Judul: Senja yang Mendadak Bisu
Pengarang: Lugiwa W.G dkk
Penyunting: Ainini
Pemeriksa Aksara: Addin Negara, RN
Tebal: 240 hlm
Cetakan: 1, April 2014
Penerbit: De Teens (Kampus Fiksi)
Pengarang: Lugiwa W.G dkk
Penyunting: Ainini
Pemeriksa Aksara: Addin Negara, RN
Tebal: 240 hlm
Cetakan: 1, April 2014
Penerbit: De Teens (Kampus Fiksi)
Kumpulan cerpen
“Senja yang Mendadak Bisu” adalah hasil saringan dari seluruh karya terbaik
para alumni #KampusFiksi Reguler, #KampusFiksiRoadShow, dan
#KampusFiksiSpesial. Ratusan peserta berlomba mengirimkan karya-karya
cerpennya, kemudian terpilihlah 21 karya emas yang dibukukan dalam satu buku
kumcer bersampul kuning-hijau ini. 21 kisah, 21 penulis, ribuan pembacaan dan
tafsir. Terlepas dari perbedaan corak kepenulisan dari masing-masing menulis,
ada satu persamaan yang menautkan ke-21 cerpen dalam buku ini: konten lokal.
Sejak kompetisi #KF yang pertama, ketersediaan konten lokal merupakan salah
satu elemen yang wajib ada dan sangat dipertimbangkan dalam penilaian
cerpen-cerpen #KF yang masuk, karenanya tidak salah kalau kumcer ini terasa
begitu “Indonesia banget”.
Sebuah
cerita yang baik adalah kisah yang membius pembaca untuk terus membaca dan
menikmatinya. Perkara cerita itu mengandung muatan positif, atau menggunakan
konten lokal yang kental, yang lainnya adalah tambahan. Karena, inti utama
sebuah cerita adalah bercerita. Kemudian, ada saya temukan sejumlah cerpen di
buku ini dengan konten lokal yang berhasil menyatu dengan indahnya dalam
cerita. Seperti, si penulis pernah ada di sana dan kemudian menuliskan cerita
tersebut sebagai salah satu pengalamannya. Cerpen yang bisa bercerita sekaligus
tetap menampilkan konten lokal secara indah seperti inilah yang layak untuk
diapresiasi. Sebaliknya, sejumlah cerpen dalam buku ini ada yang seperti hanya
menempelkan suatu konten lokal dari daerah tertentu pada cerita yang mungkin
sebelumnya sudah jadi. Untuk kasus ini, saya sudah senang karena cerpennya
sudah bercerita, bukankah itu tujuan paling dasar dari sebuah tulisan fiksi?
Berikut ini ulasan singkat saya
yang apa adanya pada 21 cerita dalam buku ini:
1.
Battle Tirakat
Cerita
dengan setting orang Samin ini merupakan pembuka yang baik, perpaduan antara
kisah horor, romansa, dengan sedikit unsure religi. Berkisah tentang seorang
pemuda yang harus menjalani ritual uji nyali di Petilaan Songo Langit Pitu yang
terkenal wingit selama lima hari agar dia bisa meminang gadis pujaan hatinya.
Endingnya sedikit horor, konten lokalnya tidak terlalu kental, tetapi cerita
ini sangat menghibur.
2.
Gadis di Pulau Seberang
Cerpen
ini mengangkat setting lokal menurut saya, belum konten lokalnya, yakni di
kawasan Selat Sunda. Sangat beraroma religi, dengan ending yang membuat saya
harus membaca ulang pelan-pelan sebelum mengetahui maksud dari ceritanya. Setelah ketemu, barulah muncul rasa nyess
saat membaca cerpen kedua ini.
3.
Hikayat Terpendam Gadis Lasem
Pia
Devina menurut saya adalah penulis yang sudah jadi, memiliki basic kepenulisan yang mantap sehingga
tulisan-tulisannya serasa memiliki kedalaman tertentu yang telah dicapai oleh
mereka yang telah banyak menulis dan membaca. Karakter pilihannya dalam cerpen ini adalah yang paling
tidak biasa, yakni ampas kopi yang mengamati dunia di sekitarnya. Kata-katanya
juga sastra banget.
4.
Iki Palek, Sebuah Rindu Tak Berkesudahan
Akhirnya,
muncul juga cerpen yang mengaplikasikan setting Papua yang jarang sekali
digunakan oleh penulis Indonesia. Ini adalah cerpen yang membelajarkan, dalam
artian pembaca belajar banyak hal-hal baru tentang wanita-wanita suku Dani yang
berdiam di Lembah Baliem. Tentang pengorbanan dan kesetiaan mereka nan luar
biasa, wanita-wanita ini harus memotong satu ruas jarinya setiap kali ada
anggota keluarganya yang meninggal. Perihnya luka yang mengering menandakan
perih rindu yang muncul setelah ditinggal pergi orang-orang tercinta. Dalam hal
ini, luka fisik mungkin bisa sembuh, tetapi perihnya rindu kadang sering
memunculkan luka-luka yang baru. Apakah itu rindu selain luka yang tak terobati
kecuali ditutupi dengan perih yang lain. Cerpen ini begitu luwes sekali, dengan
ending yang dituturkan begitu tersiratnya, namun mengena.
5.
Jangan Sebut Dia Singkek
Saya
mendapati di buku ini elemen konten lokal Tionghoa muncul agak banyak di buku
ini, dan cerita ini adalah salah satu yang sangat saya sukai dari kumcer ini.
Etnis Tionghoa sejatinya telah lama menjadi bagian dari negeri ini, tetapi
puluhan tahun doktrin Orde Baru yang memandang miring etnis ini telah
memunculkan stigma yang keliru tentang mereka. Sebagaimana dalam cerita ini,
ketika ada seorang gadis pribumi yang jatuh cinta pada seorang kokoh dari etnis Tionghoa. Hubungan
antaretnis yang pasti akan mendapatkan begitu banyak tentangan, begitu banyak
stigma, bahwa antara pribumi dan singkek seharusnya
memang tidak seharusnya bersatu. Bahkan, orang lebih memaklumi gadis itu
menikah dengan pria yang lebih pantas jadi kakeknya ketimbang menikah dengan
seorang singkek. Sejatinya, etnis
hanyalah kulit, semua manusia adalah sama. “Aku menjagamu dari jauh,” duh so sweet banget kalimat penutup cerpen
ini.
6.
Kapurung
Entah
kenapa, efek mengejutkan sebuah cerpen sering kali harus dimunculkan dengan sad ending demi agar karya pendek itu
bisa menguratkan bekas yang dalam bagi pembacanya. Termasuk cerpen ini, indah
tapi endingnya bikin nyesek. Ketika indahnya kesetiaan hanya berbalas pada
kesalahpahaman, seolah piring demi piring kapurung
yang disiapkan setiap malam itu menjadi tak berguna hanya karena
ketidaktahuan. Cerpen ini seperti menyindir kita yang terlalu sering menyimpulkan
sendiri dan malas untuk sekadar bertanya. Kesetiaan itu indah, bahkan ketika
dia disalahartikan.
7.
Kunang-Kunang di Ranu Lus
Dari
semua cerpen di buku ini, cerita ketujuh ini adalah yang paling berjiwa menurut
saya, orisinal dengan caranya sendiri. Konten lokalnya berhasil nge-blend dengan begitu halusnya ke dalam
cerita.Settingnya di Semeru, menggunakan pesona mistis Semeru, dengan sebuah
kisah yang membuat kita teringat pada kisah-kisah orang tua tentang orang-orang
yang melanggar batas perjanjian.
8.
Lama Ketiga Belas Setelah Tahun Baru Lunar
Tionghoa
lagi, setting budaya Asia Timur ini sepertinya memang jadi favorit banyak
penulis dewasa ini. Kisah berjudul panjang ini agak membingungkan bagi saya,
tetapi langsung jelas begitu tiba di ending meskipun kejutannya kurang wow.
Andai saja bagian ekornya bisa dibikin lebih mengigit, kisah ini pasti bisa
lebih seru.
9.
Moksa
Farrahnada
kembali dengan cerita khasnya, romantisme campur-campur fantasi yang bagaimana
begitu. Kali ini, setting dan konten lokal budaya Bali yang diterapkannya dalam
tulisan.
10.
Otok
Cerita
kesepuluh ini unik, sederhana namun mengigit. Bukti bahwa penulisnya memang telah
banyak pengalaman dalam menulis. Bahwa apa yang kita omongkan bisa menjadi doa,
karena itulah terbiasakanlah mulut untuk hanya bicara yang baik-baik saja.
Sebagaimana yang dikatakan oleh ibu guru: “Kata-kata
itu sebagian dari doa! Jadi, jagalah setiap kata yang keluar dari mulut
kalian.” (hlm 113)
11.
Pasola
Even
pasola alias perang antarsuku dengan
menaiki kuda Sumbawa sepertinya menjadi destinasi favorit para traveler, begitu
juga para penulis yang tertarik untuk menerapkan elemen tradisi itu dalam sebuah
tulisan. Tradisi dibangun oleh ikatan suci dan kebijaksanaan lokal, karena itu bermainlah dengan hati yang bersih dalam
pasola.
12.
Penerus Klitik
Menjadi
penerus dalang klitik bukanlah sesuatu yang mudah. Abyasa, anak satu-satunya
dari satu-satunya dalang wayang klitik yang tersisa, mengemban tugas berat itu.
Tapi, cerita kedua belas ini rupanya bukan tentang itu saja, ada kisah
tersembunyi lain yang menyertainya, dan mengagetkan kita menjelang akhir
cerita.
13.
Piil Pesenggiri
Entah
kenapa di buku ini saya mendapati banyak sekali upaya mempertentangkan anatara
adat istiadat dengan logika modern. Perkawinan antarsuku yang terlarang hendak
didobrak oleh penerus generasi sekarang, hanya untuk berujung pada rasa malu
tak tertanggungkan. Cerpen ini berusaha menghadirkan jalan tengah antara
kekolotan tradisi dan kenekatan generasi muda, bahwa ketika kedua kutub hanya
mau menang sendiri, selalu akan ada korban yang terjadi.
14.
Pohon Randu Wangi
Kisah
yang simpel, namun sangat enak dibaca dan dinikmati, sangat mengalir dan indah
dengan caranya sendiri.
15.
Rambu Solo untuk Ambe
Sekali
lagi, tradisi menjadi sumber masalah ketika dihadapkan pada logika kekinian.
Seorang anak merasa belum bisa berbakti kepada orang tuanya karena dia belum
bisa menjalankan upacara rambu solo yang
sangat sakral bagi masyarakat Toraja. Dibutuhkan biaya dalam jumlah besar untuk
menyempurnakan upacara pemakaman sang ayah, dan paksaan adat serta tanggungan
tak tertahankan dari keluarga sendiri sering kali menjadikan gelap mata.
Tradisi memang penting, tetapi menjalankan tradisi tanpa harus melanggar aturan
kehidupan jauh lebih penting. Cerpen ini sangat membelajarkan.
16.
Sarangan
Cerpen
ini arahnya juga sama, mempertentangkan tradisi dengan logika kekinian, hanya
saja kali ini tema utamanya adalah cinta. Kedua sejoli yang dilarang bersatu
oleh tradisi akhirnya berusaha untuk mencurangi tradisi.
17.
Segengam Mayam
Dari
semua cerpen di buku ini, Segengam Mayam adalah
yang paling bikin saya gemes. Endingnya itu loh, kalem dan tenang banget, tapi
mengiris dan menyayat hati *lebai*. Seorang pemuda harus memenuhi mahar
sejumlah sekian, dan dia gagal. Duh, sekali lagi, apakah tradisi harus sekejam
ini?
18.
Senja yang Mendadak Bisu
Selain
Jangan Sebut Dia Singkek, cerpen yang
juga menjadi judul kumcer ini adalah yang paling saya sukai. Penulis mengusung
tema tentang lingkungan lewat cerita yang begitu halus, tanpa mengurui dan
tanpa terasa membosankan sama sekali. Indah.
19.
Tanduk Emas
Gyna
memang selalu memberikan kejutan dalam karya-karyanya. Seperti dalam cerita
ini, menggunakan setting Suku Anak Dalam, dia memadukannya dengan sedikit
elemen fantasi serta sebuah kisah tentang kedewasaan nan mengaharukan.
20.
Tentang A Fen
Sekali
lagi, pesona budaya Tionghoa muncul untuk ketiga kalinya dalam buku ini.
Temanya juga tidak jauh-jauh amat dari cerita pendek ke delapan, mungkin
perayaan Cap Go Meh yang sudah menjadi even wisata rutin di nusantara ini turut
memantik banyak penulis untuk menuangkan idenya dalam tulisan.
21.
Yang Bernama yang Tergambar yang Berarti
Judulnya
unik, tapi saya tidak menemukan kaitan antara judul itu dengan ceritanya. Someone
please tell me. Cerita terakhir (yang saya baca pertama kali saat membaca
buku ini) memiliki tema yang unik, agak berbau tahakyul dan gugon tuhon dengan setting wilayah
Gunung Kidul yang sekarang memang sedang naik daun. Agak-agak horor tapi
diksinya kok mulai nggak orisinal ya, Qaqa Mini?
Sudah
saya baca semuanya. 21 cerita dengan 21 rasa. Lebih nikmat untuk membaca
cerpen-cerpen ini secara tidak urut, sehingga dengan demikian akan terasa
berbagai kejutan, kearifan budaya, dan panorama alam Indonesia yang dimunculkan
dalam bentuk cerita. Untuk merayakan buku ini, saya
akan membagikan satu buku ini GRATIS plus totebag #KampusFiksi di blog Baca Biar Beken mulai pekan depan. Insya Allah, semoga bisa pada ikutan
membaca kumcer keren ini.
saya mau gratisannya mas! ;p
ReplyDeleteDitunggu ya GA-nya
DeleteSaya mao GA-nya...
ReplyDeleteMaooo... XD
Ish, reviewnya aja belum banyak tuh. Hayo tambahin.
Deletemakasih mas untuk ulasannya, walaupun seemprit untuk cerpenku :D *nomor 2
ReplyDeleteanw, judul nomor 8 sempet bikin bingung, ternyata bukan "Lama...", tapi "Malam Ketiga Belas Setelah Tahun Baru Lunar". Untuk nomor 17 juga. Mustinya segenggam bukan segengam :D *sokjadiproofreader XD
Membaca Kapurung, saya jadi rindu mau pulang kampung...
ReplyDeleteWah, baca review dari sudut pandang Mas Dion tentang cerpen-cerpen dalam buku "Senja yang mendadak bisu" ini makin buat aku penasaran pengen baca langsung bukunya.
ReplyDeleteKampus Fiksi memang kren banget, buku "Senja yang Mendadak Bisu" berhasil buat aku "melek" soal tradisi, adat dan budaya di Indonesia.
Wiiih, asik nih Mas Dion ngasih review buat satu persatu cerpennya. Dari semua yang sudah dipaparkan, saya malah tertarik sama cerpen berjudul Kapurung. Baru kali ini dengar kata itu. Sama sekali nggak punya bayangan ceritanya kayak apa. Gambaran isinya dituturkan secara tersirat namun juga bikin penasaran. Apalagi disebutkan dengan gamblang kalau itu sad ending. Ah, mungkin karena aku sudah bosan dengan banyaknya happy ending layaknya dongeng masa kecil. Mata langsung membulat kalau lihat/baca yang berbau sad ending. :p
ReplyDeleteWiiih, asik nih Mas Dion ngasih review buat satu persatu cerpennya. Dari semua yang sudah dipaparkan, saya malah tertarik sama cerpen berjudul Kapurung. Baru kali ini dengar kata itu. Sama sekali nggak punya bayangan ceritanya kayak apa. Gambaran isinya dituturkan secara tersirat namun juga bikin penasaran. Apalagi disebutkan dengan gamblang kalau itu sad ending. Ah, mungkin karena aku sudah bosan dengan banyaknya happy ending layaknya dongeng masa kecil. Mata langsung membulat kalau lihat/baca yang berbau sad ending. :p
ReplyDeleteSangat penasaran sama cerpen nomer 4, "Iki Palek, Sebuah Rindu Tak Berkesudahan". Nyeess juga dan emang belum pernah denger cerita dengan settingan papua sih hehe :D
ReplyDeletethanks mas atas reviewnyaa...
Dari 21 cerpen yang sudah diulas sama kak Dion, kayaknya saya penasaran sama cerpen nomer 4 dengan judul Iki Palek, Sebuah Rindu Tak Berkesudahan. Entahlah, saya selalu tertarik dengan wilayah Indonesia bagian timur terutama tentang segala hal mengenai Papua. Dan setelah tahu bahwa cerpen nomer 4 itu membahas tentang adat wanita suku Dani yang berdiam di Lembah Baliem, Papua, saya tertarik ingin membacanya. Ini termasuk informasi baru bagi saya. Kelihatannya saya harus benar-benar membaca buku yang penuh kearifan lokal ini.Semua cerpennya direview satu persatu. Nice review
ReplyDelete