Judul:
Old Death, the Wild West Journey
Pengarang
: Karl May
Penerjemah
: Prety R Prabowo
Penyunting
: Fitria Pratiwi dan Lis Sutinah
Cetakan
: 1, 2014
Tebal
: 160 hlm
Penerbit
: Visi Media
Petualangan
Old Shatterhand di Amerika berlanjut. Kali ini, petualang Jerman itu bergerak
ke selatan dan menjadi saksi serta terlibat langsung dalam salah satu peristiwa
paling bersejarah di dataran Amerika Serikat, yakni perjuangan menghapuskan
perbudakan. Upaya inilah yang berujung pada meletusnya perang saudara tahun
1861 – 1865 antara Negara-negara utara yang menentang perbudakan, dan Negara-negera
selatan yang mendukung perbudakan. Old Shatterhand bergerak langsung menuju salah
satu dari jantung Wild West, Texas, dan menyaksikan dengan pergolakan situasi
yang semakin memanas seiring dengan perubahan politik serta munculnya sebuah
gerakan rahasia Klux Klux Klan yang legendaries itu.
Dalam buku
sebelumnya, dikisahkan Old Shatterhand terpaksa berpisah dengan Winnetou untuk
mengejar dua penjahat berbeda yang telah membunuh ayah dan adik Winnetou.
Sementara Old Shatterhand mengejar Gibson, Winnetou akan mengejar Santer. Untuk
buku ketiga ini, penulis menfokuskan cerita pada upaya Old Shatterhand untuk
mengejar Gibson. Sayangnya, bencana badai menghantam Old Shatterhand di
perairan Kuba, membawa seluruh uang miliknya tenggelam ke lautan, sehingga dia
harus memulai dari awal dan terpaksa bekerja sebagai seorang detektif.
Pekerjaan yang awalnya tidak ia sukai ini malah membawanya kepada petualangan
baru yang tidak kalah seru. Jika di Wild West dia bertemu dan belajar kepada Winnetou,
maka kali ini dia akan belajar dari seorang petualang sejati dari Wild West
yang bernama Old Death.
“Orang idiot paling pengecut dapat
menjatuhkan seorang raksasa dengan sebutir peluru yang tidak lebih besar dari
kacang. Itu sebabnya kita akan bertindak cerdas.” (hlm)
Old
Shatterhand dipekerjakan untuk mencari William Ohlert, putra seorang bankir yang
telah diperalat oleh Gibson untuk menguras uang ayahnya atas nama sastra. Sekali
melempar batu, bisa dapat dua lalat. Sambil mengejar Gibson, dia juga akan bisa
mendapatkan bayaran. Maka, dimulailah pengejaran dan adu cepat menyusuri sungai
Missouri hingga ke New Orleans, tempat dia bertemu dengan seorang westman bernama Old Death yang awalnya
dia kira sebagai seorang tua sinting yang selalu membawa pelananya kemana-mana.
Tidak disangka, Old Death inilah yang akan mengajarkan banyak hal tentang seni
strategi, pengintaian, dan peperangan kepada Old Shatterhand. Tidak salah jika
nama Old Death telah bergema dari api unggun yang satu ke api unggun yang lain,
pria tua nyentrik itu memang luar biasa.
“Satu-satunya
rasa malu yang harus diderita seseorang adalah setelah dia melakukan kebodohan
atau ketidakadilan.” (hlm 62)
Ketika
akhirnya Winnetou menemukan Old Shatterhand, dia memintanya agar tidak
mengatakan siapa dirinya kepada Old Death. Baru ketahuan di belakang, mengapa
si kepala suka apache nan bijak itu menyuruhnya berbuat demikian. Dengan
mengaku sebagai seorang tanduk hijau, Old
Shatterhand bisa belajar banyak hal dari orang tua itu, mulai dari penyergapan
hingga merancang strategi perang tanpa pertumpahan darah. Di bagian pertama,
dengan piawai Old Death menunjukkan taktiknya untuk membebaskan kapal yang
mereka tumpangi di Missouri dari sekelompok perusuh pendukung perbudakan. Hebatnya
lagi, ini dilakukan tanpa terjadinya pertumpahan darah. Di bagian kedua,
ceritanya semakin seru karena mereka harus berhadapan dengan organisasi rahasia
Klux Klux Klan.
Dibandingkan dengan dua buku
sebelumnya, seri ketiga ini termasuk tipis meskipun kisah di dalamnya tidak
kalah seru. Rupanya, buku ini adalah bab 1 dan bab 2 dari buku Winnetou 2 yang diterbitkan lebih awal.
Semoga bab 3 dan 4 akan segera menyusul. Khas ciri tulisan Karl May adalah
kalimat-kalimatnya yang penuh dengan pelajaran kehidupan yang disampaikan
dengan gaya Wild West. Kali ini, pembaca akan belajar banyak dari Old Death.
Jangan memandang pria tua nyentrik itu dari luar, sebab darinyalah berbagai
pertempuran dimenangkan lewat strategi yang jitu. Kepiawaiannya terbukti lagi
saat mereka harus berhadapan dengan organisasi paling berbahaya di Amerika,
Klux Klux Klan.
Selain dari segi
ketebalan, ada hal lain yang berbeda. Penerjemahnya sudah ganti, makanya kok
saya seperti menemukan rasa baru dalam buku ini. Hanya saja, terjemahan di
bagian-bagian awal agak kaku, terutama dalam segi penyusunan kalimatnya yang
masih terasa patah-patah, meskipun masih bisa dipahami. Kalimatnya sudah bisa
dipahami, tapi sepertinya strukturnya masih bisa diolah lagi agar lebih luwes.
misalnya kalimat ini:
“Dia menemukan jejak
lagi setelah berhari-hari tanpa hasil dengan jejak yang hilang.” (hlm 4)
“Ada pepatah Jerman
yang baik dan bijak, kebijaksanaan memberikan hasil.” (hlm 98)
Keistimewaan lain di
buku ini adalah terdapat juga puisi yang ditulis oleh seorang yang sakit jiwa,
yang tak lain dan tak bukan adalah refleksi kehidupan pribadi Karl May sendiri!
Namun, pada sempalan bagian kedua dari trilogi Winnetou ini, Karl May masih
mengusung topik yang sama, bahwa pada setiap perbuatan buruk yang dilakukan
oleh orang-orang Indian, selalu saja ada orang kulit putih yang menjadi biang
keladinya. Semoga, seri-seri berikutnya segera menyusul diterbitkan.
Loh? Penerjemahnya sudah bukan Mel ya?
ReplyDeleteIya, bukan Melody. Karena itulah rasa bahasanya agak beda.
ReplyDelete