Search This Blog

Friday, December 20, 2013

Penjaja Cerita Cinta

Judul : Penjaja Cerita Cinta
Penulis : @edi_akhiles
Cetakan : 1, Desember 2013
Tebal : 192 halaman
Penerbit : DIVA Press



        Jika ada satu kualitas yang paling saya kagumi dari sosok Edi Muyono, salah satunya pasti adalah produktivitas beliau dalam menulis. Tidak kurang dari 700-an cerpen telah ia tulis sejak tahun 1995, yang semuanya bertebaran di media-media massa daerah maupun nasional. Sebuah pencapaian yang menjadikan dirinya dimasukkan dalam Angkatan Sastra tahun 2000 oleh sastrawan Korrie Layun Lampan. Berbeda dengan banyak penulis lain yang biasanya fokus ke menulis dan meninggalkan bisnis, Edi Akhiles memilih untuk memadukan kedua dunia ini. Ia menulis sekaligus berbisnis. Kecintaannya menulis ini semakin didukung dengan pilihan bisnisnya yang jatuh kepada industri penerbitan, sebuah pilihan yang sangat tepat karena tiada bisnis lain yang begitu dekat dengan kegiatan menulis selain bisnis penerbitan.

      Penjaja Cerita Cinta adalah kumpulan cerpen ke sekian yang telah diproduksi sang penulis. Sebagaimana kita ketahui, tidak mudah untuk menuliskan sebuah cerpen karena cerpen itu terbatasi oleh jumlah kata. Tidak seperti novel dimana penulis bisa lebih mengolah dan memaksimalkan tulisannya, konsep cerpen yang “pendek” memaksa penulis untuk hemat kata dan irit kalimat, untuk bisa memasukkan banyak makna dan cerita dalam beberapa lembar tulisan. Bukan berarti menulis cerpen lebih susah dari menulis novel, keduanya memiliki tantangan masing-masing (dan banyak orang yang kelelahan dan tidak mampu menyelesaikan menulis novelnya karena terlalu panjang bukan?)

                Membaca Penjaja Cerita Cinta bisa saya ibaratkan dengan membaca sebuah sastra yang ter-gadget-isasi. Karya yang begitu dipengaruhi oleh hiruk-pikuk media sosial, di mana penyebaran dan penulisannya sama-sama tidak bisa dilepaskan dari peran teknologi internet yang digandrungi anak-anak muda modern di zaman ini. Total ada 16 cerpen dalam buku ini, masing-masing memiliki gaya dan tipikalnya sendiri-sendiri. Jangan berharap untuk membaca kumcer ini dengan penuh keseriusan atau sambil berkontemplasi, karena penulis menyodorkan 16 cerita dengan tema yang berbeda-beda. Ada yang serius berbalut senja, termehek-mehek atas nama cinta, mengharu-biru menjunjung orang tua, hingga kisah filsafati yang ditulis renyah-ceria. Ibarat permen, kumcer ini bisa dibilang rame rasanya. Ibarat minuman, kumcer ini adalah es buah dengan aneka rasa.

       Kisah pertama, Penjaja Cerita Cinta menurut saya adalah yang paling “nyastra” diantara cerpen-cerpen yang lain. Masih mengangkat tema yang sama: senja. Seno Gumira Ajidarma rupanya telah menjadikan senja begitu rupa indahnya sehingga menginspirasi banyak orang untuk mencintai dan (lagi-lagi) menulis tema tentang senja. Kisah ini mengangkat kisah penantian cinta seorang wanita di kala senja. Diksi dan ceritanya bagus sekali, tapi saya rasa cerita ini terlalu panjang untuk bisa dibilang sebagai cerita pendek. Ada bagian-bagian yang bisa dimampatkan sehingga lebih mengena.

       Dua kisah berikutnya, Cinta is Ketek dan Cinta yang Tak Berkata-Kata bertema sangat remaja. Yang pertama kisahnya abegeh banget, sementara yang kedua bisa dibilang romantik-inspiratif, bahwa “cinta yang sejati dibuktikan lewat tindakan nyata, bukan sekadar kata-kata (hlm 60). Sayangnya, saya menemukan beberapa typo dalam cerita yang unik ini. Cerita selanjutnya Dijual Murah Surga Seisinya mungkin adalah yang menginspirasi penulis mengadakan program #AksiSejutaBukuuntukTamanBacaandanPerpsutakaan, begitu menyentil kesadaran diri.

      Dalam kisah-kisah berikutnya, pembaca akan menjumpai kisah-kisah khas yang langsung mengingatkan pembaca pada sosok penulis sendiri. Sebagian kisah ini mungkin memang terinspirasi oleh kejadian-kejadian nyata yang dialami si penulis, juga perenungan-perenungan beliau yang kadang diberi catatan kaki ala-ala filsuf. Saya paling suka dengan cerita   Si X, si X, dan God serta Lengking Hati Seorang Ibu yang Ditinggal Mati Anaknya, kedua cerita itu sukses membuat saya termenung-menung di sela mengerjakan tugas di kantor (Hyaaa ketahuan membaca buku di jam kerja kamu Yon!)

      Ada kelebihan, pasti ada juga kelemahan. Agar adil, saya harus paparkan juga beberapa kelemahan kumcer ini agar bisa menjadi masukan yang semoga dapat membangun ke depannya. Walau digarap dengan tema warna-warni, hampir sebagian besar cerpen di kumcer ini masih sangat berasa banget Edi Akhilesnya. Mulai dari penggulangan diksi-diksi yang serupa artinya, penulisan satu kalimat satu kata untuk menegaskan, bau-bau filsafat dan ceplas-ceplos ala Pak Edi entah mungkin tanpa sengaja sering menyusup masuk dalam sejumlah besar cerpen. Ini menjadikan cerpen-cerpen ini menjadi “berasa agak serupa meskipun judul dan temanya berbeda.” Selain itu, ada beberapa cerita yang menurut saya (maafkan pengetahuan saya yang cetek ini) lebih cocok disebuh curblog (curhatan dalam blog) ketimbang sebuah cerpen. Atau mungkin saya yang terlalu membatasi diri akan makna dari sebuah cerpen?

       Terakhir, kumcer ini diakhiri dengan tidak biasa—sebagaimana penulisnya yang dikenal sebagai sosok yang tidak biasa. Dalam bab terakhir, pembaca akan disuguhi sekelumit pelajaran tentang bagaimana menjadi penulis yang baik: yakni (1) selalu menambah pengetahuan, (2) menjunjung tinggi detail, dan (3) bagaimana memiliki sikap atau attitude yang baik. Simpel tapi sangat mengena dan bermanfaat.
                 
                 



                

No comments:

Post a Comment