Judul : The Boy who Ate Stars
Pengarang : Kochka
Penerjemah : Rahmani Astuti
Tebal : 104 hlm
Cetakan : 1, 2008
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Penerjemah : Rahmani Astuti
Tebal : 104 hlm
Cetakan : 1, 2008
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Buku
ini tipis sekali, saking tipisnya saya langsung selesai membacanya sekali duduk
dalam perjalanan naik transJogja yang hari itu padat sekali sampai perjalanan
dari Malioboro ke Prambanan yang biasanya hanya 40 menit molor menjadi 2,5 jam
(numpang curcol). Tapi, meskipun tipis, buku ini fokus sekali membahas tentang
gejala autism secara lengkap dan (ini yang saya suka) sederhana. Tanpa dibuat
rumit, penulis mencoba menjelaskan gejala rumit ini lewat sudut pandang Lucy
yang berusia 12 tahun. Yang berarti, pembaca akan belajar tentang autisme lewat
sudut pandang anak SD yang bukannya membosankan, tapi malah menyenangkan dan
unik. Tidak perlu rumit-rumit, kadang yang sederhana malah lebih mengigit.
Gejala autisme
adalah sebuah keistimewaan dalam dunia psikologi. Orang-orang dengan autism hidup
di dunia mereka sendiri, berpusar di planetnya sendiri. Sangat sulit untuk
berkomunikasi dengan mereka, dan mereka sendiri juga jarang mau berkomunikasi
dengan orang-orang di luar planernya sendiri. Kadang, sangat sulit untuk
memahami anak istimewa seperti mereka, tetapi ketika mau mencoba memahami
kondisi mereka, sesungguhnya mereka itu istimewa. Kisah hangat namun penuh
pemahaman dalam buku tipis ini membuktikannya.
Lucy, seorang anak kecil berusia
12 tahun, menemukan Matthew, seorang penderita autism berusia 4 tahun yang
kemudian menjadi temannya. Sebagai anak kecil, awalnya Lucy menganggap Matthew
hanya anak nakal biasa yang tidak mau menurut kepada orang tuanya. Tapi, pelan
dan pasti, ia menemukan bahwa Matthews berbeda, dia istimewa. Penjelasan dari
Ibu Matthew tentang kondisi anaknya telah memunculkan pemahaman baru dalam diri
Lucy. Sebuah pemahaman baru tentang autisme yang jauh lebih mudah dipahami
ketimbang istilah-istilah kamus yang terlalu asing.
“Orang-orang autistik berbeda, mereka tidak terbuka terhadap orang
lain, dan mereka menarik diri. Dunia tidak ada di luar diri mereka, dan hanya
ada di dalam sana. Mereka hidup sendirian jauh di dalam dunia mereka, di dalam
ruang yang tidak kita kenal sama sekali.” (hlm 38)
Seiring dengan semakin akrabnya
persahabatan kedua anak ini, semakin Lucy menemukan hal-hal istimewa di dunia
Matthew yang mungkin tidak akan dianggap ada oleh orang awam. Bahwa Tuhan tidak
menciptakan sesuatupun dengan sia-sia di dunia ini. Bahkan Matthew pun terbukti
memiliki fokus luar biasa, yang mengarahkannya untuk mengabaikan dunia luar,
termasuk pesimisme, sehingga di penghujung buku ini, sebuah ending manis telah
menanti. Benar-benar cerita yang menghangatkan hati.
Penggunaan sudut pandang
anak-anak untuk menggambarkan kondisi anak-anak istimewa ini terbukti sangat
berhasil dalam buku ini. Terutama ya itu, bisa menjelaskan gejala-gejala autisme
secara sederhana dan tidak ribet. Pembaca akan belajar banyak dan mulai semakin
memahami apa yang sebenarnya terjadi kepada anak-anak yang istimewa itu. Lucy
juga masih menyimpan keajaiban anak kecil. Mereka cenderung memandang dunia dan
orang-orang di dalamnya sebagai arena permainan, sama sekali tidak ada
prasangka ataupun dugaan miring terhadap kondisi Matthews yang oleh orang-orang
dewasa—yang tidak paham—dianggap sebagai anak bodoh. Lucy yang masih 12 tahun
saja bisa, mengapa kita tidak?
wah sepertinya menarik nih...memang lebih "membumi" bila kita memahami suatu situasi dari sudut pandang anak-anak...
ReplyDeleteBetul mas, lebih mudah baca ini ketimbang baca artikel di majalah atau surat kabar. Lewat cerita, kisahnya jd lebih menyentuh di hati.
ReplyDelete:')
ReplyDeleteBuku ini kira-kira masih ada di toko buku ga ya, Mas?
ReplyDeleteSepertinya sudah ditarik Mbak, tp coba cari di sale biasanya ada.
ReplyDelete