah dengan caranya sendiri.

15. Rambu Solo untuk Ambe
            Sekali lagi, tradisi menjadi sumber masalah ketika dihadapkan pada logika kekinian. Seorang anak merasa belum bisa berbakti kepada orang tuanya karena dia belum bisa menjalankan upacara rambu solo yang sangat sakral bagi masyarakat Toraja. Dibutuhkan biaya dalam jumlah besar untuk menyempurnakan upacara pemakaman sang ayah, dan paksaan adat serta tanggungan tak tertahankan dari keluarga sendiri sering kali menjadikan gelap mata. Tradisi memang penting, tetapi menjalankan tradisi tanpa harus melanggar aturan kehidupan jauh lebih penting. Cerpen ini sangat membelajarkan.

16. Sarangan
            Cerpen ini arahnya juga sama, mempertentangkan tradisi dengan logika kekinian, hanya saja kali ini tema utamanya adalah cinta. Kedua sejoli yang dilarang bersatu oleh tradisi akhirnya berusaha untuk mencurangi tradisi.

17. Segengam Mayam
            Dari semua cerpen di buku ini, Segengam Mayam adalah yang paling bikin saya gemes. Endingnya itu loh, kalem dan tenang banget, tapi mengiris dan menyayat hati *lebai*. Seorang pemuda harus memenuhi mahar sejumlah sekian, dan dia gagal. Duh, sekali lagi, apakah tradisi harus sekejam ini?

18. Senja yang Mendadak Bisu
            Selain Jangan Sebut Dia Singkek, cerpen yang juga menjadi judul kumcer ini adalah yang paling saya sukai. Penulis mengusung tema tentang lingkungan lewat cerita yang begitu halus, tanpa mengurui dan tanpa terasa membosankan sama sekali. Indah.

19. Tanduk Emas
            Gyna memang selalu memberikan kejutan dalam karya-karyanya. Seperti dalam cerita ini, menggunakan setting Suku Anak Dalam, dia memadukannya dengan sedikit elemen fantasi serta sebuah kisah tentang kedewasaan nan mengaharukan.

20. Tentang A Fen
            Sekali lagi, pesona budaya Tionghoa muncul untuk ketiga kalinya dalam buku ini. Temanya juga tidak jauh-jauh amat dari cerita pendek ke delapan, mungkin perayaan Cap Go Meh yang sudah menjadi even wisata rutin di nusantara ini turut memantik banyak penulis untuk menuangkan idenya dalam tulisan.

21. Yang Bernama yang Tergambar  yang Berarti
            Judulnya unik, tapi saya tidak menemukan kaitan antara judul itu dengan ceritanya.  Someone please tell me. Cerita terakhir (yang saya baca pertama kali saat membaca buku ini) memiliki tema yang unik, agak berbau tahakyul dan gugon tuhon dengan setting wilayah Gunung Kidul yang sekarang memang sedang naik daun. Agak-agak horor tapi diksinya kok mulai nggak orisinal ya, Qaqa Mini?

            Sudah saya baca semuanya. 21 cerita dengan 21 rasa. Lebih nikmat untuk membaca cerpen-cerpen ini secara tidak urut, sehingga dengan demikian akan terasa berbagai kejutan, kearifan budaya, dan panorama alam Indonesia yang dimunculkan dalam bentuk cerita. Untuk merayakan buku ini, saya akan membagikan satu buku ini GRATIS plus totebag #KampusFiksi di blog Baca Biar Beken mulai pekan depan. Insya Allah, semoga bisa pada ikutan membaca kumcer keren ini.

11 comments:

  1. Saya mao GA-nya...
    Maooo... XD

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ish, reviewnya aja belum banyak tuh. Hayo tambahin.

      Delete
  2. makasih mas untuk ulasannya, walaupun seemprit untuk cerpenku :D *nomor 2

    anw, judul nomor 8 sempet bikin bingung, ternyata bukan "Lama...", tapi "Malam Ketiga Belas Setelah Tahun Baru Lunar". Untuk nomor 17 juga. Mustinya segenggam bukan segengam :D *sokjadiproofreader XD

    ReplyDelete
  3. Membaca Kapurung, saya jadi rindu mau pulang kampung...

    ReplyDelete
  4. Wah, baca review dari sudut pandang Mas Dion tentang cerpen-cerpen dalam buku "Senja yang mendadak bisu" ini makin buat aku penasaran pengen baca langsung bukunya.

    Kampus Fiksi memang kren banget, buku "Senja yang Mendadak Bisu" berhasil buat aku "melek" soal tradisi, adat dan budaya di Indonesia.

    ReplyDelete
  5. Wiiih, asik nih Mas Dion ngasih review buat satu persatu cerpennya. Dari semua yang sudah dipaparkan, saya malah tertarik sama cerpen berjudul Kapurung. Baru kali ini dengar kata itu. Sama sekali nggak punya bayangan ceritanya kayak apa. Gambaran isinya dituturkan secara tersirat namun juga bikin penasaran. Apalagi disebutkan dengan gamblang kalau itu sad ending. Ah, mungkin karena aku sudah bosan dengan banyaknya happy ending layaknya dongeng masa kecil. Mata langsung membulat kalau lihat/baca yang berbau sad ending. :p

    ReplyDelete
  6. Wiiih, asik nih Mas Dion ngasih review buat satu persatu cerpennya. Dari semua yang sudah dipaparkan, saya malah tertarik sama cerpen berjudul Kapurung. Baru kali ini dengar kata itu. Sama sekali nggak punya bayangan ceritanya kayak apa. Gambaran isinya dituturkan secara tersirat namun juga bikin penasaran. Apalagi disebutkan dengan gamblang kalau itu sad ending. Ah, mungkin karena aku sudah bosan dengan banyaknya happy ending layaknya dongeng masa kecil. Mata langsung membulat kalau lihat/baca yang berbau sad ending. :p

    ReplyDelete
  7. Sangat penasaran sama cerpen nomer 4, "Iki Palek, Sebuah Rindu Tak Berkesudahan". Nyeess juga dan emang belum pernah denger cerita dengan settingan papua sih hehe :D
    thanks mas atas reviewnyaa...

    ReplyDelete
  8. Dari 21 cerpen yang sudah diulas sama kak Dion, kayaknya saya penasaran sama cerpen nomer 4 dengan judul Iki Palek, Sebuah Rindu Tak Berkesudahan. Entahlah, saya selalu tertarik dengan wilayah Indonesia bagian timur terutama tentang segala hal mengenai Papua. Dan setelah tahu bahwa cerpen nomer 4 itu membahas tentang adat wanita suku Dani yang berdiam di Lembah Baliem, Papua, saya tertarik ingin membacanya. Ini termasuk informasi baru bagi saya. Kelihatannya saya harus benar-benar membaca buku yang penuh kearifan lokal ini.Semua cerpennya direview satu persatu. Nice review

    ReplyDelete