Judul : Penjaja Cerita Cinta
Penulis : @edi_akhiles
Cetakan : 1, Desember 2013
Tebal : 192 halaman
Penerbit : DIVA Press
Jika
ada satu kualitas yang paling saya kagumi dari sosok Edi Muyono, salah satunya
pasti adalah produktivitas beliau dalam menulis. Tidak kurang dari 700-an
cerpen telah ia tulis sejak tahun 1995, yang semuanya bertebaran di media-media
massa daerah maupun nasional. Sebuah pencapaian yang menjadikan dirinya
dimasukkan dalam Angkatan Sastra tahun 2000 oleh sastrawan Korrie Layun Lampan.
Berbeda dengan banyak penulis lain yang biasanya fokus ke menulis dan
meninggalkan bisnis, Edi Akhiles memilih untuk memadukan kedua dunia ini. Ia
menulis sekaligus berbisnis. Kecintaannya menulis ini semakin didukung dengan
pilihan bisnisnya yang jatuh kepada industri penerbitan, sebuah pilihan yang
sangat tepat karena tiada bisnis lain yang begitu dekat dengan kegiatan menulis
selain bisnis penerbitan.
Penjaja Cerita Cinta adalah kumpulan cerpen ke sekian yang telah
diproduksi sang penulis. Sebagaimana kita ketahui, tidak mudah untuk menuliskan
sebuah cerpen karena cerpen itu terbatasi oleh jumlah kata. Tidak seperti novel
dimana penulis bisa lebih mengolah dan memaksimalkan tulisannya, konsep cerpen
yang “pendek” memaksa penulis untuk hemat kata dan irit kalimat, untuk bisa
memasukkan banyak makna dan cerita dalam beberapa lembar tulisan. Bukan berarti
menulis cerpen lebih susah dari menulis novel, keduanya memiliki tantangan
masing-masing (dan banyak orang yang kelelahan dan tidak mampu menyelesaikan menulis
novelnya karena terlalu panjang bukan?)
Membaca Penjaja Cerita Cinta bisa saya ibaratkan dengan membaca sebuah
sastra yang ter-gadget-isasi. Karya
yang begitu dipengaruhi oleh hiruk-pikuk media sosial, di mana penyebaran dan
penulisannya sama-sama tidak bisa dilepaskan dari peran teknologi internet yang
digandrungi anak-anak muda modern di zaman ini. Total ada 16 cerpen dalam buku
ini, masing-masing memiliki gaya dan tipikalnya sendiri-sendiri. Jangan
berharap untuk membaca kumcer ini dengan penuh keseriusan atau sambil
berkontemplasi, karena penulis menyodorkan 16 cerita dengan tema yang
berbeda-beda. Ada yang serius berbalut senja, termehek-mehek atas nama cinta,
mengharu-biru menjunjung orang tua, hingga kisah filsafati yang ditulis
renyah-ceria. Ibarat permen, kumcer ini bisa dibilang rame rasanya. Ibarat minuman, kumcer ini adalah es buah dengan
aneka rasa.
Kisah pertama, Penjaja Cerita Cinta menurut saya adalah
yang paling “nyastra” diantara cerpen-cerpen yang lain. Masih mengangkat tema
yang sama: senja. Seno Gumira Ajidarma rupanya telah menjadikan senja begitu
rupa indahnya sehingga menginspirasi banyak orang untuk mencintai dan
(lagi-lagi) menulis tema tentang senja. Kisah ini mengangkat kisah penantian
cinta seorang wanita di kala senja. Diksi dan ceritanya bagus sekali, tapi saya
rasa cerita ini terlalu panjang untuk bisa dibilang sebagai cerita pendek. Ada
bagian-bagian yang bisa dimampatkan sehingga lebih mengena.
Dua kisah berikutnya, Cinta is Ketek dan Cinta yang Tak Berkata-Kata bertema sangat remaja. Yang pertama
kisahnya abegeh banget, sementara yang kedua bisa dibilang romantik-inspiratif,
bahwa “cinta yang sejati dibuktikan lewat
tindakan nyata, bukan sekadar kata-kata (hlm 60). Sayangnya, saya menemukan
beberapa typo dalam cerita yang unik
ini. Cerita selanjutnya Dijual Murah
Surga Seisinya mungkin adalah yang menginspirasi penulis mengadakan program
#AksiSejutaBukuuntukTamanBacaandanPerpsutakaan, begitu menyentil kesadaran
diri.
Dalam kisah-kisah berikutnya,
pembaca akan menjumpai kisah-kisah khas yang langsung mengingatkan pembaca pada
sosok penulis sendiri. Sebagian kisah ini mungkin memang terinspirasi oleh
kejadian-kejadian nyata yang dialami si penulis, juga perenungan-perenungan
beliau yang kadang diberi catatan kaki ala-ala filsuf. Saya paling suka dengan
cerita Si X, si X, dan God serta Lengking Hati Seorang Ibu yang Ditinggal
Mati Anaknya, kedua cerita itu sukses membuat saya termenung-menung di sela
mengerjakan tugas di kantor (Hyaaa ketahuan membaca buku di jam kerja kamu Yon!)
Ada kelebihan, pasti ada juga
kelemahan. Agar adil, saya harus paparkan juga beberapa kelemahan kumcer ini
agar bisa menjadi masukan yang semoga dapat membangun ke depannya. Walau
digarap dengan tema warna-warni, hampir sebagian besar cerpen di kumcer ini
masih sangat berasa banget Edi Akhilesnya. Mulai dari penggulangan diksi-diksi
yang serupa artinya, penulisan satu kalimat satu kata untuk menegaskan, bau-bau
filsafat dan ceplas-ceplos ala Pak Edi entah mungkin tanpa sengaja sering
menyusup masuk dalam sejumlah besar cerpen. Ini menjadikan cerpen-cerpen ini
menjadi “berasa agak serupa meskipun judul dan temanya berbeda.” Selain itu,
ada beberapa cerita yang menurut saya (maafkan pengetahuan saya yang cetek ini) lebih cocok disebuh curblog
(curhatan dalam blog) ketimbang sebuah cerpen. Atau mungkin saya yang terlalu
membatasi diri akan makna dari sebuah cerpen?
Terakhir, kumcer ini diakhiri
dengan tidak biasa—sebagaimana penulisnya yang dikenal sebagai sosok yang tidak
biasa. Dalam bab terakhir, pembaca akan disuguhi sekelumit pelajaran tentang
bagaimana menjadi penulis yang baik: yakni (1) selalu menambah pengetahuan, (2)
menjunjung tinggi detail, dan (3) bagaimana memiliki sikap atau attitude yang baik. Simpel tapi sangat
mengena dan bermanfaat.
No comments:
Post a Comment